Red Circle (ON HOLD)

By Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... More

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Satu - Foto di Atas Perapian
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban

3.4K 252 5
By Cendarkna

“Tolong, jangan lakukan ini. Kau adalah orang kepercayaan kami satu-satunya. Jangan khianati kami.”

“Kau kira kau bisa membuatku berhenti? Sekarang di mana anak itu?”

“Kau tak akan bisa menemukannya. Dia memiliki banyak pengawasan dan perlindungan.”

“Bagaimana kalau perlindungannya semakin melemah, huh?”

“Kau tak akan berani menyakitinya. Percayalah, dia sudah kauanggap seperti anakmu sendiri.”

“Yang kubutuhkan hanyalah Red Cicrle.”

“Untuk apa? Selama ini kau masih mencarinya, bahkan membunuh banyak saudaramu. Untuk apa?!”

“Sudah jelas, kan? Kau sudah tahu untuk apa.”

Justin’s Point of View

Sial! Aku harus terjebak dalam pengejaran kelompok polisi New York bersama Barbara setelah kepergok mencuri berlian yang tengah dipasarkan saat ini. Dengan kencang, kakiku melesat bak peluru, melewati gang, melompati pagar tinggi, sementara para polisi masih memberondongku dari berbagai arah. Aku terjebak di antara dua jalan. Jalan pertama yang kuketahui akan terhubung ke sebuah festival sedangkan jalan kedua terhubung dengan jalan raya.

Aku memilih jalan pertama sambil memperhatikan kondisi dan kesempatanku lolos. Dua orang polisi masih terus mengejar sambil melesatkan dua tiga kali tembakan yang tidak berhasil mengenaiku.

“Kemana kau?!” seruku pada earpice untuk berhubungan dengan Barbara yang ikut bersembunyi di suatu tempat.

“Aku sedang menghindari para polisi. Kita bertemu di alun-alun!” Terdengar suara tembakan disertai erangan tertahan di seberang sana. Aku mengkhawatirkan keadaan Barbara.

“Barb!”

Barbara mengerang pelan. “Aku terkena tembakan. Tidak masalah, lanjutkan larimu, aku akan mengurus lenganku sejenak!”

Sialan. Kalau Barbara sampai tertangkap, habis sudah riwayatku. Ini semua gara-gara Michael yang memaksaku melakukan pencurian berlian mahal. Keinginan kuat Michael yang mendesak dan memprovokasi Barbara melakukan pencurian sampai akhirnya mendatangkan mala petaka seperti sekarang ini.

Aku membaur di tengah kerumunan festival. Dengan begini para polisi New York tidak dapat mengendus bauku dan mereka berpikir dua kali untuk melesatkan tembakan. Tidak mungkin melesatkan tembakan di tengah kerumunan. Maka dari itu, aku memilih kabur di tengah kerumunan.

Tololnya, aku terjebak dengan beberapa mobil polisi yang sudah mengepung. Kutarik topiku sampai menutupi wajah, agar para polisi itu tidak sempat mengambil sketsa wajahku. Aku berlari, menikung ke sebuah lorong, dan menerobos lalu lintas sampai satu mobil menyerempetku, membuatku jatuh bergulung-gulung di atas aspal. Belum sampai di sana nasibku. Alih-alih aku berlari kembali, mengecoh para polisi itu dengan mengambil jalan pintas, sampai di kelokan menuju rusun kumuh. Sambil melepas topiku, kutarik rangsel di punggungku, mengambil sebuah jaket, dan memakainya sambil memasang tudung. Lantas kuambil sebuah jalan sempit, menutupi sebagian wajahku menggunakan tudung, berjalan pelan tanpa perlu dicurigai siapapun.

Akhirnya bisa kuhela napas lega setelah berhasil melewati kegilaan yang terjadi beberapa jam ini saat kurebahkan tubuhku di atas sofa, mengatur napas sampai benar-benar teratur.

Barbara muncul di balik pintu, mendekatiku dengan tatapan tak termaafkan. Lengannya terbalut perban, menampakkan warna merah darah menembus kain perban putih itu. Dia sudah mengganti kaus dengan tank top berwarna hitam. Sambil menekan lengannya yang diperban, Barbara duduk di sebelahku. Dihelanya napas pendek.

“Sialan. Lain kali aku tidak mau mengikuti perintah tololmu, Justin,” tuturnya sengit.

Aku tertawa pelan. “Ini yang namanya adrenalin. Lagipula, salahkan Michael yang selalu berhasrat pada benda-benda berkilauan.” Aku mengubah ekspresiku seketika. Menjadi lebih cuek dan malas. “Untung saja aku bisa menghindar.”

