Counterpart

Door retardataire

611K 56.1K 6.2K

Berawal dari aksinya membantu seorang siswi saat MOS SMA, gara-gara itu Adiska harus ngehadapin masalah yang... Meer

1st trouble
2nd trouble
3rd trouble
4th trouble
5th trouble
6th trouble
8th trouble
9th trouble
10th trouble
11th trouble
12th trouble
13th trouble
14th trouble
15th trouble
16th trouble
17th trouble
18th trouble
19th trouble
20th trouble
21st trouble
22nd trouble
23rd trouble
24th trouble
25th trouble
26th trouble
27th trouble
28th trouble
29th trouble
30th trouble
31st trouble
32nd trouble
33rd trouble
34th trouble
35th trouble
the end of the trouble
ain't a trouble: playlist
fun facts
counterpart's QnA
๐Ÿ’™announcement๐Ÿ’™
side of arai: dua keping hati yang retak
ain't a trouble: i need your tips & facts about me

7th trouble

19K 1.8K 123
Door retardataire

T U J U H

          Jalanan yang luas dan lengang di pagi hari itu menjadi pemandangan yang sudah tidak biasa lagi di daerah Bandung. Pohon-pohon tinggi besar yang rimbun, sedikit pancaran sinar matahari yang menyinari kabut pagi, tersapu begitu saja ketika sebuah mobil merah berukuran kecil berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Sekolah yang terkenal dengan senioritasnya yang paling kejam―SMA Bakti Nusa.

           Sebuah tangan langsung mengguncang tubuh Adiska yang sedang tertidur lelap. Ulah tangan laki-laki yang berada di atas bahu Adiska itu akhirnya berhasil membuat kedua iris mata berwarna coklat menampakkan keindahannya.

           "Bangun, lo, Dis," perintah Bagas yang masih menggoyangkan bahu adiknya. "Sekolah lo udah di depan tuh. Ah elah, bangun dong! Gue telat, nih."

            Adiska mengucek salah satu matanya sambil menguap. "Ah, bawel. Iya gue bangun."

           "Aduh, Dis. Lo tuh, ya, sekarang kan udah SMA," ujar Bagas lagi, "rajinan dikit, kek. Kan katanya lo masih mau masuk Kampus Gajah Bengkak itu. Jangan malesan coba, Dis."

            Adiska menoleh pada Bagas. "Bisa aja, lo, Kak, nasehatin gue kayak gitu. Nilai kimia lo aja masih dji, sam, soe―kalo ga dua, tiga, ya empat paling."

            Bagas langsung mengucek-ngucek rambut adiknya yang dibiarkan terurai itu. "Ah udah, udah, sana lo turun! Gak usah bawa-bawa nilai kimia gue. Ini udah jam setengah tujuh lebih, Dis. Entar gue telat."

            Mulutnya mulai bergerak, mengikuti gerakan omongan kakaknya―yang mengisyaratkan bahwa gadis itu sedang mengejek kakak cowok satu-satunya. Salah satu tangan putih itu membuka pintu mobil, dan menggerakkan kakinya ke luar.

            Sebelum ia benar-benar menutup pintu, Bagas kembali berbicara. "Lo, serius gak ada yang mau lo ceritain ke gue?"

            Gadis yang memakai jaket berwarna biru tua itu mengerutkan keningnya. "Hah? Cerita apaan?"

            "Gak usah pura-pura lo," decak Bagas. "Selama tiga hari ini, lo banyak diem, sering tidur lebih awal. Lo kan kalo kayak gitu biasanya ada masalah atau paling lagi galau. Galaunya lo tuh aneh. Yang lain mah sedih, ck, ini malah tidur lebih awal."

            "Enggak, kok, Kak. Gak ada masalah."

            "Terserah sih, kalo lo mau cerita ke gue atau enggak, Dis. Gue tau, biasanya lo cuma mau cerita sama gue, kalo gak ada...Papa. Gue kan, kakak lo. Gue gak mau adik gue kenapa-napa."

