BROKEN WING

By sheislany

785K 54.2K 1.1K

Bermaksud membenahi kehidupannya yang hancur, Abigail 'Abby' Quin pergi dari kehidupan menarinya di London m... More

PROLOG
#1 The best you can do is Do It
#2 There is no Coincidental only Destiny.
#3 Another opportunity for New Hope
#4 The limit is When You Stop Trying
#6 No pain no Gain
#7 Exercises make Perfect
#8 Night of Pleasure
#9 It's Hard to Say the Truth
#10 The Time Goes By
#11 I Can't Take My Eyes of You Even It's Hurt
#12 A Walk To Remember
# 13 The Abby's
# 14 Panic for Jealous
#15 Claimed to be Mine
#16 Nobody But You
#17 Love Is The Greatest Support
#18 I Know You The Best
Epilog

#5 To Recover Pain of Heart is only Another Love

26.2K 2.5K 29
By sheislany

Rebecca menatap Abby yang terlihat syok saat mendengar kata-katanya. Tapi ia sudah berdiri sebelum Abby mengatakan sesuatu. Kepergiannya selalu dengan cara yang sangat anggun.

Abby menatap Alan panik, ia telah membuat hati bibinya yang baik itu sakit. "Paman..."

Alan mendesah dan duduk ditempat tadi isterinya duduk. "Kau melakukan kesalahan kali ini Abby. Bibimu jarang .... amat sangat jarang marah."

"Aku... maafkan aku... aku hanya..." Abby menutup wajahnya dan pundaknya gemetar.

Alan meraih Abby dan duduk disisinya, mengangkat tubuh mungilnya dan memangkunya. Memeluknya erat seakan Abby masih berusia 5 tahun.

"Sarah kecil selalu mengatakan hal yang sama. Kurasa semua orang yang sakit selalu merasakan hal yang sama. Tidak ingin menyusahkan orang-orang yang ia sayangi. Tapi itulah keluarga Abby, dan kami mencintaimu dan ingin membantumu. Tidak ada sedikitpun beban kami. Kami hanya ingin menjagamu sayang, biarkan kami menjagamu." ujar Alan lembut.

"Aku ingin menari lagi paman, walau tubuh ini sakit, kaki ini rusak, aku ingin menari lagi. Aku akan terlalu banyak merasa kesakitan, terlalu banyak membuat kalian khawatir. Dan aku ... tidak mau kalian merasa begitu." Abby memeluk leher pamannya erat-erat.

"Kalau begitu kami akan siap. Kau tahu, masalah terbesarmu saat ini adalah minta maaf pada bibimu." Alan mengingatkan sambil menepuk punggung Abby hangat.

Abby menegang sesaat lalu mengangguk.

Alan mengecup kening Abby lalu menyuruhnya bersiap untuk pergi ke RS. Abby menegang sesaat tapi kemudian mengangguk. Trev mengusap rambutnya seperti yang biasa ia lakukan lalu keluar.

Untuk pertama kali dalam setahun terakhir .... tidak, setelah sekian tahun, ia merasa aman dan nyaman. Terlindungi. Abby harus belajar menerima rasa perduli dan protektif itu. Sesuatu yang tidak ia dapat dari orangtuanya.

Berendam dia air hangat selalu memulihkan otot-ototnya. Mrs. Sally sudah ada di luar dan memaksa untuk membantunya. Wanita tua itu mengoceh menasehati Abby karena ia melukai dirinya sendiri seakan ia berniat melakukan bunuh diri dengan menyayat nadinya. Ia sedang dirawat dan diurus.

"Ada tamu untuk anda Miss Abby. Tadi Mr. Trevor menyampaikannya." Lapor Mrs Sally sambil membantu Abby mengeringkan rambutnya.

"Siapa bertamu pagi-pagi begini?," Abby mengerutkan kening.

"Mr. Trevor tidak bilang apapun miss."

Abby diam dan mengangguk.

Ia mengenakan sweeter turtle neck longgar dari bahan rajut dengan panjang menyentuh pahanya, ia mengenakan skinny jeans biru belel, dan sepatu boot angkle tanpa hak warna putih. Rambutnya tergerai lembab di punggungnya.

Ia bukan langsung menemui tamunya tapi menemui bibinya di kamar. Rebecca sudah selesai berpakaian dan berdandan. Ia sedang menyisir rambutnya dan paman Alan sedang menunduk mau mencium isterinya. Tapi ia tidak berhenti atau merasa jengah karena ada Abby. Ciuman itu tidak bisa disebut singkat. itu jenis ciuman penuh perasaan yang dalam.

"Boleh aku bicara denganmu bibi Rebecca.?" tanya Abby hati-hati.

Rebecca menoleh dan menatapnya. Alan menepuk bahu Rebecca dan duduk di sofa single tempat ia duduk memasang sepatunya.

"Kalau kau mau bicara yang tidak-tidak lagi ...."

