RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21.4K 2K 197

Bersaing dengan orang lain āŒ Bersaing dengan sepupu sendiri āœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.4 Aleo
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.2 Senyawa hidrida
3.3 Ekstra 0,2564
3.4 Gerak parabola
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.2 Singularitas gravitasi
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.1 Konservasi
6.2 Pasar monopolistik
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

6.3 Imperialisme Jepang 1944

492 51 11
By Mikhaely04

“Kita bisa berhenti dulu nggak, sih? Rasanya telapak kaki gue bentar lagi bakal melepuh, deh.”

Tanpa perlu menunggu untuk berpikir 2 kali Fikri langsung membungkukkan badannya. “Naik.”

Tidak lama berselang Fikri sudah bisa merasakan pergerakan Razel yang melompat menaiki punggungnya, gadis itu juga memeluk leher fikri dari belakang. “Thanks, Fik.” Ucapnya dengan nada riang.

Sedari bayi sampai menginjak usia 17 tahun, Fikri selalu menghirup udara yang sama dengan Razel. Mungkin itu yang membuatnya paham betul kesulitan yang gadis itu rasakan tiap kali melontarkan berbagai macam keluhan. Bahkan keluhan-keluhan yang kadang terdengar ngawur, Fikri tau kalau sebenarnya itu masalah besar untuk Razel.

Gadis itu tumbuh layaknya putri di istana. Apapun yang dia butuhkan selalu terpenuhi, semua keperluannya diurus oleh maid, menyisir dan menata rambut panjangnya saja bahkan dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu—di luar dari semua keluhannya—Razel yang bisa bertahan sampai sejauh ini, itu sudah sangat luar biasa.

“Apa lo liat-liat? Mau digendong juga?”

Baru berjalan beberapa langkah, Fikri mendadak berhenti saat mendengar Razel mengatakan itu. Menoleh ke belakang, Fikri mendapati Sabrina. Anehnya, gadis itu langsung memalingkan wajahnya begitu tatapan mereka bertemu.

“Lo butuh digendong juga?”

Dengan secepat kilat kepala Sabrina menoleh kembali, tatapan tidak percaya ia layangkan. “Lo nanya kayak gitu ke gue? Yang benar aja. Gue nggak selemah sepupu lo yang satu itu.” Gadis tomboi itu kemudian melangkah lebih dulu melewati Fikri.

Sekilas cara jalan Sabrina memang kelihatan baik-baik saja, namun jika diperhatikan lebih teliti, kaki gadis itu sedikit bergetar di setiap langkahnya. Dan Fikri menyadari itu.

“Turun dulu, Zel.” Fikri melepaskan kaki Razel, mau tidak mau gadis itu terpaksa harus turun. Untungnya di saat seperti ini Razel diam saja tanpa mengajukan protes.

“Sabrina, tunggu!” Teriak Fikri.

Sabrina berbalik. “Hm? Kenapa?”

“Duduk dulu.” Fikri menunjuk batang pohon yang sepertinya sudah lama tumbang.

“Hah?”

“Duduk dulu, gue bilang.” Pada akhirnya Fikri harus menuntun gadis itu untuk duduk. Setelahnya, Fikri bergerak cepat membuka seragamnya, menyisakan kaos putih polos yang melekat di badannya.

“Sebenarnya ada apa, sih?” Sabrina bertanya.

Lalu Razel yang menjawabnya. “Telapak kaki lo berdarah, bodoh.” Ternyata gadis anggun itu juga menyadarinya, mungkin itu yang membuatnya tidak protes saat Fikri menyuruhnya turun.

Fikri sendiri sedang merobek seragamnya menjadi 2 bagian saat Sabrina berucap. “Ini bukan masalah besar buat gue.”

“Kalau infeksi, gimana?” Sindir Razel.

Sabrina melirik gadis itu. “Lo khawatir ke gue?”