Barbara memutar bola matanya. “Akhirnya Michael datang.” Dia menatapku skeptis. “Bukan kau, melainkan Justin. Kalau Justin tidak putar otak, kau tak akan selamat, bodoh.”

Lagi-lagi aku tertawa. Tawa yang beda, tawa bangga telah mendapat apresiasi dari Barbara.

“Sudahlah, sekarang kita lihat berita murahan yang akan ditayangkan. Kita lihat diri kita sendiri.” Aku menekan remot televisi.

Sepertinya Barbara malas melihat berita kriminal yang terjadi di New York akhir-akhir ini akibat ulah kami berdua. Bahkan dia tidak menanggapi berita itu, hanya melihatnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku sedikit tertawa melihat gambaranku sendiri, berlari menghindari kejaran polisi dengan topi yang menutupi wajahku. Sudah lama aku dan Barbara melakukan aksi menegangkan seperti itu di sini. Selain menyenangkan, ini juga sebagai pertahanan diri dari gerakan organisasi rahasia lain.

Well, aku dan Barbara bersahabat sejak lama, kira-kira sejak ibuku meninggal. Kami sering keluar masuk negara orang dengan identitas palsu, merampok, mencuri, membunuh, demi memuaskan kesenangan pribadi atau perintah dari tuan kami.

Masih sibuk melihat tayangan berita tentang pencurian berlian tadi, kurasakan benda pipih bergetar di saku celanaku. Secepat kilat kuambil ponselku dan menjawab sebuah panggilan penting.

“Halo?”

“Apa yang kaulakukan di luar sana?” terdengar nada tegas serta marah di dalam ponselku. Aku mendesah pelan menanggapi amarah wanita sinting ini.

“Aku sedang bersenang-senang. Chiil, kami tidak tertangkap seperti biasanya.”

“Tapi kau membuang-buang waktu dan membahayakan posisi kami. Bagaimana kalau mereka berhasil mengambil sketsa wajahmu, dasar anak bodoh?!”

“Itu tidak akan terjadi, aku sudah memastikannya baik-baik.”

“Dengan siapa aku berbicara?”

“Aku sendiri, Justin.”

“Justin, jangan lakukan hal bodoh dalam waktu dekat ini kecuali ada perintah dariku. Mengerti?!”

“Bagaimana kalau Derek atau Michael beraksi?” Aku mengangkat pundakku sambil mencebikkan bibir. Barbara melirikku sekilas. “Aku tidak bisa mengendalikan mereka.”

“Usahakan tidak bertindak bodoh. Kita tidak ingin membuang-buang waktu. Segera temukan anak itu dan bawa kepadaku. Mnegerti?”

Aku mematikan sambungan sembari menghembuskan napas panjang. Kalau begini terus, bagaimana bisa aku menghabiskan waktuku sendiri?

“Bos?” Lagi-lagi Barbara melirikku di balik matanya yang memicing tajam.

“Ya. Kau tahu sendiri seberapa sibuknya kita.” Aku tertawa sarkastis.

Tanpa memedulikan lagi bahasan kami, Barbara melenggang acuh menuju kamarnya. Ditutupnya pintu kamarnya sangat kencang, seperti biasa seolah hal itu sudah menjadi ritual kesehariannya.

Destiny’s Point of View

Aku menyulutkan ujung rokok yang baru saja kuhisap ke atas asbak. Belum beberapa menit aku di sini, target yang sedang kuawasi sudah bergerak meninggalkan bar. Betapa mengesalkannya seolah aku sengaja dipermainkan oleh targetku saat ini. Menurut informasi bosku, dia orang yang tepat. Seorang anak muda yang tampak seumuran denganku, berambut ikal, dari kejauhan tidak terlihat seperti mafia. Dia bergegas meninggalkan bar setelah mendapatkan komando. Demikian pula denganku. Sambil menyiapkan sebuah pistol di balik pinggangku, aku berjalan cepat menerobos kerumunan orang yang tengah berdansa lantai, mengawasi arah ke mana dia pergi.

Sialnya aku ketinggalan jejak targetku. Dia menghilang di tikungan dan aku gagal membuntutinya. Dengan sikap waspada, kutodongkan pistolku seraya berputar mencari keberadaannya. Sampai kurasakan satu pukulan dari belakang hingga membuatku mengerang kesakitan.

“Kau membuntutiku, Nona?” tanya seorang pria yang sebelum ini kubuntuti sambil menodongkan pistol di tangannya.

Kalau begini caranya aku pasti kalah taktik. Tidak, andai dia tidak pernah mengenalku, dan mengetahui taktikku.