            Senyuman kecil mengukir di wajah Adiska. Inilah yang menurut Adiska adalah hal yang paling disukainya kalau punya kakak laki-laki―selalu perhatian ke adiknya kalau ada sesuatu yang aneh atau mengganggu.

            "Udah kalem aja, Kak Bagas. Gue bakal cerita, kok, kalau gue punya masalah."

            "Ya udah. Gue cabut dulu. Takut telat nanti."

             Klakson pun terdengar, sebagai isyarat gue pergi dulu yaa, Dis. Sementara di depan gerbang sekolah, Adiska hanya memandang mobil merah itu dari kejauhan.

             Bagas adalah kakak laki-laki satu-satunya yang dia punya. Seorang siswa SMA kelas 12 yang selalu jahil tapi perhatian terhadap adik-adiknya. Bagas memang sayang dengan kedua adik perempuannya, baik itu Adiska maupun Kanaya. Tapi, kalau dibilang mana yang paling asik buat diajak ngobrol atau cerita, bagi Bagas itu adalah Adiska. Mungkin itu karena masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan bermain bersama adik keduanya itu ketimbang si bungsu Kanaya.

             Adiska berpikir, Bagas itu mirip dengan sang Papa. Selalu ada buat dirinya, tahu tingkah laku Adiska yang tidak biasanya, bahkan, Bagas juga tahu apakah ada masalah yang sedang mengganggu Adiska atau tidak.

             Oh, ya, kembali ke awal. Sesampainya di lorong kelas 11―dekat dengan pintu masuk―Adiska menyapu pandangannya ke sekeliling. Ia takut jika tiba-tiba kakak kelas yang ditakutinya muncul tepat di sebelahnya. Namun, untung saja hal itu tidak terjadi. Alhasil, ia memilih untuk berjalan menelusuri lorong kelas 11 menuju kelasnya yang terletak di sebelah lorong ini.

             Tatapan senior kelas 11 mulai terasa menusuk ke arah Adiska. Entah apa yang Adiska telah lakukan, tapi seluruh pasang mata menyaksikannya berjalan di sepanjang lorong ini. Sampai akhirnya, salah satu kakak kelas cewek beserta gerombolannya menghalangi Adiska.

           "Lo bocah baru, ngapain lo ke sini?" tantang cewek yang berdiri tepat di depan Adiska, disusul dengan kedua cewek yang berdiri di belakang kakak kelas yang sinis itu.

           Adiska memandang siswi senior itu dari atas sampai bawah. Rok rempel abu-abunya yang di atas lutut. Rambut panjang yang hitam-kemerahan yang bagian bawahnya keriting. Bibir yang pink merona. Dari penampilannya yang seperti itu, Adiska bisa yakin, kalau siswi yang ada di depannya itu adalah salah satu siswi pentolan Bakti Nusa.

         "Mau lewatlah. Ngapain lagi?" balas Adiska sambil memutar kedua matanya.

         Sebuah tatapan yang makin sinis kembali menyerang Adiska. "Eh, lo masih kelas 10, gak tau sopan santun, ya?"

         "Gimana mau sopan santun, kalau lo udah ngelanggar hak gue buat lewat." Adiska menanggapinya dengan malas. "Udah, ah. Awas, gue mau lewat. Bentar lagi bel masuk."

          Anak buah yang berdiri di belakang gadis itu menghalangi Adiska. "Enak aja, lo. Urusan lo sama kita belum selesai," kata salah satu cewek yang rambutnya pendek bergelombang.

         "Apaan, sih? Gue juga bayar SPP di sini. Lo gak berhak ngehalangin gue, ya!" Adiska mengacungkan salah satu jarinya ke arah cewek berambut pendek itu.

         Cewek berambut panjang kemerahan tadi, memutarkan tubuhnya dan berjalan menuju Adiska. "Kalau dilihat dari gaya lo, dengan dibandingin sama yang anak-anak OSIS bilang, lo pasti cewek pemberontak itu, kan?"

         "Sok tau, lo. Udah minggir! Kasih gue jalan, atau lo mau bogem dari gue?" Adiska mulai kesal ketika ketiga kakak kelasnya itu tidak mau memberinya jalan.

