ALIF

By Sastra_Lara

6.3M 441K 51.4K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

43. Kesempatan

107K 8.9K 2.6K
By Sastra_Lara

Disclaimers!!!

Dimohon sebelum mulai membaca untuk tidak menjudge semua yang memiliki gelar Ning itu tidak baik. Ini hanyalah cerita fiktif yang mana tidak untuk dibawa ke dunia nyata.

Penulis yakin, Ning yang ada di dunia nyata insyaAllah akhlaknya tertata. Sedangkan di dalam cerita ini, penulis hanya ingin menonjolkan bahwa cinta itu bisa membuat siapa saja buta, tidak memandang kasta dan tahta.

'-'-'-'

Mari melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Jadilah pembaca bijak yang tahu cara menghargai karya orang lain setelah menikmatinya.

"Kenapa? Kenapa harus Lahya? Dia bisa apa? Paham agama saja tidak, apalagi mentalnya bermasalah. Kamu menikah untuk mencari orang bisa mengurus kamu, bukan malah sebaliknya."

"Sepertinya bukan Lahya yang bermasalah, tapi kamu, Ning. Sudah punya suami, tapi masih mengharapkan laki-laki lain. Benar, bukan?" tanya Alif mulai tersulut emosi. Padangan laki-laki itu berubah terhadap Farah semudah membalikkan telapak tangan. Ia menatap Farah dengan tatapan benci.

Farah menggeleng. "Tidak!" elak Farah. "Aku hanya ingin kamu mendapat perempuan terbaik Gus. Bukan perempuan tidak waras yang malah membuat hidupmu terbebani karena harus mengurusnya."

"JAGA OMONGAN KAMU FARAH!" bentak Alif muak dengan Farah yang sedari awal ucapannya selalu merendahkan istrinya. Perawat atau beberapa pembesuk yang ada di koridor RS berhenti karena suara Alif.

"Wait, wait, wait." Fathur keluar ruang Lahya setelah mendengar suara Alif memenuhi lantai 5 RS.

"Aku tidak salah, omonganku benar."

Alif menunjuk wajah Farah penuh benci. "Jaga omongan kamu. Apakah ada orang yang tidak waras, sadar saat sholat, mengaji atau tak pernah lepas berzikir. Jangan pernah rendahkan istri saya, dia bahkan lebih baik dari kamu yang bergelar Ning."

"Gus, sampean kenapa, toh? Lahya di dalam sampai kaget. Kamu ini kenapa, toh, Ning? Ono opo ngono loh?" tanya Fathur menarik Alif menjauh dari Farah. -Ada apa gitu, loh?

Nafas Alif memberu naik turun. Matanya memerah. Ia menghempaskan tangan Fathur tidak suka. Siapa yang tidak marah istrinya direndahkan perempuan lain?

"Kamu banyak berubah Gus semenjak bertemu Lahya," ujar Farah dengan hati yang hancur. Ia meremas gamisnya, sebenarnya ia takut melihat api marah terpancar dari kedua mata Alif. Mana Alif yang dulu ia kenal?

"Saya tidak berubah, tapi cinta yang membutakan saya seperti sekarang. Kamu percaya cinta itu buta? Saya buta karena cinta saya terhadap Lahya dan kamu buta karena cinta kamu terhadap saya, padahal kamu sudah bersuami," sarkas Alif tahu isi hati Farah.

Farah menyeka kasar air matanya yang terus mengalir deras turun. Seolah belum puas Farah merendahkan Lahya, ia kembali berucap, "Aku hanya ingin kamu dapat yang terbaik Gus. Bukan perempuan bekas seperti Lahya."

"GUS-GUS WES-WES STOP!" takut Fathur menahan tubuh Alif.

"BERHENTI MERENDAHKAN LAHYA! DASAR PEREMPUAN TIDAK TAU DIRI. TIDAK PUNYA MALU! DIMANA ILMU AGAMAMU?"

Bugh!

