Red Circle (ON HOLD)

By Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... More

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Tiga - Red Circle?

2.7K 244 6
By Cendarkna

Sudah lama aku memantau Emerald. Tidak hanya satu yang menginginkan Red Circle dan menyadari tanda-tanda keberadaannya sehingga mulai mengejar Emerald. Salah satu pelindung Red Circle tewas. Perlindungan semakin diperketat. Aku ingin menampakkan diri, tapi terlalu sulit memutuskan antara keselamatan Emerald atau kerahasiaan Red Circle.

Satu-satunya orang yang akan melindungi Emerald sampai batas akhir pertarungan nanti hanyalah kau, Gerald. Seperti pesan Diamond sebelum meninggal. Kau satu-satunya yang memahami isi di dalam Red Circle, sekaligus yang pandai menyembunyikan apapun. Sekarang tugasmu hanyalah melindungi Emerald tanpa disadarinya.

Karena apabila dia mengetahui segalanya, dia justru semakin dalam bahaya.

 

-Shank

 

Rachel’s Point of View

SUV putih paman John berhenti di depan sebuah rumah berukuran besar bergaya Eropa klasik yang bertuliskan Dr. Elias Mandingo di bagian samping pagar besi tinggi. Selama ini aku tidak pernah bertemu maupun mengenal Dr. Mandingo. Itupun baru pertama kudengar namanya dari pesan yang ditinggalkan paman John sebelum tewas.

Kematian misterius paman John masih menyisakan duka, kepedihan, dan misteri bagiku. Dia satu-satunya orang terdekat yang kumiliki. Tiap mengingat kejadian yang menimpanya, mataku terasa perih dan air mata sudah bergumul di pelupuk mataku. Aku mengusap mataku yang basah dengan telunjukku mengingat lagi kesendirian dan kemeranaan yang merundungku. Setelah kematian ibuku, menghilangnya ayahku, dan kematian paman John, sekarang aku hidup sebatang kara.

Pagar besi terbuka otomatis. Kulajukan SUV ini masuk ke dalam halaman rumah Dr. Mandingo. Keadaan rumah yang besar tampak tak berpenghuni meskipun terlihat rapi dan bersih. Aku keluar dari dalam SUV, menggendong Tinker Bell yang sedari tadi diam tidak memperdengarkan ngeongannya.

Kakiku beranjak mendekati pintu besar berukiran simbol-simbol tak kumengerti. Sampai kutekan bel di sebelah pintu besar itu dan tak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita paruh baya membukakan pintu.

“Selamat pagi,” sapaku.

“Siapa kau?” tanya si pelayan tak ramah. Aku berjengit mendengar nadanya yang menunjukkan tanda tak suka.

“Aku Rachel Dalton. Aku ingin bertemu dengan Dr. Mandingo.”

Belum sempat pelayan tersebut membalas, terdengar seruan dari dalam rumah dibarengi suara langkah pelan mendekati kami. Aku menengok ke arah belakang pelayan itu, mendapati seorang pria tua berjalan diimbangi tongkat tuanya mendekati kami.

“Rachel…” sapanya sambil terkekeh pelan. “Silakan masuk. Aku sudah menunggu kedatanganmu.”

Aku mengangkat sebelah alis penuh tanya seraya masuk ke dalam. Pelayan tak ramah tadi meninggalkan kami berdua, walau masih bisa kurasakan pandangan menusuknya tak lepas dariku. Pria tua yang sepertinya Dr. Mandingo itu mendekapku, mengantarku duduk di sebuah sofa berlengan panjang di ruang tamu.

“Aku turut berduka atas meninggalnya John, pamanmu,” ucapnya sungguh-sungguh. Lantas dilepasnya kacamata bundar bergantung yang dikenakannya. “Aku mengenal John dan orangtuamu. Itulah sebabnya John menyuruhmu datang kemari.”

Aku mengernyit heran. Jadi, Dr. Mandingo mengenal orangtuaku beserta paman John. Untuk apa paman John menitipkan aku pada orang yang belum pernah kukenal? Well, secara teknis Dr. Mandingo yang mengenalku.

“Kenapa aku tidak pernah dikenalkan pada Anda?” tanyaku.

Dr. Mandingo mengucek matanya sebentar. “Karena, keberadaan kami belum boleh diperhitungkan secara luasnya.”