“Ih, enggak ya. Cuma kan kalau lo sekarat, hidup gue bakal monoton, nggak akan ada lagi yang jadi saingan gue.”

“Bukannya itu yang lo mau?”

“Iya sih, tapi kalau lo tersingkir dengan cara nggak aesthetic kayak gini kan nggak asik.”

“Nggak jelas lo.”

Perdebatan itu diakhiri oleh cibiran dari Sabrina dan dengusan dari Razel. Sedangkan Fikri, dia sudah berjongkok di depan Sabrina sambil membalut kaki gadis itu menggunakan sobekan seragamnya.

“Anjir! Konyol banget gue harus jalan dengan kondisi kaki kayak gini.” Komentar Sabrina begitu Fikri selesai membalut kedua kakinya. “Buka aja lah, ini kelihatan aneh banget, sumpah.”

“Mending kayak gini daripada kaki lo makin parah.” Fikri memberi pengertian.

“Tapi—”

“Atau lo aja yang gue gendong? Mau?”

Sabrina menggeleng cepat. “Enggak, nggak mau.”

“Yaudah, gini aja makanya.”

Kembali melanjutkan perjalanan, kali ini Sabrina yang memimpin. Gadis itu berjalan di depan, diikuti Fikri dari belakang bersama Razel yang ada di punggungnya. Awalnya Fikri merasa lega lantaran perjalanan mereka hanya didominasi oleh suara kicauan burung dan suara khas hutan belantara.

Namun beberapa saat kemudian Razel lagi-lagi mencoba memancing keributan. “By the way, tadi lo sempat ngakuin gue sebagai saudara lo kan, Sab?”

Tanpa menoleh Sabrina menanggapi. “Oh ya? Kapan? Kayaknya nggak pernah, tuh.”

“Nggak usah ngelak, Fikri bisa jadi saksinya. Iya kan, Fik?” Tanya Razel, namun Fikri diam saja. Enggan ikut campur.

“Kalaupun itu emang terjadi, berarti gue lagi khilaf.” Ujar Sabrina santai.

“Dih, gegayaan khilaf. Gue jadi curiga jangan-jangan apa yang Aleen bilang semalam emang benar, lo lagi berusaha buat akrab ke gue, kan?”

Di depan sana Sabrina tiba-tiba meludah. “Amit-amit,” katanya dengan nada jijik yang dibuat-buat.

“Ngaku aja, deh. Lo bahkan diam-diam punya nomor gue.”

“Soal nomor itu, tanya aja ke tuan terhormat Yudanta Triasa, bokap lo. Soalnya dia yang ngasih.”

Sepertinya hidup berdampingan dengan Razel dari bayi, juga menjadi penyebab kenapa Fikri begitu sulit memahami kepribadian Sabrina. Terbiasa melihat karakter Razel yang anggun, kelakuan barbar dan blak-blakan Sabrina pada akhirnya selalu sukses membuat Fikri terkejut sendiri.

Mulai dari cara berpakaiannya, gerakan-gerakan tubuhnya, kepalan tangannya yang mungil namun selalu sukses membuat orang yang terkena berakhir merintih, pun dengan gaya bicaranya yang kadang-kadang terdengar kasar dan jauh dari kata sopan, semuanya selalu mampu membuat Fikri tercengang.

Sama seperti sekarang. Sebab patokan Fikri mengenai perempuan bersumber dari Razel, dia jadi meyakini sebuah paham kalau anak gadis tidak akan pernah membicarakan ayahnya menggunakan bahasa yang kurang menghormati. Namun barusan Sabrina melakukan itu.

“Iya, Papa emang cuma bokap gue, bukan bokap lo.” Razel menyahuti.

Bahu Sabrina mengendik. “Ambil aja sih, siapa juga yang mau. Gue mah nggak butuh.”

Razel tiba-tiba melompat turun dari punggung Fikri, gadis itu melangkah menghampiri Sabrina lalu menarik tangan Sabrina secara kasar. “Sabrina! Gue bakal laporin omongan lo ke Papa.”

