T I G A - B E L A S
Sebuah buku tulis penuh dengan rumus di dalamnya terbuka lebar, seolah mengajak Adiska untuk menatap ke arah benda itu. Biasanya, Adiska semangat mengerjakan soal fisika yang menjadi PR-nya. Hanya saja, untuk malam ini adalah pengecualian.
Gadis yang rambutnya diikat asal, menghempaskan tubuhnya terlentang di atas kasur. Ia mendengus sebal dengan kedua tangannya yang mengacak-ngacak kunciran rambutnya―mengingat, hari ini adalah hari yang tidak bisa ia lupakan.
Bagaimana tidak? Pentolan Bakti Nusa yang paling sangar lagi-lagi melindunginya, nyaris di kejadian yang sama. Terlebih lagi dengan kata-kata Recza dan Arai yang terus terngiang di kepalanya.
"Arai itu pinter bikin strategi buat permainannya. Dia bisa bikin lawannya berubah pikiran, bahwa sebenarnya dia itu baik, Dis. Dan kalo sampe lo berpikir kayak gitu, siap-siap lo dijatuhin sama Arai."
"Denger ya, Diska. Gue cuma takut, lo jadi korbannya Arai, sama kayak korban-korbannya di masa lalu. Karena lo bisa gampang hancur, sekali lo udah percaya sama Arai."
"Sumpah, Adis, gue gak akan macem-macem! Kalopun iya, gue udah ngelakuin daritadi."
"Berhenti ngatain gue kalo gue punya rencana busuk di balik ini semua! Gue samasekali gak ada maksud buruk sama lo, Adis."
Lagi-lagi, Adiska mengacak-ngacak rambutnya dengan gemas. "Argh! Sumpah, gue gak ngerti lagi! Recza bilang, Arai gak bisa dipercaya. Sementara Arai bilang, dia gak ada niat buruk samasekali. Gue harus percaya yang mana?"
Seiringan dengan berakhirnya perkataan Adiska, pintu putih kamarnya pun terbuka tiba-tiba.
"Dis, itu tuh, Mama udah nyiapin makanan," kata Bagas memberitahu. Kedua matanya mengerut heran saat memandang adik tomboy-nya itu. "Lo ngapain itu rambut lo digituin kayak orang gila? Gusti ... SMA bukannya makin bener, malah makin sengklek otak adik gue."
Adiska mendecak. "Gak lucu tau, ah. Gue lagi bete nih."
Bagas menunjukkan cengirannya lebar. "Bete kenapa? Orang tadi sore lo dianterin cowok, kok malah bete? Harusnya kan seneng kayak mau terbang gitu deh. Eh, tapi, cowoknya beda. Perasaan dulu yang nganterin bukan yang itu."
"Itu yang namanya Arai." Adiska memutarkan bola matanya. "Gue bingung, Kak, gue harus percaya siapa? Recza atau Arai? Arai kan orangnya bengal, sementara Recza yang gue gak tau masa lalu dia kayak gimana malah bilang buat gak percaya sama Arai. Tapi, Arai tadi udah nolongin gue dari anak Pancasila―"
"Pancasila?" Bagas memotong pembicaraan Adiska. "Anak Bakti Nusa emang gak ada habisnya ya buat berantem sama anak Pancasila. Satu kota pasti udah gak asing lagi kalo sekolah lo tawuran mulu sama anak Pancasila."
"Gue juga gak ngerti." Adiska menggelengkan kepalanya "Kenapa sih SMA bukannya seneng, malah jadi ribet? Apalagi Arai, gue udah gak ngerti sama tuh orang."
Bagas menghampiri adiknya itu. "Jadi Arai yang dulu lo ceritain, nolongin lo dari anak Pancasila?" Adiska mengangguk. "Gue gak tau, sih, karakter masing-masing tuh cowok kayak gimana. Karena gue samasekali gak kenal mereka, dan lo juga gak pernah ngajakin gue ngobrol bareng mereka. Tapi, gue saranin sih, lo jalanin aja."