Aku menelengkan kepalaku ke satu sisi sebagai tanda tanya.

“Nak, perlu kauketahui bahwa kebanyakan orang lebih takut pada singa daripada berhasil menjinakkannya.” Dr. Mandingo berkedip sekali. Sebelum aku bertanya apa maksud kalimat itu, Dr. Mandingo berdiri, lantas menunjuk ke sebuah arah. “Naiklah ke lantai dua. Kau bisa pilih sendiri letak kamarmu. Kau perlu istirahat setelah perjalanan lama dari Lakewood ke Pennsylvania. Lagipula kau membutuhkan waktu usai kejadian itu.”

Aku mengerjapkan mataku, memandang pria tua tersebut yang melenggang menjauhiku. Sejenak, kupikirkan kembali ucapannya baru saja. Mengenai sebuah filosofis sederhana, yang membandingkan antara singa dan manusia. Aku belajar banyak hal soal kode, dari ayah dan ibuku ketika mereka masih berkumpul. Namun soal filosofis, sepertinya itu adalah hal tersulit dalam hidupku. Aku bukan filsuf. Aku masuk di jurusan Hukum. Tentu saja aku tidak terlalu mengerti perihal kalimat yang diantar seperti itu.

Atau itu bukanlah kalimat filosofis, melainkan sebuah kode?

Justin’s Point of View

 Untuk yang terakhir kalinya aku mengecek barang-barang sebelum meninggalkan tempat ini. Sepertinya tak ada yang tertinggal. Seluruh perlengkapan bersenjataku seperti biasa, kumasukkan ke dalam kopor besar di samping kopor bajuku. Kulihat sebentar selembar foto yang diberikan bos padaku. Bagaimana bisa aku mencari target apabila yang diberikan hanyalah selembar foto bayi? Oke, itu foto lama. Dan, sekarang usia targetku sudah berkisar sembilan belas tahun. Patokanku adalah tanda lahirnya. Dengan bantuan GPS aku berhasil melacak keberadaannya setelah menemukan data terlengkap targetku itu.

Barbara menengok kamarku di balik pintu. Diamatinya seluruh barang yang telah kupersiapkan.

“Kau yakin akan bergerak sekarang?” tanyanya skeptis.

Sambil mengisi peluru di salah satu pistolku, aku menimpali, “Ya. Bukankah bos sudah menyuruhku bergerak?” Kuletakkan kembali pistol Walther P99 yang menjadi senjata favoritku ke dalam kopor tempat penyimpanan senjata.

“Jadi, kita berdua akan pergi sekarang juga?”

“Kita berdua?” ulangku.

Barbara memutar bola mata kesal. “Kau kira aku akan meninggalkanmu sendirian melakukan pencarian anak itu? Tentu saja aku akan ikut. Ingat kan komitmen kita? Kau pergi, aku pergi.”

Kuhela napas panjang sambil duduk di atas ranjangku. Sebenarnya tak masalah kalau Barbara ikut. Tapi aku tidak mau melibatkannya ke dalam masalah ini. Cukup aku saja yang melakukan misi beresiko seperti sekarang. Sudah lama Barbara kulibatkan, masuk bersama puluhan kasus yang kutimbulkan. Meskipun dia juga setia pada bos, aku tak ingin dia lebih dikecam bahaya. Dia sahabatku. Dari aku berumur dua belas tahun, setelah ibuku mati ditembak ayahku, aku sudah bersama Barbara.

Dengan langkah penuh ketukan, Barbara mendekatiku. “Aku tidak membutuhkan persetujuanmu. Sudah kukemasi barang-barangku. Paspor, uang, semuanya.”

Kulirik dia di balik sorot mataku yang menukik tajam. Aku berdiri berhadapan dengannya. Lantas kutampar dia. Ditatapnya aku seraya menggenggam tangannya kesal. Well, Barbara paling anti kalau sudah kutampar. Dengan gerakan gesit, Barbara berusaha memukulku, tapi aku menangkis tangannya, sampai kuputar tubuhnya dan memiting lengannya. Kudorong dia jatuh di atas ranjang dengan pipi yang menempel di sprei, meringis kesakitan.

“Kalau begini saja kau lengah, aku tidak yakin kau selamat bersamaku.”

Barbara menerjang tubuhku. Kemudian tangannya meraihku, mencengkeram kerah jaketku, dan mendorongku sampai tubuhku terjebak di tembok.