“Laporin aja, gue nggak takut.”

Fikri diam-diam memijit pangkal hidungnya sembari menggeleng pelan, tertekan luar biasa berada di antara kedua putrinya Om Yudanta. Kalau saja yang mereka perdebatkan masalah benda, Fikri pasti akan membelikan benda itu masing-masing untuk mereka, tidak peduli berapapun nominalnya dan bagaimanapun sistem pembayarannya.

Tapi masalahnya yang menjadi akar perdebatan kedua gadis itu adalah Papa biologis mereka, dan sialnya Papa mereka merupakan satu orang yang sama. Mau Fikri beli dengan nominal berapapun dan menggunakan sistem pembayaran bagaimanapun, itu tetap mustahil terwujud lantaran Om Yudanta hanya ada satu di dunia ini.

Hah, legal nggak sih kalau 2 gadis itu dilelang aja di pasar monopolistik?

-

Bab 33 “Imperialisme Jepang 1944”

•••

Masih menyusuri pinggiran tebing, Aleen berjalan sambil merentangkan tangannya, rambut panjangnya berkibar diterpa hembusan angin. Gadis itu bahkan sesekali berjalan melompat-lompat layaknya anak kecil bila jalanan yang mereka lalui kebetulan jalanan datar, dan itu otomatis membuat rambutnya juga ikut melompat-lompat mengikuti gerakan tubuhnya.

Aleo yang berjalan di belakangnya terus memperhatikan. Bila Razel dan Sabrina memiliki karakter kuat, Aleen justru seperti bunglon, karakternya menyesuaikan dengan lingkungan dan keadaan. Tapi hebatnya, Aleo jatuh cinta pada pesona gadis tanpa karakter itu. Andai saja Aleen muncul satu tahun lebih cepat, Aleo yakin dirinya tidak akan pernah jatuh cinta pada gadis lain selain tetangga sebelah rumahnya itu.

“Aww ... sssh.” Aleen tiba-tiba merintih dengan kaki kanan terangkat yang telapaknya diusap-usap oleh gadis itu.

Aleo buru-buru menghampiri. “Kenapa?” Tanyanya khawatir.

“Nggak sengaja nginjak batu tajam.”

“Berdarah?”

Aleen menggeleng. “Untungnya enggak, dan gue masih bisa jalan. Ayo!”

Aleo melongo menatap punggung Aleen yang semakin jauh. Padahal telapak kaki gadis itu sudah merah semua, masa nggak sakit sih? Aleo jadi curiga jangan-jangan Aleen hanya gengsi mengakuinya, pasalnya dalang yang menyebabkan mereka semua berjalan tanpa alas kaki begini adalah ulah gadis itu.

Sejujurnya Aleo bisa menawarkan punggungnya untuk Aleen, dia yakin masih bisa menggendong gadis itu meski tangannya hanya berfungsi sebelah. Tapi masalahnya, Aleo malas jika niat baiknya malah berakhir buruk lantaran Aleen pasti akan menggodanya perihal taaruf yang katanya tidak boleh bersentuhan fisik.

“Leo lihat! Ada elang.” Tangan Aleen menunjuk ke udara.

Tatapan Aleo refleks mengikuti. Ternyata memang benar, saat ini ada dua burung elang yang terbang ke sana ke mari di udara. Netra Aleo terpaku, sebab dibanding singa yang jelas-jelas merupakan arti namanya, jujur Aleo lebih menyukai elang. Filosofi kehidupan yang berhubungan dengan elang jadi penyebabnya.

Waktu kecil, Aleo bersama Amal dan teman-temannya yang lain, sering pergi mandi-mandi di sungai yang tidak jauh dari pemukiman mereka. Ada kalanya Aleo lebih menyukai duduk di pinggir sambil menengadahkan kepalanya menatap burung-burung yang terbang di atas mereka.

