Simplicity of Love

Autorstwa beebaebees

13.9K 873 87

Almyra Syavana Alcatara pikir seorang Ares Efraim adalah orang yang mudah berbaur seperti teman-teman masa ke... Więcej

1. Double A
3. Ciuman Termanis
4. Locked Away
5. Teka-Teki Ares
6. Go Wake Up, Almyra
7. Good Bye, Ares
8. Opened
9. Ares-Almyra Zone
10. What the Hell?
11. Ares-Almyra Zone, Again?
12. And She Said: Yes
13. Problem Pre-Wedding
14. The Wedding

2. Sekretaris Baru Untuk Ares

1.2K 78 5
Autorstwa beebaebees

Selama pesta BBQ ini berlangsung, tak sedikitpun aku bicara meski Alfa tak lagi berlaku cuek padaku. Pandangan mataku hanya terfokus pada laki-laki itu bersama calon Istrinya. Ada rasa jengkel saat mengetahui bahwa ternyata raut wajah Ares bisa berubah sebegitu bahagianya saat berada di dekat Vanessa, itu benar-benar membuatku muak.

Aku bangkit dari dudukku, sehingga semua pasang mata banyak menatapku tak terkecuali mata coklat nan terang itu saat kami sedang menikmati santapan daging panggang. Aku terlebih dulu memutuskan kontak mata dengan laki-laki itu saat Vanessa berusaha mengambil alih perhatiannya.

"Kamu mau kemana, Almyra? Mengapa berdiri begitu?" Bunda bertanya, membuatku geram karena baru memperhatikanku sementara semenjak tadi beliau asyik berbincang dengan Ares dan wanitanya itu.

"Aku mengantuk, mau tidur. Permisi semuanya." Dengan perasaan kesal berbalut sedih, ku tinggalkan pesta kecil-kecilan itu. Teriakan Ayah yang sempat memanggil namaku, ku hiraukan begitu saja. Rasanya aku ingin menangis sekarang, laki-laki itu tidak sedikitpun memandangku. Apa aku terlalu semenjijikan itu?

Kasur adalah pelarian utama untuk menumpahkan air mata yang sedari tadi sudah menggenang di pelupuk mata, oh bodoh, aku menangis karenanya. Aku terisak begitu saja saat menyadari wajah datarnya saat melihatku dan tatapan dinginnya saat kedua mata kami bertemu tadi. Aku naif karena mencintai saudaraku sendiri dan aku pengecut karena hanya berani mengumpat tanpa ada niat mengungkapkan.

Ketukan di pintu kamar menyadarkanku dari lamunan saat aku dan Ares masih kecil dulu, betapa kami sangat hangat tanpa ada jarak dan perasaan yang menyiksa ini.

"Siapa?" Nada suara ku buat senormal mungkin agar tamu di luar tidak curiga bahwa aku sehabis menangis.

"Ini Ayah, cepat buka pintunya." Ku usap air mata yang mengalir keluar dari kedua mataku dengan kasar tanpa ada sisa, segera bangkit dan membukakan pintu untuk Ayah. Beliau memang orang yang paling mengerti bagaimana perasaanku.

"Ada apa Ayah?"

"Kamu tidak membiarkan Ayah masuk terlebih dahulu?" Aku mendengus kesal tetapi tetap membiarkan laki-laki yang paling ku sayangi ini untuk memasuki kamarku.

Ayah duduk di tepian ranjang sementara aku duduk disampingnya. Tatapan mata Ayah yang menatap wajahku seperti menelusuri dan mencari tahu apa yang terjadi pada Putrinya membuatku gugup dan sulit mengerti apa maksud dari tatapannya.

"Kamu habis menangis, Hmm?" Sebisa mungkin aku berusaha agar terlihat menepis pertanyaan Ayah, tapi ku rasa Ayah adalah sosok yang pandai membaca raut wajah seseorang.