“Dengar, aku bukan orang lemah seperti yang kaupikirkan. Aku tetap ikut.” Telunjuknya mengarah tepat di depan wajahku hingga membuatku tertawa pelan.

“Baiklah, kau lolos seleksi. Ayo kita berangkat”

Barbara mundur ke belakang, mengatur napasnya yang terengah-engah. “Kau sudah tahu kemana tujuan kita?”

Aku tersenyum miring. “Philadelphia.”

Rachel’s Point of View

Ternyata Dr. Mandingo sangat baik usai mengobrol banyak dengannya di teras rumah. Dia sempat minta maaf atas perlakuan pelayan satu-satunya yang tidak ramah terhadapku. Namanya Emilee. Sejak lama Emilee menjadi pelayan di rumah itu. Bahkan sejak mendiang Mrs. Mandingo masih hidup. Dr. Mandingo kehilangan istrinya sepuluh tahun yang lalu akibat penyakit yang dideritanya. Yang kusayangkan, mereka tidak dikarunai anak, sehingga Dr. Mandingo kesepian di hari tuanya.

“Anggap saja aku kerabat jauh orangtuamu.” Dr. Mandingo tersenyum seraya menunjukkan sesuatu untukku. Sebuah foto berukuran sedang dan dimakan usia diulurkannya padaku. “Ini orangtuamu.” Jainya menunjuk tepat ke arah dua orang yang sangat kukenal, orangtuaku.

“Ini… semacam perkumpulan?” tanyaku dengan dahi berkerut.

Dr. Mandingo menghela napas sejenak. “Lebih tepatnya teman. Anggap saja seperti itu. Jadi, jangan merasa kaku jika berhadapan denganku. Aku juga kerabat orangtuamu.”

Aku mengernyitkan dahi keheranan. Lamat-lamat kuamati foto lama di tanganku kini, melihat pendaran bahagia kedua orangtuaku yang berdiri diapit orang asing yang tak kukenal. Foto ini seperti foto di atas perapian paman John. Melihat Alison, aku jadi berpikir, jangan-jangan dia yang membunuh paman John karena keberadaannya tidak kuketahui.

Sesosok wanita menarik perhatianku dari rambutnya yang hitam legam dan sorot mata tegas. Senyum simpul diulasnya. Menurutku, senyum itu lebih misterius daripada senyum Mona Lisa. Bukan itu yang membuatku tertegun. Aku seolah pernah melihatnya, entah di mana.

Sepertinya kalau kujelajahi kota ini tidak masalah karena aku juga membutuhkan adaptasi. Aku menyusuri toko-toko yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah Dr. Mandingo. Salah satu toko kumasuki setelah tertarik melihat sebuah senapan angin dipajang di etalase. Aku tidak punya cukup uang membeli salah satunya. Lagipula aku sudah memiliki satu senjata. Ya walaupun aku berkeinginan kuat memegang senjata seperti HK MP5. Tapi menurutku, di sini tidak dijual senjata macam itu secara legal maupun ilegal.

Setelah puas melihat senjata-senjata yang menggiurkan di toko itu, aku keluar lagi, berjalan lebih cepat sampai akhirnya menjatuhkan pilihanku pada sebuah kafe kecil. Aku masuk ke dalamnya, memanggil seorang pelayan yang dari papan namanya bernama Theresia, lantas memesan satu cappuccino. Dari dulu aku tidak menyukai kopi, tapi aku lebih suka menikmati cappuccino.

Tanpa sengaja, sebuah berita yang ditayangkan di televisi menarik perhatianku. Berita mengenai kasus pembunuhan dengan jejak yang sama sampai tahun ini. Salah satu yang disebut adalah nama ibu dan pamanku sehingga hal tersebut membuatku menghentikan sejenak perhatianku, terpusat pada berita di televisi itu. Kudengarkan baik-baik informasi pembaca berita, sampai telingaku memberikan rspon saat dia menyebut kata Red Circle.

“Aku sudah berusaha sampai sekarang menyelidiki pembunuhan dengan kasus yang sama,” seseorang mengagetkanku di sebelah. Aku menoleh ke arahnya, melihat seorang gadis berambut cokelat tengah menyeruput kopinya. Mataku menangkap sebuah rokok yang menyala di atas asbak di sebelah tangannya. “Setiap hari aku berkunjung kemari. Dan, aku tidak pernah melihatmu di sini.”

