Pengabdi Istri (The Series)

By Indomie2Bungkus

134K 13.9K 3.5K

Bersahabat sejak bayi membuat mereka bertujuh menjadi terikat secara tidak langsung, setelah bertahun-tahun b... More

1. Tukeran Kado
2. Naren Bulol Era
3. Tidak seindah yang terlihat
4. Aku sakit
5. bapak-bapak galau
6. Mulut lancip
7. Suami Sieun Istri
8. Pengeretan vs Sultan
9. Dia datang
10. Rekonsiliasi
11. Bocil Berulah
12. Cemburu seorang istri
13. Bertemu Gavin
14. Huru hara ini
15. Danindra to the rescue
16. Ada yang pundung
17. Curhat dong
18. Botram
19. Gengster Squad
20. Drama Puasa
Special Chapter
Special Chapter 2
22. Lepaskan?
23. Galau part kesekian
24. Lebar-an (1)
25. Lebar-an (2)
26. Baby Girl
27. Kenyataan yang sebenarnya
28. Rayuan Maut Danindra
29. Jendra pelindung ayah!
30. Kehebohan Zidan
31. Agustusan Nih
32. Agustusan Nih (2)
33. Buy 1 get 1
34. Skandal Baru
35. The Arsenio's
36. Comeback Aji dan Indra
37. Siapa yang bodoh?
38. Ternyata....
39. Rencana - A
39. Rencana - B
39. Rencana - C
40. After
41. Fakta Baru
Special Chapter (3)
Special Chapter (4)
42. Ayo, cepet bangun ayah!
43. Obrolan tak berfaedah
44. Saat-Saat Menyebalkan
45. Nikmatnya Bergosip
46. Sayang Istri
47. Pengrusuh
49. Fabian vs Narendra
48. Lanjut Nikahan
50. Hilang
51. Katakan Peta
52. Ember Bocor
53. Keciduk
54. Tantrum
56. Nama anak
57. Takdir yang Rumit
58. Keciduk Lagi
59. Sisi Menyebalkan Narendra
60. Bermalam bersama

55. Ronda Core

1K 164 46
By Indomie2Bungkus

***

***
-🦁🦊🐻🐰🐬🐹-

"Gak lucu rasanya di paksa Ronda karena biar di maafin istri." Keluh Narendra sambil nepok wajah ganteng nya yang lagi-lagi digigit nyamuk sambil bersandar di bale-bale yang menjadi basecamp para bapak-bapak muda berkumpul selain di rumahnya. Di sana selain Narendra ada juga Zidan, Danindra, Ravi, Gavin, bahkan Aji seorange duda baru rasa bujang pun turut ronda malam. Alasan nya karena gabut, padahal mah karena kesepian di rumah sendirian.

"Masih di punggungin Yasmine bang?" Tanya Danindra sembari memakan kacang kupas yang disediakan para istri untuk ronda bapak-bapak malam ini.

"Bukan main. Dia mogok ngomong sama gue coba. Mana gak mau tidur bareng, dia milih nemenin Gia di banding gue lakiknya. Dia gak peka kalau suami nya kangen."

"Mamam tuh. Gue udah mau empat puluh hari masih gak bisa sekamar sama Gia. Biasa aja tuh!"

"Kemarin yang mewek sambil mohon-mohon sama mama siapa?"

"Ck, acting doang itu Ren."

"Gue aduin mama tau rasa!"

"Ah bajingan law, cepu.." dengus Zidan pelan.

"Hadeuuhhhh sama. Rissa juga jutekin gue udah seminggu." Keluh Danindra. "Dia bahkan gak mau gue sentuh bang."

"Kenapa lagi? Pengantin baru ribut mulu dah."

Gavin mengangguk setuju pada ucapan Ravi barusan. "Tau ribut kenapa lagi sih?"

"Ya setelah dia tantrum dan mukulin Bang Naren waktu itu, pas sampe rumah Rissa langsung gue omelin habis-habisan. Eh bukan nya nyesel dia malah balik pundung.."

"Itu sih salah elo. Gue ribut sama Yasmine juga karena elo!"

"Kenapa jadi salah gue sih bang?" Danindra melotot menatap Narendra sebal.

"Ya kalau lo ga ngulah kayak kirim-kirim hadiah gitu dan berakhir bini lo curhat-curhat kan gak mungkin ngerembet jadi gibahin gue. Ujung-ujung nya kan kebongkar gue pernah di hajar mertua sama ipar gue. Salah mulu gue jadinya."

"Gue kok sangsi ya lo pernah di hajar Idan?" Tanya Gavin heran dan tidak percaya. "Idan kan tulang nya lunak kan hahaha."

"Bajingan gini-gini gue petarung ya! Cuma gue yang sekali cetak langsung dua gol.." Zidan mencak-mencak pada Gavin yang tertawa puas. "Tapi bang, si Naren mah asli nya emang serem, lawan preman nya si Sunan aja berani, dan gue yakin waktu itu ni orang cuma pasrah karena ngerasa bersalah aja sama adek gue, semacam ngehukum diri sendiri kali."

"Bahkan lo sayat-sayat telapak tangan lo karena ngerasa bersalah." Kali ini Ravi membuka rahasia-rahasia yang selama ini pria itu ketahui secara diam-diam. Dan hal itu membuat Zidan semakin di rundung rasa bersalahnya yang teramat dalam. "Sorry ya Ren.."

"Yaelah ape sih, Dan? Gak usah begitulah. Udah berlalu juga, toh Yasmine pun udah balik lagi sama gue, ya walaupun sekarang lagi ngambek hahaha." Balas Narendra kembali santai, pembahasan itu sudah jadi bukan trigger depresi nya lagi.

"Yasmine kalau tau hancurnya lo dulu, pasti dia sedih sih."

"Gue lebih ke malu sih. Lemah banget gue jadi laki, Pi."

"Setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, bang. Kita cuma liat cover lo doang sebagai orang yang nyakitin Yasmine, tapi kita semua gak tau pov lo, kita gak tau kalau lo juga strugle bahkan sampe lo depresi." Timpal Danindra menenangkan. 

"Cuma gue yang tau. Eh sama Indra juga." Timpal Aji yang sedari tadi hanya nyimak sambil main game cooking mama.

"Gue gak ada apa-apa nya, Ndra. Yasmine yang lebih strugle, dia benar-benar sendiri waktu itu. Makanya setiap Yasmine ngambek, kadang bikin gue takut di tinggal lagi sama dia. Itulah kenapa setiap dia ngambek gue suka lebay.""

Zidan terkekeh menepuk punggung iparnya itu dengan lembut, "Tenang Ren, adek gue gak ngambek beneran kok, dia gitu karena khawatir dan ngerasa bersalah aja. Buktinya masih dapet kiriman makan siang kan dari Yasmine? Dia cuma kesel aja lo gak jujur dari awal. Padahal mah gue gak masalah kalau lo spill juga Ren. Gue salah juga soalnya."