Tubuh Alif tersungkur jatuh setelah menerima bogem mentah dari Azzam. Azzam datang tanpa aba-aba memukul rahang Alif yang telah membentak istrinya.

Awalnya Azzam tersenyum melihat Alif, Fathur, dan istrinya yang berada di luar ruang rawat Lahya. Namun setelah sadar bahwa Farah menangis dan Alif yang bersuara tinggi kepada istrinya, tentu saja Azzam naik pitam.

"Sek-sek. WOI NGKOSEK!" teriak Fathur mendorong tubuh Azzam. - Tunggu-tunggu, Woii tunggu!

"Dia bentak istriku sampai nangis Thur," ucap Azzam marah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Alif menyentuh pipinya yang berdarah. Pipinya tergores oleh cincin yang Azzam pakai. Alif berdiri, lalu tersenyum kearah Farah. Kepala Alif geleng-geleng prihatin. Hanya karena cinta, Farah ingin hancurkan persahabatan mereka?

"Tanya dulu apa yang terjadi. Jangan main hantam. Gelap matamu Zam, ditutup setan." Fathur ikut emosi.

"Astagfirullahaladzim!" sebut Azzam mengusap kasar wajahnya. "Sebenarnya ada apa ini Gus? Kenapa sampean bentak istri saya?"

"Kamu tanyakan saja pada istrimu itu Zam, jika dia tidak malu untuk menceritakannya. Bahkan, mungkin malunya sudah hilang. Ingin meninggi dengan merendahkan perempuan lain."

"Gus!?" Lahya terkejut keluar ruang rawat dengan cairan infus yang di bawakan oleh Giandra.

Farah malu. Tidak tahu harus apa dan menjelaskan bagaimana. Perempuan itu pergi begitu saja. Dengan segala rasa sakit dan bersalah telah membuat Alif babak belur karena kesalahpahaman suaminya.

"Farah!" panggil Azzam mau tidak mau harus mengejar istrinya dan menyisihkan kekacauan yang sudah menjadi tontonon di lantai 5.

"Gus kenapa bisa jadi begini? Kenapa teriak-teriak?" tanya Lahya dengan mata berkaca-kaca khawatir.

Sakit bukan main saat Lahya menyetuh lebam di pipinya. "Tidak apa-apa. Kita masuk, ya?"

"Tapi-,"

"Masuk sayang, ya?" ajak Alif dengan senyum yang dipaksakan.

'-'-'-'

Keesokan harinya.

"Sudah?" tanya Alif melihat istrinya keluar dari bilik toilet.

"Pas gak di badan Lahya?"

"Bagus."

"Bukan bagus, tapi pas gak? Soalnya diet Lahya baru berhasil turun tiga kilo."

Alif mengayunkan tangannya agar Lahya mendekat.

"Memangnya harus banget dietnya?" tanya Alif seraya merapikan seragam pencak silat Lahya.

"Iya. Ini kalau Lahya gak lomba, juga males diet-dietan."

Infus Lahya sudah dilepas beberapa menit yang lalu. Ia harus memenuhi tanggung jawabnya untuk membawa nama SMA Tunas Bangsa ke provinsi. Meski latihannya dalam mempersiapkan perlombaan belum maksimal, bermodal nekat dan berani, ia harus siap.

"Bisa-bisanya tidur lagi habis subuh," cecar Lahya pada Giandra yang tertidur di sofa ruang rawatnya.

Alif terkekeh. "Semalam begadang main game," timpal Alif yang semalam begadang lagi, tapi kali ini ditemani Giandra.

"Gus, pipinya masih sakit?" tanya Lahya duduk di kursi sebelah Alif.

"Sedikit," jawab Alif manja.

"Kenapa harus segitunya bela Lahya?" tanya Lahya mengusap pipi Alif lembut.

"Saya tidak mau dan tidak suka perempuan saya direndahkan."

"Tapi dari cerita Gus, gak semua apa yang Ning Farah ucapkan, salah."