Aku mengerjapkan mataku sejenak. “Oh, aku baru pindah.”

Dia mengulurkan tangannya, seperti tanda perkenalan. “Destiny Cyrus, detektif bayaran.”

Kusambut uluran tangan gadis tersebut seraya mengulaskan senyum manis. “Christalique Lutherwood.” Kembali kuingat ucapan terakhir Destiny tadi yang menyebut bahwa dia adalah detektif bayaran. “Detektif bayaran, maksudnya… ilegal?”

Destiny terkekeh pelan. “Bisa dibilang begitu. Tapi soal kasus itu…” Dia menunjuk televisi yang masih menampilkan berita serupa. “Aku sudah lama mencoba menyelidikinya karena salah satu rekanku ditemukan tewas dengan kasus yang sama. Sebelumnya dia diculik, lantas polisi menemukan mayatnya di sebelah tempat pembuangan sampah. Aku menyadari adanya kesamaan kasus pada mereka ketika menemukan simbol pada tubuh mereka. Termasuk pada tubuh rekanku.”

Aku mengedipkan mata berkali-kali, tidak mengerti apa maksudnya. “Tolong jelaskan lebih signifikan.”

Destiny menghela napas panjang sebelum menghisap rokoknya tadi. “Kasus pembunuhan yang terjadi selama bertahun-tahun, secara misterius, dan meninggalkan tanda yang sama. Aku tertarik menyelidiki kasus ini setelah kawanku ikut menjadi korbannya. Seperti korban lainnya, tidak ditemukan tanda atau jejak si pembunuh selain kata Red Circle.”

Mendengar dia menyebut Red Circle, kepalaku tersentak.

“Red Circle?” Sudut mataku berkedut tegang. Teringat olehku kalimat itu di kamar paman John setelah dia dibunuh.

“Ya, Red Circle. Benda yang dicari oleh banyak orang, termasuk organisasi berbahaya di dunia.” Destiny menyeruput kopinya sebelum menlanjutkan. “Sebuah benda misterius yang keberadaannya sampai saat ini belum berhasil ditemukan. Benda itu memuat rahasia-rahasia penting, yang tidak boleh diketahui sembarang orang. Bahkan rahasia lukisan Mona Lisa tersimpat dalam benda itu, kode dari Leonardo Da Vinci. Kode Freemasonry, Skull and Bones, Illuminati, bahkan lukisan Michelangelo. Masih banyak yang lainnya, dan itu semua berkumpul menjadi satu di dalam Red Circle. Tidak diketahui secara pastinya siapa pembuat Red Circle.

“Banyak orang di seluruh dunia mengincar Red Circle ini. Bahkan baru kusadari, orang yang bekerja denganku juga mengincar benda itu. Saat aku mendapatkan tugas menyelidiki salah seorang pembunuh bayaran, dia menyebut bosnya juga menginginkan Red Circle. Dan, aku tertarik mencari Red Circle ini. Karena apabila jatuh di tangan orang yang salah, aku khawatir mereka menggunakannya untuk memonopoli dunia.”

Kutelan setiap informasi yang diberikan Destiny padaku. Sepanjang berpikir lebih tentang Red Circle, pikiranku mulai berspekulasi mengenai apa dan di mana keberadaan Red Circle. Apabila mereka, pemburu Red Circle, membunuh orangtuaku beserta paman John, itu berarti keberadaannya diketahui oleh keluargaku. Dan, aku satu-satunya dari keluarga Dalton maupun Evergreen yang masih hidup. Itukah sebabnya ayahku mengubah namaku menjadi Christalique Lutherwood? Apakah dia khawatir para pencari Red Circle memburuku? Tapi aku sendiri tidak tahu keberadaan Red Circle. Mendadak aku tertarik untuk terjun membantu Destiny mengingat kasus membunuhan misterius yang terjadi sampai sekarang menyangkut pautkan orangtuaku dan paman John.

“Bolehkah aku membantumu mencari keberadaan Red Circle dan membongkar kasus pembunuhan yang tengah kauselidiki?”

Destiny membuka bibirnya seolah ingin membantah. Namun, dia mengatupkan bibirnya, mengubahnya menjadi senyuman manis, kemudian mengulurkan tangan. “Kita menjadi rekan sekarang, Christalique Lutherwood.”