         "Idih, ini anak malah makin ngelunjak, ya? Kayaknya MOS kemarin masih enteng, ya, buat lo?" Cewek berambut hitam kemerahan itu mulai terpancing dengan tingkah laku Adiska yang baginya begitu menjengkelkan. "Lo masih bocah tengil, lo berani ya―"

         "Tam! Tamara, liat itu ada kecengan lo!" seru salah satu cewek yang rambut panjangnya diikat.

         Cewek rambut kemerahan yang dipanggil Tamara itu langsung menoleh ke arah tunjukkan temannya. Ia langsung berjalan menjauhi Adiska.

         "Arai! Tumben lo dateng pagi jam segini?"

        'Arai' katanya?! batin Adiska yang segera menoleh ke arah cowok kecengan Tamara itu.

         Cowok itu seperti biasa membiarkan rambut bagian depannya berdiri agak acak-acakan. Seragam putihnya tertutup akibat jaket kulit hitamnya yang membalutinya. Tas ransel berwarna coklat dibiarkan talinya diapit oleh salah satu tangannya―yang di mana kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

         Skak mat lo, Dis. Arai ada di depan lo.

        Adiska langsung memutar-balikan tubuhnya. Ia mulai melesat pergi menuju kelasnya―seolah tidak pernah bertatap muka dengan Arai barusan.

        Hanya saja, Arai tidak sebodoh itu.

        "Apaan sih, lo, Tam. Minggir," usir Arai sinis. Cowok itu langsung berjalan ke arah Adiska tanpa sepengetahuannya.

        "Kok gitu sih, Rai? Bisa gak, lo ngomong ke gue baik-baik?" Tamara meninggikan suaranya karena kecewa.

        Arai membalikkan tubuhnya kembali ke arah Tamara. Matanya menatap Tamara dengan serius, sehingga berhasil membuat cewek itu terdiam. "Lo mau gue baik ke lo, kan? Nah, gue minta, bawain tas gue ke kelas. Oke?" ujar Arai langsung terdengar lebih baik dari sebelumnya yang kemudian berlalu―tidak memedulikan lagi gadis yang kayak tante-tante itu.

        Adiska sambil memegang tali tas ransel merahnya, berkumat-kamit setelah melihat wajah Arai tadi. Ia berdoa, semoga saja Arai tidak menghampirinya.

        Langkahan kaki Adiska semakin cepat. Ia kemudian memasuki koridor kelas 10 yang masih ramai dipenuhi anak-anak kelas 10 yang berbincang sana-sini.

        Tapi entah kenapa, seketika semuanya menatap ke belakang Adiska―yang membuat siswi itu akhirnya menoleh ke belakang.

        Dafuq! adalah satu kata yang baru saja bersuara dalam batin Adiska.

        Arai sudah berada tepat di hadapannya sekarang.

        "Lo masih inget, kan, lo masih punya urusan sama gue?" Suara berat yang menyeramkan kembali terdengar oleh Adiska.

        Adiska menatapnya tanpa bersuara sedikitpun. Sebuah anggukan kepala menjadi jawabannya.

        "Gue juga bilang sama lo kan, kalo gue bakal memperlakukan lo dengan cara lain?" kata Arai lagi, meminta Adiska untuk mengiyakan. "Tenang aja, lo spesial di mata gue. Jadi cara ngasih pelajaran ke lo juga spesial.

        "Pulang sekolah nanti, temui gue di pangkalan anak-anak Legion. Tapi, gue minta lo sendiri datengnya."

        Adiska menatap ke arah wajah Arai. Suaranya terdengar lebih ramah daripada sebelumnya. Andai saja Arai sikapnya tidak seperti itu, orang-orang pasti senang berada di dekatnya. Terlebih lagi dengan wajahnya yang kelewat ganteng menurut Adiska pribadi.

        Kedua mata elang Arai langsung mengarah ke sisi lain ketika ada seseorang yang memecah suasana.

        "Gak cukup apa, lo ngasih pelajaran ke Diska tiga hari yang lalu?" Seluruh siswa di koridor menoleh ke sumber suara.