"Iye tauuuu, dia gitu karena dia sayang sama gue dan gue juga sayang banget sama dia. Udah jangan bahas gue lagi, sekarang lo sama Gia gimana? Nama anak udah fix?" Tanya Narendra berusaha mengalihkan pembicaraan. Entah mengapa teman-teman nya ini selalu saja membahas soal masa lalunya.

"Udah, dari masih di perut udah gue siapin kok. Tenang aja."

"Gak Sakura, Sasuke atau semacam nya kan?" Tanya Gavin iseng. "Secara lo addict banget sama Naruto dari bocah."

"Ya kagalah bang bisa kena hajar gue sama keluarga besar."

"Padahal fantasi lo udah liar banget buat kasih nama anak kan?"

"Yoi, ah si Rapi emang paling mengerti gue,  kayak Kang Chi Reng, Bon Cha Be atau Kang Park kir." Zidan bertepuk tangan bangga. "Gila keren kan? Nama Korea gitu loh."

"Thay Sa Phi bang."

"Anjir keren kieu euyyy.." Zidan berhigh five dengan Danindra dan keduanya tertawa puas. Agak-agak memang.

"Ada gila nya ni berdua." Ravi geleng-geleng kepala dibuatnya. Sedangkan yang lain hanya tertawa saja, karena sudah biasa dengan akal pikiran Zidan dan Danindra yang sangat luas seluas cakrawala. Sebenarnya Aji juga sama, tapi new duda itu lagi di masa hiatus. Masih galau ges.

"Eksperimen cuy! Sirik aja lu."

"Syukuran nya si kembar kapan emang bang?" Tanya Aji sambil merapatkan jaketnya karena kedinginan.

"Minggu depan Ji, minta bantu ye kalian semua. Soalnya sesuai permintaan keluarga Gia syukuran nya mau rada gedean di rumah."

"Yang ngisi acara siapa?"

"Bini gue lagi ngefans sama Hanan Attaki bang, kemungkinan ngundang beliau. Tapi masih di tahap nego ke manajer nya."

"Udah coba ke Eric? Tu anak kan getol banget ikut kajian. Bahkan akrab sama manager nya Ustad Hanan."

Zidan mengangguk menatap iparnya, "Aman Ren, kemarin gue  telponan sama si Eric."

"Eh btw masih jomblo ya dia? Gamon apa sama si Pania?"

Narendra mengedikkan bahu nya menatap Ravi yang nampak kepo, "Katanya sih kagak, dia masih insecure aja kan dulu dia pernah jadi laki berjiwa 'bebas'. Pernah naksir cewek sih tapi cewek nya malah nikah gitu sama ustad."

"Makanya tobat tu anak?"

"Bisa jadi, hidayah orang kan cuma yang bersangkutan yang tau." Balas Narendra lagi sambil mengunyah kacangnya.

"Iya sih! Btw Dan, Bian lo undang kan?" Tanya Ravi.

"Undang lah. Tapi gak papa kan Ren?"

Narendra yang ditanya seperti itu oleh iparnya malah bingung. "Lah napa nanya gue? Yang punya acaranya kan elo, Dan. Hak lo itu. Aneh dih."

"Ye lo kan ada masalah sama Bian."

"Yaelah masalah kecil doang." Sahut Naren santai.

"Masalah kecil buat orang lain, tapi masalah besar buat lo. Denial lo ah." Kekeh Ravi sembari melempar kulit kacang ke wajah Narendra yang berhasil laki-laki itu halau.

"Yaelah kata orang nya aja masalah kecil kan waktu lo ajak ngobrol, Pi? Dia sendiri yang bilang gue lebay." Dengus laki-laki itu pelan.

"Bukan bermaksud membela sih ya cuma Bian bilang gitu karena lagi kalut. Ujung-ujung nya dia sendiri nyesel kok bilang gitu. Dia pengen baikan sama lo, tapi lo nya masih keliatan antipati banget."

"Tapi, Pi, masuk akal kalau Naren bisa semarah itu sama Bian, Yasmine gugat dulu kan gara-gara Bian. Yang gue kasihan malah Vania jir, berarti cuma dijadiin pelarian doang." Ucap Gavin menatap Narendra serius. "Inget gak Ren? waktu Ajen masuk umur tiga tahun dan anak lo demam, lo ayahnya  gak di bolehin nengok sama Bian bahkan sampe ribut di ruang rawat. Katanya disana juga ada Vania yang keliatan nahan nangis jir, karena kayak gak dianggap sama Bian."

"Lo tau soal itu bang?" Tanya Danindra. "Gue kira gue doang yang tau."

Gavin mengangguk, "Zizi cerita sama gue."

"Jujur ya, gue sih kasihan sama Bang Naren, Yasmine dan Kak Pania yang jadi korban manipulasi Bang Bian. Tapi liat background dia di rumah nya, gue juga kasihan kenapa dia bisa semanipulatif itu ke orang lain. Mami nya toxic parah."

Sedangkan Ravi ikut mengangguk mendengar penjelasan Gavin dan Danindra barusan. "Nina juga cerita, tapi jujurnya gue udah tau dari dulu, tepatnya semenjak Yasmine pendarahan sih. Pas dia pendarahan itu kan chaos banget, gue juga udah usaha buat ngingetin Bian. Tapi ya nama nya obsesi, susah kalau gak dari diri sendiri berhentinya."

"Obsesi dia tuh bukan ke Yasmine banget sih. Kaya gimana caranya ngehancurin Naren. Tapi karena Yasmine juga jadi triger dia buat makin obsesi ngalahin lo Ren."

"Sumpah gue gak papa, bang. Gue ataupun Yasmine gak benci ataupun marah sama pribadi dia, gue cuma benci sama kelakuan dia yang buat rumah tangga gue berantakan, karena semenjak Ajen lahir gue udah usaha buat jadi suami yang baik, ayah yang baik, bahkan gue udah minta maaf sama Yasmine. Yasmine pun menerima maaf gue, gue bilang sama dia kalau gue serius sama pernikahan ini, gue mau sampai akhir sama dia. Tapi apa? Yasmine ragu lagi sama gue, entah apa yang Bian bilang dulu sama dia, sampai buat Yasmine ninggalin gue secara tiba-tiba."

"Bang Bian bilang apa emang bang?" Tanya Danindra.

"Ya gue gak tau! Karena pembahasan ini selalu gue ataupun Yasmine hindarin."

"Lo gak pernah bahas ini selama rujuk?"

"Bahas tapi gak detail, Pi. kita cuma cocokin sudut pandang kita berdua dan salah satunya kronologi gue ribut sebelum Yasmine pendarahan terus kronologi gue kelepasan nampar... dia, sama sudut pandang dia pas denger percakapan gue sama Regan, yang ternyata gue baru tau kalau dia disana karena diajak Bian. Makanya dia langsung gugat gue."

"Yasmine gak cerita Bian bilang apa?"

"Nah pas gue korek lagi, dia selalu nangis. Katanya nyesel kenapa dulu dia percaya sama Bian, tapi gue bingung apa yang Bian omongin sama Yasmine sampe dia segitu ngerasa bersalah nya sama gue. Jadi gue gak tega ngorek sampe dalam, paling nanti lah pelan-pelan dicoba lagi.."

