Hujan Bulan Desember

By sebaitrasa

43.9K 6.5K 3.7K

Desember di tahun-tahun sebelumnya, setiap hujan turun bersama angin, akan selalu ada dua gelas teh dan susu... More

Pembuka
Bab 1; Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah
Bab 2; Sudut-sudut Rumah yang Kehilangan Hangatnya
Bab 3; Musim Tempat Luka Itu Tumbuh Kembali
Bab 4; Katanya, Setiap Luka Akan Tiada Setelah Terbiasa
Bab 5; Saat Awan-awan Hitam Terbelah dan Hujan Turun Kembali
Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga
Bab 7; Di antara Garis-garis Senja yang Lenyap dari Langit
Bab 8; Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit
Bab 9; Ketika Kita Bicara Tentang Siapa yang Mencintai Lebih Besar
Bab 10; Setelah Mentari Pergi dan Hujan Turun Mendahului Mendung
Bab 11; Kepada Langit Malam yang Menenggelamkan Bintang-bintang
Bab 12; Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati
Bab 14; Cinta Tidak Diciptakan untuk Membuat Seseorang Menyakiti yang Lainnya
Bab 15; Bahkan Setelah Musim Berganti, Bintang Tidak Pernah Meninggalkan Langit
Bab 16; Hujan adalah Bahasa Isyarat Paling Jujur di Bumi

Bab 13; Dalam Malam yang Tenang, Beberapa Hati Kembali Patah

2.2K 317 215
By sebaitrasa

Bab 13;
Dalam Malam yang Tenang, Beberapa Hati Kembali Patah

____________________________________________

Menjelang pukul delapan malam, Mama menghubungi Denta. Lewat sebuah panggilan telepon yang berlangsung selama kurang lebih dua menit, wanita itu mengatakan kalau dia sudah tiba di rumah dan ingin anak-anaknya segera pulang. Maka meski sebenarnya pemuda itu enggan membangunkan Kala yang baru sepuluh menit lalu jatuh tertidur di sofa ruang kerja Tante Sahara, ia terpaksa bangkit, berjalan pelan-pelan keluar dari ruangan untuk mencari keberadaan Tante dan berpamitan, sebelum nanti ia kembali lagi untuk membangunkan Kala.

Kafe masih cukup ramai. Pengunjung yang rata-rata anak muda itu masih banyak yang berlalu-lalang lewat pintu masuk, masih banyak yang duduk tenang membaca buku di meja masing-masing, masih banyak yang tenggelam dalam baris-baris lirik emosional dari lagu milik Dygta feat. Kamasean yang saat itu dibawakan oleh seorang perempuan di atas panggung. Masih banyak sudut-sudut kafe yang terisi oleh mereka-mereka yang enggan pulang. Masih banyak orang yang betah memandangi suasana jalanan di luar melalui jendela-jendela kaca, menunggu sampai isi gelas minuman di hadapannya tandas.

Saat Denta membawa langkahnya keluar, kafe benar-benar masih ramai. Akan tetapi, di tengah keramaian itu, ia bisa langsung menemukan Tante Sahara. Wanita dengan kemeja burgundy yang lengannya digulung tiga lipatan itu duduk tidak jauh dari pot berisi tanaman peace lily yang bunga-bunganya sudah mekar sempurna. Dari sudut itu, Denta bisa melihat Tante Sahara sedang berbicara dengan seseorang, ditemani dua gelas Americano yang sepertinya sudah hampir mencapai dasar. Tampaknya mereka sudah mengobrol cukup lama, untuk itu Denta memutuskan mendekat setelah menunggu selama beberapa saat sampai ia merasa ada jeda untuk dirinya menyela. Lagipula, Denta hanya akan berpamitan sebentar dan setelahnya langsung pulang.

Namun, beberapa langkah sebelum ia sampai ke meja Tante Sahara, sebelum ia sempat memanggil wanita itu untuk melihat kedatangannya, pertanyaan dari perempuan di hadapan Tante Sahara saat itu menahan pergerakan Denta.

"Ngomong-ngomong, Mbak Mitha gimana kabarnya sekarang? Semenjak Mas Haris meninggal, aku bener-bener putus kontak dari dia. Dia juga udah nggak pernah lagi datang buat sekedar nengokin Mama."

Meski saat itu Denta tidak sepenuhnya tahu apa yang mereka bicarakan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah merasa mengenal perempuan itu, tetapi ia cukup yakin bahwa nama yang baru saja perempuan itu sebut adalah Mama.

Untuk itu Denta mundur satu langkah dari posisinya. Berusaha membuat jarak,  tetapi tidak membuat suara mereka hilang dari pendengarannya. Pemuda itu memutuskan untuk menahan sejenak langkahnya di sana untuk kemudian melihat bagaimana Tante Sahara mengambil napas lebih panjang dan menjawab dengan suara yang lebih ringan.

"Dia ... cukup baik. Seenggaknya udah jauh lebih baik daripada satu tahun yang lalu."

Perempuan di hadapan Tante Sahara kini tampak memutar-mutar gelas Americano yang isinya hampir tandas. Arah pandang perempuan itu berhenti di atas meja, tatapannya kosong untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia menghela napas panjang dan melanjutkan bicara.

"Kepergian Mas Haris pasti bikin Mbak Mitha terpukul banget. Selain kami—keluarganya, aku tau Mbak Mitha adalah orang yang paling terluka atas kematian Mas Haris."

"Ya. Dia hancur banget waktu Haris meninggal. Dia udah kehilangan suaminya, dan saat itu dia harus kehilangan laki-laki yang dia cintai juga. Di hari-hari itu dia banyak nyalahin dirinya sendiri dan merasa sangat bersalah sama keluarga Haris. Mitha selalu ngerasa kalau Haris meninggal gara-gara dia. Makanya, setelah pemakaman Haris hari itu, dia bahkan nggak berani untuk sekedar bertemu keluarganya. Termasuk kamu, Hana."

