Red Circle (ON HOLD)

De Cendarkna

47.2K 3.2K 132

Rachel Dalton adalah mahasiswi Universitas Brown yang menghabiskan liburannya di rumah pamannya, John Evergre... Mais

Prolog - Jejak Pertama
Bagian Dua - Antara Buronan, Tersangka, dan Korban
Bagian Tiga - Red Circle?
Bagian Empat - Museum Louvre
Bagian Lima - Toko Perhiasan
Bagian Enam - Kartu Mati
Bagian Tujuh - PHI
Bagian Delapan - Kata Mutiara Michelangelo
Bagian Sembilan - Pemburu Emerald
Bagian Sepuluh - Berkemas
Bagian Sebelas - Kapel Sistina
Bagian Duabelas - Pentagram
Bagian Tigabelas - Pesan dalam Pesan
Bagian Empatbelas - London

Bagian Satu - Foto di Atas Perapian

5.6K 368 8
De Cendarkna

Bagian Satu

Foto di Atas Perapian

Andai saja dia tahu bahwa setiap bayangan mengikuti kemana pun arah geraknya, di sanalah bahaya terus mengawalnya. Bahaya yang tidak akan pernah puas menunggu, sampai dia tahu bahwa detik kehidupannya hanya bergantung dari sebuah benda yang dibawanya kini. Aku menyesal. Bagaimana tidak? Hidupnya terancam hanya akibat kebodohan kelompok kami. Tolong aku, Gerald. Dia harus diselamatkan. Tidak akan ada lagi yang bisa membantunya apabila mereka berhasil menemukan jejakku, apalagi jika aku dibunuh. Satu-satunya pertanda hanyalah keberadaannya bersama orang-orang kita.

Apabila kau menerima pesan ini, secepatnya ubah kata sandi, kode, seluruh file berharga yang kalian pegang. Juga, bantu Shank menyembunyikan identitas Emerald. Save Red Circle!

 

-Diamond

 

 

Rachel’s Point of View

Aku baru menyelesaikan satu tembakan tepat sasaran ketika kudengar suara klakson mobil di pekarangan rumahku. Pandanganku beralih pada SUV putih dan menampakkan seorang pria bertubuh tegap keluar dari dalam. Senyum senang terkembang dari bibirku begitu menyadari siapakah tamu yang berkunjung kemari. Tamu yang kutunggu, yang tak lain adalah pamanku, John Evergreen.

“Selamat pagi, Rae,” sapanya sembari mendekat.

Aku menaruh senapan laras panjang yang kugenggam, lantas menyambut paman John dengan pelukan hangat. Sambil menyerukan namanya, aku melompat dan memeluknya. Dia terkekeh melihat sikap kekanak-kanakanku.

“Oh paman, seharusnya kau menelepon terlebih dahulu. Dengan begitu aku sudah siap-siap,” kataku sambil melepas pelukan. “Sekarang mau tak mau kau harus menungguku berkemas.”

Paman John terkekeh. “Tidak apa, Sayang. Ayo masuk kalau begitu.”

Didekapnya aku dan kami berdua masuk ke dalam rumah dengan tawa mengimbangi langkah kami. Berulang kali paman John mengatakan padaku kalau aku akan menyukai liburanku kali ini. Pamah John adalah kakak ibuku. Dia tinggal di Lakewood bersama seekor kucing Norwegian Forest. Paman John tidak memiliki anak maupun istri. Aku sendiri tidak tahu mengapa dia lebih memilih melajang daripada mencari istri.

Kopor dan tasku sudah penuh dengan baju dan barang-barang favoritku. Paman John lebih asik memandangi foto orangtuaku yang dipajang di atas perapian. Aku mengamatinya sebentar, melihat dia berdecak pelan, lantas membalikkan tubuhnya untuk memandangku.

“Matamu mengingatkanku pada mata Sabrina. Coba mereka masih ada dan berkumpul bersama kita,” tukasnya murung.

Aku menundukkan kepalaku. Sudah lama aku hidup sendirian tanpa kehangatan sebuah keluarga. Sudah lama pula aku merindukan keberadaan orangtuaku. Ibuku meninggal lantaran dibunuh sedangkan ayahku menghilang entah kemana. Mungkin karena mereka berdua bekerja sama dengan FBI, sehingga bahaya selalu membayangi langkah mereka. Setelah ibuku meninggal, ayahku berusaha keras menutupi identitasku agar musuh-musuhnya tidak mencium bauku. Sampai akhirnya dia mendaftarkanku di Universitas Brown, bertempat di Rhode Island. Namaku diubah dari Rachel Dalton ke Christalique Lutherwood. Setelah aku masuk kuliah, aku tidak lagi mendengar kabar ayahku. Menurut FBI, dia menghilang usai membantu penyelidikan kasus pembunuhan yang terjadi saat itu.