"Gue juga waktu bantu nutupin gugatan itu karena Bian bilang lo mau balik sama Julia, karena Regan udah lepasin Julia. Makanya gue sama Idan sempet ngehajar lo waktu itu."

"Boro-boro jir, denger namanya aja gue udah males. Dia yang di hamilin Regan, tapi minta gue yang tanggung jawab. Sakit anjir."

"Tapi lo pernah percaya sama skenario Regan sama Julia pas lo samperin mereka ke Semarang. Sampe lo beneran benci sama Yasmine."

"Tolol emang gue."

"Tapi gue jadi curiga mungkin dari titik itu Bian udah kerjasama sama Regan. Ya gak sih?"

"Ya bisa jadi."

"Ya no wonder lo mukulin Bian sampe kesetanan gitu, yang ngenes nya tuh pas Vania ngobatin luka nya Bian tapi matanya kosong banget. Di pikir-pikir sakit anjir."

"Gue sama Yasmine udah pernah ngobrol sama Vania waktu Ajen baru lahir dulu, gue udah ngingetin dia jangan sampe dia milih Bian dan malah ninggalin orang tua nya sendiri. Karena kalau terjadi sesuatu di masa depan dia gak bakal bisa minta perlindungan keluarga nya lagi. Dia udah milih Bian dan dia harus siap sama resiko nya. Dan gue paham sih waktu ngobrol sama papa nya Vania alasan kenapa beliau gak restuin Bian. Dulu gue denial, tapi sekarang gue kayak 'Oh.. ini toh maksud Pak Sulaeman' gitu..."

"Kenapa tuh?"

"Waduh gak enak gue Pi, kesan nya jadi aib."

"Ya gak papa, siapa tau bisa gue sampein langsung ke Bian. Kalau nunggu lo kapan tau dah baikan nya. Gak muna kalau gue gedek sama tu anak, tapi gue juga kasihan."

"Udah spill aja Ren. Demi kebaikan juga kok. Kita bisa bantu Bian buat dapet restu mertuanya."

"Banyak hal sih, tapi salah satunya karena Bian gak pernah meminta langsung ke Pak Sulaeman kalau Bian mau nikahin anaknya. Bahkan yang datang ke rumah Vania saat itu Om Damar, itupun cuma menyampaikan kalau anak mereka udah tunangan dan mau nikah beberapa bulan lagi. Orang tua mana yang gak sakit hati digituin? Gak di hargain jir. Seandainya Bian serius mau restu bisa kok dia deketin Pak Sulaeman pelan-pelan. Bukan malah bapaknya mulu yang menghadapi Pak Sulaeman."

"Berarti lebih susah naklukin hati Om Firli ya Bang?" Danindra menatap Gavin yang mengangguk sembari terkekeh

"Hahaha keajaiban banget akhirnya gue dapet restu."

"Gue aja kaget. Lo bisa keakrab itu sama Om Firli. Padahal kita tau lo hampir di bedil beberapa kali sama mertua lo."

"Kita juga pernah mau di bedil kan ya? Si Naren aja yang biasanya jadi penghubung aja jiper waktu ketemu Om Firli."

"Jendral itu, ngeri gue. Salah-salah kena dor deh. Masih sayang nyawa gue." Kekeh Narendra dengan wajah yang bersemu malu.

"Kita sering banget tuh bantuin lo buat nego sama Om Firli. Tapi lo berhasilnya pas kita-kita gak ada sama lo. Keren lah."

"Iya thanks ya, gak salah walau sirkel gue gak berkembang. Setidaknya lo pada berguna ya." Kekeh Gavin geli. Meski mulut mereka ampas, tapi selalu ada di setiap kondisi. Dan hal itu yang membuat Gavin sangat bersyukur.

"Hahaha iya jir, di pikir-pikir dari jaman bocah sirkel kita ini terus deh, kayak gak nambah-nambah gitu lho. Padahal bisa aja kita ajak gabung misal Eric kan akrab sama Naren dan Bian, atau Haris temen Bang Gavin. Tapi kayak gak ngeklik aja sama salah satu diantara kita. Cuma bosen jir lo lagi, lo lagi." Danindra geleng-geleng kepala menatap para sobatnya yang kini sudah bertambah usia. Pembahasan mereka bukan soal game atau nongkrong dimana lagi, tapi sudah bertransformasi soal harga minyak yang baik, pajak naik, harga pampers pun jadi topic pembicaraan mereka.

"Kalau Haris jelas gak akan ngeklik sama Naren. Even sampe sekarang loh, mantan rival soalnya." Gavin menendang pelan kaki Narendra yang tepat ada di hadapan nya.

"Gak kebayang kalau adek gue beneran nerima lamaran si Haris."

"Bacot anjing!!!"

"Nah akhirnya keluar lagi  kata mutiara dari mulut si Naren. Alhamdulillah ya temen-temen..."

"Buset! kesan nya gue kayak paling alim aja ye. Gak usah pada lebay jir. Gue kemarin-kemarin cuma mengurangi karena Yasmine masih hamil Luna, bukan berarti berhenti ngatain orang." Semprot Narendra kesal, kenapa orang-orang selalu suka menggodanya.

"Tapi lo jarang sih misuh-misuh kecuali pas di pundungin Yasmine atau pas bahas Haris. Kalem Ren, udah nikah orangnya juga."

"Yaelah bang masih dibahas lagi." Keluh Narendra yang selalu kepanasan setiap teman-teman nya membahas Haris. Entah kenapa.

"Hahahaha ya gak salah kalau Tante Kalista nyebut kita mulut lancip. Semuanya sama kalau ngomong ampas kosong semua."

"Bener Ji, berarti lo juga termasuk ya monyet." Timpal Zidan yang otomatis membuat Aji bungkam.

"Tapi Ren balik lagi  pembahasan tadi, makesure aja sih. Berarti lo ke Bian udah gak marah lagi, Ren?"

Narendra mengangguk santai, "Iya Bang, udah berlalu juga kan? Cuma masih males bahas itu sama dia. Lagian dulu gue nya juga yang bego sih. Gampang percayaan."

"Baikan sono, aneh anjir kita ngumpul gak lengkap gini. Biar dia bisa join."

"Dih ya itu mah dia nya yang harus baikan sama Pania, Pi. Kalau nongkrong mau gabung mah gabung aja gak usah gak enak sama gue. Lagian gue siapa anjir? Anak presiden bukan. Suruh baikan sama Vania sana bukan sama gue. Bini nya kan Vania. Jangan tergantung sama gue."

"Banyak yang nyangka lo homo sama Bian, Ren." Timpal Zidan santai.

"Idih lagian gue masih straight jir, gue masih amat sangat sanggup ngehamilin Yasmine sampe buat kesebelasan."

"Itu mah lo nya aja yang sagapung."

"Ngaca! Yang cipokan di parkiran kan lo. Untung anak gue gak cepu."

"Berarti aman ya lo sama Bian sekarang?"

"Iye, udah lah, Dan. Jangan bahas itu terus lah, udah gue belokin ke hal lain, ujung-ujung nya kesono mulu dah. Lagian udah lalu juga. Sekarang gue lagi mikir keras biar gak di punggungin lagi sama adek lo. Asli deh kelemahan gue semenjak rujuk itu gak bisa tidur kalau gak meluk Yasmine."

