ALIF

By Sastra_Lara

6.6M 460K 52.7K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

38. Terulang

82.7K 6.7K 571
By Sastra_Lara

Mari melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Mata Lahya tak lepas melihat pria yang beberapa hari ini nampak berada di halte sekolahnya. Sepagi-pagi ini, apa pria itu tidak bekerja? Penampilannya dari hari ke hari selalu sama. Topi putih, masker hitam dan baju yang entahlah sepertinya belum pernah diganti. Nampak lusuh.

"Nunggu apa gak masuk-masuk?" tanya Giandra terheran Lahya tidak segera masuk.

"Aneh aja Mas, bapak itu selalu ada dihalte sekolah tiap Lahya pulang. Tapi hari ini, pagi-pagi udah stay di sana. Lahya jadi takut," adunya kembali mendekat ke Giandra.

Saat Giandra memperhatikan pria itu, saat itu juga pria misterius itu berpaling memunggungi mereka di halte sana. Gelagatnya sangat aneh, setiap Lahya pulang sekolah pasti ia akan selalu merasa diawasi ketika menunggu jemputan di depan gerbang SMA TB. Meski, berjarak sekitar 15 meter dari gerbang sekolah, hal itu tetap membuat Lahya was-was.

"Dengerin Mas Gian. Jangan kemana-mana sebelum dijemput Mas atau bapak, paham?"

"Tapi biasanya kalo Lahya pulang cepet juga jalan kaki, kok."

Gian berwajah masam seketika. "Ngeyel banget kamu tuh dibilangin. Ngerti gak?"

"Iya-iya," jawab Lahya masih memperhatikan pria di halte sana.

"Jangan diliatin terus. Masuk sana. Kalau ada apa-apa, hubungi Mas langsung."

Lahya mengangguk. Mengulang, menyalami tangan Giandra dan berjalan masuk gerbang sekolah. Lahya tidak ingin merusak kesenangan di hatinya karena rasa penasaran pada pria misterius di halte sekolah. Perawakan pria misterius itu tidak asing baginya, tapi Lahya memilih untuk tidak peduli.

Suasana SMA TB sudah cukup padat mengingat 15 menit lagi bel masuk. Ada beberapa siswa yang berlari kecil mendahului langkahnya untuk masuk kelas. Biasanya siswa yang datang terburu-buru, baru akan mengerjakan pr-nya di sekolah. Nahh, berbanding terbalik dengan gerombolan siswa yang memilih mengobrol di gerbang sekolah tadi. Biasanya yang malas masuk kelas lebih awal, malas untuk tugas piket membersihkan kelas.

"Allah!" Lahya memekik kaget tatkala tali sepatunya ia injak sendiri sampai hampir jatuh. "Pake lepas lagi."

Lahya berjongkok mengikat ulang tali sepatunya yang lepas karena diinjak sendiri. Biasanya orang akan kesal meski itu dirinya sendiri, tapi Lahya malah salah tingkah mengingat kemarin Gus polisi meminta adiknya untuk bertukar sandal dengan Lahya.

Senyum Lahya berganti wajah serius, ia tidak ingin dikira gila pagi-pagi karena senyum-senyum sendirian. Lahya mengernyitkan dahinya bingung melihat mading sekolah dikerumini banyak siswa.

Ini lebih membuatnya penasaran pagi-pagi dibanding pria misterius dihalte tadi. Lahya terdiam kikuk saat kehadirannya menjadi sorot mata semua yang ada di depan mading.

"Inikan anak yang di berita itu?"

"Kasihan ya ternyata."

"Buat apa kasihan sama cewek munafik kayak dia."

"Eh, tapi anaknya kayak gak tau apa-apa gitu."

"Kasihan jadi korban pedofil."

"Iya kasihan."

Hujatan, tatapan jijik, belas kasih, tatapan kasihan, terus berdatangan menyambut Lahya yang mulai kebingungan. Kenapa perasaan Lahya tiba-tiba saja tidak enak? Ada apa lagi ini? Masalah apa lagi yang pagi-pagi sudah siap menyerangnya?

"Lahya?" kaget Anggi menyembunyikan kertas-kertas dibelakang punggung setelah merobek paksa dari mading.