Tatapan paman John berubah drastis menyadari bahwa aku murung. Tampaknya dia tidak suka apabila melihatku murung seperti ini. Alih-alih, diraihnya aku dan memelukku.

“Maaf, Rae,” katanya penuh penyesalan.

“Ah, paman. Tidak usah meminta maaf begitu.” Aku menarik diriku dari pelukannya. “Tugas seorang anggota FBI memang penuh resiko. Sudahlah, mari kita pergi. Aku sudah tidak sabar berbaring di rumahmu yang nyaman!”

Kutarik lengan paman John seraya bergumam senang. Untuk saat ini aku sedang tidak ingin mengingat-ingat lagi apa yang telah menimpa orangtuaku. Setidaknya dengan eksistensiku, itulah hadiah terbaik yang kuberikan. Mereka melindungiku mati-matian agar aku tetap hidup.

Rumah kayu yang terletak di sebelah danau kecil sudah terlihat di depan mataku tatkala SUV putih yang dikemudikan paman John berhenti. Seperti terakhir kali aku berkunjung di liburan tahun lalu. Setiap libur panjang, paman John akan menjemputku di rumah singgah yang tak jauh dari kampusku, lantas membawaku ke rumahnya. Terkadang dia mengajakku pergi berlibur ke luar kota atau luar negeri. Entah untuk liburan saat ini. Paman John belum memberitahu kemana dia akan membawaku.

“Mungkin kau senang bertemu dan berkenalan dengan seseorang?” tanya paman John sambil melangkah keluar.

Aku mengikutinya setelah itu. Dari arah kejauhan, terlihat seorang wanita berambut pirang ikal tersenyum lebar menyambut kami. Biar kuingat-ingat. Sepertinya aku tidak pernah melihat wanita itu. Apalagi mengenalnya. Atau jangan-angan dia memiliki hubungan dengan paman John? Bagaimana mungkin? Maksudku, paman John sendiri sudah berkomitmen untuk melajang dan fokus pada kehidupannya sendiri.

“Halo, kau pasti Rachel Dalton.” Wanita itu lebih melebarkan senyumnya ketika sampai di depanku. Paman John tersenyum sekilas, sambil menyeret koporku.

“H-hai,” balasku kikuk. “Ya, aku Rachel. Dan… kau?”

Wanita tersebut memelukku sebentar. “Aku Alison Swift. Senang akhirnya bertemu dengan keponakan yang sering diceritakan John.”

Aku menyeringai seraya membalas pelukan hangat Alison. Dia melepasku, masih memberikan sikap manisnya untukku.

“Mari masuk, aku sudah menyambutmu dengan hidangan lezat di dalam rumah.”

Masih menamplikan ekspresi bingung, aku melangkah masuk ke dalam rumah paman. Sepertinya paman atau Alison akan menjelaskan ada hubungan apa mereka berdua sesampainya kakiku menginjak lantai kayu oak yang berdecitan. Well, aku suka bunyi decitnya.

Paman John berseru, melenggang menaiki tangga menuju lantai atas. “Aku akan menaruh kopormu di atas!”

Tanpa kuberikan balasan, aku mengangguk. Kuhela napas panjang sembari mengamati kerja Alison yang tangkas menata piring-piring dan menyiapkan makan siang. Sepertinya sikapku sangat canggung di depan Alison. Tiap kakiku melangkah, ada getaran pada tubuhku yang menandakan bahwa aku sungkan berada di sini. Hei, ayolah, aku sudah mengenal paman John dan berkunjung berkali-kali kemari.

“Jadi, kau siapanya pamanku, Alison?” tanyaku tiba-tiba.

Alison menatapku. “Aku tunangan pamanmu. Apa dia tidak menceritakan sesuatu berhubungan denganku padamu, Sayang?”

Oke, bagus. Tunangan paman John. Sementara tidak kudengar sedikitpun segala hal yang berhubungan dengan Alison. Mengapa paman tidak menceritakannya padaku? Akan kutuntut dia dengan rentetan pertanyaan usai membereskan kamarku.

“Tidak,” balasku sumbang.

Well, mungkin untuk memberimu kejutan. Berpikir positif.” Alison tersenyum manis madu. Dia duduk di salah satu kursi, lebih tepatnya duduk di depanku.

Tepat pada saat itu, paman John sampai di meja makan dan bergabung bersama kami. Diliriknya Alison sekilas sebelum menatapku dalam. Tampaknya dia akan menjelaskan padaku siapakah Alison ini.

“Maaf, Rae. Paman tidak pernah bercerita. Well, ini Alison Swift, tunangan paman. Kami sudah menjalin hubungan kurang lebih dua tahun.”

Aku membeliakkan mata. “Dan kau tidak mengatakan apapun padaku? Bahkan saat aku berlibur kemari?”