Lalu suatu ketika, seekor elang tiba-tiba melintas dengan gagahnya. Aleo terkesima, menatap tanpa kedip pada si raja angkasa yang terbang bebas di udara. Sejak saat itu Aleo ingin hidup layaknya elang—hidup bebas namun tetap disegani lantaran punya aura dominan tanpa adanya backing-an dari siapa-siapa.

Kalau ditanya kenapa bukan singa padahal hewan satu itu punya kuasa luar biasa? Jawabannya karena pergerakan singa terbatas, dia hanya mampu berkeliaran di kawasannya saja. Berbeda dengan elang yang bisa terbang ke manapun yang dia mau.

Dan untuk bisa hidup layaknya elang, pertama-tama Aleo terlebih dahulu harus memutus rantai besi milik keluarga ADHINATHA yang mengikatnya.

“Kenapa gue harus tercipta jadi Aleen Alnaira keturunan keluarga ADHINATHA, sih? Kenapa gue nggak tercipta jadi elang aja?”

Teriakan mendadak itu sukses membuat Aleo mendengus. Menggunakan tangan kirinya yang masih berfungsi, Aleo menarik ujung rambut Aleen hingga menyebabkan kepala gadis itu tersentak ke belakang, tapi hanya sebentar. Mana mau Aleo menyakiti gadis pujaannya banyak-banyak, kan nggak tega.

“Itu namanya melawan kehendak Tuhan.” Beritahu Aleo. “Capek boleh, lelah boleh, ngeluh juga boleh. Tapi menyesali takdir dan membenci hidup sebagai diri sendiri itu nggak boleh.”

“Ayo cabut!” Setelah memberi ceramah, Aleo lantas menginstruksi. “Btw teriakan lo barusan bikin posisi kita jadi terancam.”

“Oh, iya.” Aleen menepuk jidatnya, kentara baru sadar. “Loh? Kita masuk hutan lagi?” Tanya gadis itu saat Aleo berbelok memasuki kawasan pepohonan.

“Hm. Buat sampai ke jalan utama, kita harus lewat sini.”

Satu jam kemudian ...

“Leo, lo beneran tau jalannya atau cuma sok tau, sih?” Keluh Aleen.

“Gue tau. Mending lo diam aja, ini udah hampir sampai.” Aleo bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia sangat yakin bahwa jalan yang mereka lalui sudah benar. Terlebih lagi begitu netranya bisa menangkap keberadaan 3 sepupunya yang lain sedang bersembunyi di balik pohon besar.

Tidak perlu bertanya untuk bisa tau, sudah jelas alasan mereka bersembunyi karena ada banyak orang yang menjaga di depan sana. Sepertinya akses mereka untuk bisa sampai ke kediaman keluarga ADHINATHA benar-benar ditutup oleh Avia. Nenek tua itu benar-benar licik, selain mengirim orang untuk mengejar mereka, dia juga menempatkan penjaga di sekitar mansion agar mereka tidak pernah sampai ke sana.

“Eh? Ada sabrina. SABRINA—mmph.”

Aleo buru-buru membekap mulut Aleen, lalu membawa gadis itu bersembunyi di balik pohon. Namun nyatanya tindakan Aleo sia-sia karena pasukan penjaga ternyata langsung bergerak dan berhasil menemukan mereka, termasuk Razel, Sabrina, dan Fikri. Mereka semua pada akhirnya tertangkap.

“Aleen, lo!” Saat mereka digiring ke jalan utama, Razel melempar tatapan tajam ke arah Aleen.

Aleen menggigit bibir bawahnya. “Sorry, gue nggak tau.”

“Ceroboh.” Gumam Sabrina menggelengkan kepalanya pelan.

“Halo! Kami sudah berhasil menangkap mereka.”

“...”

“5 orang, semua ada.”

“...”

“Posisi di jalan utama 30 meter dari jalur 2.”

“...”