        Recza berdiri depan pintu kelasnya―kelas 10 IPA 7. Salah satu tangannya yang awalnya bersandar di kusen pintu menjauh saat Recza memutuskan untuk mendekati Adiska dan Arai. Posisinya kali ini berada di tengah―seolah-olah menjadi benteng Adiska jikalau Arai mulai melancarkan serangan.

        Dengan gayanya yang sedikit arogan ketika salah satu tangannya dimasukan ke dalam saku, kedua mata Recza membalas tatapan sinis yang diberikan Arai.

        Sebuah kekehan kecil keluar dari mulut Arai. Membuatnya menunduk dan mendongakkan kepalanya lagi. "Lagi-lagi ada yang jadi sok pahlawan di sini."

        Adiska melihat wajah Arai yang semakin sinis dari balik punggung Recza yang lebar. Entah kenapa firasat Adiska tidak enak.

        "Dasar, suka caper! Lo gak usah cari gara-gara di sini." Recza mulai memberi penekanan pada Arai. Namun sepertinya kebal pada Arai yang selalu meremehkan.

        "Tenang aja, Za. Kali ini gue gak akan macem-macem. Gue cuma mau ngasih tau Adis doang, kok." Kedua tangan Arai diangkat, seolah dia menyerah. Dan setelah itu, kedua tatapan Arai mengarah pada Adiska. "Oke, Adis. Gue kasih waktu buat berduaan sama pahlawan lo sekarang."

        Arai kemudian pergi dan membuat suasana koridor kelas 10 kembali ramai. Rupanya, Adiska kali ini menjadi pusat perhatian setiap anak di koridor itu.

        Tapi Recza tidak menghiraukannya. Ia segera menembakkan sebuah pertanyaan pada Adiska.

        "Arai ngomong apa tadi sama lo, Dis?"

        "Apa sih, Za? Ini bukan urusan lo," jawab Adiska yang tidak mau Recza terlibat. Ia segera membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kelasnya.

        Recza dengan cepat mencengkram salah satu bahu Adiska. "Udah deh, Dis, lo tuh gak usah sok kuat. Gue tau, lo udah takut sama Arai karena satu hal. Bisa jadi dia ngancem lo, kan?"

        "Ya terus lo mau ngapain kalo gue diancem, Za? Lo mau ngapain? Gak usah sok peduli sama gue," balas Adiska mencibir.

        "Idih, ini gak ada hubungannya sama lo." Sebuah cengkraman yang kuat pada pergelangan Adiska berhasil membuatnya berhenti berjalan. "Gue bakal bikin si Arai nyesel."

        Adiska mengerjapkan matanya. Dan tiba-tiba ada satu pertanyaan yang muncul dalam otak Adiska, "Terus, kenapa lo lakuin semua ini? Tiba-tiba ada kalo gue sama Arai? Padahal kan, lo bilang gak ada hubungannya sama gue."

        "Ya itu karena―ck, ah, bukan urusan lo." Recza langsung pergi meninggalkan Adiska yang berada di dalam kelas―membiarkan Adiska penuh dengan tanda tanya.

        Ini bukan Recza yang biasanya, deh. Hanya itu yang bisa Adiska pikirkan sekarang.

-:-0-0-0-:-

        "APA LO BILANG?! LEGION?!"

        Debby mengerjapkan matanya tak percaya.

        "Seriusan, Dis? Arai nyuruh lo ke pangkalan anak-anak Legion?" tanya Debby yang kedua kalinya, dengan alasan untuk meyakinkan dirinya yang takut-takut malah salah dengar.

        "Aduh, Deb. Serius." Adiska memutar bola matanya. "Emang kenapa kalo gue ke sana?"

        Gadis berpipi gembil itu langsung memegang kedua bahu Adiska erat. "Lo seriusan gak tau anak Legion?"

        Adiska menggeleng.