Adiska mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Maksudnya, si Recza ini kan teman sekelas lo." Bagas menepuk bahu Adiska sembari duduk di sebelahnya di atas kasur. "Ya lo tetep gaul aja sama dia. Dan lo juga tetep merhatiin gerak-geriknya si Arai juga. Siapatahu, si Arai ini emang ada maksud lain. Gue gak tau itu baik atau enggak. Tapi lo harus inget baik-baik, lo harus jaga diri, Adis. Mending kalo ada apa-apa, lo langsung cerita sama gue. Gue gak mau lo kenapa-napa. Mau lo tomboy kan tetep aja lo cewek."
"Jadi gitu, ya?" Adiska menatap kakak satu-satunya itu. Cemberut di wajahnya seketika hilang. "Yaudah, deh. Adis nurutin kata Kak Bagas. Makasih, ya, Kak."
Bagas menunjukkan cengirannya lagi. "Jijik ah, lo, Dis. Sok imut."
"Ah, apaan sih? Gue kan emang udah imut," timpal Adiska yang langsung menyikut kakaknya. "Eh, tapi, Mama gak tau kan kalo Adis dianter sama Arai tadi?"
"Tenang aja." Bagas mengacungkan jempolnya. "Gue gak ngasih tau Mama sama Kanaya kok. Tapi, kalo lo mau, gue ceritain aja ke mereka pas makan nanti."
"Ih jangan, plis!" ronta Adiska. "Entar gue diomelin Mama lagi. Kan males gue."
"Iya, enggak kok. Tenang aja," ujar Bagas yang diselingi tawa. "Udah, ah, ayo ke bawah. Makan. Udah laper nih gue."
-:-o-o-o-:-
Angin pagi yang berhembus menerpa wajah Adiska yang tengah berjalan menuju gedung sekolahnya. Ia baru saja tiba di sekolah saat Mama mengantarnya tadi dan beberapa waktu kemudian langsung pergi menuju toko kuenya―satu-satunya usaha yang keluarga Adiska miliki sampai sekarang.
Langkahan kaki gadis yang rambutnya diurai itu akhirnya sampai di depan pintu kelas 10 IPA 7, dan terhenti ketika seorang cowok dengan jaket biru dongkernya tengah menyandarkan punggungnya di salah satu kuzen pintu kelas.
Sejurus kemudian, Recza berdiri tegak ketika mata cowok itu bertemu pandang dengan mata Adiska. Sebuah tatapan datar di wajahnya terlihat saat cowok itu hendak menghampiri gadis yang sedang menggendong tas ranselnya.
Adiska yang entah kenapa merasa antusias melihat Recza, segera menghampiri cowok yang sedang berdiri di depan pintu sembari mengenakan earphone di telinganya.
"Za, Recza! Lo harus tau!" Adiska menarik salah satu tangan Recza.
Recza mengernyitkan dahinya sembari membiarkan dirinya ditarik oleh gadis yang lebih pendek darinya itu. "Aduh, duh. Apaan sih?"
"Kemaren, gue mau dihajar sama anak Pancasila―"
"Pancasila?!" sentak Recza setengah berteriak. "Dihajar sama anak Pancasila kata lo?"
"Sstt, jangan kenceng-kenceng ngomongnya," pinta Adiska, menaruh salah satu telunjuknya di depan bibir. "Iya. Lo tau Gifar? Dia mau ngehajar gue, karena gue waktu itu pernah ngehajar dia. Nah, terus, lo tau selanjutnya kayak gimana?"
Recza mendecak. "Aduh, lo tuh kalo cerita jangan setengah-setengah. Terus lo kemaren gimana? Kenapa lo gak nelpon gue biar gue hajar juga tuh anak―"
Adiska menyela pembicaraan Recza seraya menggelengkan kepalanya. "Gue gak perlu nelpon lo waktu itu. Karena Arai tiba-tiba dateng nyelamatin gue."