"Setipe banget Yasmine sama Rissa jir. Kemarin dia habis gue omelin, malah balik marah sama gue. Kamar aja di kunciin, jadi nya gue tidur di kamar kosong." Ucap Danindra lesu.

"Ndra, emang lo bener-bener gak ada rasa sama Caca? Penasaran gue, jadi agak skeptis sih lo fix moveon dari Elin gitu aja." Kali  Zidan bertanya dengan penasaran. "Jujur aja, awal lo lamar Caca gue rada gak setuju. Takut kayak adek gue kasusnya."

"Gapapa kok wajar kalau lo mikir gitu, tapi gue juga gak ngerti udah cinta atau belum. Dulu gue sakit hati banget waktu denger Elin udah lamaran even kita berdua belum putus. Tapi disisi lain gue marah banget sama dia. Setelah kosong beberapa bulan, gue di kenalin sama Rissa, awalnya gue seneng aja karena gue juga tertarik sama dia, selain cantik, sifat dia yang menggebu-gebu kalau dia udah punya keyakinan itu yang buat gue suka. Beda sama Elin yang banyak diem, tapi ujung-ujung nya dia ngambil keputusan sendiri. Sama Rissa gue lebih banyak di hargain nya walaupun secara pendidikan dia lebih tinggi, tapi dia gak pernah rendahin gue."

"Terus.. terus..." timpal Gavin yang nampak sangat tertarik.

"Ya gitu, Rissa tuh tipe yang suka diskusi. Even dekor nikahan aja dia mempertimbangkan gue suka atau engga. Dan soal tuxedo juga dia mikirin banget, gue bakal nyaman atau engga. Dan satu lagi sih..."

"Apa tuh?" Tanya Aji.

"Dia mau ngasih hak gue sebagai suami nya di malam pertama kita. Dia sadar gue belum sepenuhnya cinta sama dia, tapi dia tetep melayani gue. Kerasa banget tulus nya."

"Terus setelah lo melakukan itu, ada rasa yang menggebu-gebu di hati gak, tapi keganjel sama gengsi lo?" Tanya Narendra sembari menyesap kopi hitam nya yang sudah mendingin.

"Kok lo tau, bang?"

"Ya sorry, dulu gue ke Yasmine gitu soalnya. Walaupun pas setelah nikah bukan yang pertama buat kita berdua, tapi tetap aja beda rasanya. Kalau yang pertama gue gak sadar ngelakuin nya, nah yang kedua ini kayak ada rasa nyaman, sayang, gak mau lepas, bahagia tapi anehnya rasa itu kalah sama gengsi. Sumpah gengsi sama istri tuh rugi banget. Gue kasih saran deh sebelum lo terlambat kayak gue, better lo perbaiki hubungan lo sama Caca."

"Menurut gue Indra tuh udah cinta sama Caca, Bang. Cuma masih ada ego dia yang dia tahan, apalagi semenjak ketemu Elin di taman kota tempo hari." Timpal Aji setelah dengan mata yang masih fokus pada game.

Ravi menatap adiknya dengan serius, "Apa sih yang lo tahan? Buang jauh-jauh deh gengsi lo. Kalau lo terlambat terus lo di tinggal, lo ikhlas gitu Caca bakal nikah sama laki-laki lain? Dia bahagia sama yang lain lo mau?"

"Lo kalau ngomong jangan sembarangan gitu mey mey! Gue sama Rissa baru juga nikah dua bulanan. Lagian Rissa mana mungkin gitu." Semprot Danindra kesal, bahkan wajahnya memerah saking emosinya.

"Who knows? Yasmine yang tahan banting aja milih ninggalin si Naren dulu kan?" Timpal Ravi tak mau kalah.

"Divorce is sucks jir. Gue baru sadar sesadar-sadarnya kalau gue cinta sama Yasmine setelah cerai. Dulu gue mikirnya gue cinta sama dia hanya karena dia ibu dari anak gue, kaya udah keceplung aja istilah kasarnya. Dan jelas ada beban tanggung jawab juga. Tapi ternyata rasa cinta gue lebih dari itu, dan gue baru nyesel setelah ditinggal sama dia."

Zidan mengerti kalau Danindra mendadak resah, laki-laki itu menepuk pundak sahabatnya dengan menenangkan, "Udah lo pikirin lagi sebelum lo nyesel. Lo dulu suka nge-anjing-anjingin si Naren karena sering buat adek gue nangis. Dan jangan sampe lo ke tulah sama omongan lo sendiri. Tuh liat orang yang dulu lo anjingin aja sekarang bucin mampus sama istrinya."

"Eh sadar gak sih kita semua tuh sekarang  jadi bucin mampus sama istri? Gue lebih lunak sama bini bukan karena susis sih, gue lebih ke menghargai apapun yang dia rasain. Ketika dia sedih, dia marah, dia seneng, dia bete, dia excited pada sesuatu, bahkan gue pasrah kena omel asal istri gue ngerasa nyaman sama apa yang dia rasa. Gue gak mau istri gue mendem sendiri yang akhirnya bakal jadi boom waktu. Kayak case Vania sama Bian contohnya." Ucap Ravi sembari menatap para bapak-bapak yang kini fokus menyimak omongan nya.

"Nah bener, asli deh bahagia banget gue kalau liat Zizi seneng setiap masakan dia berhasil, terus masakan nya gue habisin walaupun kenyang gue gak peduli, gue tetap makan sampe habis. Sesimple gue bilang makasih hon makanan nya enak banget, dia kadang nangis terharu sih sumpah. Ternyata buat istri seneng tuh simple, tapi kita suka tak acuh sama hal remeh gitu."

"Lah sama! Kadang beres tindakan kan biasanya kita makan dulu di kantin karena kita emang dapet jatahnya, tapi pas balik kerumah tau-tau di meja makan ada banyak makanan buat gue, tanpa mikir lagi gue langsung abisin sih. Apalagi Gia kan gak bisa masak awalnya, tapi demi gue dia belajar masak. Gimana gak terharu coba?" Balas Zidan dengan senyum penuh haru, laki-laki itu benar-benar baru merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh Gia. Cinta pertamanya.

"Gue jarang makan di kantin sih. Karena Yasmine selalu anter makanan buat gue hehehe, bahkan setelah cerai aja dia masih suka kirim makanan karena dia tau kalau gue ada gerd. Aduh malah bahas istri, bikin kangen kan... mana nanti balik gak bisa peluk lagi." Keluh Narendra sembari menyandarkan kepalanya di pundak sang adik yang kini hanya bisa pasrah kalau abang nya itu suka tiba-tiba gelendotan. "Gue bobo sama lu aja Ji."

"Ogah."

"Rissa juga selalu bekelin gue makan. Bahkan kalau shoping pasti beliin keperluan gue yang dia utamain. Kaya dihargain banget gue sama istri."

"Terharu gak?" Tanya Ravi.