Semakin sering nama Mitha disebut dalam obrolan malam itu, Denta semakin yakin bahwa orang yang mereka bicarakan saat itu adalah Mama. Sebab, yang ia tahu, Tante Sahara hanya berteman dengan satu orang Mitha di dunia ini. Paramitha, mamanya. Namun, yang tidak ia mengerti sampai detik itu adalah nama-nama asing lainnya dalam obrolan mereka. Denta yakin ia tidak pernah mendengar nama Haris sebelumnya. Ia juga yakin belum pernah melihat perempuan bernama Hana tersebut dalam lingkup pertemanan Mama.

Yang lebih tidak Denta mengerti, adalah kata-kata Tante Sahara tentang 'laki-laki yang dia cintai'. Jika wanita itu telah menggunakan kata 'suami' sebagai kata ganti Papa, lantas sebutan 'laki-laki yang Mama cintai' itu ditujukan untuk siapa?

"Kita semua memang sempat down dan terpukul banget dengan meninggalnya Mas Haris. Kondisi kesehatan Mama waktu itu bahkan sempat memburuk. Dan selayaknya orang yang baru saja kehilangan, kami juga sempat mencari-cari orang lain untuk disalahkan, untuk dimintai pertanggungjawaban atas meninggalnya salah satu keluarga kami. Nggak sekali dua kali kami ingin egois dengan menyalahkan Mbak Mitha atas kejadian yang menimpa Mas Haris. Tapi, pada akhirnya kami semua sadar, kalau Mbak Mitha bukan orang yang sepantasnya disalahkan. Gimanapun juga, dia pun pasti ngerasa kehilangan. Dia juga pasti nggak menginginkan kepergian Mas Haris."

Isi pikiran Denta sekarang mulai berantakan hingga pemuda itu bahkan tidak bisa berdiri dengan tenang. Ia masih bisa melihat punggung Tante Sahara yang tampak lebih tegang. Masih bisa melihat bagaimana perempuan bernama Hana itu menunduk dan sesekali memejam. Ia juga masih bisa menangkap keramaian di sekitar, suara gelas dan piring-piring yang beradu dengan meja, musik yang mengalun, baris-baris syair yang terus berganti, juga deru napasnya sendiri.

Namun, kepala pemuda itu mulai penuh dengan ingatan-ingatan lama yang sebelumnya sudah coba ia kubur dalam. Ketakutan-ketakutan yang dulu hanya ia simpan sendirian, juga amarah yang terpaksa hanya harus ia pendam. Suasana kafe masih sangat berisik, tetapi kepala Denta rasanya jauh lebih berisik.

"Aku senang kalau kamu dan keluarga nggak nyalahin Mitha atas semua yang terjadi sama Haris. Aku tau, dia memang salah. Kamu pun tau itu. Tapi, aku juga tau kalau dia benar-benar cinta sama Haris. Bahkan setelah ada Aji di hidupnya, setelah ada kedua anak kembarnya, pada akhirnya dia kembali jatuh hati sama Haris. Jadi, menyalahkan Mitha atas kematian Haris benar-benar hal yang egois. Karena dia juga sakit. Dia juga hancur, Han."

Saat itu, semua terasa jelas untuk Denta. Nama papanya yang keluar begitu saja dari mulut Tante Sahara, juga keberadaan anak kembar yang wanita itu sebutkan, di detik itu telah mempertegas kenyataan bahwa nama Mitha yang sejak awal mereka bicarakan benar-benar mamanya.

Udara di sekitar Denta saat itu seketika berubah menjadi lebih pengap. Suara-suara di sekeliling terdengar tidak beraturan. Denting piring beradu dengan musik, bertabrakan dengan derap langkah kaki, kemudian pecah saat bertemu dengan derit kaki-kaki kursi yang ditarik. Semua terdengar buyar di telinga Denta, kecuali suara dari dua wanita di depannya.

"Iya, Mbak. Makanya, kalau kapan-kapan aku bisa ketemu Mbak Mitha lagi, aku pengen bilang ke dia kalau kematian Mas Haris itu bukan salahnya. Jadi dia bisa melanjutkan hidup tanpa ada lagi rasa bersalah di hatinya."

Selanjutnya, yang Denta lihat adalah bagaimana Tante Sahara menyentuh jemari tangan Hana di meja. Lalu perempuan itu dengan segera tersenyum, membalas genggaman tangan Tante Sahara sebelum kemudian mengusap sedikit jejak-jejak basah di sudut matanya. Tidak berselang lama sampai kemudian perempuan itu mengecek ponsel hingga raut wajahnya berubah secara tiba-tiba.

"Suamiku udah di depan ternyata. Aku pamit dulu, ya, Mbak. Kapan-kapan kalau aku ke Jakarta, dan Mbak Sahara nggak keberatan, mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol lagi. Jujur aku seneng banget bisa ketemu Mbak di sini."

"Anytime, Hana. Datang aja ke sini kapan pun kamu mau."

"Makasih banyak, Mbak. Tolong sampaikan juga salamku buat Mbak Mitha."

Pelukan singkat dari perempuan itu untuk Tante Sahara adalah hal terakhir yang Denta saksikan sebelum mereka akhirnya berpisah. Perempuan dengan nama Hana yang baru pertama kali ia jumpai hari ini tersebut pergi dengan tergesa-gesa, menyisakan gema hak sepatunya yang beradu dengan lantai sampai bayang punggungnya benar-benar hilang ditelan malam.

Dan beberapa detik setelah itu, Tante Sahara berbalik. Mata keduanya bertemu. Wanita itu tampak terkejut, wajahnya menegang. Satu reaksi yang seolah mempertegas fakta bahwa memang ada hal yang wanita itu sembunyikan. Bahwa seharusnya Denta tidak pernah mendengar apa yang barusan ia dengar.

Kedua tangan pemuda itu sudah mengepal kuat saat Tante Sahara mendekat dengan garis-garis senyuman yang ia paksakan. Mungkin dengan begitu dia berharap Denta akan melupakan semua yang ia dengar dan percaya saat wanita itu bilang tidak ada hal yang perlu ia khawatirkan.

"Hey, ada apa, Den? Kamu butuh sesuatu?"

"Perempuan tadi siapa?"