"Arai?" Recza mengernyit lagi.
"Iya, Arai." Adiska mengangguk cepat. "Gue gak ngerti lagi sama itu orang. Tapi, gue bersyukur banget kalo kemaren Arai nolongin gue. Kalo enggak, mungkin gue udah diapa-apain sama anak-anak Pancasila."
Cowok yang berdiri di hadapan cewek berambut sebahu itu menatapnya tidak percaya. Raut mukanya seketika berubah. "Dis, lo serius si Arai nolongin lo? Maksud gue, itu beneran dia murni nolongin lo atau itu malah bagian dari rencananya?"
"Gue juga gak tau, sih. Tapi, Jelas, jelas, dia nolongin gue kemaren. Bahkan, nganterin gue pulang ke rumah. Masa', kalo dia udah ngelakuin banyak hal kayak gitu, itu dibilang bagian dari permainannya juga, Za? Kayaknya dia gak kayak yang lo atau gue kira sebelumnya, deh. Mungkin dia udah berubah."
"Diska, Arai itu gak akan pernah berubah." Salah satu tangan Recza melepaskan earphone dari telinganya. "Dia, bisa jadi, lagi bikin lo percaya kalo dia itu sebenarnya baik. Tapi, sekali lo percaya, lo udah ditipu sama tuh orang. Gue gak mau lo ngalamin hal itu."
Dari pandangan Adiska, raut wajah Recza tiba-tiba berubah. Awalnya ia antusias ketika Adiska muncul di hadapannya. Hanya saja, dalam waktu yang singkat, ekspresinya terlihat datar.
Adiska menyadari perubahan itu. Tapi cewek itu tidak begitu memedulikannya. Sehingga, ia melanjutkan topiknya lagi. "Tapi, kemaren dia baik kok. Gue malah jadi bingung, karena kemaren Arai perhatian sama―"
"Kalo lo mau terus diperhatiin Arai dan berpikir kalo dia itu baik, deketin aja terus tuh orang." Suara Recza kali ini terasa dingin. "Gak usah lo percaya omongan gue. Toh, lo juga gak percaya kan?"
Adiska menatap Recza bulat-bulat. Ia kemudian meninggikan suaranya. "Gue bukannya gak percaya sama lo, tapi―"
"Ya, kalo gak percaya apa namanya?" Suara Recza kali ini penuh penekanan. "Niat gue baik, Dis! Gue cuma mau ngingetin, kalo Arai belum bisa kita anggep baik. Lo bisa dihajar sama dia. Tapi lo gue kasih tau malah keras kepala. Awas aja, kalo apa yang gue katain bener, jangan sampe lo nyari-nyari gue lagi, Dis."
"Siapa juga yang mau nyariin lo?" sewot Adiska yang malah terpancing emosinya. "Gue bisa cari orang lain. Ngapain juga gue terlalu bergantung sama lo? Gue emang bodo. Padahal kan lo bukan siapa-siapa gue."
"Ya, terus ngapain lo nyamperin gue tadi?" Recza menajamkan tatapannya sinis. "Percuma gue berdebat sama cewek yang selalu menganggap dirinya bener. Yang ada malah buang-buang waktu buat ngomong sama cewek pendek yang baperan dan gak guna kayak lo."
Recza berbalik meninggalkan Adiska yang diam mematung―tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan dan ia dengar. Padahal Adiska hanya ingin meminta bantuan cowok yang selama ini ia kenal dekat selama SMA itu. Namun, harapannya pun tidak bisa terwujud. Dan entah kenapa ia malah terpancing emosinya ketika Recza mulai berubah.
Bahkan, Adiska saat itu samasekali belum tahu, bahwa saat itu mungkin saja Recza menyembunyikan sesuatu―sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis yang selalu bersama dirinya saat MOS.
-:-0-0-0-:-
"Kalo lo mau terus diperhatiin Arai dan berpikir kalo dia itu baik, deketin aja terus tuh orang. Gak usah lo percaya omongan gue. Toh, lo juga gak percaya kan?"