Dan, aku tersenyum lebar.

Justin’s Point of View

Perjalanan yang seharusnya mengantarku ke Philadelphia harus berbelok menuju Paris ketika sebuah panggilan dari bos kuterima detik itu juga. Padahal aku sudah bersiap memanaskan mobil untuk perjalananku ke Philadelphia, namun bos sialanku harus membelokkan arah tujuan dengan alasan ‘keamanan’ dari organisasi lain.

Maka, di sinilah aku berada, mengantri di loket imigrasi sambil menunggu petugas imigrasi mengecek pasporku. Sementara Barbara menunggu di belakang.

“Selamat menempuh perjalanan menuju Paris, Mr. Michael Mallette.”

Aku menerima pasporku kembali, menunggu Barbara di tempat lain seraya membaca pesan dari bos.

From: Bitch

Museum Louvre

Aku memutar bola mata jengah. Setelah membatalkan arah tujuanku, sekarang dia menyuruhku pergi ke Paris, menemuinya, dan bersembunyi di sana untuk sementara waktu karena posisi kami yang tidak aman. Pemimpin organisasi lain ternyata sudah sampai terlebih dahulu di tempat jejak Red Circle. Apabila aku gegabah menjemput jejak itu dan membawanya bebarengan dengan keberadaan sang pemimpin, matilah kami.

Yang kami lakukan hanyalah memancing jejak Red Circle sampai ke Paris. Dengan begitu kami tidak akan kehilangan jejak Red Circle dan keberadaan kami aman. Well, bukan maksud memuji organisasi rahasia lain, tapi mereka yang juga mengincar Red Circle di Philadelphia, lebih cerdik daripada pemimpin organisasi rahasia yang kuikuti.

Barbara menepuk pundakku. Selanjutnya kami bergegas menyeret kopor masing-masing menuju pesawat yang akan melaju ke Paris.

“Selamat menempuh perjalanan menuju Paris, Ms. Ashlyn Palvin,” tukas Barbara menirukan gaya bicara petugas imigrasi. Barbara tersenyum kecut. “Entah kenapa aku benci nama yang kauberikan padaku.”

Well, lebih baik Ashlyn Palvin yang dikenal sebagai pembunuh daripada Barbara Sheldon andai kau tertangkap polisi. Iya, kan?” Aku melingkarkan lenganku ke arah pundak Barbara, mendekapnya lebih dekat padaku.

Barbara hanya mendengus pelan. “Lebih baik lagi aku mati daripada tertangkap.”

Rachel’s Point of View

Pertama kali aku membawa Destiny masuk ke rumah Dr. Mandingo setelah pertemuan kami. Sampai sekarang dia memanggilku Christalique atau Chris saja. Aku belum berani menyebut nama asliku lantaran usia perkenalan kami. Destiny memandang takjub tiap lekuk rumah Dr. Mandingo. Di setiap langkahnya yang canggung, dia menoleh sekedar mengamati lekuk bangunan klasik nan megah ini.

Pandangannya berhenti pada sebuah lukisan yang menarik perhatiannya. Lukisan yang kutahu mendeskripsikan wajah istri Dr. Mandingo. Wanita cantik di balik senyum memesona serta tatapan hangatnya.

“Itu… siapa?” Tatapan Destiny beralih menuju ke arahku.

“Mrs. Marisol Mandingo. Istri Doktor Mandingo.”

Tak berselang beberapa lama kemudian Dr. Mandingo berjalan menuruni anak tangga dibantu tongkat tuanya menyambut kami. Bibirnya tertarik membentuk senyuman ramah untuk Destiny seakan-akan mereka sudah saling mengenal.

“Selamat pagi, Sir,” kata Destiny sopan sambil membungkuk memberikan hormat.

“Jangan terlalu formal, Nak.” Dr. Mandingo mendekati kami. Hari ini tidak ada yang berbeda dari penampilannya. Kecuali bahwa dia melepas kacamata gantung yang selalu dikenakannya. “Teman Rachel juga temanku.”

“Rachel?”

Aku melengos. Sekarang Destiny akan mengetahui identitas diriku yang sebenarnya dan penyamaran yang dibuat ayahku sia-sia belaka.