Saat itu, Denta bisa melihat bagaimana wajah Tante Sahara menegang untuk alasan yang mulai Denta takutkan. Sebab, jika apa yang ia dengar dan pikirkan sekarang benar, ia tidak tahu hidup seperti apa lagi yang akan ia hadapi ke depan.

"Itu temen Tante. Temen lama. Dia udah lama pindah ke luar kota dan kebetulan hari ini kita ketemu di sini."

"Terus Haris siapa? Ada hubungan apa orang-orang itu sama Mama? Kenapa nama dia terus disebut-sebut sepanjang kalian ngobrol?"

"Denta—"

"Tante tau sesuatu yang selama ini aku nggak tau, kan?"

Tanpa sadar suara Denta meninggi dan seketika perhatian pengunjung kafe pun terbagi. Orang-orang yang tadinya tidak terlalu peduli itu secara serempak menoleh ke sumber suara dengan jenis tatapan yang berbeda-beda. Hal yang tidak pernah Denta suka, tetapi di detik itu ia bahkan tidak lagi memikirkan apa-apa. Dengan mata yang mulai memerah ia menatap lekat Tante Sahara, sampai wanita itu harus meraih tangannya untuk kemudian dibawa menuju taman di bagian samping kafe tempat biasa Denta menghabiskan waktu.

Wanita itu menuntunnya untuk duduk, memberinya segelas air putih yang ia ambil tergesa-gesa dari pantry, memberi jeda ... membiarkan aroma lembut dari bunga-bunga yang tumbuh di taman itu sedikit menenangkan Denta. Dari sana, suara-suara berisik cukup teredam. Setidaknya hanya suara musik yang sekarang masih samar-samar terdengar.

Di sana, Denta tidak lagi mendengar derap-derap langkah kaki pengunjung. Tidak lagi mendengar obrolan orang-orang yang datang. Tidak lagi mencium aroma pengharum ruangan yang tercampur aroma kopi dari gelas-gelas yang baru disajikan ke meja. Di tempat itu, semua terasa jauh lebih tenang. Dan setelah dirasa pemuda itu tidak lagi meledak-ledak seperti tadi, Tante Sahara lantas membuka lagi obrolan di antara mereka.

"Do you feel better?"

"Tante sama Mama nutupin sesuatu dari aku, kan?"

Ada helaan napas panjang yang mengisi diamnya Tante Sahara saat itu. Sebentar, sebelum kemudian wanita itu melanjutkan dengan suara yang terdengar lebih pelan.

"Maaf, ya."

Akan tetapi, bukan itu yang sekarang Denta ingin dengar.

"Bakal aku maafin kalau Tante kasih tau aku semua yang Tante tau."

Udara malam itu terasa lebih dingin. Angin-angin kecil perlahan datang menyapa dedauan, menggerakkan tangkai-tangkai bunga lavender yang baru pertama kali Denta lihat ada di sana. Dan dalam suasana yang cukup tenang itu, Tante Sahara kembali memberi jeda. Beberapa detik, sampai wanita itu merasa cukup untuk kembali membuka suara.

"Denta, ada beberapa hal di dunia ini yang lebih baik nggak pernah kita tau sama sekali. Beberapa hal yang mungkin cuma akan nyakitin perasaan kita sendiri. Terkadang, ada saat di mana kita memang nggak perlu tau tentang sesuatu untuk tetap bisa melanjutkan hidup." Kemudian wanita itu menoleh sejenak pada Denta, membalas tatapan menuntut dari kedua matanya yang malam ini kembali seperti hari-hari saat anak itu kehilangan Kala.

"Tante bukannya nggak mau jelasin apa-apa. Tapi, memang lebih baik kamu nggak tau, Denta. Tante minta maaf, karena obrolan Tante dengan Hana tadi, kamu jadi harus dengar hal-hal yang seharusnya nggak pernah kamu dengar," lanjutnya.

"Aku berhak buat tau, Tante."

"Tante akan kasih tau kalau memang hal itu baik buat kamu, Den."

"Terus Tante kira dengan tetap nyimpen semuanya dari aku di saat aku udah hampir dengar separuhnya bakal bikin aku lebih baik? Hidupku nggak akan jadi jauh lebih baik cuma dengan kalian nutupin semuanya dari aku. Mungkin Tante lupa kalau sebelum ini, hidupku udah pernah hancur satu kali. Aku udah paham gimana sakitnya, Tan. Tante nggak usah khawatir aku bakal kewalahan ngadepin rasa sakit jenis apa pun itu karena aku bener-bener udah terbiasa."

Kali ini, Denta mencoba mengambil jeda untuk dirinya sendiri. Berusaha meredam panas yang membakar matanya dengan mengalihkan pandangan pada lampu kekuningan yang berdiri di dekat kolam ikan. Kepalanya kembali berisik, ingatan-ingatan yang sudah ia coba pendam seperti kembali berhamburan. Kemudian, dengan suara yang sedikit bergetar, dengan arah pandangan yang ia bawa menjauh dari Tante Sahara, pemuda itu melanjutkan kalimatnya.

"Selama ini Tante mungkin ngira kalau aku nggak tau apa-apa. Soal Mama, soal Papa, dan gimana hubungan mereka. Makanya Tante ngerasa kalau rahasiain semuanya dari aku adalah hal yang paling baik, karena semua orang ngira aku nggak tau apa-apa. Tapi, Tante kayaknya lupa ... kalau selain Mama dan Papa, aku juga hidup di rumah itu. Selain mereka berdua, aku adalah orang yang paling tau apa yang terjadi di rumahku sendiri."

Sebab, dari balik dinding-dinding rumah yang katanya tebal itu, Denta pernah melihat semua yang tidak orang lain lihat. Dan mendengar yang tidak orang lain dengar. Ia ada di sana, ketika cinta Mama dan Papa habis, lalu perpisahan menjadi akhir bagi keduanya. Ia tidak mengerti kenapa semua orang menganggap dirinya tidak tahu apa-apa, di saat ialah orang yang paling jelas melihat bagaimana retaknya hubungan Mama dan Papa.

Sampai di situ, detik-detik panjang membawa Denta memejam. Hingga ia seperti melihat lagi malam-malam yang pernah ia lewati dulu, ketika diam-diam ia mendapati orang tuanya bicara tentang cinta yang telah sepenuhnya tiada, juga lenyapnya alasan mereka untuk tetap bersama.