"Karena Ares?" Aku di kejutkan oleh pertanyaan Ayah, mengapa beliau bisa tahu? Pasti aku telah melakukan suatu kecerobohan sampai mengakibatkan ada orang lain yang tahu ini semua.

"Aku.. Um.."

"23 tahun kamu menjadi Putri kami, Almyra. Mana mungkin Ayah tidak tahu saat setiap kamu menatap Ares selalu penuh dengan senyuman dan dambaan, semuanya semakin jelas saat kamu menatap cemburu ke arah Vanessa. Jadi benar, kan?" Pipiku bersemu merah saat rahasia ku di bongkar oleh Ayahku sendiri sampai membuatku hanya bisa menunduk menahan malu.

"Tidak apa, Ayah janji akan tutup mulut."

"Benarkah?" Ayah tersenyum, tangannya terulur mengelus puncak kepalaku.

"Jadi karena ini kamu melarikan diri dari acara yang Bunda buat?"

Aku mendengus kesal mengingat kejadian beberapa menit lalu, tatapan marah kembali tersirat di kedua mataku. "Aku hanya tidak suka, Ayah. Dulu Ares selalu bermain bersamaku, tetapi kenapa semenjak kami besar dia berubah? Alfa dan Rena tidak begitu. Mereka tetap bermain denganku sampai sekarang, lalu kenapa hanya Ares saja yang seperti itu? Oh, apa Ayah tahu? Bahkan Ares tidak sedikitpun berperilaku seperti dia telah mengenalku sejak lama. Ares sangat sombong, dia mengabaikanku, teman semasa kecilnya. Baiklah, agar lebih jelasnya, dia melupakan aku sebagai Adiknya. Ah tidak, itu terlalu terdengar cheesy Ayah."

"Husssttt.." Ayah menghentikanku yang terlalu banyak bicara. Aku menutup mulutku karena malu telah membeberkan semuanya, betapa sedihnya saat aku seperti orang asing bagi Ares.

"Setiap orang memiliki kepentingannya masing-masing, Almyra. Kamu tidak bisa menyamakan mereka semua satu sama lain.."

"Tapi Ayah, ini berbeda. Huh, kenapa sih dia harus seperti itu? Menyebalkan." Selaku masih dengan tatapan marah.

"Bagaimana kalau ini menjadi rahasia kita berdua?"

Keningku berkerut, bingung, menatap Ayah. "Maksud Ayah?"

"Ayah pegang semua rahasiamu pada Ares, tetapi dengan syarat."

"Apa itu?"

"Jangan pernah sedikitpun kamu mencari tahu masa lalu Ares, mengerti?"

Aku tersenyum tipis kemudian menggeleng pelan. "Aku tidak mengerti."

"Turuti saja apa kata Ayahmu ini, Sayang."

Ku hela nafas berat. "Oke, baiklah, akan aku turuti tapi dengan syarat juga."

Kedua alis Ayahku menyatu dengan sempurna menciptakan raut wajah kebingungan. "Apa?"

"Kirim aku bekerja di perusahaan, aku ingin bekerja disana.." Ada jeda sebelum melanjutkan ucapanku sambil menanti reaksi apa yang akan Ayah berikan. "Menjadi sekretaris Ares."

Dan seketika itu pula wajah Ayah memerah menahan amarah. Aku tahu, beliau pasti tidak akan mengizinkan. But for Ares, itu cara satu-satunya agar aku bisa dekat dengan laki-laki itu.

***

Pagi menyingsing, menghantarkan sinar matahari untuk bersinar menyinari bumi ini. Tak seperti pagi biasanya, kali ini aku bangun lebih pagi sebelum Bunda dan Ayah bangun. Dan, lihatlah, betapa terkejutnya mereka ketika mendapati aku menjadi orang pertama yang duduk dimeja makan lengkap dengan baju kantor bagai sekretaris menemani rencanaku hari ini.

"Apa-apaan kamu, Almyra? Menjadi sekretaris Ares katamu?" Oke, aku paham kalau Bunda pasti akan memarahiku.