Lalu Danindra mengangguk lalu terkekeh setelahnya, "Dipikir-pikir iya sih. Hahaha."

"Makanya jangan ragu lagi kalau lo emang bener-bener udah ada rasa sama dia. Gimana pun lo udah pilih dia buat jadi pendamping seumur hidup. Gak lucu kalau lo ikut jejak Naren sama Aji."

Ravi menatap adiknya sinis, "Tuh denger apa kata Bang Gapin."

"Gue masih harus ngeyakinin sih bang... gue mau hapus rasa yang masih ke sisa tentang Elin. Kalau gue gegabah gue takut kalau itu bakal ganggu gue sama Rissa kedepan nya."

"Halah pembahasan nya sama gue gak relate. Gak usah bahas istri mulu napa!" Dengus Aji sambil menutup game nya karena ponsel nya lowbatt.

"Hahaha sorry, Ji. Oke kita doain semoga Aji dapet jodoh secepatnya guys..."

"Aamiin...." balas para papa muda itu serentak.

"Hahaha bercanda bang. Santai gue mah."

"Eh btw orang-orang kapan balik dari mudik sih? Gue males anjir ronda mulu. Awas aja kalau harus bayar keamanan lagi, gue demo pak rete ke rumah nya." Keluh Ravi yang matanya sudah lima watt, mana baru beres jaga malam kemarin.

***

-🐹-

"Bu Winda kabarnya baik pak. Denger kabar dari orang rutan kalau Bu Winda nikah sama Pak Sunan di rutan." Ucap seseorang yang duduk di hadapan Aji. Pria itu serba hitam bahkan Meisya sempat takut karena dikiranya itu mafia kelas kakap yang mau nangkep bos nya.

"Mereka nikah?"

Laki-laki bermasker hitam itupun mengangguk. "Betul pak, pernikahan terpaksa lebih tepatnya. Hanya untuk legalitas anak mereka setelah lahir nanti."

"Paket saya udah kamu kirim?"

Lagi-lagi pria itu mengangguk, "Sudah pak, oh iya untuk adopsi anak nya Bu Winda apakah sudah final pak?"

"Saya batalin. Saya sangat mempertimbangkan hati ibu saya. Memang pihak keluarga mereka gak ada yang mau asuh bayi nya nanti?"

"Info sementara istri nya Pak Riza yang akan ambil hak asuh bayi Bu Winda, pak."

"Loh bukan nya Pak Riza mau cerai sama istrinya?" Tanya Aji yang malah heran dengan kabar baru itu.

"Betul pak, terhitung sudah dua kali agenda persidangan perceraian mereka. Tapi berdasarkan informasi yang saya terima begitu adanya. Bahwa bayi nya akan di adopsi atas permintaan Ibu Riska istri dari Pak Riza."

"Kapan mereka nikah?"

"Bu Winda? Nikahnya minggu lalu, paj. Bahkan pernikahan mereka tidak dihadiri Bu Winda secara langsung. Hanya di wakili Pak Michael selaku kakak kandung Bu Winda yang nomor dua."

Aji mengangguk sambil membaca berkas-berkas yang di bawa oleh orang suruhannya, "Pak Kadir gak hadir?" Tanya Aji mengenai keberadaan mantan mertua nya.

"Tidak, pak."

"Karena?"

"Beliau masih di Turki sama istri baru nya."

Aji menghela napasnya sambil matanya tidak lepas menatap berkas-berkas di hadapan nya. "Bu Anita gimana? Ada kabar?" Sepertinya laki-laki itu sedang mencari celah agar hukuman Sunan bisa lebih diberatkan lagi.

"Bu Anita di pindahkan ke rutan sukamiskin pak, karena ternyata Bu Anita masih melakukan transaksi narkotika di dalam lapas lamanya."

Aji mengangguk lagi sambil menerima kabar dari orang-orang yang telah menjahati keluarganya.  Sebulan sekali pria itu pasti mencari kabar terbaru tentang mantan istrinya, bukan apa-apa Aji hanya tengah di landa rindu pada mantan istri nya itu. Makanya ia menyewa beberapa detektif swasta untuk mencari tahu kabar mereka selama di penjara. Ramadhan tahun lalu ia masih di dampingi Winda meski penuh dengan drama keluarga, dan berakhir pernikahan mereka di hari ke tiga puluh lima hari. Tapi sungguh Aji sangat bahagia telah mempersunting Winda saat itu.

Seandainya Winda tidak ikut menjadi dalang percobaan pembunuhan terhadap Narendra sudah pasti Aji akan menunggu Winda keluar dari penjara tanpa menceraikan perempuan itu meski pada kenyataannya ia telah dikhianati oleh istrinya sendiri. Istrinya hamil dan itu bukan darah daging nya.

"Soal Sheila gimana?" Tanya Aji pada detektif itu. Sheila adalah perempuan yang akan di jodohkan dengan nya. Sudah beberapa kali mereka bertemu. Mereka awalnya di kenalkan oleh Yuri tante Aji dari pihak Yuna.

"Bu Sheila track recordnya baik pak, terakhir beliau baru gagal menikah dengan tunangan nya lima bulan lalu."

"Sekarang lagi gak dekat sama orang baru?"

"Tidak pak."

Lagi-lagi Aji terdiam. Sheila adalah salah satu perempuan yang gencar di jodohkan oleh Yuna berbulan-bulan lalu. Bahkan setelah beberapa kali bertemu entah mengapa tidak ada rasa tertarik yang Aji rasakan terhadap perempuan itu. Menurutnya Sheila bukan perempuan yang bisa menjadi kriteria nya untuk ia jadikan istri, sebab banyak sekali kesamaan sifat Sheila yang persis seperti Winda. Bisa saja suatu saat ketika Aji sudah jatuh pada pesona Sheila, bukan tidak mungkin laki-laki itu akan kembali merasakan kepahitan dalam bercinta. 

Meskipun Aji masih mencintai Winda dan bisa saja laki-laki itu menjadi kan Sheila sebagai bayang-bayang Winda di hidupnya, tapi pria lebih condong untuk memilih mundur dari perjodohan itu.

"Tapi pak.."

"Ada apa?" Aji menatap orang itu sambil melepas kacamata nya.

"Bu Sheila diam-diam masih berhubungan sama mantan nya walaupun mantan nya sudah menikah."

"Ada buktinya?"

"Silahkan pak, ada beberapa gambar yang saya ambil di basement mall. Mereka berdua sedang berciuman padahal diwaktu yang sama laki-laki itu sedang menemani istrinya belanja bulanan. Istrinya di tinggal sebentar."

"Itu kapan?" Tanya Aji saat melihat foto adegan berciuman di dalam mobil. Bahkan ada capture cctv nya. Luar biasa memang campur tangan seorang Arsenio.

"Satu minggu yang lalu, pak. Tapi sejak hari itu mereka tidak saling berhubungan lagi. Dan dua hari kemudian setelah kejadian di mall itu, Bu Sheila dinner bersama bapak. Mohon izin, sepertinya Bu Sheila memang serius dengan perjodohan ini."