"Niat gue baik, Dis! Gue cuma mau ngingetin, kalo Arai belum bisa kita anggep baik. Lo bisa dihajar sama dia. Tapi lo gue kasih tau malah keras kepala. Awas aja, kalo apa yang gue katain bener, jangan sampe lo nyari-nyari gue lagi, Dis."
"Ya, terus ngapain lo nyamperin gue tadi? Percuma gue berdebat sama cewek yang selalu menganggap dirinya bener. Yang ada malah buang-buang waktu buat ngomong sama cewek pendek yang baperan dan gak guna kayak lo."
"WOY, DIS!" seru Debby yang menepuk bahunya agak kencang. "Ngelamun aja sih lo."
Adiska baru sadar, ternyata sudah kesekian kalinya ia mengingat perkataan Recza tadi pagi. Ia benar-benar tidak akan menduga, gara-gara pembicaraannya tadi pagi itu malah membuat hubungannya dengan Recza menjadi renggang.
Lagian, memang salahnya juga sih. Ia tadi pagi malah mengatakannya seolah kalau dirinya tidak memercayai cowok yang selalu gengsian itu. Lagipula, seharusnya Adiska mendengarkan perkataan Recza, kalau ia harus berhati-hati. Mungkin saja, Arai sedang menyusun rencana busuk untuk mengalahkan dirinya.
"Lo kenapa sih, Dis?" tanya Debby sambil mengaduk mie bakso miliknya. "Gue lihat dari tadi, lo bengong terus."
"Ah, enggak." ujar Adiska yang pandangannya teralihkan.
Pandangan Adiska saat itu tertuju pada satu meja―memandang ketiga cowok sekelasnya yang akan duduk di bangku kantin itu. Dilihatnya Recza, yang berdiri di sebelah Zidan dan Ilham. Zidan dan Ilham asyik tertawa sambil memegang mangkuk makanannya. Namun Recza, ia hanya berjalan tanpa ekspresi sembari memegang minuman jus sirsaknya―jajanan yang biasa dibeli oleh cowok itu.
Sesekali, beberapa siswi Bakti Nusa menghampiri dan menyapa Recza ketika melewati bangku yang mereka duduki. Dan dengan cepat, Recza menoleh sembari menunjukkan sebuah garis tipis di wajahnya yang gampang memudar saat itu.
Tanpa diharapkan, kedua mata Recza bertemu dengan milik Adiska. Tatapan Recza masih sama―datar. Tanpa waktu yang lama, Adiska mengalihkan pandangannya kembali ke arah minuman jus alpukatnya. Begitupula dengan Recza, yang kembali menaruh pandangannya ke arah teman-teman cowoknya yang konyol.
"Nah, kan, lo bengong lagi." Debby memergoki Adiska yang sempat memandang ke sisi yang ada di belakangnya. Dengan segera, Debby menoleh ke belakang. Akhirnya ia tahu siapa yang menjadi objek pemikiran sahabatnya kali ini. "Lo ngelamunin Recza, ya?"
"Enggak, ah. Apaan sih?" elak Adiska.
"Alah, jangan pura-pura deh, lo!" sindir Debby sambil nyengir. "Lagi berantem ya sama Recza? Tapi dua-duanya masih saling tatap gitu."
"Ish, jangan gitu, ah! Gue jijik dengernya, Deb," rengek Adiska yang terdengar seperti anak kecil. "Iya, gue lagi berantem. Ternyata Recza orangnya nyebelin. Gue mau ngomong sama dia baik-baik, eh, malah ngambek tuh orang."
Debby tertawa kecil. "Lama-lama gue jadi seneng liat kalian berdua. Kalian mau akur atau berantem, sama-sama lucu ya? Kayaknya cocok deh kalo kalian jadian―"
"Yang bener aja?! Ish, gue samasekali gak ada niat buat jadian sama dia. Buat temenan aja gue kayaknya masih mikir-mikir."