"Aku udah bisa ngerasain semuanya dari lama, kalau Tante mau tau. Aku pernah lihat Mama sama Papa ribut tengah malem, di saat mereka bahkan nggak tau kalau aku masih bangun. Aku pernah beberapa kali denger mereka bicara soal perpisahan di belakang aku sama Kala, dan gimana mereka berusaha nutupin itu semua dengan pura-pura kalau mereka baik-baik aja saat lagi di depan kita."

Ingatan-ingatan itu kini bergerak seperti ombak yang menggulung teduhnya pantai. Datang dan pergi, silih bergantian. Sialnya, semua menyakitkan. Namun, meski demikian, Denta masih melanjutkan.

"Ngelihat dari gimana cara Papa menghindar dan bahkan milih buat pergi jauh setelahnya, aku tau ... kalau Mama mungkin udah lakuin kesalahan besar yang nyakitin perasaannya. Kesalahan yang nggak bisa dia maafin lagi. Tahun lalu, di malam setelah pergantian tahun, tanpa Mama dan siapa pun tau, aku denger Mama telepon sama seseorang. Dari pembicaraan mereka malam itu, aku bisa simpulin, kalau berakhirnya hubungan Mama sama Papa ... itu karena Mama punya laki-laki lain."

Saat mengatakan itu, hati Denta kembali hancur. Sesuatu terasa mengimpit dadanya hingga butuh waktu cukup lama untuk ia sekadar mengambil napas dan meremas tangannya yang gemetar. Ia kemudian menatap Tante Sahara, membiarkan wanita itu melihat retakan panjang di matanya seperti sebelum-sebelumnya, setiap kali ia datang ke hadapan wanita itu di hari-hari ketidakadaan Kala.

"Aku selama ini diem, tapi bukan berarti aku nggak tau apa-apa, Tante. Dan hari ini, aku cuma pengen tau semuanya. Aku pengen denger ceritanya secara utuh. Aku juga berhak tau, kan?"

"Denta ... tapi kamu juga harus ngerti kalau ini bukan ranah Tante untuk jelasin apa pun."

"Please, Tante. Kalau aku minta penjelasan ke Mama, aku nggak tau apa Mama bakal ceritain yang sebenar-benarnya atau enggak. Aku takut Mama masih akan nutupin sebagian dari aku kayak yang dia lakuin selama bertahun-tahun ini. Aku cuma pengen tau apa yang udah Mama lakuin sampai Papa sesakit itu, sampai dia berubah jadi orang yang bahkan tega nyakitin adikku selama anak itu jauh dari aku."

Setelah itu, Denta berhenti dan memilih menunggu. Hingga akhirnya keraguan besar yang sebelumnya masih menahan Tante Sahara pelan-pelan runtuh dan menguar. Wanita itu menghela napas panjang setelah sempat memejam selama hampir setengah menit dan menggigiti bibirnya sendiri dengan gusar.

Kemudian, di menit yang entah ke berapa sejak kalimat Denta berakhir, ketika dingin semakin erat memeluk malam, dan ketika angin saat itu kembali menyapu bunga-bunga di hadapan mereka, Tante Sahara akhirnya membuka segalanya.

Tanpa pernah tahu, dari balik pintu kaca yang menjadi jalan tembus menuju tempat itu, Kala ... juga ikut mendengarkan semuanya.

[•••••]

Malam sudah semakin larut. Udara semakin dingin. Orang-orang yang semula masih berada di luar pun mulai kembali ke rumah masing-masing. Kendaraan-kendaraan di jalanan yang tadinya ramai sedikit demi sedikit berkurang. Akan tetapi, kota itu tidak lantas menjadi sepi.

Dari salah satu sudut jalan yang mulai lengang itu, Denta masih bisa melihat beberapa pejalan kaki. Masih bisa melihat kendaraan-kendaraan besar yang melintas, tempat-tempat makan yang beberapa masih didatangi pengunjung, lampu-lampu bangunan yang masih terus menyala, serta gedung-gedung yang ia tidak tahu akan menutup jam operasionalnya di pukul berapa.

Sekarang sudah malam. Sangat malam. Denta tahu itu. Terakhir kali ia mengecek ponselnya, jam di sana sudah beranjak meninggalkan pukul sepuluh, dan kira-kira sudah satu jam lamanya ia tidak memeriksa apa pun lagi. Benda itu ia biarkan tersimpan di saku celananya dalam keadaan mati, dengan pesan-pesan tak terbaca serta panggilan-panggilan tak terjawab dari Mama yang belum ia sentuh sama sekali.

Pemuda itu meninggalkan kafe Tante Sahara dengan perasaan yang kacau. Dengan isi kepala yang tidak beraturan. Dengan rasa kecewa yang membuncah, dan sisanya adalah amarah yang setengah mati ia tahan. Sekarang, sesuatu di dalam dirinya justru seperti berteriak meminta pemuda itu untuk tidak pulang. Padahal, ia tahu, waktu terus berjalan, dan akan terus bergerak menuju tengah malam. Tubuhnya yang lelah seharusnya juga sudah diistirahatkan. Ia seharusnya bergegas mencari kendaraan untuk pulang, bukannya duduk di tepian trotoar, memandangi pantulan cahaya-cahaya lampu yang jatuh tepat ke jalanan, dan menghitung kira-kira masih butuh berapa jam lagi sampai ia merasa benar-benar harus pulang.

Menghela napas panjang, pemuda itu kini beralih memandangi bayangan kakinya sendiri di atas trotoar. Memperhatikan tali sepatu kirinya yang terlepas dan sedikit kotor karena beberapa kali ia menginjak genangan air. Sampai kemudian pandangannya bergeser, menatap ujung sepatu lain yang berada tepat di sebelahnya. Yang beberapa bagiannya juga kotor dan basah. Hal yang kemudian membuat ia sadar bahwa sejak meninggalkan kafe Tante Sahara, selain membawa amarah dan rasa kecewa dalam tiap langkahnya, ia juga membawa Kala.