"Memangnya kenapa, Bun? Ayah saja sudah mengizinkan, benar kan Ayah?" Ku lihat Ayah terkesiap kemudian menggangguk dan itu justru membuat Bunda semakin naik pitam.

"Aku tidak setuju, Vano! Putriku seharusnya masih kuliah dan apa katanya tadi? Bekerja menjadi sekretaris Ares? Ares katamu? Oh, lama-lama aku bisa gila. Kalian membuat kepalaku pusing."

"Bunda, cukup, tidak usah mendramatisir seperti itu. Sepulang aku bekerja, aku masih bisa kuliah. Jadi Bunda tidak usah khawatir, Oke?" Aku bangkit dari dudukku kemudian menjinjing tas tanganku.

"Aku berangkat dulu, stop, Ayah tidak usah mengantarku. Aku akan pergi mengendarai mobilku sendiri." Ku cium pipi kiri dan pipi kanan Bunda juga Ayah dan mulai melangkah sampai heels yang ku kenakan mengetuk-ngetuk lantai, yang sejujurnya aku agak sulit mengenakan heels milik Kak Fania yang tinggi ini.

"Almyra, stop!" Aku menghentikan langkahku kemudian membalik tubuh menatap Bunda yang berteriak hingga membuat langkahku terhenti.

"Apalagi, Bunda?" Aku menatap jengah wanita yang telah melahirkanku ini, kadang Bunda sangat berlebihan.

"Bunda tidak mengizinkanmu membawa mobil sendirian. Seorang anak perempuan menyetir mobil sepagi ini? Terlalu mengerikan."

"Apa?" Mataku membulat sempurna mendengar perkataan Bunda, benar kan kalau Ayah menjuluki Bunda sebagai wanita yang paranoid.

"Aku ini sudah berusia 23 tahun, Bunda. Bahkan aku sudah memiliki surat izin mengemudi, aku bisa menyetir sendiri. Aku bukan Almyra si kecil yang selalu melangkah harus di awasi setiap saat seperti dulu, Bunda." Aku masih ingat jika aku sedang berbicara dengan orang tuaku sendiri, maka ku usahakan sebisa mungkin agar tidak berteriak saat berbicara pada Bunda meski Ayah sedang menatapku tajam.

Atmosfer diruangan ini berubah tegang saat ku lihat Bunda mulai menangis di pelukan Ayah. Setitik niat untuk menghampiri mereka segera ku urungkan mengingat Bunda adalah wanita yang keras kepala, jika terus di tekan mungkin Bunda akan semakin marah padaku.

Ku buku pintu mobil honda jazz putihku dengan hati-hati dan segera masuk ke dalam mobil pemberian dari Ayah saat aku sudah mendapatkan SIM-ku dan sesudah ulang tahunku yang ke 17 tahun dengan gusar. Safe belt telah membelit tubuhku kemudian aku segera tancap gas, bersyukur Ayah telah merekomendasikanku pada perusahaan yang Ares pimpin.

"Ada apa kamu kemari?" Suara berat Ares bertanya cukup dingin saat Sekretarisnya mengantarkanku ke dalam ruangan CEO muda itu. Aku menunduk, diam mematung dan hanya mampu menatap heels hitamku dengan cemas. Takut keputusanku tidak akan diterimanya.

"Almyra." Laki-laki itu menegur dengan suaranya yang terdengar serak di telinga, membuatku mendongakan kepala untuk menatapnya. Sesaat mata kami bertemu, aku dapat melihat wajahnya yang kian hari semakin tampan.

"Apa Ayah belum cerita?"

"Menjadi sekretarisku? Kamu yakin?" Aku menggigit bibir bawahku ragu, bingung akan pertanyaannya yang mencoba mengintimidasi. Sudah pasti dia akan bertanya seperti itu.

Kalau dia mulai mengintimidasi kamu, pura-pura marah. Sial, tiba-tiba suara Alfa -saat aku menelponnya dan memberitahukan semua rencanaku ini- terngiang begitu saja.