"Ah, sekarang bilangnya gitu. Entar taunya malah saling sayang." Debby menatap Adiska penuh sindiran.
"Ck, terserah lo deh, Deb. Gue mau ke kelas." Adiska beranjak pergi meninggalkan kantin.
Adiska gak habis pikir, gak Recza maupun Debby, mereka sama-sama menjengkelkan. Kadang, ia benar-benar ingin menonjok mereka satu-persatu.
Entah kenapa, di saat itu yang Adiska pikirkan adalah melangkahkan kakinya menuju lapangan sekolah. Lebih tepatnya berteduh di bawah pohon besar yang rindang seperti biasanya.
Di saat emosinya sedang melunjak panas, sesuatu yang dingin menyentuh pipi Adiska seolah ingin mendinginkan emosinya saat itu. Adiska yang terlonjak kaget akibat sensasi dingin yang tiba-tiba di pipinya itu, segera menoleh ke samping kanannya.
"Nih, Adis. Mending lo minum, deh. Siapa tau bisa nurunin tingkat ke-bete-an lo." Arai tiba-tiba duduk di sampingnya sambil tersenyum.
Arai? Ngapain dia ke sini? Seketika pikiran itu terlintas dalam otak Adiska. Entah kenapa ia jadi teringat omongan Recza kalau dirinya harus berhati-hati terhadap Arai―terlebih dengan cowok sangar di sebelahnya yang baru kali ini tersenyum jelas di hadapannya.
Adiska mengamati botol minuman yang diberikan Arai lekat-lekat. Tangannya terus memutar botol minuman isotonik yang dingin menyegarkan itu pelan.
"Aduh, Adis. Lo masih gak percaya sama gue?" tanya Arai yang mendekatkan kepalanya ke arah Adiska. "Sumpah, gue gak ngapa-ngapain itu minuman. Gak gue racun kok!"
"Abis, lo tiba-tiba dateng sambil nyodorin gue minuman. Terus nyuruh gue buat minum tiba-tiba." Adiska menyipitkan kedua matanya pada Arai. "Ditambah, masalah lo sama gue kan belum selesai. Gimana gue gak curiga coba?"
"Kalo gue pikir-pikir lagi, kayaknya gue udah gak kesel sama lo." Arai mengalihkan pandangannya ke lapangan―tempat anak-anak kelas 12 sedang asyik bermain basket.
Adiska memiringkan kepalanya. "Gak kesel?"
"Iya, gak kesel," jawab Arai mantap. "Tapi bukan berarti hubungan gue sama lo langsung selesai."
Adiska masih menatap Arai bingung. Alhasil, Arai membaca bahasa tubuh siswi juniornya sebagai suatu keharusan kalau dirinya harus menjelaskan apa maksud perkataannya itu.
"Iya emang gue udah gak kesel sama lo. Tapi, tetep utang lo sama gue gara-gara kelakuan lo pas MOS itu belum selesai. Jadi, lo harus inget, kalo lo masih punya urusan sama gue," jelas cowok yang kali itu tidak mengenakan sehelai jaket apapun dengan santai―hanya sebuah kemeja sekolah yang ia biarkan ke luar dari celananya.
"Kemaren, si Gifar gak muncul lagi kan, atau neror lo pas gue anterin lo pulang?" tanya Arai mencoba mengganti topik.
"Enggaklah. Alay banget kalau si Gifar kemaren beneran kayak gitu," jawab Adiska malas.
Arai membungkukkan badannya sembari duduk di atas bangku yang tersedia di bawah pohon. "Ya, namanya juga Gifar. Gak pernah mau nyerah gitu aja."
"Oh, ya."Adiska jadi teringat, kemarin ia lupa ingin mengatakan sesuatu pada kakak kelasnya itu.
Hal itu membuat Arai kembali melirik ke arah gadis yang menurutnya terlihat manis itu. "Hm? Apa, Adis?"