“Aku ditugaskan bos untuk membantumu,” kataku sambil berjalan mendekatinya. Kuulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. “Miley Stewart.”

Pria tadi menyeringai sinis. “Aku mengenalmu, Destiny Hope Cyrus. Tidak usah berpura-pura di hadapanku. Aku tidak bodoh.” Lantas dia bergerak untuk menyerangku.

Kutangkis serangannya dengan mendaratkan tendangan kuat sampai membuat pistol yang dipegangnya jatuh. Namun, dia tetap bergerak menyerangku dengan segala tendangan dan pukulan. Aku bahkan harus meringis kesakitan ketika dia memiting kedua tanganku ke belakang. Didorongnya aku menempel pada tembok, masih meringis kesakitan.

“Lepaskan aku, aku hanya detektif bayaran,” tegasku.

“Detektif bayaran?” pria tadi tertawa pelan. Dilepasnya aku saat itu juga.

Aku mengatur napas panjang-panjang seraya mengamati kedua tanganku yang memar. Sementara dia masih tertawa pelan, seolah apa yang kulakukan baru saja sebagian dari permainan anak SD.

“Aku tahu kau mengikutiku. Kita berdua dijebak, bodoh.”

“Dijebak?”

“Bosmu, adalah bosku juga. Sir Cavren De Barge MacMuller.” Pria itu bergerak mendekatiku, kemudian mengulaskan senyuman yang lebih ramah. “Aku Nick Holmes.”

Sekarang aku yang tertawa. Siapa namanya tadi, tolong jangan bercanda di depanku. Apa dia benar-benar mengatakan ‘Nick Holmes’?

“Kau bercanda? Nick Holmes? Seorang pembunuh bayaran sepertimu bermarga Holmes??”

Nick mengubah raut wajahnya seketika. “Sebenarnya aku anak yatim piatu dan karena aku mencintai tokoh buatan Sir Arthur Conan Doyle, aku memakai nama Holmes sebagai margaku.”

Kuhentikan tawaku tiba-tiba, merasa bersalah sudah menertawakan anak yatim piatu yang menggunakan nama tokoh idola untuk marganya. Aku mengatupkan bibirku rapat.

“Jadi, kau tahu mengapa kita dijebak?” tanyaku penasaran. Aku tidak mengerti apa maksud Nick mengatakan bahwa kami dijebak. Kagetnya, nama bosnya juga sama seperti nama bosku. Ini cukup membingungkan.

“Aku tidak bisa memberitahumu.” Nick bergerak mundur. “Karena bosku satunya juga menginginkan Red Circle dan membayarku lebih besar. Well, senang bisa bertemu dan menjelaskannya padamu, Destiny.” Lantas dia menghilang begitu saja menuju ke lorong lain, meninggalkan aku dalam tanda tanya besar mengenai ucapannya baru saja.

“Red Circle?” ulangku sembari mengernyitkan dahi.

Barbara’s Point of View

Seperti biasa tiap sore, aku bermain-main dengan sepatu roda di arena skating dekat rumah kami sambil melesatkan beberapa tembakan sesuai sasaran. Sepatu roda yang kukenakan meluncur pelan menuruni lintasan, lantas kubalikkan tubuhku sembilan puluh derajat, menodongkan dua pistol, melesatkan anak peluru ke lima papan sampai menimbulkan bunyi dentingan peluru jatuh, dan semuanya tepat sasaran, kemudian aku melompat ke ujung lintasan. Peluru di kedua pistolku kelihatannya sudah habis. Aku mengisinya kembali, seraya melirik Justin yang sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Berkali-kali dilesatkan bayonet dalam genggamannya, lantas dicabut kembali, melesatkan lagi, dicabut kembali, begitu seterusnya.

Aku meluncur lagi melewati lintasan dan berlatih membidik. Tak jauh dari sini, kudengar suara wanita menangis dan suara pertikaian. Mendengar suara itu, aku melompat naik ke ujung lintasan, lantas mengedarkan pandangan ke sebuah arah di mana tampak seorang gadis ditampar oleh seorang pria. Aku yakin setelah melihat kejadian itu, Justin kumat lagi seperti biasa.

Tepat seperti dugaanku. Justin bergerak cepat menghampiri wanita itu. Aku menggelengkan kepala, merasa muak dan bosan melihat kejadian mengerikan—well, sebenarnya kejadian apapun yang berhubungan dengan darah dan teriakan sangat biasa kudengar—yang sering dilakukan Justin. Sampai saat aku meluncur dari lintasan, terdengar suara tembakan lain, yang tentu bukan dari pistol di tanganku. Otomatis aku menoleh ke arah suatu tempat, di mana terdapat wanita yang masih menutup wajahnya ketakutan sedangkan Justin berdiri di sebelahnya. Aku melompat dari lintasan, meluncur mendekati tempat itu.