"Tapi saya yang gak tertarik. Kalau kayak gini, susah saya buat cari celah." Aji menatap orang suruhan nya. "Tolong pastikan lagi hubungan mereka berdua. Kumpulkan bukti-bukti lain yang lebih konkret."

"Siap pak."

Jika Sheila terang-terangan tertarik pada Aji, tapi Aji justru tertarik pada Meisya si sekretaris anehnya. 

Gadis yang telah mencuri perhatian nya sejak perempuan itu resmi menjadi sekretaris nya di Arsenio Land menggantikan Firman yang kini menjadi kepala Divisi di kantor pusat.

Meisya Valencia, gadis yatim piatu yang dibesarkan oleh paman nya yang miskin bersama adik laki-lakinya yang kini tengah berkuliah di Jakarta. Perempuan yang selalu sibuk berbicara dengan para ikan-ikan nya di meja kerja, tapi sangat telaten dan bekerja keras demi membiayai adik nya yang berkuliah. Ah betapa Aji kagum pada perempuan itu...

Soal rasa Aji memastikan belum ada rasa lebih pada sekretarisnya itu.  Baru sekedar salut dan batas kekaguman saja.

"Yasudah terima kasih infonya. Kamu bisa pergi. Kalau ada kabar terbaru kabari secepatnya."

"Baik pak, saya pamit dulu." Lali-laki serba hitam itu pun menunduk hormat pada bos besarnya. Menyewa detektif swasta memang keputusan yang sangat tepat, tidak heran kalau abang nya dulu selalu siap dalam segala kondisi yang menimpa perusahaan mereka. Jika Narendra memiliki Abe yang ia percaya, maka Aji pun sama laki-laki itu memiliki Zayn sebagai mata-matanya.

Aji hanya mengangguk pelan sambil menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Tidak sampai lima menit otaknya beristirahat ponselnya berdering kencang.

"Hadeh." Helaan napas berat keluar dari bibirnya saat ia mendengar nada dering itu. Nada dering yang khusus laki-laki seting setiap Yuna melakukan panggilan. Kali ini panggilan Video.

Sudah Aji tebak kalau bunda nya itu ingin membicarakan pertunangan nya dengan Sheila.

"Ya ampun punya anak duda lagi susah amat di hubungi sih. Dulu si abang susah banget, sekarang malah kamu yang susah."

"Sibuk bun." Balas Aji sekenanya.

"Sibuk apa menghindar?" Yuna melotot di sebrang sana.

"Beneran sibuk bun. Tanya abang, kan lagi sibuk siapin rups. Abang juga sibuk kan bolak balik rs sama kantor."

"Halah! Ngaku deh kamu! Semenjak di kenalin sama Sheila kamu gak mau tinggal di rumah lagi. Kamu malah milih tidur di rumah kamu sendiri. Kamu males di rumah karena bunda keukeuh jodohin sama Sheila kan?

"Tuh tau."

"Hush! Kamu nih. Coba dulu aja dek, cantik loh orang nya." Rayu Yuna yang membuat Aji memijat pelipisnya.

"Winda juga cantik tapi selingkuh kan?"

"Tapi Sheila juga korban kayak kamu. Siapa tau kalian jodoh."

"Mana ada." Dengus Aji sebal. "Bun, Aji udah tertarik sama yang lain."

"Siapa? Kamu kan gaul nya sama bapak-bapak di komplek kamu, alias abang kamu dan teman-teman nya. Selain itu interaksi kamu sama cewek ya sama Meisya doang. Siapa lagi?" Ucap Yuna yang membuat Aji mengangguk-anggukan kepalanya yang mana membuat Yuna yang di sebrang sana bingung apa maksud si bungsu nya ini.

"Bunda gak paham dek. Maksudnya apa sih?"

"Hehehe.."

"Dih gak jelas. Kamu jadi makin gila semenjak ngeduda dek. Kalau dulu si abang bunda diemin karena abangmu masih ngejar-ngejar mantu cantik bunda, nah persoalan kamu beda dek. Kamu harus cari orang baru. Gak ridho bunda kalau kamu nunggu Winda."

"Lah siapa yang mau nunggu juga." Dengus Aji pelan. "Ah bunda gak peka nih. Udah ketebak lho itu. Tadi bunda sebutnm namanya."

"Hah? Siapa sih? Hmm Yang deket kamu cuma— Eh! Mei–Meisya maksud kamu?"

"Nah!"

"Haduh dia mana mau sama duda lapuk sama kamu dek. Kasihan dia masih fresh, singset gitu. Masa sama aki-aki sih?"

"Cuma beda lima tahun doang bun Ya Allah."

"Halah kamu masih gamonin mantan kamu itu tapi sok-sokan naksir anak kecil." Terdengar dengusan Yuna yang kesal di sebrang sana.

"Ya namanya usaha. Makanya Aji mau nikmatin single dulu, tapi bunda malah ngide jodohin Aji sama anak temen nya Wa Yuri."

"Tuh kan! Kamu ish kayak gak ada cewek lain aja! Jangan tarik orang yang gak bersalah masuk ke dalam kerumitan kamu dek. Kasihan Meisya kalau suatu saat bakal kecewa sama kamu."

"Gak boleh nih?"

"Yang lain aja dek."

"Bunda gak setuju ya? Karena latar belakang keluarga nya?"

"Bunda sih setuju aja, dia kan dulu asisten nya mantu cantik bunda. Kata Yasmine, Meisya bagus banget kerjaan nya. Makanya sama abang di pindahin supaya ikut kerja sama kamu. Dan biar ada jenjang karier yang lebih baik sekaligus dapat gaji lebih besar lagi buat biaya kuliah adiknya. Soal dia dibuang keluarga mamanya sejak kecil bunda gak masalah dek, status apapun bunda terima. Kecuali kalau cuma memanfaatkan materi, atau pansos lah lewat keluarga kita, kayak si Winda tuh big no! tapi masalahnya dia mau sama kamu apa enggak? Kamu kan tua dek. Hadeuh istilahnya kamu mah udah turun mesin."

Mendengar penjelasan bunda nya membuat Aji mendengus sebal. Se-tua itukah dirinya? "Di bilang cuma beda lima tahun doang, kok rasanya kayak beda puluhan tahun sih bun. Lagian buat nikah lagi masih lama bun, Aji belum siap buat memulai lagi. Sama Meisya aja baru di tahap tertarik, bukan di tahap suka apalagi cinta."

"Jadi sama Sheila nya di batalin aja nih? Gak mau coba dulu gitu?"

"Batalin aja bun, Aji gak mau nyakitin siapa-siapa."

"Tapi.."

"Si abang aja nikah lagi nya setelah tiga tahun cerai kan? Aji baru setahun aja belum. Sidangnya baru selesai bulan lalu kan."

"Abang kamu mah lama meyakinkan mantu bunda nya, makanya sampe tiga tahun. Tapi dek, kalau mau cepet nikah juga gak papa. Bunda bantu. Misal ada yang gibahin kamu, jangan pikirin ucapan orang, mereka cuma penonton aja."

"Iya bun.. Aji masih pengen sendiri. Belum siap memulai lagi. Doain aja siapapun jodohnya nanti, semoga dia bener-bener tulus sama Aji. Dan sayang sama bunda, ayah, teteh-teteh dan semua keluarga."