"Cukup orang lain yang salah dalam menganggap rendah kamu. Kamu jangan," pinta Alif.

"Maaf ya, Gus," kata Lahya tertunduk.

"Mau saya beri doktrin positif?" tawar Alif.

Lahya mengangguk.

"Kamu tutup mata dan cukup dengarkan omongan saya. Pahami, resapi dan tanamkan di mindset kamu." Alif mengambil tangan Lahya, lalu diletakkannya di dada Lahya sendiri.

"لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Sesungguhnya, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Itu kata Allah di ayat 4 surah At-tin. Manusia adalah ciptaannya yang paling sempurna dan indah, dibanding ciptaan Allah yang lain. Tetapi, sesempurna apa pun manusia, apa manusia tidak memiliki kekurangan?"

Dalam kondisi terpejam, kepala Lahya bergeleng-geleng menjawab Alif.

"Benar. Setiap diri manusia pasti memiliki kekurangan, mungkin tidak banyak tapi sedikit. Mungkin tidak secara fisik, tapi secara batin. Mungkin tidak terlihat tapi dirasakan. Kamu tahu kenapa Allah menyebut manusia sempurna, tapi dilain sisi juga memiliki kekurangan?"

"Kenapa Gus?" tanya Lahya.

"Agar kita tetap ingat bahwa sesempurna apa pun kita, masih ada Yang Maha Sempurna diatas kita. Kekurangan kita, jangan membuat kita mau direndahkan atau malah membuat diri kita sendiri yang rendah. Sebab apa? Sebab hanya dihadapan yang Maha Sempurnalah kita patut merendah. Jangan pernah juga menganggap kekurangan kita itu sebuah kesalahan. Tidak ada yang perlu disalahkan atas kekurangan kita, bahkan diri kita sendiri."

Jeda beberapa saat. "Justru kita harus mencintai kekurangan kita, katakan pada diri kita bahwa 'kekuranganku, aku tidak mencarinya, melainkan Allah datangkan untuk mengingatkanku bahwa hanya Dialah yang Maha Sempurna'. Katakan pada diri kita bahwa 'aku mensyukuri kekuranganku, sebab aku sadar jika kekuranganku adalah pemberian dariNya yang Maha Sempurna. Dia memberiku kekurangan untuk mendekat kepadaNya. Aku mendekat kepadaNya agar kekuranganku ditutupi oleh Dia yang memiliki sifat as-Samad. Yang Maha Sempurna."

Air mata Lahya turun di saat matanya masih terpejam. Ia merasakan Alif mengusap pipinya. Lahya tidak pernah terpikir sama sekali akan hal itu. Lahya yang selama ini selalu insecure, jadi tertampar dengan doktrin suaminya.

"Sekarang, buka matanya."

Mata Lahya terbuka dan senyum manis Alif menyambutnya.

"Tanamkan di mindset kamu. Oke, cinta?"

Lahya mengangguk. Alif mengusap pucuk kepalanya dengan lembut.

"Sudah siap mulai beraktifitas kembali?"

Lahya menarik nafas. "Siap. Bismillah."

"Kali ini dan seterusnya bareng saya. Siap?"

Lahya tertawa kecil, lalu hormat kepada Alif. "Siap komandan."

Alif mencubit gemas pipi Lahya. "Saya boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Berhenti panggil saya Gus polisi, Gus Alif atau komandan."

"Maunya apa? Alif ba ta tsayang Lahya, gitu? Biar samaan sama nama kontak Gus Alif yang disimpan mbak Ayasya?" canda Lahya.

"Panggil saya dengan sebutan Mas," ucap Alif serius. Ia masih cemburu dengan mimpinya kemarin sore. Dimana Lahya menyebut Rama dengan panggilan Mas, Alif sangat-sangat cemburu.

"Bisa?"

"Maass Aliiiif....?" Panggil Lahya dengan ragu dan penuh kecanggungan.