“Ya, Rachel.” Dr. Mandingo menatapku lurus-lurus. “Aku mempercayainya, Nak.” Setelah mengatakan itu, Dr. Mandingo mengerling dan melenggang meninggalkan kami, menuju ke ruang lain—sebelumnya Dr. Mandingo memberiku perintah agar tidak memasuki ruangan itu dalam keadaan apapun. Kalau dipikir-pikir, sepertinya Dr. Mandingo tahu bahwa ayahku berusaha menutupi identitasku agar aman dari musuh-musuhnya. Yang jadi persoalan di bayangan pikiranku, bagaimana bisa dia menyimpulkan secara cepat bahwa dia mempercayai Destiny?

Sekarang aku mendapatkan tatapan mengintimidasi dari Destiny. “Oke, kenapa kau berbohong padaku?”

Aku menarik napas panjang. “Maaf. Ayahku mencoba melindungiku dari bahaya dengan mengubah nama dan identitasku.”

“Kenapa?”

“Karena…” Aku berhenti sekedar berpikir sejenak. Sebenarnya aku juga bingung, apa prioritas utama ayahku mengubah identitasku. Antara karena dia anggota FBI dan karena Red Circle itu. “Aku sendiri tidak tahu.”

Apabila Dr. Mandingo mengenal orangtuaku dan paman John, itu artinya dia juga tahu suatu hal mengenai Red Circle. Apalagi soal foto yang pernah kulihat dan ditunjukkan oleh Dr. Mandingo. Sebelum aku menyimpulkan hal seperti itu, aku harus tahu terlebih dulu apakah Dr. Mandingo sekedar teman atau justru lebih dari teman bagi orangtuaku dan paman John.

Aku duduk di sebelah Dr. Mandingo ketika dia sibuk menulis sesuatu di depan perapian. Ditatapnya aku dari balik kacamatanya yang dipicingkan. Senyum hangat itu tak pernah lepas; bahkan sanggup membuatku nyaman berada di dekatnya seolah dia pernah mengasuhku lama.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu saja.”

“Apakah ini semacam perwalian bagiku karena aku menjadi sebatang kara?” Aku memutuskan untuk basa-basi saja terlebih dulu.

Dr. Mandingo mengubah raut wajahnya seketika. Dia meletakkan pena tinta serta kertas yang dipegangnya di atas meja. “Tentu saja. Mulai sekarang kau akan tinggal di sini. Aku akan merawatmu, semampuku, Rachel.”

Aku tersenyum simpul.

“Mengenai pembunuhan paman John. Ada pesan yang ditinggalkan di sana, mengatakan bahwa mereka membutuhkan Red Circle. Kau tahu apa itu Red Circle?”

Kepala Dr. Mandingo tersentak pelan mendengar pertanyaanku. Aku sudah yakin bahwa ada yang disembunyikan oleh mereka. Mengenai Red Circle, kasus pembunuhan itu, segala hal yang berhubungan satu sama lain. Apalagi menurut yang diceritakan Destiny, Red Circle adalah temuan terbesar sepanjang abad. Benda yang berisi pemecahan kode Leonardo Da Vinci dalam lukisan Mona Lisa, serta kode-kode rahasia dunia lainnya. Selama ini aku hanya membaca dari novel karangan Dan Brown mengenai kode Da Vinci. Namun, sekarang aku justru dihadapkannya secara rill.

“Ini sudah malam. Kau harus segera tidur, Rachel.”

“Aku belum mengantuk. Sedikit menceritakan Red Circle bolehlah.”

Dr. Mandingo terkekeh pelan. Mendadak kami dikejutkan oleh kedatangan Emilee yang membawa baki. Segelas air putih dan pil yang diwadahi botol kecil berada di atas baki tersebut.

“Maaf, Ms. Dalton. Tapi Doktor Mandingo memerlukan istirahat setelah minum obatnya,” katanya ketus.

Aku melenguh. Meskipun tidak mau begitu saja mengalah pada keadaan, pada akhirnya kakiku bergerak, beranjak dari sofa, dan meninggalkan Dr. Mandingo bersama Emilee untuk minum obatnya. Mungkin saat ini waktu belum memperbolehkanku membicarakan perihal Red Circle, benda misterius dan penuh teka-teki yang saat ini tengah diburu banyak orang.

Hell yeah, sekarang gue udah jelasin apa itu Red Circle dan konfliknya akan dimulai di chapter berikutnya :3 Tinggalkan jejak setelah membaca please?

Continue Reading