"Bunda pasti doain dek. Tanpa kamu minta udah bunda doain. Bunda cuma khawatir aja kalau kamu kesepian. Kalau abangmu ada anak dulu, lah kamu? Udah sendiri, bangkotan juga? Apa gak lumutan lama-lama? Jangan ngegalau terus."

"Aman bun nanti Aji di cat ulang ya? Biar gak lumutan. Heran deh perasaan ngatain anaknya bangkotan mulu. Masih dua puluh delapan tahun bun. Lagian Aji lagi riweuh sama rapat dan rapat. Jadi gak ada waktu buat galau."

"Oke deh. Udah dulu ya.. bunda mau jalan nih ke rumah abang. Mau nengokin cucu-cucu. Kamu jangan banyak bengong ya, nanti kesambet."

"Iya bun, aman. Hati-hati di jalan ya.."

"Ya dek. Love you ya.."

"Love you too bun.." balas Aji pelan.

Setelah telpon terputus Aji menutup matanya yang terasa panas. "Winda...." erang nya pada sebuah pigura yang masih laki-laki itu simpan di laci meja kerjanya.

"Aku... aku... aku masih.... cinta kamu." Aji menghela napas nya yang terasa sesak. "Aku gak yakin bisa jatuh cinta lagi setelah kamu pergi."

***
-🦊-

"Ngapain kesini?" Tanya Ravi saat mami papi nya muncul di ruang tamu rumahnya.

"Mas!" Tegur Nina yang datang membawa nampan berisi teh dan kue untuk kedua mertuanya.

"Silakan mi, pi, maaf alakadarnya aja." Nina menyuguhkan beberapa kudapan untuk kedua mertuanya yang tumben-tumben berkunjung ke rumah mereka. Mungkin dalam rangka silaturahmi lebaran yang tertunda? Karena baik Ravi ataupun Danindra sama-sama sepakat tidak berkunjung ke rumah orang tuanya.

"Makasih ya nak. Maaf kami merepotkan jadinya"

"Gak repot mi, kami malah seneng mami papi kesini."

"Mami juga seneng ketemu mantu mami yang makin cantik." Balas Sabrina sambil tersenyum lembut.

"Cih. Boong." Cicit Ravi menatap kedua orang tua nya dengan tatapan heran, sedangkan Nina bingung juga harus bersikap gimana. Terlihat sekali suami nya masih terlihat ogah bertemu Liam dan Sabrina.  Tapi ia harus tetap bersikap baik pada mereka karena bagaimanapun keduanya adalah orang tua dari Ravi.

"Mas ayo di salamin dulu mami papinya." Nina menegur saat suaminya masih betah berdiri diambang pintu sambil tangannya bersedekap.

"Mas Ya Tuhan, ini orang tua mu loh."

"Ck. Iya iya." Ravi menghela napas nya panjang, malas sekali rasanya tapi ia tidak mau mengecewakan Nina karena terlihat buruk pada orangtuanya sendiri.

"Mi.. minal aidzin.." pertama Ravi menyalami Mami nya terlebih dahulu, kemudian dilanjut dengan menyalami papinya yang lebih banyak diam sejak datang. "Minal aidzin pi.."

"Yah sama-sama ya nak." Balas Liam sambil mengusap rambut putra nya lama. "Maafin papi banyak salah sama kamu dan keluarga kecil kamu."

"Hmmm" Ravi segera pergi dari ruang tamu itu tapi lagi-lagi tangan nya kembali di cekal oleh si cantik kesayangannya. "Disini dulu mas sayang." Ucap Nina pelan sambil berusaha memberikan afirmasi positif pada sang suami.

"Sebenernya mami kesini sekalian mau nengok bayinya Zidan, nak. Mami udah janjian mau silaturahmi sama Yuna, Tania sama Fatma. Kita belum lebaran soalnya. Tapi kayaknya rumahnya Zidan keliatan kosong ya?"

"Oh Kak Gia selama habis melahirkan tinggalnya di rumah Kak Yasmine mi, di rumah depan. Kalau mau nanti Nina anter kesana." Balas Nina lembut, sambil tangan nya diam-diam mengelus lengan sang suami yang nampak gelisah.

"Oh boleh?"

"Boleh dong, mi. Nanti Nina chat mereka dulu, takutnya pada keluar."

"Iya gak papa santai aja."

"Cucu mami mana nak? Kok gak keliatan?" Tanya Sabrina mencari keberadaan cucu nya yang jarang ia perhatikan.

"Masih sekolah mi, belum pulang."

"Ya ampun. Mami kira libur, soalnya sabtu lho ini."

"Iya mi, sabtu emang masuk. Tapi bentar lagi juga pulang. Gak full, cuma hafalan sama senam bersama."

"Pulangnya di jemput?"

"Biasanya pulang sama Ajen, anaknya Kak Yasmine sama Gavriel anaknya Kak Zizi, mi. Pulang bareng, soalnya satu sekolah."

"Sama supir aja? Apa gak bahaya nak?"

"Dih sekarang aja sok peduli." Dengus Ravi pelan yang masih bisa di dengar kedua orang tuanya.

"Yang jemputnya selain supir ada Mbak Ami sama Teh Sari susternya Luna. Insya Allah aman." Balas Nina pada ibu mertuanya sambil mencubit perut suaminya diam-diam.

"Auuhhh"

"Kenapa bang?" Tanya Sabrina bingung tiba-tiba putranya mengaduh.

"Gak! aduhh.." Ravi masih mengaduh karena cubitan istri nya benar-benar seperti sengatan.

"Serius kamu gak papa?"

"Hahaha Mas Ravi emang suka gitu mi, suka bandel makan yang pedes-pedes." Alibi Nina sambil tersenyum manis. Sedangkan Ravi yang sudah terdeteksi bucin total pada Nina pun hanya bisa pasrah saja.

"Oh iya Indra ada di rumahnya kan?"

"Kurang tau mi, biasanya kalau weekend mereka berdua suka ke rumah orang tua nya Kak Caca yang di Garut."

"Kok mereka gak pernah nengok ke rumah kita?"

"Ya mami pikir aja sendiri? Anak mami kan cuma Ko Zeva doang." Lagi-lagi Ravi berkata ketus pada mami nya. Sebenarnya laki-laki itu  rindu  pada Sabrina dan Liam tapi bayang-bayang masa kecilnya selalu terputar bagaikan kaset rusak di otaknya. Hal itu lah yang membuat laki-laki itu selalu merasakan kemarahan kepada orangtuanya.

"Bang, kamu masih benci ya sama kami? Kami minta maaf ya. Kami telat sadarnya. Terutama mami, mami juga minta maaf sama Nina, karena pernah bentak-bentak Nina di depan keluarga besar mami."

"Gak papa mi, Nina udah maafin kok. Nina mengerti. Kami yang minta maaf gak pernah nengokin mami papi di rumah. Padahal kami masih satu kota "

"Iya maafin sih, tapi kamu masih trauma dek."

"Mas..."