"Pripun cah ayune Kang Mas?"

Lahya seperti cacing kepanasan, geli sendiri. Ia mengusap kedua lengannya, bulu kudunya ikut merinding. "Sumpah Gus. Kok, Lahya merinding, sih?"

Alif terkekeh gemas. Kakinya dengan sengaja menarik kursi Lahya agar bergeser maju lebih dekat dengannya. Tatapan mereka beradu satu sama lain. Lahya yang tadinya banyak tingkah, jadi diam tak berani berkutik sedikit pun setelah tubuh Alif semakin condong maju.

Alif menahan tawanya. "Cantik!" bisik Alif, lalu mengusap pucuk kepala Lahya

Mata Lahya terbuka dan betapa malunya ia melihat Alif pergi membereskan barang-barang mereka.

"Kita berangkat sekarang, ya."

"Ah-, iya. Lahya bangunin Mas Gian dulu," balas Lahya gugup. Ia memukul kecil kepalanya menghampiri Giandra.

'-'-'-'

"Bapak!" panggil Lahya berlari memeluk bapaknya. "Emmm Lahya kangen Bapak..."

Alif ikut bahagia melihat Lahya bisa bertemu orang-orang sekitarnya kembali. Beberapa anak pencak silat SMA TB yang hari ini ikut ke tempat lomba, tersenyum canggung pada Alif. Tatapan mereka pada Alif tidak seperti Malik yang mereka kenal sebagai anak badung SMA TB. Tatapan mereka berubah tatkala mengetahui identitas asli Alif.

"Dilihatin orang ini, loh. Gak malu opo?" Pak Yasin tidak enak dengan teman-teman Lahya yang sudah berkumpul di luar gedung tempat perlombaan.

"Biarin, orang Lahya kangen Bapak," jawab Lahya tidak peduli dengan sekitarnya.

Sepulang dari RS, Lahya langsung menuju tempat lomba bersama Alif dan Giandra. Sedangkan, Pak Yasin sengaja menunggu Lahya langsung di tempat lomba.

"Kamu yakin bisa ikut lomba, Ya?" tanya Anggi tidak yakin.

Lahya melepas pelukannya. "Yakin. Anak pak Yasin ni boss. Senggol dong!"

"Bweleh!" Anggi meninju lengan Lahya. Mereka tertawa melihat semangat Lahya yang membara.

"Nadine mana?" tanya Lahya sibuk mencari sepupunya.

"Gak tau katanya sih nyusul," jawab Anggi.

"Ahh, gitu."

"Nomor berapa Kak?" tanya Anggi melihat Rama keluar membawa nomor urut sekolah mereka.

"Sembilan," jawab Rama memberi id card kepada Lahya dan Anggi. "Kamu yakin bisa?"

Lahya tersenyum dan menganggukkan kepala. "Kak Rama sendiri, lukanya sudah membaik?"

"Belum. Tambah sakit malah," jawab Rama jujur. Luka di dadanya sudah mulai membaik. Bekas jaitannya juga sudah mulai mengering, tapi luka dalam hatinya dibiarkan menganga lebar.

"Oh, ya? Kak Rama kenapa gak istirahat dulu?"

Rama menggeleng. "Sekarang, sudah urutan keempat. Berdoa, baru turun di gelanggang," ucap Rama tidak mau terus-terusan diperhatikan oleh suami Lahya.

"Lingkaran-lingkaran!" intrupsi teman Lahya.

Anak-anak pencak silat membuat lingkaran. Mereka semua bergandengan satu sama lain. Tak terkecuali Pak Yasin dan orang tua Anggi yang ikut dalam lingkaran anak-anak pencak silat. Sedangkan Alif dan Giandra hanya dibelakang, mereka ikut menunduk ketika berdoa bersama-sama.

Doa selesai dan mereka diberi intrupsi Rama untuk masuk ke dalam gedung. Saat semua berjalan masuk gedung, Alif menangkap gelagap Lahya yang sengaja berjalan lambat di belakang teman-temannya.

