BROKEN WING

By sheislany

785K 54.2K 1.1K

Bermaksud membenahi kehidupannya yang hancur, Abigail 'Abby' Quin pergi dari kehidupan menarinya di London m... More

PROLOG
#1 The best you can do is Do It
#3 Another opportunity for New Hope
#4 The limit is When You Stop Trying
#5 To Recover Pain of Heart is only Another Love
#6 No pain no Gain
#7 Exercises make Perfect
#8 Night of Pleasure
#9 It's Hard to Say the Truth
#10 The Time Goes By
#11 I Can't Take My Eyes of You Even It's Hurt
#12 A Walk To Remember
# 13 The Abby's
# 14 Panic for Jealous
#15 Claimed to be Mine
#16 Nobody But You
#17 Love Is The Greatest Support
#18 I Know You The Best
Epilog

#2 There is no Coincidental only Destiny.

46.3K 2.8K 103
By sheislany

Sebagai mahasiswa NYU tingkat 3 di jurusan seni Pertunjukkan, Ken berusaha keras untuk selalu fokus menyelesaikan kuliahnya. Ia beruntung bisa masuk NYU dan karena nilainya sangat memuaskan, ia selalu bisa mendapat beasiswa untuk biaya kuliahnya. Ia juga bekerja sebagai bartender di Hotel Ascott demi tambahan biaya. Ia bertekad untuk lulus tepat waktu. Ia mungkin miskin tapi pastinya ia tidak bodoh.

Saat ini ia tinggal bersama bibinya. Tepatnya saat usianya 15th sejak kecelakaan orangtuanya. Bibinya yang tidak menikah lagi, menerimanya tinggal bersama dan merawatnya. Bibinya pemilik sekolah ballet kecil untuk anak-anak dan juga mengajar.

Bibinya tidak pernah menyuruhnya belajar menari, ia tertarik karena minatnya sendiri untuk menari. Walau bukan ballet, ia lebih tertarik menarikan aliran modern seperti kontemporer, hip hop, breakdance, street dance, yang tidak perlu teknik tinggi serumit ballet.

Ia tergabung dengan grup street dance yang selalu latihan pada waktu tertentu karena mereka semua juga bekerja. Mereka juga mengadakan pertunjukkan di taman, diskotik atau event tertentu. Dan tidak lama lagi, mereka akan ikut kompetisi street dance se Amerika dengan hadiah 10 ribu dollar.

"Ken, kita harus mencari gerakan lain. Gerakan-gerakan kita sudah terlalu biasa dan tidak layak untuk kompetisi. Drew dan Ange sudah survey grup-grup yang ikut dan profil mereka sangat bagus dan fresh." Jack mengamati rekan-rekan mereka yang lain berlatih gerakan baru yang diajarkan okeh Jennifer.

Ken mengiyakan kata-kata Jack dalam hati. Gerakan-gerakan yang Jennifer ajarkan hampir jelas-jelas menjiplak film Step up 2 dan 3. Udara sore mulai terasa dingin. Tubuhnya lelah karena setelah selesai shift pagi langsung ke tempat latihan di sudut square park, tapi menari membuatnya bersemangat. Banyak komunitas-komunitas menari berlatih disitu, tergantung siapa yang datang lebih dulu.

"Akan kita diskusikan setelah ini. Ayo kita latih gerakan yang kita buat sebelumnya," ajak Ken pada Jack.

Jack mengangguk dan ikut berdiri. Posturnya lebih kekar dari pada Ken, sedikit lebih pendek. Tapi gerakannya sama enerjik dan lincahnya. Ia teman dekat Ken dan selalu menari bersama. Grup ini pun bentukan mereka.

Duo Jack dan Ken adalah sesuatu yang menarik dan ditunggu. Gerakan mereka saling melengkapi dan kompak. Banyak gerakan akrobatik dan sedikit berbahaya. Perlu latihan yang sangat sering dan kompak. Suatu pertunjukkan istimewa saat mereka menari bersama hingga membuat yang lewat berhenti untuk melihat dan mengagumi mereka.

Sepasang mata biru keunguan menatap mereka dengan penuh minat. Berdiri teguh sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket kulitnya. Mata jelinya melihat banyak kesalahan teknik yang pada taraf tertentu akan membuat gerakan berat juga berbahaya. Tapi gerakan mereka sangat menarik, indah, energik dan menyenangkan. Membuatnya terpikat.

Terlebih lagi, ia mengenal salah satu penari itu. Walau telah berganti penampilan rapi dan necis ala agen rahasia ke penampilan casual celana pendek bahan warna coklat dipadu t-shirt putih dengan jaket sport biru. Sepatu pantofel mengkilatnya telah diganti dengan sepatu coverse lusuh nyaman. Rambut nya digerai, ah ternyata panjangnya melewati tengkuk. Hanya satu perubahan yang membuatnya terpana, ekspresi dinginnya berubah penuh antusiasme saat menari. Ketampanannya bersinar dengan mengagumkan. Aura yang ia kenal. Seorang bintang. Seperti Amanda.

Abby mendekat setelah tarian itu selesai dan orang-orang yang menonton selesai bertepuk tangan dan bubar mengosongkan tempat.

Ken masih sibuk mengatur nafasnya dan tersentak saat melihat Miss Abigail mendekat. Gadis itu menatapnya dengan sorot dalam yang mendebarkan.

"Miss Abigail..." Ken mengangguk pelan memberi hormat, masih terengah.

"Abby saja. Aku lupa belum menanyakan namamu." Abby sampai dihadapan Ken dan bertanya santai.

"Kendrick Xavier. Semua memanggilku Ken."

"Kebetulan sekali kita bertemu disini. Kau ternyata seorang penari bukan supir?" selidik Abby.

"Ada masalah dengan itu?" Ken mengatakannya dengan tajam dan dalam.

Abby mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum tipis. "Ah mudah tersinggung." Abby berdecak. "Pantas saja setiap gerakanmu selalu terlambat satu nafas. Hati-hati, jika terus melakukannya, gerakanmu akan semakin berat dan staminamu menurun."

Ken tersentak dan membenarkan penilaian Abby. Mereka bertatapan. Tapi Abby memutuskan saling tatap itu dengan berbalik dan pergi. Rambut hitam panjangnya berkibar menyentuh punggungnya diterpa angin musim semi. Dan Ken masih belum pulih dari rasa kagetnya.

Siapa Abby sebenarnya?. Mengapa ia bisa tahu kondisinya hanya dengan melihat?. Perlu seseorang yang sangat ahli berkomentar seperti itu!!!.