“Siap, laksanakan.”

Mendengar percakapan lewat ponsel itu, Aleo menghela napas. 30 meter, padahal tinggal sedikit lagi.

“Tahan mereka, Nyonya besar sedang menuju ke sini.”

“Gimana ini? Kita harus ngapain?” Tanya Razel panik.

“Ya persiapkan mental untuk dimutilasi. Emangnya apa lagi?” Jawab Sabrina yang luar biasanya malah kelihatan santai.

“Ini semua gara-gara Aleen.”

Disudutkan oleh Razel, Aleo bisa melihat Aleen terdiam menundukkan kepalanya. Merasa kasihan Aleo hendak membela, namun tak jadi lantaran suara Fikri terdengar lebih dulu.

“Aleen nggak tau kalau di sekitar kita ada penjaga, Zel. Stop nyalahin dia, ikutin aja alurnya.” Untungnya teguran Fikri berhasil membungkam Razel.

Berselang beberapa menit, mobil Avia akhirnya muncul. Sang Nyonya besar yang berkuasa sebagai kepala keluarga turun dengan dramatis. Pintu mobil dibukakan, payung hitam disiapkan, uluran tangan menanti, untung saja tidak ada acara penggelaran karpet merah.

Setelah sepenuhnya turun dari mobil, nenek tua itu mengangkat tangan kanannya, menggerakkan sedikit jari telunjuknya dan seperti keajaiban mantra sim salabim, cengkeraman tangan-tangan besar yang sebelumnya menahan mereka berlima, akhirnya terlepas.

Kekuatan uang memang tidak main-main. Lihat betapa patuhnya pria-pria berotot besar itu pada seorang nenek-nenek tua yang batas hidupnya bahkan sudah bisa dihitung jari.

“Mencoba jadi hewan liar, hm?”

Nenek tua yang sialnya tidak sadar usia. Bukannya memanfaatkan sisa umurnya untuk merenungkan dosa-dosanya pada sang pencipta, dia malah begitu sibuk menyiksa keturunannya sekaligus menyombongkan kekuasaannya.

Nice try.” Ucapnya dengan nada meremehkan yang tidak ditutup-tutupi. “Tapi lain kali, kalian harus mengnalisis lebih dulu siapa pemburunya.”

Diintimidasi begitu, 4 sepupu Aleo mulai menunjukkan wajah pucat, keringat dingin, serta tubuh bergetar, tanda-tanda orang ketakutan. Wajar, pasalnya selama ini 4 remaja itu selalu hidup lurus, patuh pada aturan dan perintah. Berbeda dengan Aleo yang selalu membangkang, dimarahi oleh Avia sudah terlalu biasa untuknya.

“Kira-kira tindakan apa yang cocok diberikan untuk kalian? Diberi hukuman untuk menyadarkan, atau ... langsung dimusnahkan saja?”

“M-memangnya Avia tega memusnahkan kami?”

“Kau menantangku, Razel?”

“Bukan begitu, tapi—”

“Baiklah, saya beri kalian waktu 5 menit untuk berunding. Beritahu saya urutan pemusnahan yang kalian inginkan. Berdasarkan urutan kelahiran atau bagaimana? Silakan, waktu dihitung dari sekarang.”

Aleo menatap datar. Nenek tua itu benar-benar sudah gila. Alih-alih berunding, mereka semua justru menunduk takut, kecuali Aleo yang selalu berani membalas tatapan sang kepala keluarga ADHINATHA.

“5 menit habis. Seret mereka naik ke mobil dan bawa ke tempat eksekusi.”

Aleo tau itu keputusan final, Aleo tau itu tidak akan berubah lagi, dan Aleo tau itu sungguhan bukan ancaman. Karena dari awal Aleo sudah tau kalau Nenek tua itu memang pantas jadi pasien rumah sakit jiwa.