"Masuk Ayok masuk! Lahya biar bicara sama orang tuanya dulu," intrupsi Rama membaca gerak-gerik Lahya.

Tidak ada yang membantah. Semua masuk. Sedangkan Lahya berbalik melihat bapak dan suaminya.

"Pak, Lahya minta doa."

"Ra usah khawatir, Nduk. Dungone Pakmu iki ra bakal kelalen. Semangat!"

Lahya mengangguk dan mencium kedua pipi bapaknya.

"Sekarang bukan cuma doa bapak yang harus kamu minta, tapi juga suamimu," ujar pak Yasin. "Bapak tunggu di dalam. Minta doanya dulu," perintah Pak Yasin.

Lahya menoleh melihat bapak masuk ke dalam gedung menyusul teman-temannya. "Gus?"

"Gus?" ulang Alif.

"Emm...Mas?" ulang Lahya sedikit canggung.

"Nggih? Mau minta doa?" tanya Alif menggoda Lahya.

Lahya mengangguk malu. Tidak ingin berlama-lama karena takut dicurigai, akhirnya Alif menarik Lahya sedikit bergeser dari pintu masuk gedung. Setidaknya aman dari jangkauan mata anak-anak SMA TB.

"Mas, Lahya minta doanya, ya?"

"Selalu. Sini tangannya," minta Alif.

Lahya clangak-clinguk melihat sekitarnya. Ia takut terjadi fitnah lagi. Merasa aman, akhirnya Lahya memberikan kedua tangannya.

"Satu saja cinta," kata Alif melepas tangan kanan Lahya. Satu tangan Alif naik memegang ubun-ubun Lahya.

"اِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا مُّبِيۡنًا ۙ‏ ١

لِّيَـغۡفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡۢبِكَ وَ مَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهٗ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَاطًا مُّسۡتَقِيۡمًا ۙ‏٢

وَّ يَنۡصُرَكَ اللّٰهُ نَصۡرًا عَزِيۡزًا‏ ٣"

Alif membacakan surah al-Fath ayat 1-3, lalu meniupkannya ringan ke dahi Lahya. Surah ini biasanya dibaca anak-anak ponpes abahnya sebelum ikut perlombaan. Surah ini lebih baik dibaca sendiri, namun Alif tahu jika istrinya pasti tidak hafal, jadi ia mewakilkannya. Arti surah ini sendiri yaitu "Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukimu ke jalan yang lurus, dan agar Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)."

"Sudah. Sekarang masuk gedung, dzikir hasbunallah wa ni'mal wakil nya jangan lepas sebelum turun gelanggang. Nanti pas masuk, kalau bisa minta izin sama panitia. Bilang mau shalawatin pialanya. Kalau boleh, kalau gak, shalawatin dari jauh saja. Paham?"

"Paham Mas."

Alif menggerakkan kepalanya menunjuk pintu masuk. "Sana masuk duluan. Jangan sampai ada yang curiga. Nanti Mas nyusul."

"Doain Lahya, ya?"

"Iya cinta. Semangat!"

"Mas juga semangat doainnya."

Alif mengangguk.

"Dadah Mas!" Lahya melambaikan tangannya seperti anak kecil, lalu dari jarak yang cukup dekat Lahya membentuk tangannya love diatas kepala. Hal itu langsung diimbangi oleh Alif. Suami Lahya itu langsung memegang dramastis dadanya.

Senyum Lahya benar-benar manis, apalagi sampai gigi gingsul sebelah kanannya terlihat. Sungguh mengguncang jiwa dan raga Alif. Sayangnya, pipi gembul Lahya sudah tidak ada lagi.

"Masuk!" usir Alif tanpa suara.

'-'-'-'

Suara menggema tatkala nomor sekolah Lahya dan Anggi terpanggil untuk turun gelanggang. Wajah Lahya sudah terpoles make up yang menjadi ciri khas pencak silat seni.