“Saat itu Ali sedang sibuk dengan observasinya di Munchen. Karena tidak mau kau kecewa, aku putuskan tidak memberitahumu tentang kedekatan kami.”

Mengecewakan seperti apa maksudnya? Justru aku lebih kecewa karena paman menyembunyikan segala hal mengenai Alison dariku.. Aku menyukai Alison. Well, sikapnya yang ramah dan menyenangkan serta tatapan lembutnya. Dia cantik. Rambutnya juga tertata rapi dengan warna pirang itu.

“Kau bekerja sebagai apa, Ali?” tanyaku mencoba mengakrabkan diri sambil mulai menyendokkan makanan di hadapanku ke dalam mulut.

“Aku ilmuwan.” Alison tersenyum manis.

Alison seorang ilmuwan sedangkan pamanku juga ilmuwan. Bagus. Pasangan ilmuwan. Seperti orangtuaku yang sama-sama bekerja untuk FBI. Aku menghela napas panjang, dan melanjutkan makan siangku tanpa berbicara lagi.

Kucing favoritku terlihat mendengkur di atas sofa berlengan panjang ketika aku berjalan menuju ruang santai. Paman John menamainya Tinker Bell. Tinker Bell ditemukan di jalanan, menurut pamanku. Karena tidak tega melihat kucing mungil yang mengeong kelaparan di trotoar, dia membawa Tinker Bell dan mengasuhnya sampai sekarang.

“Hai, Tink,” sapaku lembut seraya mengelus bulu halus Tinker Bell. “Bukankah ini hari yang terlalu indah untuk tidur?” Aku terkekeh pelan. Tinker Bell menyadari keberadaanku sehingga kedua matanya yang coklat membuka dan mengarah menatapku. Dia berjalan mendekat, merapat pada tubuhku, lantas kembali lagi bergelung sambil mendengkur pelan.

Aku menyalakan televisi untuk melihat Grey’s Anatomy, serial favoritku. Paman John sepertinya lebih sibuk bersama Alison di kebun belakang. Suara tawa mereka terdengar sampai di sini. Itukah sebabnya paman John mengatakan kalau aku akan suka liburanku kali ini? Ya, mungkin karena ada Alison dan dia berharap kami bisa akrab. Aku tidak keberatan kalau Alison menemani pamanku. Aku justru senang akhirnya paman John membuka diri pada kehidupan luar hingga tidak terlalu fokus pada formula-formula di laboratorium.

Tatapanku tertuju pada sesuatu yang tergeletak di atas perapian. Aku penasaran, maka kudekati perapian untuk melihat foto siapa yang dipajang di atas tungku. Mataku menyipit sebentar menyadari keberadaan orangtuaku yang berdiri bersebelahan. Paman John ada di belakang bersama Alison. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu. Sebelum ini tidak kulihat foto seperti itu di sini. Atau memang paman John lupa menyembunyikannya?

Alison sudah ada bersama mereka sebelum paman mengatakan bahwa mereka berhubungan selama dua tahun. Jangan-jangan Alison juga mengenal orangtuaku. Tapi pertama kali aku sampai di sini, dia seolah baru bertemu denganku. Dan tak henti-hentinya melirik tepat ke arah leherku.

Kusadari satu hal yang ganjal dari foto tersebut. Seluruh orang di dalam foto itu mengenakan benda yang sama, yakni sebuah kalung berbandul jam pasir. Selaras. Aku tidak pernah melihat kalung seperti itu pada diri paman John maupun Alison. Bahkan selama ini aku tidak tahu kalau orangtuaku juga memiliki kalung jam pasir. Apa maksud foto ini?

“Rachel!”

Aku tersentak kaget mendengar seruan paman. Secepatnya aku pergi dari perapian sebelum dia menyadari keberadaanku yang penasaran dengan foto janggal itu. Aku pura-pura menonton televisi sampai kulihat dia masuk ke ruang santai ditemani Alison yang menggelayut lengannya.

“Paman dan Alison akan pergi sebentar.” Dia tersenyum ke arahku. “Kuharap kau mau menjaga rumah ini sebentar saja sampai kami kembali.”

“Tidak masalah.” Kusunggingkan senyuman lebar.

Lamat-lamat kulirik paman John yang menyadari sesuatu, dan secepat itu juga aku tahu apa yang diamatinya. Tidak seperti ekspetasiku, paman John hanya menarik napas panjang, sampai akhirnya melimbai pergi bersama Alison. Masih kulirik mereka berdua, tapi tidak kulihat tanda-tanda bahwa paman John memberitahu Alison kalau dia meletakkan foto sembarang tempat sehingga bisa jadi aku menyadari kejanggalan itu. Well, sekarang justru aku mati penasaran hanya karena sebuah foto di atas perapian.