"Maafkan aku bibi Rebecca," potong Abby cepat. Gugup karena gerakan implusifnya. Tapi ia bertekad memberanikan diri meminta maaf. Ia memandang bibinya lurus dengan penuh permohonan dan penyesalan. "Aku... ketakutan dan aku mengacaukan ini semua. Aku takut kau merasa terbebani dan kemudian tidak perduli lagi padaku. Aku sudah mengalaminya dengan orangtuaku, itulah kenapa aku ke sini bibi, melarikan diri dari situasi di London. Dari ... mereka, juga kehidupan lamaku. Aku minta maaf karena telah membuatmu ... sakit hati dengan asumsi bodohku."

Rebecca diam dan terus menatap gadis gelisah dengan tatapan lurusnya yang berani dan sungguh-sungguh. Membayangkan Abby sebagai Sarah, sangat mustahil. Abby terlalu keras kepala dan introvert. Agak terlalu serius seperti jarang bersenang-senang. Jika Sarah masih hidup dan seusia Abby, ia akan tumbuh kurang lebih mirip Trev. Ramah, baik hati, cerdas dan penuh semangat. Ciri-ciri anak yang tumbuh ditengah kasih sayang juga kompetisi. Tapi Ia mencintai Abby, ia menerima apapun kondisi anak itu. Dan bertekad membuatnya bahagia.

"Tidak boleh ada rahasia rasa sakit lagi. Setiap kali kau kesakitan, kau harus memberitahu kami. Seingatku kita akan menghubungi terapis sebelum kau mulai menari lagi. Jadi itu yang akan kita lakukan, kami tidak akan menghentikan dirimu dari menari. Dan kau tidak boleh tertutup lagi. Carilah teman Abby, bersenang-senanglah. Bisakah kau lakukan itu?" Rebecca berdiri dan menghampiri Abby dengan sorot mata tajam yang jarang ia lakukan.

"Uh... aku tidak tahu cara mencari teman dan bersenang-senang tapi... aku rasa aku bisa mulai melakukannya. Aku... janji bibi." Abby mengngguk dengan sedikit ragu. Tapi tatapan teguh bibinya meyakinkan dirinya.

Rebecca pun memeluk Abby erat dan berbisik, "lakukan dengan perlahan, selangkah demi selangkah. Kami akan ada ditiap langkahmu."

Abby balas memeluk Rebecca dengan air mata mengambang panas dipelupuk matanya. "Terima kasih bibi..." Rebecca mempererat pelukannya.

"Nah ayo kita turun untuk sarapan sebelum kita ke RS." Alan sudah berdiri disamping mereka dan merangkul mereka di masing-masing lengannya. "Senang rasanya memiliki 2 perempuan cantik di kedua sisiku. Aku pria yang bahagia, kalian tahu?."

Mereka tertawa mendengar pujian Alan.

Saat mereka turun menuju ruang tamu, Abby memberitahu mereka kalau ia punya tamu di bawah. Alan memaksa ingin berkenalan.

"Ange!?," Abby kaget melihat Ange disana ditemani oleh Trev. Tapi kenapa Ange terlihat tegang?.

Ange langsun bangkit dan memeluk Abby. "Aku kemarin mengirimimu sms terus Trev meneleponku untuk mengabari kondisimu. Tadi pagi aku menelepon ponselmu, tapi mati. Aku cemas kondisimu memburuk atau apa gitu. Sekarang kondisimu baik-baik saja?," Ange memegang bahu Abby, menatapnya cemas.

"Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah mencemaskanku..."

"Beraninya kau berterima kasih atas kecemasanku!," omel Ange. "Memangnya aku ini kurang kerjaan mencemaskanmu? Tawaran koreografi itu bukan untuk membuatmu jadi sakit begini tahu. Aku akan bilang teman-teman kalau kau tidak menerima tawaran itu."

"Ange aku kan belum memutuskan ..."

"Kejuaraan itu tidak sebanding dengan keselamatanmu Abby." Suara Ange berubah lembut diliputi rasa cemas yang membujuk. "Kami akan mencari koreografer lain ... cara lain ... pasti bisa," Ange berusaha menghibur Abby.

Abby terharu dan memeluk Ange spontan. "Maaf ya membuatmu cemas. Aku benar-benar sudah tidak apa-apa kok, sekarang kami mau ke RS untuk menemui dokter dan terapis. Bersama Paman dan bibiku ... astaga, lupa. Kenalkan Paman dan bibiku." Abby terlonjak kaget ingat sesuatu. Ia melepas dekapan eratnya dan memperkenalkan Ange pada paman dan bibinya yang berdiri penasaran disana.

"Paman bibi, ini Angeline Boas teman baruku dari fakultas hukum di NYU. Ange ini Pamanku Alan Ascott dan Rebecca Ascott."

"Senang berkenalan dengan anda Mr. dan Mrs. Ascott. Maaf pagi-pagi sudah bertamu seperti ini...." Ange mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan sopan dan hormat.

"Teman-teman Abby adalah bagian dari keluarga. Jika kau tidak keberatan, mari sarapan bersama kami," undang Rebecca dengan tatapan lembut tapi penuh selidik. Ia bisa melihat putranya menegang disana karena gadis muda berambut merah yang menarik ini.