Ia bergerak untuk mengejar Abby dan mencari tahu. Tapi gadis itu telah menghilang dibalik kerumunan pengunjung square park yang selalu ramai di sabtu sore. Ken mencari penasaran dan menatap sekeliling dengan nafas terengah. Mengabaikan tatapan tertarik para kaum hawa padanya, yang selalu ia dapati dan kemudian ia abaikan dengan dingin dan acuh.

"Ada apa, kau seperti orang panik setelah bertemu gadis mungil itu, siapa dia? pengagum barumu? manis sekali," Jack berkomentar dan menggodanya saat Ken memutuskan untuk kembali ke timnya. Mereka sedang berbenah untuk pulang atau sekedar ngumpul bareng untuk makan malam bersama di restauran cepat saji murah.

"Dia bahkan tidak menatapku dengan kagum" gumam Ken, ia membungkuk meraih ransel dan mengecek poselnya. Hanya SMS dari bibinya agar ia jangan lupa makan malam.

"Apa?" Jack tidak percaya ada perempuan yang tidak menatap Ken dengan terkagum-kagum. "Bahkan yang nggak normal saja masih sempat terkagum-kagum padamu!"

"Kau tahu aku lebih dari sekedar tampang ini. Tapi gadis ini memperingatkanku soal pengaturan nafas yang selalu bibiku peringatkan padaku... menjaga kestabilan gerak dan stamina. Gadis ini tahu hanya dengan sekali saja melihat kita menari!"

Jack bersiul, "pasti membuatmu penasaran setengah mati ya?, gadis yang tidak terpesona padamu dan sepertinya ahli dalam tarian."

Dalam agenda pribadi Ken, cinta adalah hambatan yang tidak ia butuhkan. Ia dan perempuan punya masalah besar. Ia mudah melepas mereka, tapi mereka tidak mudah melepasnya. Jadi, Ken menghindar jauh-jauh dari para perempuan yang hanya tergila-gila dengan tampang dan tubuhnya. Ia lebih suka hubungan tanpa komitmen yang tidak akan mengganggu agenda masa depannya.

"Kau bicara ngawur. ayo kita makan, aku lapar." Ken menanggapi acuh perkataan Jack walau ada benarnya. Ia selalu tertarik pada perempuan yang membuatnya penasaran.

Abby jelas membuatnya penasaran.

*******

Trevor Ascott terlahir dan dibesarkan sebagai pewaris usaha hotel yang ayahnya bangun. Untungnya, ia memiliki minat yang sama dan belajar bisnis sejak ia sudah bisa menambah dan mengurangi dengan sangat lancar. Ia dididik penuh kasih sayang oleh orang tuanya dan tumbuh menjadi pria yang paling diminati wanita manapun di dunia. Tampan dan kaya. Sempurna.

Tapi ia pernah dikhianati dan dikecewakan. Cinta pertamanya hanya tertarik pada kedudukan dan hartanya. Bukan dirinya. Kenyataan bahwa apa yang ia miliki membuatnya mustahil mendapat cinta sejati seperti yang dimiliki orang tuanya.

Ia berubah menjadi begitu sinis dan hanya terfokus pada pendidikannya. Ia bersama banyak perempuan untuk kemudian ia campakkan begitu saja. Ia tidak percaya ada perempuan yang mencintainya apa adanya.

Kedatangan Abby, sepupunya melembutkan kesinisannya. Melihat Abby, ia teringat Sarah. Walau Abby bukan Sarah, tapi karakternya yang lembut membuat Abby sangat mudah dicintai. Dan Abby satu-satunya gadis yang ia kenal tidak cerewet soal penampilan, heboh soal berbelanja, atau membicarakan pesta. Singkatnya, Abby itu kalem, tidak macam-macam. Dan Trev sangat protektif pada orang-orang yang ia sayangi, terutama keluarganya.

Melihat gadis itu mendekati sosok pria penari yang lebih jangkung dan mengobrol dengannnya, membuat Trev meningkatkan level pengawasannya menjadi level 5!.

Astaga, itu adalah Kendrick Xavier!, mahasiswa jurusan seni yang terkenal dengan karakter seramnya karena sangat dingin dan jarang tersenyum, gosipnya ia memiliki kekasih wanita kaya hingga ia bisa kuliah di NYU. Seorang bad boy. Fakta ia memiliki nilai yang sanga memuaskan hingga mendapat beasiswa dan juga bekerja sebagai bartender di hotel, tidak mampu mengikis gosip negatif soal dirinya.

Ken memiliki penampilan 'bad boy' yang membuat para gadis memimpikan petualangan bersamanya. Dengan Trev, para gadis memimpikan masa depan yang stabil dan mapan. Lalu, Abby melihat Ken dengan persepsi apa?.

Ternyata pembicaraan Ken dan Abby sangat singkat. Abby langsung berbalik cepat menuju tempat tadi ia permisi meninggalkan Trev untuk melihat kerumunan orang. Wajah Abby tidak menunjukkan ekspresi apapun selain pipi merona karena angin dingin musim semi.

"Kau kenal Kendrick?"

"Kau kenal?"

Trev selalu menganggap berbincang dengan Abby sangat menarik. Abby tidak sepenuhnya mau memberi jawaban spontan. Melainkan pertanyaan spontan. Fakta bahwa Abby tahu kalau Trev melihatnya bercakap-cakap dengan Ken itu artinya Abby mengenalnya, pertanyaan Trev sangat ... basi!.

Ia kemudian merangkul Abby dan menyodorkan kopi mocca yang Abby titipkan tadi padanya. Mereka melangkah menuju lautan pengunjung Square park.

"Ken itu salah satu mahasiswa jurusan seni di NYU. Dia lumayan populer, makanya aku tahu." Trev menjelaskan dengan singkat.

"Jika sampai membuatmu tahu soal kepopulerannya, aku tidak percaya. Pasti lebih dari itu!," Abby melirik penuh selidik. Ia tidak meminta Trev menjelaskan, tapi caranya mengatakan menggelitik sebuah penjelasan.

"Dia kerja sebagai bartender di bar hotel Ascott. Nah kau sendiri bahkan belum masuk kuliah tapi sudah mengenalnya, hayo kenal dimana?," Trev mengucek puncak kepala Abby.

Abby tertawa dan menghindar dari tangan Trev, "Dia menjemputku waktu tiba di Bandara."

"Harusnya, Erick yang menjemputmu ..."

"Mungkin Mr. Guaranimo berhalangan, jangan dipermasalahkan. Ia sudah sangat baik mengatur orang lain untuk menjemputku. Dan Ken supir yang tidak banyak bicara juga sangat ... sopan." Abby mencengkram lengan jaket bulu domba halus milik Erick, memintanya untuk tidak macam-macam secara tersirat.