Bahkan ketika mereka merendahkan diri memohon di kaki wanita itu, tetap tidak akan ada yang berubah, semuanya hanya akan berakhir sia-sia. Untuk sesaat Aleo berpikir kalau cerita mereka mungkin memang hanya sampai di sini.

Oleh karena itu ketimbang memberontak, Aleo justru melemaskan anggota tubuhnya, pasrah ditarik menuju mobil yang akan membawa mereka. Asanya sudah meredup, semangat hidupnya menghilang, rencana perang yang ia persiapkan menguap, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan, semuanya sudah selesai.

Selesai bahkan sebelum dimulai. Mirip seperti kisahnya dengan Aurora, namun yang satu itu Aleen berhasil menghapusnya dan memulainya kembali. Sedangkan situasi saat ini, tidak ada yang bisa menyelamatkannya, bahkan Aleen sekalipun. Setidaknya itu yang Aleo pikirkan sebelum akhirnya Aleen dengan suara lantang berteriak—

“PAPA!”

Aleo mengangkat kepalanya, sebesar suara teriakan Aleen, secepat laju mobil hitam yang bergerak menuju posisi mereka, seperti itu juga harapan-harapan dalam diri Aleo kembali muncul. Mereka masih diberi kesempatan, perjuangan mereka bisa dimulai, ceritanya belum selesai.

“Aleen!” Om Wismana turun dari mobil, menghampiri putrinya lalu membawanya ke dalam dekapannya.

Hanya berselang beberapa detik dari kedatangan Om Wismana, beberapa mobil hitam ikut serta muncul di sana.

“Fikri!” Tante Aruan memeluk Fikri.

“Razel!” Om Yudanta memanggil Razel, namun gadis angkuh itu justru malah berlari ke arah Tante Siska lalu memeluknya.

Maka pada akhirnya, Om Yudanta memilih menghampiri putrinya yang lain. “Sabrina.”

Aleo mengerutkan keningnya, jelas sekali barusan Razel sengaja memberi ruang untuk Om Yudanta dan Sabrina. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Kenapa Razel yang biasanya enggan berbagi Papa dengan Sabrina justru hari ini melakukan tindakan sebaliknya?

Ngomong-ngomong, sekarang Aleo jadi satu-satunya orang yang tidak mendapat pelukan hangat dan panggilan penuh kekhawatiran, ya? Sadar dirinya sebatang kara, Aleo mengendikkan bahunya. Santai dulu nggak, sih? Walaupun hampir dieksekusi sama nenek sendiri.

-

Setelah rencana pemberontakan mereka tercium oleh Avia, di mana pun mereka berada rasanya selalu diawasi. Seakan-akan ada seseorang yang selalu mengintai pergerakan mereka.

Bahkan ketika Razel mandi karena badannya gatal-gatal setelah kurang lebih 14 jam di hutan, dia selalu marasa ada yang melihatnya. Tapi anehnya setelah memeriksa kamar mandinya, tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

Mengonsultasikan masalah itu pada rekan-rekannya, ternyata Razel tidak sendirian, Aleen juga mengaku merasakan hal yang sama. Aleo bilang itu hanya perasaan mereka saja, lantaran terlalu takut pada Avia serta termakan intimidasi dari nenek tua itu.

Tapi Aleo juga bilang kalau tidak ada lagi ruangan yang aman untuk bisa mereka jadikan tempat diskusi di rumah besar ini. Dan karena alasan itulah, mereka berlima pun berakhir di sini, di tepi danau belakang rumah Sabrina. Kejadiannya tepat setelah makan malam keluarga.

Aleen yang mengusulkan. Tentu saja Razel protes keras, pasalnya untuk sampai ke sini, mereka harus memanjat pohon dulu. Namun sialnya, tidak ada yang mendengarkan keluhan Razel. Seolah-olah kehadiran Razel tidak terlalu penting. Maka mau tidak mau, Razel akhirnya menurut saja sebab penasaran kenapa Sabrina menyuruh mereka untuk berkumpul.