Aku tidur dengan perasaan gelisah. Tiap malam mimpi buruk selalu menghantui pikiranku. Seperti saat ini, aku kembali bermimpi buruk. Terdengar jerit ibuku di lantai bawah, suara tembakan, benda-benda pecah, segala hal yang mengingatkanku akan kejadian mengerikan saat aku berusia tujuh tahun.

Aku membelalakkan mataku menyadari mimpi itu terus berlanjut. Napasku sudah terengah-engah dan bisa kurasakan keringat dingin membasahi tubuhku, sampai membuat kaus yang kupakai basah. Aku tidak mau tidur. Biarkan saja aku terjaga sepanjang malam.

Kulirik kopor di sebelahku. Sengaja, kubawa sebuah pistol yang selalu mengiringi kepergianku kemanapun aku berada demi menjaga diri. Alih-alih aku justru seperti anggota FBI. Ayahku sendiri yang menyuruhku agar tetap waspada terhadap ancaman apapun sehingga dia menyuruhku membawa pistol.

Dari dulu aku sering dibekali ilmu bela diri, menembak, semua yang dipelajari orangtuaku. Bahkan opsiku jatuh pada jurusan Hukum dalam menempuh studi di Brown. Aku senang mempelajari kasus-kasus yang diantar ke dalam mata kuliahku. Entah mengapa aku juga tertarik dengan kriminalitas. Sebenarnya ayahku menyuruh agar aku masuk saja ke Kriminologi, sayangnya aku lebih suka mempelajari Hukum, agar bisa mendapatkan gambaran luasnya.

Aku memilah-milah baju dan secepanya berganti karena melihat kausku sudah basah oleh keringat. Ya ampun, kalau setiap hari aku bermimpi buruk seperti ini, aku tidak yakin apakah aku lebih memilih terjaga sepanjang hidupku. Setelah berganti pakaian, barulah aku beranjak tidur setelah kurasakan mataku yang berat, bergulung dengan selimutku dan berharap tidak ada mimpi buruk setelah ini.

Pagi di Lakewood memang berbeda dengan Rhode Island. Terutama aktifitas yang kujalani saat ini karena aku tidak disibukkan dengan materi perkuliahan, tugas menumpuk, maupun presentasi dan omelan dosen. Aku cukup senang menikmati seduhan teh hijau yang dibuat Alison sambil memandang panorama danau kecil buatan di sebelah rumah ini.

“Kau menyukai pemandangan di sini, Sayang?” tanya Alison seraya duduk di sebelahku ditemani sebuah buku di tangannya.

Aku menoleh sekedar membalas. “Ya. Aku suka keadaan di rumah ini. Jauh dari polusi, dekat dengan hutan, dan suasananya menentramkan.”

Alison terkekeh pelan. “Bukankah gadis sepertimu takut apabila tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi hutan belantara?”

Mendengar kalimatnya, aku tertawa. Sepertinya Alison belum mengenalku secara keseluruhannya. “Aku bukan wynona seperti kebanyakan gadis di luar sana. Aku pecinta olahraga ekstrem, bisa membidik, bisa mengolah kemampuan bela diri, dan hal seperti ini terlihat sepele di mataku.”

“Kudengar kau mahasiswi Hukum?” Alison meletakkan buku di tangannya. “Mengapa tertarik dengan Hukum?”

Aku mengelus daguku sambil memikirkan jawaban yang akan kuberikan pada Alison. Jawaban yang sebenarnya yang menutupi kebenaran kompleksnya. “Aku suka menyelidiki kasus.”

“Kenapa tidak masuk di kriminologi?”

“Karena Hukum memberikan gambaran yang luas.”

Alison mengangguk-anggukkan kepalanya. Diraihnya kembali buku yang menarik perhatiannya tadi, sampai akhirnya mengabaikanku lantaran sibuk bersama barisan kalimat buatan Dan Brown.

“Kau menyukai karya Dan Brown?” tanyaku tiba-tiba, membuat Alison mengalihkan perhatiannya seketika.

Matanya yang memicing tajam tampak berbeda ketika pertama kali kami berjumpa. Entah apakah hanya delusiku, atau memang dia memiliki tatapan yang berbeda saat ini.

“Bisa dibilang begitu.”

Kuanggukkan kepala antusias sementara dia mulai berkonsentrasi kembali pada buku itu. Tanpa memedulikan aktifitasnya, aku kembali sibuk mengamati keindahan danau buatan di depanku, sambil merasakan bulu halus yang bergesek di tungkaiku. Tampaknya Tinker Bell membutuhkan belaian manja.

Well, guys, ini adalah cerita versi bahasa Indonesia. English version updated soon! Tinggalkan jejak setelah baca, please? (: keep readin and enjoying every parts! Karena bakal banyak kejutan, teka-teki, yang bakal bikin kalian penasaran sepanjang cerita! :D

Continue lendo