Trev menatap Abby penuh sayang. Hatinya yang baik dan tidak mau menyulitkan orang lain kadang membuatnya kagum juga kesal. Trev mengangguk dan mengulurkan lengannya untuk merangkul Abby lagi.

Abby tersenyum dan masuk dalam rengkuhan lengan kokoh Trev. Merasa aman dan nyaman. Tidak perduli pada pandangan para gadis yang melirik Trev penuh kagum kemudian memandang Abby dengan dahi mengernyit tidak setuju dan iri. Keluarga mereka memang akrab dan hangat, terutama dari pihak Ascott dimana yang ada hanya paman dan ibu Abby. Selebihnya sudah tiada. Abby sudah menganggap Trev abangnya dan Trev sudah menetapkan kalau Abby adalah pengganti Sarah, adiknya.

Terkadang ia merasa Trev yang begitu tampan dengan rambut pirang, mata sebiru safir, tubuh tinggi atletis, otak pintar, dan kepribadian yang ramah juga sopan, mengapa tidak bisa mendapat pacar?. Tapi setelah kejadian dengan Patricia, mantan pacarnya yang berselingkuh dengan sahabat Trev sendiri, Abby tidak mau lagi bertanya-tanya. Sulit bagi Trev mendapat kekasih yang sungguh-sungguh mencintainya. Meski banyak perempuan selalu menempel padanya seperti kutu, bagi Trev mereka semua adalah selingan yang menyenangkan. Jika mulai menghisap darahnya, ia akan menepisnya secepat mungkin.

Sungguh, Abby berharap Trev memiliki kekasih yang mencintainya dengan tulus. Walau ia belum pernah pacaran seumur hidupnya ia tahu rasanya cinta tak berbalas dan seberapa bahagia jika cinta itu berbalas. Karena ia pernah tertarik pada seorang cowok. Hanya saja, cowok itu lebih tertarik pada Amanda, kakaknya. Sepertinya, setiap laki-laki yang dekat dengannya selalu tertarik pada Amanda yang cantik dan seksi. Abby sadar ia hanya manis dan imut. Penampilannya kurang mengugah hasrat kebanyakan laki-laki yang lebih suka gadis seksi berisi dan cantik.

Abby akhirnya hanya bisa memendam rasa sukanya. Cinta yang membara dan luar biasa tidak mungkin mampir dalam hidupnya. Tidak, jika ada yang lebih menarik dari dirinya.

*******

NYU

Abby tersesat. Ia yakin kalau sepertinya ia sudah mengikuti petunjuk salah seorang mahasiswi tadi saat ia bertanya soal kelas yang akan ia masuki hari ini. Kelas sejarah tari kontemporer. Gedung barat khusus untuk Fakultas Seni dan komunikasi. Ruangannya berada di lantai 3 dengan nomor ruangan 310.

Menunduk membaca kertas daftar jadwal program studi semester itu ditengah koridor ruangan yang tiba-tiba ramai karena pergantian ruangan. Ia tiba-tiba merasa panik karena tidak biasa dengan kegamangan dan kebingungan yang ia alami. Ini benar-benar lingkungan berbeda dengan kecepatan gerak khas orang Amerika yang terlihat selalu terburu-buru. Ia menyesal menolak tawaran Trev untuk mengantarnya. Tapi lagi-lagi sifat segannya menolak tawaran itu.

"Kau tersesat?," suara berat menegur dari arah samping.

Abby langsung menoleh dan melihat Ken berdiri disana dengan menjinjing sebuah buku text book setebal 2 inci, mengenakan kacamata bergagang mika warna biru army tapi tanpa frame. Rambutnya diikat setengah kepala. Ia mengenakan jeans, tshirt hitam dan jaket kulit biker. Tas ransel kulitnya tersampir disebelah pundaknya. Penampilan Ken di kampus kontradikif dengan yang ia dapati sebelumnya tapi tetap menarik.

"Uh...sepertinya begitu, aku bingung." Abby mengangguk dan menghela nafas lega.

"Coba lihat daftarmu." Ken mengulurkan jemarinya meminta kertas dalam genggaman Abby. Abby menyerahkan tanpa ragu

Ken terpaku melihat detail jurusan yang Abby ambil. Fine Art of Dance, tahun ke - 3 semester 5. Program study sebagian besar kelas praktek sudah dijalani dan dikonversi, kelas teori juga di konversi, asal sekolah sebelumnya: Royal Ballet School, London, Inggris. Usianya....17 th!!! sudah tingkat 3?!.

Menatap Abby dengan tatapan kaget, sementara Abby menunggu sabar dengan ekspresi penuh tanya yang polos. Ken menelan ludah dan mengembalikan lembaran kertas-kertas itu. Ia berusaha mengendalikan dirinya. "Ayo kuantarkan, kau dilorong yang salah."

"Salah?!, Aduh, aku memang buta arah..." gumam Abby sambil melipat kertasnya dan diselipkan disaku depan tas selempangnya.

Ken tidak berkomentar dan hanya jalan terus di hadapan Abby. Abby mengekor tanpa banyak kata lagi, karena sepertinya Ken tidak mau bercakap-cakap. Cowok arogan menyebalkan yang kaku dan dingin. Manusia kutub!. Tapi.... Ken mau sampai mengantarnya, itu artinya hatinya baik.

Namun sepanjang jalan, semua mata melirik ke arah mereka dengan tatapan spekulasi. Seakan baru kali itu Ken berjalan dengan orang lain. Atau bagaimana bisa ia berjalan di sisi cowok itu?, Ken berjalan dengan amat tenang, tidak lirik kanan kiri untuk menegur. Sikapnya jelas seperti orang sombong juga dingin.

Ken berhenti di sebuah ruangan dengan plat kecil di tengahnya, 310A, artinya lorong A. Ah pantas ia tidak sampai-sampai. Abby meringis.

"Kelasmu"

"Ah....terima kasih."

Mereka bertatapan sesaat dan kemudian Ken berbalik pergi dari hadapan Abby. Abby menatap sosok itu lekat. Karakternya aneh dan sulit didekati. Abby mendesah dan masuk. Kuliahnya telah dimulai.

Selama hidupnya, ia home schooling. Ia bergaul hanya saat dikelas balet. Itupun di penuhi persaingan. Mereka berebut posisi untuk peran tertentu, kemudian latihan gila-gilaan demi merebut peran tersebut saat audisi. Dunianya keras ditempa oleh latihan dan persaingan. Namun begitu kompetisi sehat tidak selalu ada. Abby kenyang akan hal itu dan didewasakan oleh persaingan ketat dan keras dunia ballet. Kondisi itu tidak membuat Abby memiliki banyak teman, terlebih jika mereka tahu ia adik seorang prima ballerina, Amanda Quin, yang sudah pasti dikaitkan dengan keberadaan orang tuanya, Peter dan Gwen Quin. Ayahnya direktur seni di RBS, ibunya seorang koreografer ballet terkenal.