Tangan Alif tak berhenti berdzikir dibelakang tubuh melihat Lahya mengambil toyak dari tangan sang coach.

Gemasnya Alif ketika Lahya sempat-sempatnya tersenyum padanya saat berjalan ketengah gelanggang. Lahya dan Anggi berjalan menaruh senjatanya masing-masing, lalu kembali berhadapan.

"Bismillahirahmanirrahim!" ucap Lahya.

Secara bersamaan Lahya dan Anggi melakukan gerakan salam penghormatan, setelahnya mereka melakukan gerak pasang.

"Dalam hitungan satu, dua, "

Bertepatan suara gong berbunyi. Lahya dan Anggi memulai gerakkan mereka. Suara anak SMA TB menguasai gedung lomba. Hentakan suara anak SMA TB mengikuti gerakan Lahya dan Anggi, tak terkecuali Rama dan Giandra. Tak lupa, tepukkan tangan ketika ada gerakan yang cukup sulit untuk dilakukan, namun dapat ditaklukkan oleh keduanya.

Sekarang Alif paham kenapa Lahya sangat-sangat memaksa untuk diet. Ternyata memang ada gerakan dimana Lahya naik ke atas pundak Anggi, lalu melakukan bantingan dari atas.

"Pak, itu golok asli?" tanya Alif seperti ingin mengajak mertuanya bercanda. Padahal sebenarnya ia juga tahu yang dipakai Anggi adalah golok asli. Akan tetapi, Alif khawatir sewaktu-waktu golok itu benar mengenai Lahya.

"Mainkan!"

"Main....kan....!"

"Wuuuuuu....hait cyah!"

Teriak anak SMA TB ketika Lahya dan Anggi sudah siap bermain menggunakan toyak dan golok. Suara semangat dan backsoud asli anak-anak pencak silat semakin membuat Lahya dan Anggi terlihat sangar di tengah gelanggang sana.

"Mainan, Le."

Alif menoleh tidak percaya.

Pak Yasin berdecak. "Yo asli. Khawatir tah?" tebak pak Yasin.

Alif mengangguk jujur. Sebelum permainan berakhir, Lahya berhasil mengambil alih golok dari tangan Anggi dan seni ditutup dengan Lahya yang berpura-pura menancapkan golok ke perut Anggi. Permainan seni ganda putri hanya dilakukan kurang lebih sekitar lima menitan.

"Srikandi saya!" kata Alif bangga dengan Lahya yang berhasil membuat para juri dan coach terpana dengan gerakannya.

Sebelum keluar gelanggang, Lahya dan Anggi memberi salam hormat. Seni ganda putri yang mewakili SMA TB ke provinsi, selesai. Amanah terpenuhi. Sudah tidak ada perlombaan atau pertandingan lagi untuk Lahya setelah ini.

Delapan tahun bergelut di dunia pencak silat bukan waktu yang singkat untuk mengakhirinya begitu saja, tapi Lahya ingin istirahat. Lahya cinta pencak silat, tapi dunia pencak silat bukan yang ia inginkan. Bapaknya yang memaksa Lahya masuk ke sini, untuk belajar bela diri setelah kejadian 10 tahun silam.

Lahya berterima kasih kepada bapak karena telah mengenalkan dunia pencak silat pada dirinya, sebab dari sana bukan hanya fisik Lahya yang dibentuk tapi mental Lahya juga. Untuk berikutnya, Lahya ingin mencari dunianya sendiri, ditemani sang suami. Haafiz Alif Faezan.

"Hebat. Kamu keren! Saya bangga!" puji Alif setelah Lahya mengampirinya bersama pak Yasin.

"Anak siapa dulu?"

"Anak Pak Yasin!" jawab Pak Yasin dengan bangganya.

"Aaaa....!" Lahya kegirangan memeluk gemas bapaknya. Seperti yang kalian tahu, hobi Lahya ini kalau bukan memeluk bapaknya, ya mengusap perut buncit bapaknya.