       "Legion itu udah dikenal banget sama seluruh pelajar di daerah sini, Dis. Masa lo gak tau, sih? Itu komunitas anak-anak Bakti Nusa yang nakalnya, gusti...udah parahlah." Debby membayangkan kenakalan anak-anak itu dengan ngeri. "Mereka suka tawuran sama anak-anak SMA Pancasila. Ngerokok di sembarang tempat. Bahkan bikin ulah di sekolah mereka sendiri."

        Adiska bergidik ngeri. Gila aja tuh cowok. Masa dirinya disuruh ketemuan di pangkalan anak-anak berandalan kayak gitu? Mau cewek sesangar Adiska juga gak akan berani ngelawan orang-orang kayak gitu.

       "Dis, gue minta, lo gak usah pergi ke tempat itu." Debby memberi saran. Namun bagi Adiska, kedengarannya justru memberi perintah.

       "Gue gak bisa, Deb. Yang ada, gue malah dikejar terus sama Arai. Masalah gue gak akan selesai-selesai."

-:-o-o-o-:-

        Pulang sekolah, bukannya pulang Adiska justru teringat akan perkataan Arai yang menyuruhnya ke pangkalan anak-anak Legion―yang letaknya di jalanan belakang sekolah yang sepi.

        Debby sudah melarangnya beberapa kali. Tapi suaranya sepertinya terpental gitu aja. Adiska tetap bersikukuh untuk pergi ke pangkalan Legion.

        Dari dalam kelas yang sudah sepi, suara Debby yang melengking saat melarang Adiska, terdengar oleh Recza dan Zidan yang tengah berjalan menuju ke luar kelas.

        "Aduh, kenapa sih itu berisik banget," keluh Zidan sambil berjalan keluar.

        Recza yang berjalan tegak sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya, berhenti ketika Adiska dan Debby terlihat di lingkup pandangannya.

        "Udah, Deb. Mendingan lo pulang. Gue bisa urus gue sendiri." Adiska mulai tidak memperdulikan larangan teman dekatnya itu. Sehingga ia berjalan menjauh menuju pintu belakang sekolah dekat koridor anak kelas 12.

        Gadis gembul yang rambutnya agak keriting itu langsung menoleh ke arah salah seorang cowok familiar yang sedang mengamati mereka berdua. "Recza, plis, gue minta tolong sama lo. Si Diska mau ke pangkalan anak Legion!"

        "Ya, terus?" tanya Recza ketus.

        "Ah, elah. Ya ditolonglah, Za, lu bego," timpal Zidan yang langsung menyikut lengannya.

        "Maksud gue, kenapa mesti ke gue minta tolongnya? Kenapa gak ke Zidan?" kata Recza. "Gue capek ah. Tuh cewek kan kerjanya nyusahin mulu. Lagian tadi pagi, dia sendiri yang bilang gak mau ditolong. Padahal udah gue bantuin tadi."

        "Gile lu, Za! Ya kali gue yang ke sana. Yang ada malah gue sama Adiska dihajar abis-abisan," elak Zidan langsung sewot. Semantara Recza hanya membalasnya dengan mendecak sebal.

        Sebenarnya, bukannya Recza tidak mau menolong Adiska. Sejujurnya dia ngebet banget pengen nolongin, hanya saja, Recza gak mau melakukannya akibat pembicaraannya dengan gadis itu tadi pagi. Ia gak mau, Adiska tahu alasan kenapa Recza terus ada setiap Arai muncul di hadapan Adiska.

        "Plis, Za. Gue mohon sama lo, suruh Adiska gak dateng ke sana." Debby terus memohon pada Recza yang keliatannya masih tidak peduli.

        "Ya udah. Gue terima."

-:-o-o-o-:-

        "Woi." Sebuah suara membuat langkahan Adiska terhenti dan menoleh ke belakang.

        "Lo mau ke pangkalan Legion, kan?" Recza berdiri tepat di belakang Adiska sambil menatapnya datar.

        Adiska mengernyitkan dahinya kemudian mengangguk. "Iya. Terus kenapa?"

        "Gue ikut. Soalnya gue lagi males pulang cepet."