Oleh karena itu sepanjang hidupnya, ia berusaha membuktikan diri bahwa apa yang ia dapatkan bukan karena peranan keluarganya yang tersohor di dunia ballet.

Disini ia tidak dikenal dan dikaitkan dengan mereka. Disini ia hanyalah individu bernama Abigail Quin. Pelajar asing transferan dari Inggris. Dan ia berniat membenahi hidupnya yang tiba-tiba berubah.

Ia duduk disamping seorang gadis dengan rambut merah gelap mencolok, warna matanya hijau zambrut, dan kulitnya nyaris pucat. Rambutnya pendek berpotongan tajam ala harajuku. Saat menoleh dan memandang Abby, ia tersenyum.

"Hai," suaranya serak, terdengar seksi. menurut Abby, gadis itu sangat ... menarik. Semua perpaduan warna fisiknya begitu penuh warna. Senyumnya secerah padang rumput dipenuhi bunga.

"Hai, ada yang menempati?" tanya Abby sopan.

"Tidak ada, duduklah." Gadis itu menggeleng. Mata hijaunya mengamati Abby cermat. "Apa kau baru?"

"Ah iya." Abby mengangguk malu-malu.

Tatapan pemahaman muncul dan gadis itu mengulurkan tangannya, "Namaku Ange, Angeline Boas. Senang bertemu denganmu"

"Abby, Abigail Quin senang berkenalan denganmu juga" Abby menyambut uluran tangan Ange.

Abby dan Ange saling menyeringai, lalu dosen datang dan kuliahpun dimulai. Anehnya, Ange sama sekali tidak mencatat bahkan memperhatikan, ia malahan asyik membaca buku hukum !!!. Abby melirik papan tulis, materinya cocok dengan jadwal. Apa Ange salah tempat?

Ange tertawa hingga terbahak mendengar komentar Abby setelah mata kuliah itu berakhir. "Maaf aku nggak sempat bilang sama kamu kalau yang tadi mengajar itu adalah kakekku. Aku menemaninya kesini karena dia dosen tamu. Aku mahasiswi hukum tingkat 3 dan hari ini sedang libur."

Abby pun ikut tertawa. Tawa Ange menular dengan suara indah mengalun. "Jadi Abigail Quin, apa kisahmu? aksenmu jelas sekali kalau kau orang Inggris."

"Betul. Tadinya aku sekolah disana, karena ada masalah, aku memutuskan pindah." Abby menjelaskan sesingkat mungkin.

Tapi tatapan Ange menyipit mengamati kemudian ia hanya tersenyum tipis. "Kalau begitu, Selamat datang di NYU. Apa habis ini kau ada kelas?."

Abby membuka jadwalnya lagi, "Tidak. Nanti jam 3 ada praktek tapi aku sudah pernah mengambil kelas itu sebelumnya. Kurasa hari ini aku free."

"Bagus, aku akan mengajakmu tur ke seluruh NYU terutama gedung ini sebagai base camp utamamu. Ayo." Ange mengisyaratkan dengan kepalanya.

Ange tipikal gadis yang sangat mencintai hidup. Agak tomboy tapi itu hanya masalah kebebasan gerak. Humornya segar terkadang sinis.

Ia bercerita kalau asalnya dari Dallas, tapi ia mendapat beasiswa dari jalur olah raga renang. Kakeknya seorang peneliti seni. Tepatnya pengumpul data seni dari berbagai cabang.

Orang tua Ange memiliki peternakan di Dallas dan bertani juga. Ia punya 2 abang, yang tertua masuk AL, yang kedua menjadi insinyur pertanian dan melanjutkan usaha ayahnya.

Menyenangkan bicara dengannya. Berterima kasih karena sudah begitu baik menjadi guide kampus baginya. Ange mengajak makan es krim sambil berjalan-jalan, katanya, "setidaknya kau bisa makan es tanpa rasa bersalah."

"Kau pendiam ya. Tapi selalu tersenyum dan ikut tertawa." Komentar Ange kemudian karena sejak tadi ia lebih banyak bicara.

"Aku tidak sering bersosialisasi. Dari kecil, aku lebih sering latihan dari pada bersantai dengan teman-teman. Jadi aku tidak pintar memulai topik pembicaraan." Jawab Abby malu-malu.

"Astaga, tempatmu itu sekolah ballet atau biara?." Ange merasa aneh dan menyatakannya dengan blak-blakan.

Abby malah tertawa, "mungkin. Bedanya di biara banyak berdoa, kalau kami terlalu banyak berlatih." Ange pun ikut mentertawakan kata-kata komentar Abby.

"Itukah sebabnya kau tidak menari lagi Abigail Quin? Mereka terlalu menekanmu sehingga urat kaki kirimu putus?," Ange akhirnya mengatakan apa yang ia curigai.

Abby diam. Ange tahu?.

"Kakekku sangat sedih saat kau berhenti menari." Ange tersenyum maklum.

Mereka berhenti dan istirahat di tangga batu gedung serbaguna yang ada di tengah-tengah komplek. Banyak yang duduk dengan aktifitas mereka masing-masing. Udara sedang dalam kondisi menyenangkan untuk bercengkrama diluar ruang.

"Kata kakek saat menontonmu 3 tahun lalu, 'astaga aku melihat titisan Anna Pavlova di panggung. Lihat Ange, Lompatan itu setara dengan energi dan ketinggian penari pria yang luar biasa seperti Nijinsky.' kakekku, salah satu penggemarmu loh. Walau saat itu peranmu tidak mencolok, tapi tarianmu memukau dirinya." Ange bercerita dengan suara antusias. "Lalu setahun lalu ia mendengar dari temannya di London bahwa pertunjukkan batal. Abigail Quin mengalami kecelakaan, urat keseimbangan kaki kirinya putus!!. Ia sangat sedih." Ange menghela nafas.

Abby diam. Halaman komplek NYU sangat indah dan asri. Semua mahasiswa nampak menikmati hari itu di luar. Suara burung terdengar dibalik pohon, kupu-kupu beterbangan diantara bunga. Dunia tetap berputar, hidup terus berjalan.

"Betul, uratku putus saat aku mendarat setelah melakukan lompatan grand jete. 6 bulan lebih aku dalam perawatan dokter dan terus terapi hingga saat ini. Tapi dokter bilang, kemungkinannya amat sangat kecil aku bisa menari ballet lagi. Kehidupanku sehari-hari akan normal-normal saja, tapi untuk ballet, kemungkinan itu akan sangat mustahil." Abby menceritakannya dengan tatapan kosong ke depan.