"Mohon terima permintaan maaf saya Mrs. Ascott, saya harus masuk kuliah jam 10 pagi ini. Jadi saya harus segera ke kampus sekarang." Ange menolak sopan dengan senyum tipis.

"Kami juga tidak akan berlama-lama sarapan karena harus ke RS. Setelah sarapan Trev akan mengantarmu." Alan pun mengeluarkan suara. Nadanya tegas. Itu bukan permintaan tapi perintah.

"Kalau aku menolak lagi, pasti sikapku akan sangat kasar, bukan begitu Mr. Ascott?" Ange bertanya berani. Tatapannya membalas sorot tegas Alan.

Alan bukannya marah atau kesal malah menyeringai. Ia mendekati Ange dan mendekati Ange untuk melihat lebih dekat. "Gadis pemberani, aku suka itu." Alan tersenyum lebar, mata biru ungunya berbinar senang. Lalu mengangsurkan lengannya agar Ange berjalan bersamanya. Ange ragu dan kaget mendapati tanggapan seperti itu dari Alan. Ia menatap Rebecca meminta persetujuan.

Rebecca membalas tatapan Ange dengan senyum lembut dan anggukan yang tidak kentara.

Ange menyerah dan meletakkan jemarinya di lengan Alan segan. Tapi Alan menepuk jemari Ange hangat. Mereka berjalan ke arah ruang makan yang Lagi-lagi pemandangannya ke arah lepas laut. Berada di ruangan yang tanpa jendela hanya dinding berongga lengkung tinggi di sekeliling ruangan. Tirai-tirai putih tipis menghias dan diikat di pinggir-pinggirannya.

Ange duduk dibantu Trev yang sudah ada di belakang kursinya. Cowok itu nampak sangat serius dan tidak banyak bicara. Ange bergumam terima kasih. Meja itu cukup berisi 8 orang. Trev duduk disamping Ange, Abby dan Rebecca di seberang mereka, dan Alan di kepala meja.

Sarapan itu menunya sederhana tapi sangat enak. Alan bertanya santai soal asal Ange dan pekerjaan orangtuanya. Juga soal mengapa Ange memilih NYU.

"Karena dengan melalui beasiswa renangku, NYU mentetujui aplikasinya. Aku kebetulan punya Kakek yang tinggal disini, jadi sekalian saja aku pikir." Ange menjelaskan.

"Renang?, wow, kejuaraan apa saja yang kau sumbangkan untuk kampus?" Rebecca nampak tertarik.

"Prestasiku di kampus kurang gemilang Mrs Ascott. 2 tahun lalu aku mengalami kecelakaan. Aku tidak bisa berenang seperti dulu lagi." Ange tersenyum tipis, ada kilat sedih disana.

"Sayang sekali. Jadi pengalaman itu yang membuatmu mengerti soal kondisi Abby kami?." Rebecca mengamati bagaimana Trev memperhatikan Ange dengan tatapan intens yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bahkan pada si Patricia penghianat itu.

Ange mengangguk "Rasa sakit bertentangan dengan rindu untuk kembali melakukan apa yang paling ahli kulakukan? Aku sangat mengerti saat-saat itu." Ange menatap Abby penuh pengertian. "Seperti sesuatu yang paling berharga direnggut darimu tiba-tiba. Ada di depanmu tapi tidak akan pernah bisa akan kau raih. Itu sangat membuat frustasi." Ange menjelaskan situasinya dengan tepat. "Kasusku, saat aku memaksakan diri berenang dengan kekuatan dan kecepatan yang dulu kumiliki, aku nyaris mati karena rasa sakit dan tenggelam karena panik. Aku .... sekarang fokus pada kuliahku dan sedang bertekad jadi jaksa, bagiku, pengalaman dan kegiatannya sama menariknya. Alternatif lain, hanya itu yang kau butuhkan Abby. Tuhan punya rencana indah dibalik semua penderitaanmu. Percayalah."

Abby menatap Ange dengan mata panas karena air mata, lalu mengangguk penuh pemahaman. Rebecca merangkul pundak Abby sayang dan menatap Ange dengan tatapan terimakasih. Alan menepuk punggung tangan Ange. Trev menatap Ange dengan tatapan lurus yang jika Ange sadari, ia akan jengah.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 333K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
44.1K 6.8K 33
Harim dan Wolf pacaran saat mereka kelas 3 SMP dan putus saat kelulussan. Jadi, Harim atau Harimau pikir setelah lulus, dia seharusnya tidak melihat...
326K 8.4K 85
NSFW - [D28+] [√ SELESAI] [DDLG PROJECT OF PURE TABOO] VOLUME (1). Behind Forbidden Love © 2019, Ennvelys Dover, All right reserved. Cover Ilustratio...
516K 23.2K 37
Ini untuk [21+] hanya kisah biasa tentang lelaki di puncak dan orang-orang sekitarnya.