Saat itu, Denta akhirnya menaikkan wajah, mencoba menatap Kala yang kebetulan sedang melihat sesuatu di ponselnya sebelum kemudian menyimpan kembali benda itu ke saku tanpa melakukan apa-apa. Anak itu tidak banyak bicara. Juga tidak banyak bertanya. Dia bahkan sepertinya juga tidak berniat untuk memberitahu Denta tentang siapa yang terus menghubunginya sejak tadi, dan membuat ponselnya berdering berkali-kali. Namun, meski Kala tidak bilang, Denta tahu panggilan-panggilan itu datang dari siapa. Setelah ponselnya sengaja ia biarkan mati, sudah pasti Mama beralih kepada Kala.

"Mama masih nelponin terus?" tanya pemuda itu kemudian, tepat setelah ponsel Kala kembali tenggelam di balik saku.

"Iya."

"Kalau lo mau angkat, angkat aja. Selagi Mama nelponnya ke nomor lo, itu sepenuhnya hak lo buat jawab atau enggak."

Bahkan kalau memang anak itu ingin pulang, Denta tidak akan keberatan. Bagaimanapun juga, perasaannya sekarang bukanlah tanggung jawab Kala. Ia tidak akan membuat anak itu merasakan hal yang sama dengannya. Ia tidak akan memaksakan anak itu untuk memiliki perasaan yang sama sepertinya. Seluruh rasa kecewa Denta untuk Mama adalah murni tanggung jawabnya sendiri. Sama seperti bagaimana dulu ia menyimpan kekhawatirannya sendirian setelah melihat Mama dan Papa bertengkar. Atau saat tanpa sengaja telinganya merekam orang-orang dewasa itu bicara tentang perpisahan. Denta tidak pernah ingin melibatkan Kala.

Seharusnya, untuk masalah yang satu ini juga berlaku demikian. Sayangnya, saat Denta bicara dengan Tante Sahara tadi, anak itu mendengar. Denta tidak tahu sejak kapan, dan sejauh mana Kala mendengar pembicaraan mereka. Yang ia tahu, ketika ia beranjak dari hadapan Tante Sahara dan bergegas meninggalkan tempat itu, Kala sudah ada di depan pintu. Dengan wajah yang tampak begitu tenang, di saat Denta bahkan rasanya ingin menghancurkan apa pun di sekitar sebagai pelampiasan.

"Lo udah mikirin, mau pulang jam berapa?"

Sampai kemudian pertanyaan itu terdengar di antara suara gesekan roda-roda truk yang baru saja melintas di jalanan depan sana. Denta terdiam, tidak juga menemukan jawabannya. Ia ingin pulang, tetapi tidak ingin pulang ke rumah dan bertemu Mama.

"Kalau lo belum mau pulang, nggak apa-apa, gue temenin. Mau sampai jam berapa pun, gue temenin. Kita cari apa aja yang bisa bikin lo ngerasa lebih tenang. Cari sampai ketemu."

Tetapi kemudian kalimat itu berhasil sedikit menenangkannya. Setidaknya di malam yang semakin larut ini, di antara sisa-sisa aktivitas malam dari kota yang seolah tidak pernah lelah ini, di antara orang-orang asing yang tidak ia kenal sama sekali, ia tidak benar-benar sendiri. Fakta bahwa Kala lebih memilih untuk tinggal bersamanya sekarang alih-alih pulang rasanya jauh lebih melegakan. Setidaknya ia tidak sendirian.

Pemuda itu menghela napas kasar dan membuang lagi pandangannya ke jalanan. Dalam remang-remang pencahayaan jalan saat itu, ia seperti melihat satu per satu kejadian. Mama dan Papa yang tiba-tiba bertengkar. Keputusan mereka untuk berpisah. Papa yang meninggalkan Jakarta bersama Kala dan menghilang selama bertahun-tahun. Ia yang harus melewati lima tahunnya sendirian. Fakta bahwa Kala ternyata tidak hidup dengan baik bersama Papa. Dan terakhir, yang baru saja ia dengar, Mama yang ternyata punya laki-laki lain.

Berantakan. Hidupnya berantakan.

"Gue nggak tau. Apa yang bisa gue cari malem-malem di jalanan kayak gini? Jam segini, orang-orang yang sebelumnya pada di luar harusnya udah di jalan buat pulang. Tapi gue justru masih mikirin apa yang bisa gue lakuin di sini buat ngulur waktu pulang," ucap Denta kemudian. Pemuda itu terkekeh pelan, sembari memainkan jari-jari tangannya yang mulai dingin. Udara tengah malam tidak pernah terasa nyaman untuknya.

"Mau makan lagi? Nggak usah di kafe. Kita cari aja kaki lima yang masih buka," ucap Kala setelah beberapa saat.

"Nggak. Belum laper lagi."

"Kalau es krim, mau? Katanya, makan es krim bisa bikin mood jadi lebih baik."

"Tapi enggak tengah malem gini juga, Kal."

"Kalau gitu, lo mau gue ambilin bintang aja nggak?"

Kala sepertinya benar-benar tidak ingin menyerah. Setelah Denta menolak dua tawarannya, kini anak itu datang dengan satu lagi penawaran yang jauh lebih konyol. Di detik itu juga Denta tertawa, untuk sejenak pikiran kacaunya teralihkan saat Kala justru bangkit, seolah sungguh-sungguh akan bersiap memetik bintang di atas sana.

"Kalau lo ngomong gini ke pacar lo, jatuhnya bakal romantis. Tapi kalau ngomongnya ke gue, jatuhnya lucu. Gue bukan anak kecil lagi yang dulu suka nemenin lo dengerin dongeng dari Mama sebelum tidur. Semenjak kalian pergi, gue udah berhenti percaya sama hal-hal berbau fantasi kayak gitu."

"Eh, gue serius ini. Gue punya mantra buat ngebuka jalan tembus ke langit dan ambil satu bintang mana pun dari sana. Lo cuma perlu bilang iya sekarang dan gue bakal ambilin bintang mana pun yang lo mau."