"Aku kesini untuk melanjutkan hidupku. Sekolah dan mulai mencari kemungkinan baru dalam dunia tari. Entah menjadi kritikus atau pelatih, untungnya pengalamanku menari sejak usia 5 tahun, pengalamanku dipanggung, cukup bagi pihak universitas dan memutuskan aku bisa menempuh pendidikan disini tanpa praktek tari." Abby tersenyum miring.

Ange pendengar yang baik dan tidak berkomentar banyak. Ia menepuk punggung Abby lembut kemudian mereka hanya duduk diam beberapa saat.

"Abby!!!," suara panggilan Trev terdengar dari belakang. Abby dan Ange menoleh.

Trev turun dengan cepat, ekspresinya was-was. "astaga aku meneleponmu dari tadi, apa kau tidak dengar?"

Abby buru-buru berdiri dan merogoh ponsel didalam tasnya. Mode silent masih terpasang dan belum ia ubah sejak keluar kelas. Ada mis call dari Trev sebanyak 7 kali, dan sms.

"Maaf, aku lupa mengganti mode silent di ponselku. Tadi aku sedang berkeliling bersama Ange .... oh iya kenalkan ini teman baruku Angeline Boas, Ange ini sepupuku Trevor Ascott."

Ange pun berdiri dan mengulurkan jemarinya. Trev memandang Ange dan menyambutnya.

"Hai." Sapa Ange singkat sambil tersenyum tipis. "Baiklah Abby, sepertinya sudah ada yang bisa menemanimu sekarang. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi." Ange melambaikan tangan dan menuruni tangga dengan cepat.

Trev menyipit memandang Ange. Sepertinya Trev pernah melihat Ange disuatu tempat. Tapi ia tidak ingat kapan dan dimana .... Angeline Boas?

"Kau mencariku kemana-mana?" Abby memandang Trev yang terlihat lelah. "Maaf ya."

Trev mengalihkan tatapannya pada Abby dan mengusap kepala Abby lembut. "Ayo kita makan, kau sudah makan?"

"Ange tadi mengajakku berkeliling sambil makan hot dog dan es krim. Tapi sekarang aku lapar lagi," Abby nyengir dan terlihat bersemangat. Sepertinya si Ange ini memberi efek positif pada Abby.

"Ayo kita ke kantin kalau begitu." ajak Trev lega karena sudah menemukan Abby. Ayah dan ibunya bisa menggoroknya kalau pulang tanpa Abby.

Kantin itu sangat luas. Harganya standard dan tidak terlalu mahal. Sepanjang jalan banyak yang menyapa Trev terutama para mahasiswi. Sebagian besar melirik Abby tajam dengan spekulasi tinggi. Abby tidak biasa menjadi pusat kecemburuan dalam tingkatan ketertarikan lawan jenis. Hal ini membuat Abby kesal.

"Besok tidak usah menunggu aku atau pulang bareng lagi. Aku tidak suka ditatap penuh rasa dengki hanya karena bersamamu tahu!" Abby mengatakannya sambil membubuhkan merica ke dalam sandwich tunanya.

"Jangan hiraukan mereka. Malah bagus, dengan begitu aku nggak perlu ribet lagi menghadapi mereka." sahut Trev santai.

"Nggak mau!, enak aja. Pokoknya mulai besok jangan jemput aku lagi." Abby melotot. Trev menyembunyikan tawanya.

"Oke, tapi kau yang jelaskan pada Dad dan Mom soal itu ya. Kan kau yang minta," Trev mengingatkan betapa protektifnya orang tua mereka.

Abby lemas, menghadapi paman dan bibinya cerita yang berbeda. Tapi tidak ada salahnya mencoba.

"Oh ya, teman barumu itu, dari fakultas apa?."

"Hukum."

"Loh, kenapa dia bisa ada disitu? Fakultas Hukum satu gedung denganku, pantas sepertinya aku pernah melihatnya." Trev menjentikkan jemari. Tiba-tiba teringat walau ia yakin bukan itu yang menyebabkannya seperti mengenal Ange.

"Kakek Ange dosen tamu di kelasku hari ini. Ia mengantar kakeknya"

"Wow, siapa kakeknya ini?"

"Sebentar... " Abby mengeluarkan buku catatannya, "Prof. Mark DeAngello."

"Seorang kritikus seni." gumam Trev merenung.

Fakta bahwa Trev mengetahui siapa kakek Ange tidak mengherankan karena latar belakang keluarga mereka adalah dari seni, tetap saja membuat Abby kagum. Trev sosok cowok cerdas yang seakan tahu segalanya. Ia membaca semua jenis buku, memprlajari banyak hal dan mengamati banyak hal. Tapi ia menampilkan sosok pemuda kaya tampan yang seakan hanya bersenang-senang dengan kekayaan keluarganya. Padahal tidak begitu. Ia sudah belajar mengelola Ascott hotel sejak usia 13th.

Magang di hotel selama setahun tanpa ada yang tahu siapa ia sebenarnya. Ia mengenal dan mengetahui kenyataan berbisnis hotel. Membuatnya malah jatuh cinta pada bisnis itu. Pengetahuan luas wajib ia ketahui. Penting bagi bisnis dan menghadapi persaingan bisnis. Penampilan luar yang ia tunjukkan hanya kedoknya saja. Dibalik itu, Trev sungguh-sungguh serius menjalani segalanya.

"Kau kenal?"

"Tidak juga. Di Amerika dia cukup terkenal." Trev memberitahu Abby.

"Begitu, aku hanya tahu kritikus asal Inggris dan Rusia saja." Abby merasa tidak enak pada Ange saat ini.

"Tugasmu hanya menari, kritik itu jika hanya menjatuhkanmu, jangan didengar. Tapi kau boleh dengar kritikan Mr. DeAngello, sepanjang pengetahuanku, ia selalu memberi kritikan dengan saran yang membangun." Trev mengangguk takzim.

"Bagaimana kau tahu?" Abby menatap Trev penasaran.

"Patty kan seorang pianis, ingat?"

Patty, Patricia.... mantan Trev. Ah ya, ia hampir lupa. Patricia seorang pianis berbakat. Tentu saja.

"Mmmm...apa kau sudah lupakan dia?" tanya Abby hati-hati.

"Aku berusaha." Trev menghela nafas. "Bagaimanapun, dia cinta pertamaku."

"Sekarang dia dimana?"

"Aku tidak perduli lagi. Apa kita akan membahas ini?" Trev mendelik. Abby mengernyit dan bergumam minta maaf.

*********

Ange mendesah. Yang kuat.

"Kalau ada yang mendengarmu seperti itu, mereka pikir kau punya masalah yang sangat berat, atau ada yang mati tahu!"