Anggi menepuk Rama yang masih sibuk menarik kertas-kertas yang berisi copyan berita sepuluh tahun lalu. Rama berbalik, wajah marahnya berganti kaget melihat Lahya yang memandangi mereka.

Lahya terpaku, manik matanya melihat satu kertas yang masih menempel di mading. Kertas itu luput dari Rama dan Anggi yang telah merobek kertas lainnya. Tubuh Lahya lemas, pundaknya jauh merosot turun. Mata Lahya berkaca-kaca. Air matanya tak terbendung lagi. Ia menangis membaca berita anak kecil yang menjadi korban pedofil di pasar malam sepuluh tahun lalu. Kertas itu sangat jelas hanya copyan koran lama.

Lahya menatap semua siswa yang sibuk berbisik-bisik. Antara tatapan jijik dan kasihan, Lahya tidak bisa membedakan dari mereka semua. Lahya mundur, tapi langkah kakinya menyeret salah satu kertas yang jatuh.

"Lahya!" panggil Rama karena Lahya berlari keluar gerbang.

Lahya berlari keluar sekolah. Ia lari sekuat tenaga. Lari dari orang-orang yang dengan jahat menyebarkan berita yang sudah merusak mentalnya selama ini. Tidak tahukah bahwa Lahya berusaha melupakan kejadian sadis itu? Tidak tahukan hampir setiap hari ia melawan rasa trauma akan masa lalunya? Tidak tahukah seberapa berat hidup Lahya dihantui bayang-bayang wajah pedofil itu?

Ya Allah bawa Lahya lari dari dunia yang menyakitkan ini. Ya Allah, Lahya bahkan rela jika Engkau mengambilnya hari ini dengan cara apa pun. Ia sudah muak dengan kehidupan yang tak pernah berpihak padanya. Hanya karena ia tahu bahwa Engkaulah yang selalu berpihak kepadanya. Jadi bawalah saja dirinya lari dunia ini. Ia ingin ikut bersama ibunya saja. Sebab, dunia terasa jahat setelah kepergian ibunya.

"IBU!" jerit emosi Lahya pada jalanan yang tengah ramai.

Semua pengendara yang ada berhenti menontonnya menangis, berlari sesegukan sepanjang jalan. Mungkin mereka sudah mengira bahwa dirinya gila. Memang. Lahya memang gila saat traumanya kembali. Ia akan gila mencari ibunya. Sampai ia bisa melihat ibunya ada di depan mata meski itu ilusi semata.

'-'-'-'

"Ibu, jemput Lahya sekarang ya, Bu? Lahya sudah tidak kuat lagi," pinta Lahya melihat ibunya duduk di samping nisannya sendiri.

"Ibu sakit Bu!" Lahya mencengkram tangannya bahkan mencakar tangannya sendiri tatkala bayangan menyakitkan di toilet pasar malam itu tak mau hilang dari otaknya.

Lahya memukul kepalanya sendiri berusaha menghilangkan bayangan menjijikan itu. Ia meraung sakit dan ketakutan di TMPK sendirian. Tidak tahu sudah berapa lama ia di TMPK sendirian sejak lari dan bolos sekolah. Ia bahkan sempat tertidur memeluk nisan ibunya. Ia kelelahan melawan bayang-bayang itu saat traumanya datang.

Ia tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Ia juga tidak bisa memperkirakan hanya dengan melihat matahari. Sebab, matahari hari ini memilih bersembunyi di balik awan yang hitam pekat. Hujan pasti akan turun sebentar lagi. Apalagi angin sudah bertiup cukup kencang memberi peringatan.

Dunia belum jahat kalau kamu belum pernah menangis sampai tertidur di makam orang tuamu karena pedihnya penderitaan yang dunia dihadiahkan padamu. Itulah yang Lahya rasakan. Ia sudah lelah.

"Pulang ya Nak. Nanti kamu kehujanan!"

Lahya menggeleng pada ilusinya. "Lahya masih mau disini Bu. Otak Lahya berisik. Bayangan itu masih ada sampai Lahya tidak kuat untuk pulang jalan kaki."