"Loh mas bener kan dek? Kamu sampe trauma, kamu bahkan hampir ninggalin mas karena itu. Kamu udah ngusahain buat dapet transplantasi jantung papi sampe kamu jual rumah warisan orang tua kamu, tapi apa? Mami jatuhin mental kamu waktu Sincia di rumah Akong. Kamu di benci sama ii, gyu gyu, bahkan sepupu mas juga pada benci sama kamu."

Nina menghela napasnya sambil menatap sang suami yang nampak sangat emosional. "Mas... aku gak papa. Aku gak papa..." perempuan itu mengusap pipi suaminya lembut. Berharap Ravi bisa sedikit tenang. Sebenarnya bukan hanya Nina yang trauma, Ravi bahkan jauh lebih terluka dan menyebabkan trauma yang berkelanjutan. Bayangkan dari laki-laki itu berusia sembilan tahun, hingga kini masuk di usia tiga puluh tahun. Sebesar itu dam selama itu luka yang Ravi simpan.

Sedangkan Sabrina dan Liam hanya duduk tertunduk sembari meremas tangan nya masing-masing. Mereka pun tentu sangat merasa bersalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur, kedua anaknya Ravi dan Danindra kini sudah terlanjur membenci mereka berdua karena perlakuan mereka di masa lalu. "Maafkan kami. Kami sangat gagal menjadi orang tua. Kami minta maaf, seharusnya permasalahan kami gak kami lampiaskan sama abang dan Indra. Maaf mami selalu pilih kasih, maaf kami selalu utamain koko kalian. Mami khilaf.. mami juga minta maaf sering kasar sama kamu, bang."

Liam menggelengkan kepalanya sedih, "Papi yang salah. Kalau saja papi gak menduakan mami kalian dulu, keluarga kita pasti tidak akan seberantakan ini. Maafin papi udah egois terhadap kalian."

"Mama, Papa, Lapa puyang...." Terdengar suara melengking putra semata wayang Ravi dan Nina masuk ke dalam rumah. Bocah itu berjalan sambil tersenyum ceria sambil membawa sebuah kertas.

"Hai sayang? Sini masuk, liat ada siapa?"

Bocah itu berlari pada pelukan mama nya, "Mama, liyat ma.. dapet stal nya five!" Pamer Rafa pada mama nya. Lalu bocah itu menoleh pada papa nya yang diam saja.

"Papa! Five stal!"

Ravi mati-matian berusaha tersenyum pada putranya yang terlihat senang setelah pulang sekolah. "Iya hebat anak papa!"

"Kueh kueh." Rafa menadahkan tangan nya di hadapan sang papa.

"Iya nanti kita beli kue sama papa ya?"

"Plomis?"

"Iya papa promise." Ravi mencium pipi gembil Rafa dengan gemas. Setidaknya dengan munculnya Rafa bisa membuat hati laki-laki itu tidak terlalu tegang.

"Adek, tuh ada Oma Opa. Salim sana, di sapa oma opa nya Rafa." Ucap Nina pada putranya.

"Hihihi halo oma, opa, ini Lapa.." Rafa menghampiri kakek neneknya dengan ceria.

"Hai sayang, pulang sekolah ya?" Sabrina mengusap kepala cucunya dengan sayang, bahkan matanya terasa panas, entah kenapa.

"Iya..."

"Seneng gak sekolahnya?"

"Ceneng..."

"Punya banyak temen ya?"

"Hu'um cama abang uga.."

"Abang?"

"Ajen maksudnya mi, dia tuh fans beratnya Ajen." Kekeh Nina pada mertuanya yang bingung.

"Ya ampun lucunya. Nanti sama oma kita ke rumah abang ya? Oma mau liat bayinya Om Idan."

"Om Idan? Papa Idan?" Koreksi Rafa sambil menatap mama nya.

"Hahaha iya papa Idan maksudnya oma. Nanti kita ke rumah bunda Yasmine ya, sambil liat bayinya Mama Gia."

"Boyeh?"

"Boleh dong sayang."

"Mama ikut?"

"Iya mama ikut."

"Kamu gak ngajar nak?"

"Nina cuma ngajar empat hari seminggu mi. Sengaja biar gak begitu sibuk."

Sabrina mengangguk paham. "Oh gitu.."

"Mas masuk dulu." Bisik Ravi di telinga istrinya.

"Papa napa ma?"

"Hehehe gak papa. Papa mau ke belakang kayaknya. Rafa disini main sama oma opa dulu ya? Mama mau bicara sama papa." Nina berusaha memberi pengertian pada putranya yang bingung dengan sikap papanya yang aneh. Tidak seperti biasanya.

"Iyat adik baby kapan?"

"Iya setelah mama bicara sama papa ya sayang. Nanti kita sama-sama kesana. Ok?"

Rafa mengangguk, "Oteh."

"Mi, Pi, Nina pamit kebelakang dulu ya? Mau samperinas Ravi."

"Iya samperin aja, kami gapapa. Tolong temenin anak mami ya nak. Biar Rafa sama kami."

"Itut.."

"Rafa disini aja nak, oma opa punya hadiah nih."

Rafa menatap ibunya sebentar, seperti meminta persetujuan saat Sabrina memberikan beberapa totebag berisi mainan untuknya. "Iya boleh mainan."

"Yipiiiii!"

Lalu Nina meninggalkan kedua mertuanya di ruang tamu. Langkahnya pun menghampiri Ravi yang kini duduk termenung di taman belakang rumahnya.

"Mau peluk?"

Ravi mengangguk dan langsung menghamburkan tubuhnya pada pelukan sang istri. "Maafin mas dek, maaf.. mas belum bisa." Ucap Ravi parau.

"Gak papa... mas hebat. Kita coba lagi mau?"

"Tapi..." Ravi menatap istrinya ragu.

"Kita pake dokter yang sama, sama bang Naren. Mas mau sembuh kan?"

"Mas sayang sama mami, tapi mas selalu keinget waktu pas kecil dek. Mas takut dek..." 

"Iya gak papa... kita coba sembuhin lagi ya mas.."

Ravi mengurai pelukannya untuk menatap wajah cantik Nina. "Jangan tinggalin mas lagi dek.."

"Enggak sayang, aku janji selalu ada buat mas. Karena aku sayang banget sama mas."

***

1 chapter lagi up, tunggu ya. Lagi ngebut ngedit nih.

Continue Reading

You'll Also Like

9.6K 1.5K 51
(Completed) SEQUEL ANKARHADA Local Fanfiction • Daily Life Cast : Dokju, Eungyu, Hoshyer, Socheol Marriage Life | Friendship | Family | Romance 24...
16.2K 562 7
Oneshot | bxb | Mpreg | Renjun x NCT. © crayollet
1.9K 322 35
"Apaan banget deh! Annoying!" dengusnya tak suka tatkala mendengar orang yang menempati ranking satu bukanlah dirinya lagi, melainkan anak pindahan s...
2.3K 261 8
"ga lagi - lagi gue bikin tweet-an halu gitu." - Kang Sol Short Story of Kang Sol A and Han Joonhwi. Kang Sol yang iseng update tweet halu, malah be...