Ange langsung siaga dan menoleh. Ken. "Oksigenku kurang karena kau dan Jack menyuruhku mengerjakan pengamatan ini terus menerus!"

"Maaf, tapi kami membutuhkannya." Ken duduk di bangku sebrang meja Ange. Perpustakaan sedang sangat sepi. Mereka selalu berdiskusi disini karena lebih tenang dan referensi yang lengkap.

Ange tidak ikut menari, ia hanya manager grup tari Ken. Sudah 2 tahun ia mengurus grup street dance yang beranggotakan Ken beserta 7 orang yang lain. Ada DJ Drew untuk membuat musik bagi mereka dan merangkap dokumentasi.

"Kau butuh seorang koreografer. Masa tidak ada teman-temanmu yang bisa membantu sih?," Ange mengeluh walau sebenarnya tahu jawabannya.

"Kau tahu aku tidak berteman baik dengan siapapun disini. Mereka menganggapku terlalu menyeramkan untuk didekati."

"Itu kan salahmu. Makanya banyak senyum biar mereka nggak berasumsi kau itu penghisap darah!." Ange mendengus.

"Aku tidak berniat bermanis-manis. Kalau kulakukan, kau tahu yang terjadi kan..."

"ya ya ya, gadis-gadis akan mulai terpesona padamu dan gangguan pun dimulai. Heran, kau ini terlalu PD tahu, aku nggak tertarik padamu tuh." Potong Ange sombong.

Ken terkekeh. "Hanya 3 jenis perempuan yang tidak terpengaruh pada pesona luar biasa seperti aku. Pertama adalah perempuan nggak normal, kedua perempuan buta, dan terakhir perempuan yang sangat cinta pada kekasihnya." Ken berkomentar dengan gaya santai yang jarang ia perlihatkan pada orang lain. Jika ia terus-terusan seperti itu, hati Ange pun akan goyah.

"Dan kau...sangat mencintai seseorang, karena kau jarang akrab dengan satu cowok, pasti ini cinta terpendam. Iya kan?" Ken menebak dengan yakin.

Tapi Ange mengambil jurusan hukum ada alasannya, ia pintar memutar balik fakta. Lalu ia menghela nafas pura-pura bosan, "bagaimana kalau aku memang tidak normal?"

"...."

Ange menang. Ia tertawa tanpa suara membuat Ken dongkol.

Ponsel Ange tiba-tiba bergetar di atas meja, layar menyala, ada pesan. Ange membukanya dan langsung menyelipkan ponsel itu ke dalam saku jeansnya. "Aku harus pergi, kakek sebentar lagi selesai mengajar." Ange meraih tasnya.

"Baiklah, aku akan mempelajari rekaman ini dulu. Kita ketemu dengan teman-teman di tempat biasa." Ken pun beranjak sambil menyimpan sebuah cd ke dalam ranselnya.

"Tadi aku sempat menambahkan satu tambahan video, coba lihat track 6 dan beri aku info." Ange baru teringat. Tadi menunggu Ken, ia mencari di youtube dan mengunduhnya setelah itu.

"Grup yang tidak terduga? Kuda hitam?"

"Tidak. Seseorang yang mungkin akan membantu kita."

Ken langsung bersikap waspada dan tatapan matanya menajam. "Baik, aku akan lihat dan diskusikan dengan Jack dulu. Aku akan menghubungimu."

Mereka berpisah di pintu keluar. Ange ke gedung barat, Ken ke tempat kerjanya.

*******

Peluh mengucur seperti mata air di tubuhnya. Masuk ke matanya dan menimbulkan pedih yang mengalahkan air mata yang akan mengalir karena rasa sakit yang menyambar pergelangan kaki hingga terasa ke ujung kepalanya. Ia tidak pernah mengira, mulai menari lagi akan sesulit ini.

Ia terengah, mengatur nafas. Mulai mengambil posisi. Preparation

Balance ... oke masih oke

Attitude .... sedikit oke, rasa sakit mulai menggigit.

Arabesque .... sial, rasa sakitnya menyambar secepat kilat. Tapi ia melawan rasa sakitnya dan mengambil posisi yang lain dengan tubuh gemetar menahan sakit.

Sissones .... ia langsug tersungkur karena rasa sakit langsung melemahkan keseimbangannya.

Abby memukul lantai kayu. Sialan, sialan, sialaaaan. Yang ia lakukan hanya gerakan dasar ballet. Bahkan gerakan itu untuk para penari anak-anak tingkat dasar! Tapi satupun tidak berhasil ia lakukan dengan benar!!. Tanpa sadar air mata mengalir. Ia duduk sambil meluruskan kaki dan mengistirahatkannya.

Sudah 2 hari ia meminjam ruang latihan paling kecil di kampus ini. 2 hari ia latihan setelah kelas ini selesai dipakai. 2 hari tanpa menyerah pada kondisi kakinya. Dan ia mulai depresi. Rasanya ia ingin membuang kaki tak berguna ini.

Dulu betapa ia menari dengan begitu mudah. Saat usianya 5 th, ia sudah menguasai semua gerakan dasar yang tadi ia coba latih. Sekarang, tiap pose yang ia lakukan sungguh menyakitkan.

Apa ia memang tidak bisa menari lagi? Apa ia harus membuang semua mimpinya? Semua itu sudah menjadi desakan dalam hatinya. Ia sadar ia mungkin tidak akan bisa menari seperti dulu, tapi ... hati kecilnya memberontak. Ia harus melawan rasa sakit ini dan terus berlatih.

Abby kembali berdiri dan berpegangan pada barre. Mengambil nafas, attitude, arabesque .... ia jatuh lagi. Kali ini kakinya sakit luar biasa dan ia berteriak.

Pintu latihan langsung terbuka.

"Apa kau terluka?!" Suara berat itu...

Abby terlalu kesakitan untuk melihat siapa yang datang. Tapi ia kenal suara itu, Ken!. Abby mengerang memegang kaki kirinya.

"Aku akan membawamu ke klinik kampus..."

"JANGAN!!" Abby memekik panik, ia memberontak saat Ken akan menggendong tubuhnya. "Aku tidak mau keluargaku tahu soal ini, kumohon. Kalau mereka tahu, mereka akan memaksaku berhenti. Aku tidak mau berhenti...aku...tidak bisa.."

"APA KAU GILA?!, kalau kau tidak memeriksanya, kau mungkin tidak akan bisa menari lagi selamanya!." Ken membentak tajam. Jemarinya mencengkram lengan Abby kuat dan mengguncangnya.

"Pergilah, ini bukan urusanmu." Abby menatap Ken kali ini dengan jelas. Ia mendorong Ken menjauh dengan keras kepala.

"Kau ini bodoh atau idiot sih, tidak mengerti yang kukatakan!?" tapi Ken tidak mau menjauh begitu saja.