"Yasudah, aku akan bilang pada Ayah kalau kamu keberatan." Aku berpura-pura marah, mengikuti saran Alfa dan mengiming-iming nama Ayah agar Ares tak bisa menolak.

"Oke, baik, aku menerimamu menjadi sekretarisku dan kamu bisa tanya Key apa yang harus kamu kerjakan." Shoot! Benar saja, Ares tak akan menolak jika berhadapan langsung dengan nama yang aku sebut-sebut. Key? Keyla maksudnya? Oh, aku ingat, dia Sekretaris terdahulu Ares.

"Terima kasih, Ares." Aku memekik senang kemudian langsung memeluknya sambil melompat-lompat kecil.

Setelah dia menerimamu, peluk! Agar dia merasakan wangi tubuhmu dan mulai mencintaimu berawal dari parfum. Sial, lagi-lagi suara Alfa.

"Iya, Almyra." Aku speechless ketika tiba-tiba tangan kekar Ares balas memeluk tubuhku.

"Ares?"

"Ya?" Dia menjawab tanpa melepas pelukannya padaku.

"Jangan dilepas." Aku meminta sambil tersenyum senang, berharap kejadian ini berlangsung lama. Aroma maskulinnya bahkan menyengat indra penciumanku untuk berlama-lama dalam rengkuhannya.

"Tentu." Aku begitu bahagia mendengar jawabannya. Dia mengusap kepalaku lembut dengan sayang, Ya Tuhan, aku ingin waktu berhenti berputar disini saja.

"Ares." Sebuah suara wanita mengejutkan kami sampai Ares melepas pelukannya padaku. Kami sama-sama menoleh ke asal suara di ambang pintu, Oh rupanya si rambut pirang itu, siapa lagi kalau bukan Vanessa.

Ares tersenyum menatap wanitanya kemudian berjalan menghampiri, aku membeku di tempat saat mereka saling memberi pelukan mesra.

"Vanessa, kenalkan ini Adikku, Almyra namanya." Aku tersenyum tipis kemudian menjabat tangan Vanessa yang terulur ke arahku. Ada rasa sesak melanda saat Ares menganggapku tak lebih dari seorang Adik.

"Hai." Sapaku yang di balas senyuman oleh wanita dalam rangkulan Ares dengan sangat manis, wajahnya begitu cantik, sungguh ini pujianku tulus dari hati.

Aku meremas ujung rok ku dengan kencang sampai sedikit kusut, di depanku Ares sangat menikmati waktu saat bersama wanitanya. Air mata mulai menggenang, aku tidak ingin kelihatan bersedih saat mengeluarkan suara apalagi sampai terdengar parau. Perlahan dengan sangat hati-hati aku keluar dari ruang kerjanya tanpa menimbulkan bunyi barang sedikitpun dari ketukan heels yang ku pakai dengan lantai marmer yang sedang ku pijak ini. Melihat dia begitu bahagia, entah mengapa membuatku frustasi. Ingin merusak tetapi aku tidak sejahat itu.

Alfa's Calling. . .

"Apa?" Jawabku dengan suara bergetar saat menerima panggilan masuk dari Alfa. Aku tak dapat lagi membendung air mataku ketika sudah berada dalam mobil.

"Hei, kamu menangis? Ada apa, Almyra? Apa rencanamu gagal?"

"Ares..." Aku memukul stir kemudi ku dengan keras dan menambah kecepatan mobil, menyalurkan emosi yang tengah membara kemudian kembali terisak.

"Apa kamu sedang menyetir? Oke, berhenti di situ, aku akan segera menyusul." Suara Alfa terdengar panik kemudian mematikan sambungan telepon secara pihak.

Ku injak rem mobil secara tiba-tiba sampai membuat tubuhku terdorong kedepan hampir membentur stir jika saja aku tidak memakai safety belt. Aku mengusap wajahku dengan kasar, tidak perduli jika make-up yang ku kenakan berantakan di wajahku ini. Bodoh, aku mencintai laki-laki yang sedikitpun tidak menaruh hati padaku.