"Eh, heh. Make upmu nempel semua nanti." Lahya tertawa, lalu dengan jail menempelkan wajahnya dan sengaja menggosok-gosokkan ke baju bapaknya.

"Oalah bocah iki, kok, yo....semprol tenan!"

Alif ikut tertawa dibuat Lahya. Betapa leganya hati Alif bisa melihat Lahya seceria hari ini. Ia tahu Lahya pasti masih dihantui bayang-bayang trauma, tapi hebatnya Lahya bisa menutupi dengan senyum manis.

Lahya melirik Alif. Disela-sela candaannya bersama bapak, diam-diam Lahya mengusili tangan Alif. Alif yang memiliki tingkat kepekaan tinggi langsung menarik kelingking Lahya, lalu menyembunyikan dibelakang punggung. Jadilah, tangan mereka bertaut satu sama lain.

Jadi posisi mereka berada di sudut kanan atas, sedangkan teman-teman Lahya berada di sudut kiri bawah. Posisi ini cukup aman, karena juga tertutup tubuh gempal bapaknya. Benar-benar kesempatan dalam keramaian.

"Hayoloh, nanti diliatin orang bisa jadi gosip," peringat Pak Yasin.

Lahya cengingisan masih tak melepas tangannya dari Alif. Bapak ini tahu saja, padahal matanya ada didepan.

Giandra hanya mampu geleng-geleng  Lahya menikah dengan laki-laki yang umurnya 4 tahun diatas Giandra. Giandra menyesal ikut naik bersama Lahya. Ia hanya bisa diam membisu. Hanya mampu iri melihat kebucinan mereka. Andai di sampingnya ini orang lain, mungkin sendal Giandra sudah melayang.

"Asem tenan ni!" misuh Giandra melihat Alif tidak berhenti memainkan tangan keponakannya dibelakang punggung.

"Uiii Lahya!" panggil salah satu teman Lahya melambaikan tangan meminta Lahya turun bergabung bersama mereka.

"Kenapa?" tanya Lahya berniat menarik tangannya, tapi Alif malah semakin kuat menggenggam.

"Ini ada coach dari Univ cariin kamu."

"Aku, tah?" Lahya masih berusaha melepas genggaman tangan suaminya.

"Iya! Mrene cepet!" - Cepat kesini.

Lahya menoleh pada Alif. "Bentar Mas."

"Mau kemana?"

"Itu dipanggil."

"Disini saja," balas Alif memegang tangan Lahya dengan kedua tangan.

"Ageh, kae ndang mudun," ujar pak Yasin dengan sangat tidak sopan langsung menarik tangan Lahya lepas dari Alif. - Cepet, sana turun.

"Cepet, Ya!"

"Iya ini loh," jawab Lahya menahan tawanya melihat wajah masam Alif saat ia tinggal pergi.

'-'-'-'

Assalamu'alaikum para Jomsfi!!!

Gak. Sebenernya author gak suka ngilang kok. Kadang sibuk revisi berulang kali atau kadang stuck.

Gimana bab 43 ini? Bapernya dapet, gak? Bab 44 lebih baper lagi dari ini. Untuk nexttt bab 2,3 vote dan 1,5 komen. Semangat!!!

Spam MasyaAllah untuk nexttt bab

MasyaAllah >>

MasyaAllah >>

MasyaAllah >>

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 440K 58
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
1.7K 266 3
Siapa yang pernah menyangka jika gadis urakan seperti Dina harus dengan terpaksa menyetujui wasiat kakeknya, sang pemilik pesantren. Menjadi santri b...
445 202 4
Siapa sangka gadis kecil berusia 5 tahun dan anak kecil laki-laki berusia 5 tahun, dipertemukan setelah 12 tahun berpisah lamanya. Takdir menepati j...
595 145 3
"Mau kah engkau menjadi istri ku?" kata Gus Zayen bertanya dengan Kania