"Dan kau tuli!, aku sudah bilang aku tidak mau ke klinik dan membuat keluargaku heboh!!," Abby ngotot.

Ken menatap Abby mencoba memahami tekad gadis itu. Wajahnya pucat menahan sakit, tapi melotot padanya dengan sangat keras kepala. Tidak mudah menyerah, itulah Abby. Ken terpesona dengan mata biru ungu bulat indah yang melotot padanya tanpa segan.

Dengan berat hati, Ken melepas tangannya dari lengan Abby, baru tersadar bahu terbuka gadis itu begitu halus dan lembut. Bekas cengkramannya yang kuat membekas disana.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu ..." bisik Ken lembut, tapi wajahnya mengeras memandang bekas merah itu.

"Aku tidak apa-apa," Abby menyahut sama pelannya dan bersandar pada kaca di belakangnya, mencoba mengatur nafas. Kakinya masih berdenyut sakit. Mungkin memang harus istirahat, sudah setahun ia tidak menari, tentu saja tubuhnya kaget.

Lalu ia mengamati Ken dan baru sadar, mengapa cowok itu begitu cepat ada disisinya?. Setahunya, semua jadwal praktek habis setelah jam 6, apa lagi ruangan ini jarang dipakai karena agak kecil, biasanya dipakai hanya untuk kelas tambahan.

"Kenapa....kau bisa ada disini?, jadwal praktek sudah tidak ada dari jam 6 tadi ... kau mengikutiku?" Abby menyelidik. Ken ikut duduk bersila dihadapan Abby.

"Apa kau tidak ada cara untuk membuat sakit dikakimu berkurang?" Ken menghindar dari perhatian Abby yang tajam dan cepat.

"Aku nggak mau jawab sebelum kau menjawabku." Abby menyelonjorkan kakinya dan mengeringkan wajahnya dari keringat dengan handuk kecil. Ia protes tanpa ngotot. Santai dan tidak mendesak.

Ken menatapnya lekat. Abby membalas menatap, menunggu, sabar. Ya Tuhan bagaimana kau bisa menciptakan mahluk seindah ini sih? Jantungnya berdebar makin cepat saat mata biru miliknya bertautan dengan mata coklat emas milik Ken. Pria itu memiliki tatapan yang kuat dan tajam. Seakan ingin menelanjangi hungga menyeluruh. Anehnya, Abby tidak gentar, ia menikmati dirinya di tatap sedalam itu. Tetapi ditatap seperti itu oleh pria setampan Ken, jantungnya melemah juga... duh dia kan perempuan normal.

Abby tidak merona, menunduk, atau gelisah dibawah tatapannya. Ken terpesona akan keteguhan diri Abby.

Sudah 2 hari ia mengamati dan membututi Abby. Hari pertama ia melihat betapa keras Abby berlatih lagi, Ken terpesona dengan ketegarannya, dan keindahan geraknya yang alami. Tersadar, bahkan saat Abby melangkah pun, gadis itu bergerak seringan peri. Bahkan walau Abby hanya merentangkan lengannya sekalipun, gerakannya sangat indah.

Setiap kali gadis itu jatuh dan mengerang kesakitan, Ken selalu nyaris membuka pintu untuk membantunya. Tiap kali gadis itu menangis terisak ftustasi, Ken merasa ingin memeluknya dan memohon padanya untuk berhenti saja dari pada ia menyakiti dirinya. Namun yang paling tidak ia mengerti, ia juga senang gadis itu bangkit dengan amat keras kepala, kagum dengan keberaniannya menghadapi kesaktian yang ia alami.

Tadinya Ken ingin langsung mendatanginya terkait video yang Ange kirim. Ia terkejut bagaimana gadis itu menari dengan sangat indah dan teknik tingkat tinggi yang hanya bisa diraih dengan latihan bertahun-tahun. Tarian kontemporernya atraktif dan anehnya menarik. Ada banyak emosi, energi, dan aliran dalam tiap gerakannya. Video itu hanya berdurasi kurang dari 10 menit, tapi Ken menyukai tarian itu dan melihatnya berkali-kali sepanjang malam setelah diskusinya dengan Jack. Mereka setuju meminta Abby untuk membuat koreografi tarian mereka. Biaya yang diminta akan dicari bersama jika Abby meminta bayaran.

Tapi .... Ken tidak bisa memintanya begitu saja setelah tahu apa yang terjadi pada Abby. Jadi itulah mengapa saat pertama bertemu gadis itu seperti menahan sakit dan mengurut kakinya. Ia tidak mengeluh bahkan tidak meminta bantuan.

"Kecelakaan diatas panggung," jelas Ange saat Ken meminta keterangan hari berikutnya setelah mendapati fakta gadis itu tidak bisa menari lagi. "Tidak banyak yang menyadari kejadian itu karena ia terlihat hanya tergeluncir saat mendarat setelah melakukan grand jete dan kebetulan perannya terakhir muncul ya saat itu. Tapi mata profesional kakekku tahu ada yang salah. Tiba-tiba pertunjukkan keesokan harinya perannya diganti orang lain tanpa pejelasan yang positif. Lalu selama setahun, namanya tenggelam begitu saja."

Ken tegang. Bakat yang begitu luar biasa, habis dalam hitungan menit!!!. "Dan tidak ada keterangan apapun?" tanya Ken mendesak.

"Keluarga Quin tutup mulut rapat-rapat. Tapi kolega kakek di London memastikan bahwa Abby mengalami putus urat pada otot keseimbangannya. Setelah dari RS, ia terapi di tempat yang juga tidak di ketahui. Abby tidak muncul lagi. Bahkan di RBS. Ia langsung di DO stelah tidak masuk tanpa kabar, kata Kakek seperti itu." Ange mendesah prihatin. "Sepertinya Abby yang meminta pada keluarganya untuk tetap menjaga rahasia itu. Amanda Quin kakaknya yang seorang prima Ballerina bahkan tutup mulut setiap di wawancara."

Keterangan Ange membuat Ken penasaran. Saat Abby berkeras untuk tidak ke klinik yang otomatis akan membuat keluarganya menyatukan kekuatan membuatnya berhenti menyakiti dirinya, Ken paham mengapa Abby menolak begitu ngotot. Apa yang terjadi di London pasti akan terjadi disini. Ia tidak mau berhenti menari. Tapi juga tidak mau membuat keluarganya cemas.

"Aku mememang mengikutimu..." aku Ken perlahan.

Tidak ada komentar, Abby menunggu keterangan lebih lanjut sambil memiringkan kepalanya.