        Adiska semakin bingung. Alasan macam apa itu. Tumben bener, Recza mau ikut bareng Adiska. Terlebih lagi, kenapa Recza tidak melarang dirinya untuk pergi? Biasanya kan selalu melarangnya setiap kali ada hubungannya dengan Arai.

       "Tapi pas udah sampe di pangkalan, mending lo sembunyi. Soalnya gue disuruh pergi sendirian," ujar Adiska memperingati.

       "Cowok yang bener itu gak pernah sembunyi, Dis. Dia selalu muncul dan ada setiap masalah datang. Apalagi kalau yang butuh pertolongan itu worth it banget buat ditolongin."

       "Hah?" Adiska langsung menoleh ke arah Recza yang berjalan di sebelahnya.

       "Gak ada siaran ulang."

       Dih, ketus banget. batin Adiska saat mendengar respon dari Recza.

       Tanpa Recza sadari, sebenarnya Adiska mendengar jelas kata-kata yang baru saja diucapkannya. Dan entah kenapa hal itu membuat Adiska ingin mengangkat kedua sudut bibirnya. Rasanya aneh, kenapa di saat begini dia malah merasa begitu senang.

       Nampak sebuah warung kecil ketika Adiska dan Recza berjalan sedikit dari sekolah mereka. Warung kecil itu terletak di antara pohon yang besar yang berada di jalanan yang jarang dilalui oleh kendaraan di daerah sini. Kendaraan bermotor yang tampak hanyalah motor-motor sport yang parkir berjejeran di sebelah warung kecil itu.

       Di depan warung, terdapat tempat duduk dari kayu yang diduduki oleh anak-anak SMA yang beberapa di antaranya sedang merokok dan sisanya tengah makan beberapa camilan.

       Mereka semua rata-rata pentolan Bakti Nusa. Di antara yang terkenal, tentunya ada yang paling terkenal. Ya, dia adalah Arai―sedang menghisap puntung rokok sembari duduk di motor sport warna putihnya.

       Seorang gadis dan seorang cowok tertangkap dalam kedua matanya. Cowok yang tengah merokok di atas motornya itu langsung berdiri, menjatuhkan rokoknya dan menginjak sebatang rokok itu hingga hancur.

       "Hey, Adis," sapa Arai sok ramah.

        Arai memang memiliki kekuatan yang dahsyat. Namun kali ini tidak ada rasa ngeri sedikitpun―kali kali ini, Arai terdengar ramah.

        Sementara untuk Recza, mendengar suara Arai saja malah ingin membuatnya memukul wajah lelaki yang menyebalkan itu.

        Kedua mata Arai mengarah pada Recza, dan sorot matanya berubah dalam sekejap. "Gue kan udah bilang, lo datengnya sendiri aja, Dis."

        "Gue gak niat ganggu. Gue di sini cuma pengen pastiin kalo Adiska gak kenapa-napa," Recza menjawabnya dengan tatapan sinis namun ada penegasan dalam kata-katanya―walaupun ia tahu, yang ditanya adalah Adiska.

        Dan lagi-lagi, kata-kata Recza benar-benar membuat sensasi tersendiri bagi Adiska dalam hati.

        "Oh," kata Arai mengangguk dengan acuh. "Padahal mendingan sendiri aja lo, Dis, ke sininya. Soalnya gue mau ngomong sesuatu secara personal. Takut pahlawan lo jealous sama gue."

        "Lo gak usah ribet deh. Kalo mau ngomong, ngomong aja," balas Recza yang terpancing kata-kata Arai.

         Adiska langsung menyikut lengan Recza ketika cowok itu bersikap seperti itu. Ia meminta Recza untuk tetap tenang agar tidak ada masalah lagi yang mengganggu.

         Arai berjalan mendekat ke arah Adiska, yang disusul oleh salah seorang cowok yang kelihatannya adalah sohibnya Arai itu. Yoga namanya―orang yang tidak asing lagi bagi Adiska saat MOS waktu itu.

        "Gue mau minta maaf sama lo, Adis. Seharusnya gue berurusan sama lo gak pake kekerasan kayak waktu tiga hari yang lalu. Tapi inget, bukan berarti urusan lo sama gue selesai," kata Arai, "Cuma, kali ini gue mau minta maaf karena udah kasar sama lo. Untuk itu, sebagai permintaan maaf gue, gue kasih ini, Adis."