***

Alfa membawaku memasuki kedai kopi di jalan yang mobilku hentikan. Dia terlihat casual, Alfa tampan mengenakan jeans hitam dan kaos putih yang membalut tubuhnya ditemani jaket kulit hitam yang kelihatan sempurna melekat di tubuhnya sampai banyak pengunjung gadis remaja di kedai ini menatap Alfa kagum.

"Ayo ceritakan." Alfa menagih setelah meletakkan dua gelas cappucino panas di meja kami.

"Dasar tidak pengertian. Tunggu aku mengelap ingusku dulu, Alfa." Aku kembali menarik tissue dari dalam kotaknya kemudian membersihkan sisa-sisa air mataku sambil mengeluarkan lendir yang mengganggu pernafasanku dari dalam hidung sampai membuat Alfa bergidik geli.

"Menjijikan."

"Masa bodo!" Ku buang semua rasa malu saat beberapa pengunjung menatap sama jijiknya dengan Alfa ke arahku.

"Kenapa melihatiku seperti itu? Tidak pernah patah hati ya, Huh?" Aku hampir meledak jika Alfa tidak segera menarikku kembali duduk dengan tenang, aku emosi ketika beberapa remaja wanita menatap kagum pada Alfa sementara menatap jijik ke arahku. Sialan!

"Tenang, Almyra. Kalau begini terus kapan kamu akan menceritakannya? Sekarang tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara pelan-pelan." Aku mengikuti perintah Alfa setelah beberapa lama ku pikir-pikir cara seperti ini membuat aku sedang berjuang melahirkan seorang bayi saja. Alfa menyebalkan.

"Uh!" Aku memukul kepalanya pelan, berhasil membuatnya meringis.

"Kamu pikir aku ingin melahirkan? Bodoh." Aku memukul-mukul tubuhnya pelan dan Alfa malah balik memelukku. Kami duduk pada satu sofa panjang bersamaan.

"Maaf." Alfa mencium kepalaku, membuatku tersenyum dan melingkarkan tanganku di pinggangnya, memeluknya dari samping. Dan itu sukses mendapat tatapan iri dari banyaknya pasang mata remaja wanita yang menatap ke arah kami.

"Alfa, dia mengabaikanku." Aku memulai ceritaku, menahan sesak yang kembali datang mengusik.

Alfa merangkul bahuku, menjadikan kepalaku tumpuan dagunya. Aku dapat melihat jakunnya naik turun menelan salivanya dan bersiap akan bicara. "Dia tidak mengabaikanmu, Almyra. Hanya saja dia belum membuka hatinya untuk mengetahui siapa orang yang paling mencintainya."

Aku semakin mengeratkan pelukanku pada tubuh atletis Alfa, usianya lebih muda dariku tapi pada saat tertentu pemikirannya lebih dewasa daripada aku.

"Apa dia akan berubah?"

"Tidak ada orang yang semasa hidupnya tidak melakukan perubahan. Suatu saat Ares pasti akan sadar, dia akan balik mencintaimu. Percaya padaku."

"You're so sweet, Alfa."

"For you, Kakakku tersayang." Kami tertawa bersama begitu mendengar suara Alfa yang sangat lembut saat mengatakan kata barusan. Rasa sedihku hilang dalam sekejap saat Alfa memulai leluconnya untuk menghiburku dan not bad, aku terhibur. Alfa adalah pria kedua setelah Ayah yang selalu mengerti bagaimana suasana hatiku setiap saat.

To Be Continued.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar ya..

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.7M 34.6K 30
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
330K 4.6K 10
"Because man and desire can't be separated." 🔞Mature content, harap bijak. Buku ini berisi banyak cerita. Setiap ceritanya terdiri dari 2-4 bab. Hap...
1M 48.4K 38
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
352K 31.5K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...