Lagi, tawa Denta menyisir dinginnya udara jalanan kota malam itu. Namun, bicara tentang hal-hal seperti itu lagi setelah sekian lama rasanya menyenangkan juga. Rasanya seperti kembali ke hari-hari kecil mereka, saat Denta masih sering berandai-andai bagaimana jadinya jika bintang-bintang di langit punya kaki dan bisa merangkak turun ke bumi. Bisa ia panggil untuk datang kapan pun, dan tinggal selama apa pun yang ia mau. Untuk itu kali ini ia mencoba mengikuti fantasi di kepala Kala. Pemuda itu tersenyum sebelum mengangkat pandangannya ke atas, menatap sebagian bintang-bintang yang malam itu tidak tertutup awan.

"Oke. Kalau gitu coba ambilin satu buat gue," katanya yang dibalas kekehan serupa oleh Kala.

"Tunjuk aja yang mana."

Saat itu, pandangan Denta berpendar menjelajah langit, mencoba menemukan bintang mana yang paling ingin ia miliki. Sampai kemudian telunjuknya mengarah pada satu titik di antara ribuan yang malam itu terlihat dari bumi.

"Yang itu," katanya kemudian.

"The first rule is close your eyes."

"Should I?"

"Kalau nggak gitu, jalan buat naik ke langitnya nggak bakal kebuka."

Sejujurnya, Denta tidak tahu permainan Kala ini akan dibawa ke mana. Ia tidak tahu fantasi seperti apa yang anak itu pikirkan di kepalanya. Tetapi melihat bagaimana anak itu tampak sangat serius ketika mengatakan ingin memetik bintang untuknya, Denta tidak bisa membiarkan permainan ini berakhir  begitu saja. Maka meski dengan setengah tertawa, ia akhirnya tetap mengikuti perintah Kala untuk memejamkan mata.

"Sayang banget, padahal gue juga pengen liat kayak apa jalannya dan gimana cara lo naik ke sana."

Sementara itu, Kala tersenyum. Menghela napas panjang satu kali sebelum kemudian ia mengangkat tangannya ke atas, mengarahkannya ke tempat di mana bintang pilihan Denta berada.

"Jalannya udah kebuka, nih. Di depan lo sekarang ada tangga besar yang langsung nembus ke langit. Yang bikin jarak langit sama tempat gue berdiri sekarang jadi kelihatan lebih deket. Gue sekarang lagi naik pelan-pelan, sambil nyari bintang yang lo pilih tadi. Dan ... dapet! Bintangnya udah ada di tangan gue."

"Cepet banget," komentar Denta, masih sambil memejamkan mata. Anehnya, selama Kala bicara, ia seperti bisa membayangkan semua yang anak itu ceritakan. Mulai dari tangga besar yang katanya menembus ke langit hingga bagaimana anak itu memetik bintangnya.

"Dan dia ada tepat di depan mata lo sekarang." Kala melanjutkan.

Di detik itu, tanpa perintah dari siapa-siapa, Denta membuka matanya. Dan seperti kata Kala, di hadapannya saat itu, ia bisa menemukan sepasang bintang menggantung dari telapak tangan Kala. Yang tampak mengkilap saat permukaannya terkena cahaya lampu jalan di sekitar mereka. Pemuda itu sontak tertawa saat sadar bahwa yang muncul di depan matanya sekarang adalah sepasang gelang titanium kembar dengan bintang sebagai ornamen utamanya. Ia kemudian beralih menatap Kala setelah mengambil satu gelang dan menyisakan yang satunya untuk tetap berada di genggaman saudara kembarnya.

"Dari mana lo dapet ini coba?"

"Kan udah gue bilang, gue bisa metik bintang dari langit. Ya itu bintangnya," sahut Kala setelah membawa dirinya kembali duduk di samping Denta.

Sementara pemuda itu memakai gelangnya, membiarkan benda itu melingkar di pergelangan tangan kiri sedangkan milik Kala dipakai di sebelah kanan. Ia tahu, dibandingkan dirinya, imajinasi Kala selalu lebih luas dan kadang-kadang bahkan tidak bisa ia duga. Tetapi ia tidak pernah mengira bahwa adik kembarnya yang dulu bahkan selalu meminta bantuannya untuk sekadar membuka tutup botol itu kini bisa melakukan hal seperti ini untuknya. Anak kecil yang dulu selalu mengikutinya ke mana-mana itu sekarang sudah pandai menghibur kakaknya.

"Gue beli itu tahun lalu, di tanggal ulang tahun kita. Sebenernya setiap tahun gue selalu beli sesuatu. Karena gue percaya, entah di tahun ke berapa, gue pasti bakal ketemu lo lagi dan punya kesempatan buat ngasih semua kado-kado yang gue kumpulin itu ke lo. Tapi, Papa ngebuang semuanya. Cuma gelang itu doang yang nggak ketahuan sama dia."

"Kapan sebenernya lo berencana ngasih ini ke gue?"

"Harusnya begitu gue dateng ke sini, langsung gue kasih. Tapi waktu itu timingnya belum tepat karena lo sama gue kayaknya rada nggak enak. Jadi gue lagi nyari-nyari juga kapan bagusnya gue kasih itu ke lo. Dan ternyata, kesempatan itu dateng hari ini."

Sampai di sana, Denta terdiam. Perasaan bersalah pelan-pelan merayap di dinding hatinya bersama dengan desah kasar angin dari jalanan. Bahkan di tahun-tahun menyakitkan itu, rupanya Kala masih merayakan setiap tanggal ulang tahun mereka. Masih menyiapkan kado untuknya. Masih percaya sepenuhnya bahwa mereka akan kembali bertemu, entah di tahun ke berapa. Sementara di sini, Denta justru berhenti merayakan ulang tahun mereka. Ia tidak pernah lagi meniup lilin dari atas kue-kue yang dibeli oleh Mama. Setiap 27 November tiba, Denta akan membuat dirinya sesibuk mungkin, hingga ia tidak perlu merayakan hari itu bersama siapa-siapa.

Masih sambil memandangi bintang di gelangnya, pemuda itu mencoba menelan seluruh rasa bersalah yang menumpuk hingga membuat rongga dadanya terasa penuh.