        Arai menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus rapih dengan kertas berwarna biru beserta pita yang terikat di atasnya.

        "Denger denger, lo suka sama coklat dan warna biru. Makanya, gue kasih ini."

        Gadis yang rambutnya terurai itu membulatkan matanya lebar-lebar. Terkejut karena Arai bisa jadi penguntit kayak gitu. Terkejut juga karena sikap Arai yang entah kenapa berubah drastis. Hari ini kenapa Arai jadi tiba-tiba baik?

        "Tau darimana kalo gue suka coklat? Terus warna biru juga?" tanya Adiska yang tengah mengamati kotak berukuran sedang yang dipegangnya.

        Arai tersenyum miring. "Darimana juga lo gak usah tau, Adis. Gue punya banyak mata-mata."

        "Lo mau bikin permainan apa lagi kali ini?" sinis Recza yang berbicara dengan tiba-tiba.

        Arai mengangkat kedua tangannya. "Whoa, santai, Bung! Ini bukan permainan. Gue cuma mau minta maaf karena gue udah mukul dan ngejambak Adis waktu itu. Tapi mulai besok, gue berurusan dengan Adis gak akan pake cara kekerasan lagi."

        "Apa jaminan lo kalau ini bukan permainan?" Recza mulai mendekati Arai, seolah menantangnya.

        Arai mendecih. "Jaminan gue, Adiska bakalan baik-baik aja."

        Recza menguatkan rahangnya kemudian berbicara lagi, "Gue udah muak sama janji palsu lo dari dulu. Lo pikir gue bakal percaya sama lo untuk yang kedua kalinya?"

        "Udah gue duga. Ternyata, jangan-jangan ini ada hubungannya ya, Za, sama dia dan waktu itu?"

        Recza mncengkram kerah baju Arai kuat-kuat. "Jangan pura-pura gak tau lo, brengsek! Lo tuh emang orang yang gak guna yang pernah gue temui, Rai. Coba kalo waktu itu lo gak―"

        Arai langsung mendorong Recza menjauh darinya. "Za, gue minta lo jangan ngomongin itu lagi sekarang. Mending, lo cabut sekarang juga selama gue masih bersikap baik sama lo dan Adis."

        Cowok yang berdiri di sebelah Adiska itu sebenarnya hendak melawan balik. Akan tetapi berhasil dicegat oleh Adiska yang menahan tubuh Recza dengan tangannya.

        "Udah, Za. Kita gak usah nyari masalah lagi. Mendingan kita balik sekarang." Adiska seberusaha mungkin mengajak Recza dengan nada lembut―takut-takut emosi Recza meledak dan membuat perkelahian lagi dengan Arai.

        Recza menghempaskan tangan Adiska yang menghalangi. Tapi saat dirinya memandang kedua mata Adiska yang tengah memohon, ia mengurungkan niatnya untuk menghajar kakak kelasnya itu.

        Adiska setidaknya merasa lega, meskipun ada sebuah kebingungan yang tercipta dalam benaknya. Antara Recza dan Arai. Sepertinya ada kepingan misteri yang harus Adiska kumpulkan.

•                •               •                •                •                 •                 •                 •                 •                 •                 •

{A/N} nah loh, ada apa dengan Recza sama Arai? haha btw, gue seneng banget nih ngeliat antusias kalian yang baca Counterpart, terutama sama komen kalian. di sisi lain, gue juga makin ke sini makin seneng tiap nulis buku ini. jadi, mumpung gue lagi bersemangat, gue panjangin dikit untuk chapter kali ini hehe.

semoga makin seneng baca Counterpart yaa gaes

Sabtu, 3 Oktober 2o15

―Dean


Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

1.5M 20.6K 8
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.5M 136K 62
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
257K 11.7K 17
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -๐“ฝ๐“พ๐“ต๐“ฒ๐“ผ๐“ช๐“ท๏ฟฝ...
1.3M 119K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...