“Apa yang kaulakukan, bodoh?” sergahku seraya menarik lengan Justin. “Kau membunuh orang yang tidak berkaitan lagi denganmu?”

Justin melenguh, lantas menggandeng tanganku menjauhi tempat itu sebelum polisi datang dan memergoki kami.

“Perilaku kekerasan yang diberikan bajingan itu mengingatkanku pada masa lalu. Derek yang melakukannya, bukan aku.”

Aku memutar bola mata kesal. Suara sirine ambulans dan mobil polisi sudah memenuhi jalan tempat kejadian perkara. Untung kami secepatnya menghindar sebelum tertangkap.

Kuakui metode pembunuhan yang dilakukan Justin pada orang yang tak dikenalnya sangat hebat. Dia cukup menutup mata saksi sekaligus orang yang dibelanya, kemudian berbisik, mengancam akan membunuhnya apabila dia membuka mata. Setelah itu baru Justin membunuh siapapun yang menyakiti orang yang dibelanya. Contohnya seperti tadi. Dia menutup mata si gadis dari belakang, menyuruhnya agar tidak membuka mata atau dia akan membunuhnya, sampai ditembaknya pria yang menampar gadis itu hingga tewas. Setelah itu baru dia kabur tanpa terdeteksi keberadaannya karena tidak ada saksi mata yang melihat.

Kecenderungan pembunuhan yang sering dilakukannya pada orang-orang yang mengingatkannya pada masa lalu. Seperti apabila dia melihat laki-laki menampar wanita atau melakukan tindak kekerasan lainnya, ayah yang menghajar anaknya, atau ibu yang mencubit anaknya. Apabila Justin melihat hal seperti itu, dia akan membunuh mereka.tanpa syarat.

Sepertinya aku masih punya kadar kewarasan karena aku membunuh hanya apabila disuruh oleh sang master.

Rachel’s Point of View

Ketika aku pulang dari kegiatan adrenalin di hutan, aku tidak menemukan siapapun di dalam rumah. Bahkan keadaan rumah terlihat sepi seolah tak berpenghuni. Tidak kulihat paman John, termasuk Alison. Suara mereka pun tak terdengar olehku.

Lamat-lamat kudengar suara mengeong pelan dari dalam dapur. Tinker Bell berlari menuju ke arahku, lantas menggesekkan bulunya yang halus di kakiku sambil terus mengeong. Aku menangkapsesuatu pada tubuhnya, lebih tepat di bulunya. Kuangkat tubuh Tinker Bell, mengamati sesuatu yang menarik perhatianku. Percikan darah di bulu keabuannya. Aku menyentuh bagian merah itu, lantas menciumnya. Benar, ini bau anyir darah.

Jantungku melompat kaget setelah menyadari ada ketidak beresan dalam rumah ini. Secepatnya aku berlari mencari keberadaan paman John dan Alison. Kuteriakkan nama mereka berkali-kali, berlari naik ke lantai atas, barangkali mereka ada di dalam kamar.

Saat kudobrak pintu kamar paman John, mataku membelalak lebar penuh kengerian. Aku membekap mulutku sendiri, mengusahakan agar tidak berteriak histeris saat itu juga. Air mata mengucur deras dari pelupuk mataku, sedangkan suara isak pelanku mulai terdengar. Aku melihat bercak darah di mana-mana. Dan yang paling membuatku tertegun adalah sebuah gambar lingkaran merah, di mana tubuh paman John tergeletak di tengah lingkaran itu dengan bersimbah darah. Dinding kamarnya tertulis sebuah pesan dari huruf kapital.

WE NEED RED CIRCLE

Sambil merasakan detak jantungku yang tak menentu, kudekati tubuh paman John. Tidak ada jejak lain yang ditinggalkan di sekitar tubuhnya kecuali darah yang membentuk lingkaran, mengelilinginya. Seperti kalimat itu, Red Circle.

Tatapanku terpaku pada sesuatu yang terjatuh di bawah kaki ranjang. Aku mendekat, meraih secarik kertas tersebut, menemukan barisan kalimat acak yang tidak kumengerti.

OGNIDNAM .RD .AINAVLYSNNEP OT OG

Aku menelengkan kepalaku ke satu sisi. Kudekati cermin di kamar ini, memperlihatkan tulisan tersebut di depan cermin, dan akhirnya dapat membaca pesan di dalamnya.

GO TO PENNSYLVANIA. DR. MANDINGO

Well, sorry for absurditas in this story if you can’t get what I mean ._.

Continue Reading