Ada jeda yang memeluk diamnya mereka saat itu, sampai beberapa detik kemudian suara Kala kembali terdengar, menyela di antara suara-suara kendaraan, dan membelah udara malam yang bahkan saat itu mampu membuat hidung keduanya memerah karena kedinginan.

"Gue tau, semua yang lo denger dari Tante Sahara hari ini mungkin bikin lo kecewa banget sama Mama. Tapi ya nggak apa-apa. Itu hak lo buat marah. Gue juga, kok. Sama kayak lo, gue juga kecewa sama Mama. Rasanya kayak dibikin patah hati sama orang yang selama ini paling kita percaya. Dan emang dipatahin sama orang terdekat itu sakitnya bakal berkali-kali lipat."

Untuk yang satu itu, Denta tidak berkomentar. Pemuda itu sudah mulai berkaca-kaca saat melihat Kala bergerak ke hadapannya, berjongkok tepat di depannya, dan perlahan-lahan mengambil tali sepatunya yang terlepas untuk kembali diikat.

"Tapi, terlepas dari semua yang terjadi, walaupun ternyata Mama udah bikin kita kecewa, walaupun keluarga kita sekarang berantakan, dan walaupun semuanya udah nggak sama lagi kayak dulu, gue cuma pengen lo tetep jalanin hidup sebagaimana mestinya. Makan teratur, istirahat yang cukup, nonton film, main game, pergi sekolah, jalan-jalan sesekali kalau lagi pengen. Ngobrol, jangan nyimpen semuanya sendirian dan jangan ngerasa sendirian. Temuin orang-orang yang bikin lo ngerasa seneng, datengin tempat-tempat yang lo suka. Kalaupun nggak bisa sebahagia dulu, seenggaknya tolong tetap hidup selayaknya manusia. Karena selama ada gue, lo nggak akan pernah bener-bener sendirian, Den."

Nyatanya, malam itu, Kala berhasil menyentuh bagian paling sensitif dalam diri Denta. Bagian paling jauh, sekaligus paling rapuh. Itu adalah kalimat yang ingin Denta dengar sejak lama. Kalimat yang selalu ia harap akan keluar dari mulut Mama, atau mungkin Papa. Atau dari orang-orang yang pernah menuntutnya menjadi lebih dari yang dirinya bisa. Namun, malam ini, ia justru mendengarnya dari Kala.

Di detik itu, Denta tidak bisa lagi menahan semuanya. Air mata pemuda itu jatuh dengan cepat, tetapi dengan cepat juga ia menghapus jejak-jejaknya.
Ia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatap tepat ke arah Kala yang masih menunduk setelah berhasil menarik simpul terakhir di ikatan tali sepatunya.

"Besok lagi, kalau ada apa-apa, lo bisa kasih tau gue. Jangan simpen semuanya sendirian lagi. Lo nggak perlu lagi nutupin apa pun buat lindungin gue. Lima tahun ini, gue udah belajar banyak, termasuk gimana caranya ngatasin rasa sakit. Kala yang lo lihat sekarang ini udah jauh lebih kuat dari Kala yang lo kenal dulu. Jadi, lo bisa mulai kurangin tanggung jawab di pundak lo, dan berhenti ngerasa kalau sebagai yang lebih tua berarti lo harus sepenuhnya jagain gue." Kemudian, di akhir kalimatnya, Kala mendongak, mempertemukan pandangannya dengan milik Denta dan berhenti sejenak untuk mengambil napas.

"Lo nggak perlu lagi ngorbanin perasaan lo sendiri buat jaga perasaan orang lain. Siapa pun itu."

Sebisa mungkin, Denta mencoba menarik seluruh air matanya agar tidak tumpah. Pemuda itu mendongak sebentar, berharap dengan begitu semua akan teredam. Sebelum kemudian ia kembali menatap Kala di hadapannya.

"Sorry, ya. Di saat kayak gini, harusnya gue yang bisa lebih ngehibur lo. Gimanapun juga, lo orang yang paling ngerasain dampak dari semua kesalahan Mama dulu."

Anak itu menggeleng pelan dan bangkit sedetik kemudian. Samar-samar Denta bisa melihat senyum Kala mengembang bersama dengan tangan yang ia julurkan ke depan.

"Ayo bangun!"

"Ke mana?"

"Ke mana pun lo mau. Gue temenin. Keliling Jakarta sampai pagi kedengerannya nggak buruk juga. Pokoknya selama lo belum pengen pulang, gue bakal temenin ke mana pun."

Saat itu, jejak-jejak kesedihan di wajah Denta akhirnya berganti menjadi senyuman. Pemuda itu menghela napas sebentar, sebelum kemudian menerima uluran tangan Kala dan menyusul bangkit dengan perasaan yang sudah jauh lebih lega.

Denta memang belum ingin pulang. Tetapi ia juga tidak akan membawa Kala berkeliling tanpa tujuan sampai pagi, dengan wajahnya yang sudah mulai terlihat pucat dan tangan yang terasa dingin saat ia genggam.

[•••••]

"Haris dan Mama kamu itu dulunya pacaran. Lumayan lama, hampir empat tahun. Sayangnya, hubungan mereka kandas karena Haris harus lanjut study di luar negeri. Awalnya mereka berdua cuma berniat untuk ambil break selama beberapa waktu, supaya Haris bisa lebih fokus sama pendidikannya di sana, dan Mitha juga fokus sama kehidupannya di sini. Tapi, lama-lama Haris justru nggak bisa dihubungi. Mereka lost contact cukup lama, dan di tengah kebingungan Mitha saat itu, dia ketemu sama Mas Aji. Kebetulan, saat itu, dia juga baru saja kandas percintaannya. Dua orang yang sama-sama patah hati itu ketemu, saling ngobrol, saling tukar cerita, dan akhirnya jadi dekat."