Adiska memutarkan kepalanya ke arah Arai. "Makasih, ya, Rai, kemaren lo udah nolongin gue."
Arai sempat menatap Adiska cukup lama mendengar ucapan gadis itu. Namun buru-buru ia jawab sembari balas tatap. "Oh, ya―anu, ya santai aja. Maksud gue, samasama, Adis."
Adiska tersenyum dan kembali memandang lapangan. Entah itu suatu kebetulan atau apa, segerombolan anak cowok berjalan melewati lapangan.
Posisi mereka cukup jauh dari dimana Adiska dan Arai tengah duduk berduaan. Namun hanya dalam posisi seperti itu, Adiska tidak sengaja bertemu pandangan dengan seorang cowok yang lagi-lagi adalah Recza.
Recza terlihat kikuk saat ketangkap basah sedang memandang Adiska dari jauh. Buru-buru cowok berjaket biru dongker itu membuang muka dan bertawa ria bersama kedua temannya itu. Meskipun dalam hati masih bertanya-tanya, kenapa Adiska tadi malah berduaan akrab dengan Arai?
Ah, ngapain lo pikirin, Za? Biarin aja tuh cewek sama si Arai. Entar pas dia udah tau kelakuan Arai kayak gimana, biarin aja tuh cewek jera sambil ngerengek minta tolong ke lo. Recza terus berusaha untuk tidak memikirkan gadis yang menjengkelkan itu.
Di sisi lain, Arai mendapati Adiska yang menatap seseorang dari kejauhan. Otomotis, cowok itu mengikuti arah pandangan cewek itu.
Didapatinya Recza sedang berkumpul bersama teman-temannya seraya men-dribble bola basket. Recza memang anak Futsal, tapi bukan berarti dirinya tidak bisa main basket. Dan Arai yang mengenalnya sejak SMP, tahu akan hal itu.
Arai mengatup rapat kedua rahangnya kuat-kuat. Matanya kembali melirik ke arah Adiska dengan rasa ingin tahu. "Lo sama Recza ada hubungan apa?"
Adiska yang mendengar pertanyaan itu secara tiba-tiba membulatkan kedua matanya ke arah cowok itu. "Apaan sih? Lo kepo banget. Mau gue punya hubungan apa sama Recza juga, lo gak berhak tau."
Seiringan dengan Adiska menjawab pertanyaan Arai yang menurutnya begitu konyol, di saat itu pula ia meninggalkan Arai dan beranjak pergi menuju kelasnya.
Memandangi punggung Adiska yang kian menjauh, Arai semakin tidak mengerti akan sikap dan tingkah dari gadis yang baru dikenalnya itu. Padahal baru saja tadi Adiska bersikap baik dan tersenyum padanya. Dan tak lama dari itu, sikap gadis berambut hitam legam itu berubah drastis dan malah kembali bersikap sinis terhadap dirinya.
Kepalanya seketika Arai tolehkan―menatap tajam pandangannya ke arah salah satu cowok di seberang sana.
Dari dulu, semenjak SMP, Arai tidak pernah suka jika Recza selalu ada dan terus menghalanginya dalam urusan apapun―dan termasuk urusannya kali ini. Ya, urusannya dengan Adiska, yang terlanjur mengingatkannya akan sesosok gadis di masa lalunya itu.
• • • • • • • • • •
{A/N} haloo! masih adakah yang nungguin cerita ini? wkwkwk
maapin yaak selama beberapa minggu ini gue gak sempet update. karena banyak banget tugas sama kumpul kepanitiaan pensi sekolah yang harus gue kerjain. daan....kali ini gue dikasih kesempatan buat ngetik chapter baru meskipun tugas masih numpuk. maapin juga chapter ini rada gaje dan lebih dikit dari biasanya, ya meskipun gue udah berusaha buat update. oke itu ajasi. gue janji, chapter berikutnya bakalan lebih seru! hehe. makasi yaa yang udah baca, vote dan komen <3
Sabtu, o7 November 2o15
―Dean