“Tadi sore Albert ngasih gue kertas.”

Razel mengangkat kedua alisnya. Ah, ternyata itu alasannya.

“Belum gue buka, sih.” Kata gadis tomboi itu menambahkan.

Aleen menyahuti. “Ya udah, buka.”

But we need light.” Celetuk Aleo.

Fikri mengeluarkan ponselnya, menyalakan senter untuk penerangan mereka. Lalu Sabrina langsung membuka lipatan kertas yang sepertinya sengaja sekali dilipat secara kecil-kecil.

Jangan berani mencobanya

Kalimat itu tertulis di dasar kertas dengan tinta hitam tebal. Razel yakin sekali orang yang menulisnya pasti menggunakan spidol permanen.

“Sabrina, kertas itu dari Kak Albert?” Tanya Aleen.

Razel mengerutkan keningnya. “Kak Albert? Sopan banget lo manggil pelayanan pake embel-embel ‘Kak’, itu nggak perlu kali.”

“Iya ini Albert yang ngasih, tapi titipan dari Avia.” Sabrina menjawab. Razel meliriknya, sengaja sekali gadis itu tidak menghiraukan ucapannya.

“Berarti ini peringatan.” Ujar Fikri.

Aleo mengangguk. “Peringatan kalau kita nggak boleh lanjutin rencana itu.”

“Jadi gimana?” Razel bertanya cepat, takut kalau rencana itu batal direalisasikan.

“Kita mulai permainannya besok.”

“Besok?!” Razel, Sabrina, Fikri, dan Aleen menyeru kompak, jelas kaget mendengar apa yang Aleo ucapkan.

“Hm, mulai sekarang kita ubah namanya jadi formula RSFAA.” Gumam Aleo santai sambil merogoh kantong celananya. “Fikri, besok pagi pasang ini di spot yang mengarah ke loker lo.” Instruksinya dengan tangan terulur memberikan 2 benda kecil pada Fikri. Kamera pengintai, CCTV mini tanpa kabel. “Game-nya kita mulai dari Fikri Khaizuran.

Fikri mengambilnya, es kutub itu mengangguk. “Dimengerti,” ucapnya penuh percaya diri.

Razel menghembuskan napas panjang, huuuuuuh ... akhirnya dimulai juga.

“Tapi sebelum itu ...” Aleo kembali bersuara. “Sabrina jawab pertanyaan gue. Sebenarnya Albert ada di pihak siapa? Kita, atau Avia?

Gelagat Sabrina tiba-tiba aneh, dan Razel menyadarinya. “Ma-mana gue tau. Kenapa juga lo nanyain tentang dia ke gue?”

“Karena lo dekat sama dia. Nggak usah ngelak. Kalo lo masih mau gabung dalam tim, cari tau Albert ada di pihak siapa.”

What?! Sabrina dekat dengan Albert? Razel jelas kaget mendengar fakta satu ini.

Continue Reading

You'll Also Like

427K 15.4K 30
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.2M 291K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
5.8K 634 18
š˜‹š˜¢š˜³š˜Ŗ š˜“š˜¦š˜¬š˜Ŗš˜¢š˜Æ š˜£š˜¢š˜Æš˜ŗš˜¢š˜¬ š˜¬š˜Ŗš˜“š˜¢š˜© š˜Šš˜Ŗš˜Æš˜µš˜¢ š˜ŗš˜¢š˜Æš˜Ø š˜®š˜¢š˜Æš˜Ŗš˜“ š˜„š˜Ŗ š˜•š˜¶š˜“š˜¢š˜Æš˜µš˜¢š˜³š˜¢. š˜’š˜Ŗš˜“š˜¢š˜© š˜“š˜¦š˜°š˜³š˜¢š˜Æš˜Ø š˜Šš˜°š˜¢š˜“š˜“ š˜„š˜¢š˜Æ š˜„ļæ½...
543K 6.6K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+