"Di sisi lain, ibunya Mitha—nenek kamu, yang waktu itu sudah sering sakit-sakitan, kepengen sekali lihat anak semata wayangnya cepat menikah. Waktu itu Mitha masih terus coba hubungin Haris, tapi nggak ada hasil. Keluarganya yang Mitha kenal juga mendadak nggak ada yang bisa dihubungi. Di tengah kebingungan Mitha saat itu, dia cuma punya Mas Aji di sampingnya. Dan entah karena kasihan lihat Mitha yang kebingungan, atau karena alasan yang lain, akhirnya waktu itu Mas Aji menawarkan untuk menikah. Mama kamu nggak punya pilihan, Denta. Laki-laki yang dia cintai menghilang, ibunya sakit keras, dan dia nggak punya siapa-siapa selain Mas Aji pada saat itu. Jadi, dengan segala pertimbangan, Mitha akhirnya nerima ajakan Mas Aji untuk menikah. Semua dia lakuin demi ibunya. Demi lihat senyum terakhir ibunya sebelum beliau pergi selama-lamanya."

"Kalau ada pepatah bilang 'cinta bisa datang karena terbiasa', mungkin itu juga yang terjadi sama orang tua kamu, Den. Terbiasa hidup bersama sebagai suami istri lama kelamaan bikin mereka mulai jatuh cinta. Terlebih setelah Mitha hamil, dan melahirkan sepasang anak kembar dalam kehidupan rumah tangga mereka. Di hari-hari itu, mereka bener-bener hidup bahagia. Saling sayang, saling cinta. Tante bisa lihat betapa besar cinta yang Mas Aji kasih buat Mitha dan juga kalian berdua. Mungkin jauh lebih besar dari yang pernah Tante lihat dari seorang Haris dulu."

"Sampai suatu hari, Mas Aji dapet posisi kerja di kantornya yang mengharuskan dia bolak-balik keluar kota setiap dua minggu. Dia juga jadi sering lembur, sering nginep di luar dengan alasan supaya paginya enggak telat ke kantor karena jarak rumah kalian ke kantornya memang lumayan jauh. Mitha yang saat itu masih harus merawat kalian berdua mulai ngerasa kesepian. Jadi, kalau kalian lagi ke sekolah, dia juga sering ikut keluar buat menghibur diri. Tapi, entah kebetulan macam apa lagi, bertahun-tahun setelah Haris pergi, tiba-tiba aja dia kembali. Laki-laki itu muncul di hadapan Mitha lagi. Lalu situasinya kayak berbalik. Dulu, Mas Aji yang mengisi kekosongan di hati Mitha saat Haris pergi. Dan saat itu, gantian Haris yang selalu nemenin Mitha di saat Mas Aji semakin sibuk sama kerjaannya."

"Mereka jatuh cinta lagi. Tante nggak tau gimana mereka memperbaiki dan memulai lagi semuanya pada saat itu. Yang Tante tau, Mama kamu jalanin hubungan lagi sama Haris di belakang Mas Aji."

"Tapi, kamu tau, kan, Den? Manusia nggak akan bisa terus-terusan nutupin kesalahannya. Hari itu, mereka ketahuan. Papa kamu yang jelas-jelas jadi pihak yang dikhianati di sini marah besar sama Mama kamu. Dia minta Mama kamu ninggalin Haris, tapi Mama kamu nggak bisa. Tante juga nggak ngerti kenapa dia bisa lebih milih Haris yang bahkan pernah ninggalin dia, daripada Papa kamu yang udah kasih dia kehidupan baru."

"Pernikahan mereka udah nggak bisa diselamatin lagi. Mas Aji bersikeras minta pisah, dan Mitha juga nggak keberatan untuk itu. Hal selanjutnya yang jadi masalah setelah keputusan untuk pisah itu adalah ... hak asuh kalian. Sebagai anak-anak yang usianya belum genap dua belas tahun waktu itu, hak asuh kalian berdua hampir bisa dipastikan bakal jatuh ke tangan Mitha. Dan Mas Aji jelas nggak bisa biarin itu. Sebagai pihak yang merasa dirugiin, Mas Aji bersikeras untuk bawa kalian berdua. Tapi Mitha juga nggak mau ngalah gitu aja, dia bahkan siap mempertaruhkan semuanya di pengadilan supaya hak asuh kalian tetap jatuh ke tangannya, sesuai aturan hukum. Jadi, karena tau akan kalah di pengadilan, Mas Aji akhirnya nawarin untuk bikin kesepakatan. Supaya masing-masing bisa bawa salah satu di antara kalian."

"Mama kamu awalnya nolak, tentu aja dia nggak mau kehilangan satu pun anak kembarnya. Tapi Papa kamu bilang akan kasih tau semua kebenarannya ke kalian kalau dia masih kekeuh nolak. Mama kamu ketakutan. Dia nggak mau sampai kamu dan Kala tau tentang alasan mereka pisah, lebih-lebih tau tentang hubungannya dengan Haris. Dia nggak mau bikin kalian kecewa dan benci sama dia. Jadi, walaupun nggak rela, dia akhirnya setuju untuk biarin Mas Aji bawa salah satu di antara kalian berdua."

"Dan karena alasan itu juga, dia nggak bisa lakuin apa-apa saat Papa kamu akhirnya milih Kala untuk dia ajak pergi. Untuk dipisahin dari kamu. Untuk nggak lagi saling ketemu ... juga untuk nggak lagi berhubungan sedikit pun."

.



Sebenarnya sampai di bab ini, aku masih belum nentuin ending. Karena ada beberapa opsi yang kucatat, dan sekarang bingung mau pakai yang mana 😆

Tapi ngomong-ngomong, enjoy yaa. Segala bentuk kekurangan yang ada di bab ini, mohon dimaafkan.

Aku sih ngarepnya banyak yang dukung happy end ya di sini wkwkw

_____

03.02.2024

Continue Reading

You'll Also Like

30K 3.5K 30
Dibesarkan oleh ayah berengsek serta cap pelakor yang melekat pada diri sang mami membuat hidup Hegar tak pernah mudah. Sekeras apa pun berusaha menu...
2.2K 244 6
Kisah tentang persahabatan antara dua remaja yang saling bergantung pada satu sama lain. Gyuvin merupakan seorang remaja yang tak bisa hidup tanpa me...
4.8K 582 17
Kala itu, saat sisa-sisa hujan turun di bulan November, siaran televisi lokal memberitakan terjadi keruntuhan salah satu gedung tua di pusat kota. Ke...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...