"Aku butuh bantuanmu....Grup danceku yang kau lihat di square park waktu itu....kami akan mengikuti kompetisi street dance se-Amerika tahun depan. Kami kesulitan mencari koreografer yang bisa memberi kami gaya baru. Aku sudah lihat karya tari kontemporermu..."the begining", menurutku...itu karya yang sangat luar biasa. Kau seakan menggabungkan banyak jenis tarian tanpa terlihat aneh dan absurd, kau .... sangat peka dengan musiknya hingga kau mememilih dan mengatur tarian-tarian itu muncul dalam tiap adegan yang tepat.... karyamu luar biasa Abigail Quin, kuharap kau mau membantu kami."

Hening. Abby tidak menjawab, ia hanya memandangi Ken seakan mencari sesuatu. Pertama kalinya dalam hidup remaja dewasanya, ia gelisah ditatap seorang gadis. Keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya dan ia mulai gugup.

"Kau tahu aku dari mana?" Ange bersidekap.

"Ange. ia menager kami, anak jurusan Hukum. Kata kakeknya yang kritikus seni, kau salah satu penari muda yang sangat berbakat." Sahut Ken cepat.

Abby mendesah lega, Ange .... tentu saja. Kenyataan bahwa Ange mengenal Ken dan manager grup street dance Ken, membuatnya dilanda de Javu. Tapi Abby tidak mengatakan kalau mereka sudah berkenalan.

Abby memejamkan mata sambil mendesah. "Aku lelah dan mau pulang sekarang. Aku akan memikirkan penawaranmu" suara Abby pelan nyaris berbisik. "Walau menurutku, kau cukup bodoh meminta penari gagal seperti aku menjadi koreografer kalian."

"Kau tidak gagal Abigail Quin, itu adalah kecelakaan!." Ken berusaha membuat Abby tidak berpikir negatif pada dirinya sendiri.

Abby membuka matanya dan menatap Ken tajam. "Kecelakaan yang terjadi karena kebodohanku. Karenanya, aku sudah gagal." sahut Abby dingin.

"Kalau begitu bangkitlah dari kegagalanmu. Jangan berbuat bodoh dengan memaksa dirimu hingga kakimu rusak semakin parah!" Ken meraih kaki Abby yang cidera dan meremasnya lembut tapi tegas.

Abby tersentak dengan kebenaran kata-kata Ken. Ken tidak berusaha menenangkan atau memanjakannya. Ia hanya bersikap realistis. Nuraninya tergelitik.

"Kau benar..." gumam Abby sambil menarik kakinya dari tangan Ken. Sentuhan Ken menyengatnya dan itu membuatnya tidak nyaman. "Pulanglah, aku akan memikirkannya. Aku mau mandi dulu. Jangan lupa matikan AC dan tutup pintu," Abby berdiri sambil meraih handuk dan kunci locker. Ia keluar tanpa menunggu Ken berkomentar. Ia berjalan agak pincang tapi terus melangkah tanpa henti bahkan untuk menoleh pada Ken.

Ken mendesah. Tiba-tiba ia merasa kepanasan padahal ruangan itu ber AC. Aroma Abby yang manis memenuhi ruangan itu. Panas keringat yang Abby keluarkan terasa pekat. Sial, kenapa ia jadi merinding begini?!.

Ken akhirnya berdiri dan melakukan yang Abby suruh. Tapi saat ia menutup pintu, ia tidak bisa meninggalkan Abby dan menghawatirkan kondisinya sebelum mengetahui Abby tiba dirumah dengan selamat. Jadi ia memutuskan untuk menunggu.

Tidak sampai satu jam, Abby keluar dari ruang shower wanita. Ia merasa lebih baik, walau kakinya masih nyeri setidaknya tidak sesakit tadi. Abby merapatkan jaketnya dan melangkah menyusuri koridor ke arah halaman. Ia tersentak saat melihat Ken masih disana, duduk menunggunya dengan nyaman sambil membaca dan mendengar musik.

"Kenapa kau belum pulang?," tegur Abby bingung.

Ken menoleh dan langsung membereskan semuanya kedalam ranselnya. "Menunggumu, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendiri dengan kondisi kaki seperti itu. Ayo kuantar, lagipula pula arah rumah kita sasearah kok."

Abby merasa ragu sesaat. Ia tidak akan meminta orang rumah menjemputnya dengan kondisinya seperti ini.

"Ayo cepat, sudah malam, nanti kau malah dicari orang rumah tahu. Malam begini berbahaya kalau kau tersesat di New York." Ken mengajak sambil mengisyaratkan dengan gerak dagunya yang berbelah menggemaskan itu.

Abby pun mengekor dibelakang Ken menuju tempat parkir motor. Ia mendekati sebuah motor ninja hitam keluaran 6 tahun lalu yang masih terawat baik dan mengeluarkannya dari jajaran parkiran. Abby melirik ragu.

"Kenapa?" tanya Ken menangkap keengganan Abby.

"Aku tidak yakin bagaimana menaikinya ... aku tidak pernah naik motor." Abby nyengir.

Ken tidak jadi kesal karena Abby nyengir dengan cara lucu menggemaskan. Ia terbatuk menahan tawa. "Naik saja dan duduk seperti aku, mengerti?."

Abby mengangguk dan naik dengan grogi di belakang Ken. "Terus?"

"Kalau kau tidak mau jatuh, peluk pinggangku dan pakai helm ini." Ken menyodorkan Helm.

"Kau punya modus tertentu ya?" sungut Abby penuh curiga.

"Terserah, kalau kau mau jatuh ya jangan lakukan." Sahut Ken santai sambil menahan tawa. Gadis ini sepertinya benar-benar polos.

Abby hanya memakai helm dan tidak melakukan yang pertama. Tapi saat Ken sengaja menggas motornya, Abby langsung memeluk pinggang kokoh Ken erat-erat sambil merapal doa dalam hati.

Ken mengendarai motor sambil tersenyum sepanjang jalan.

Continue Reading

You'll Also Like

66.2K 12.5K 59
Juan Butoijo menjadi yatim piatu setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Pada saat yang sama, dia mendapatkan luka pada wajahnya...
1.4M 4.8K 6
Nada Renjana memiliki impian menjadi Cinderella yang menunggu pangeran untuk menjemput dan membawanya ke sebuah istana. Namun, impian itu sirna ketik...
44.2K 6.8K 33
Harim dan Wolf pacaran saat mereka kelas 3 SMP dan putus saat kelulussan. Jadi, Harim atau Harimau pikir setelah lulus, dia seharusnya tidak melihat...
327K 3.5K 8
Highest Rank #1 Category Romancestory (11/5/18) #1 - wattpadromance (30/6/18) #253 IN ROMANCE (9/4/18) ☆☆☆☆ Bertemu lagi dengan seseorang yang pernah...