"Pulang, terus cerita ke Bapak. Seperti biasanya, ya Nak, ya?"

"Ibu, Lahya mau disini bareng ibu saja."

"Aa!" pekik Lahya kaget saat suara gemuruh langit ikut menyuruhnya pulang dari TMPK. "Ibu?" panggil Lahya sudah tidak melihat ibunya.

Dengan sangat berat hati Lahya berdiri menarik tasnya. Ia mengecup singkat nisan ibu yang telah menemani kegilaannya yang kambuh karena oknum yang membeci kehadirannya di SMA TB. Saat Lahya berdiri dan berbalik, alangkah kagetnya ia melihat pria yang dilihatnya apagi ini dihalte sekolah, sekarang duduk di salah satu makam TMPK. Jarak mereka jauh, tapi tatapan pria misterius itu tak lepas dari Lahya.

Lahya sedikit membungkukkan tubuhnya saat pria misterius itu juga melakukan hal yang sama. Dengan langkah yang lemah dan lunglai, Lahya keluar TMPK dengan perasaan hampa. Kemana arah tujuan hidupnya sekarang? Untuk hidup saja, Lahya berat rasanya. Apalagi bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Pasti mereka akan semakin jijik dengan dirinya ini.

Lahya berbalik sadar diikuti oleh seseorang. Pria misterius itu berjalan jauh dibelakangnya. Perasaan Lahya semakin takut. Angin kencang yang menyapu debu-debu jalan membuat Lahya mempercepat sedikit langkahnya.

Sepanjang jalan Lahya tak henti-hentinya menoleh kebelakang memastikan bahwa pria misterius itu benar-benar ingin mengikutinya. Keberadaan pria misterius itu semakin membuat Lahya takut.

Rintikan hujan mulai turun mengguyur kotak Semarang. Tak tanggung-tanggung, turunnya disertai angin dan guntur secara bersamaan. Lahya menangis ketakutan. Seragam batiknya sudah basah. Tasnya juga sudah basah.

"Lahya Deemah!"

Lahya terhenti saat pria misterius itu menahan bahunya. Pria itu membuka masker dan topinya secara bersamaan. Senyum penuh dendam itu sangat puas melihat Lahya jatuh bersimpuh ketakutan.

Tubuh Lahya terjatuh lemah diatas trotoar. Ya Allah, musibah apalagi yang akan menimpanya kali ini. Jalanan arah TMPK sangat sepi tidak seperti biasanya. Lahya ingin berteriak, tapi suaranya terkecekat ditenggorokan.

Bagai dihantam kenyataan yang sakit saat melihat wajah pedofil itu nyata berdiri didepan Lahya. Lahya meraung ingin meminta tolong, tapi suaranya tak bisa keluar.

"Mau lari kemana kamu sekarang? Kamu pikir bisa hidup tenang setelah membuat aku kepenjara?" tanya pria itu itu berjongkong menyentuh dagu Lahya.

Lahya memalingkan wajahnya tidak ingin disentuh. Ia terus berusaha menyeret tubuhnya mundur, menjauh dari pria pedofil ini. Kemana kekuatan Lahya? Dimana ilmu bela diri yang ia pelajari selama ini? Kenapa ia begitu lemah?

"Cuih!" pria itu meludah ke samping. "Tenang manis, sekarang aku sudah tidak nafsu lagi. Aku hanya ingin sedikit membalas dendam. Separuh hidupku habis mendekam dipenjara karena kamu masih hidup."

"Dasar pedofil baj*ngan!" umpat Lahya pada akhirnya bisa bersuara.

Plak!

Satu tamparan melayang pada wajah Lahya. Sampai wajah gadis itu terhempas berpaling. Bahkan meninggalkan bekas robekan kecil disudut bibirnya.

"Anak kecil yang cantik, manis, dan imut ternyata sudah bisa berbicara kasar?" kekeh peria pedofil itu menarik paksa wajah Lahya.

"Lepasin!" Lahya tidak terima disentuh.

"Coba malam itu aku membunuhmu anak kecil. Mungkin hidupku tidak akan sia-sia dipenjara."

"Lepasin!" rengek Lahya takut setengah mati.

"Lepasin brengsek!" Prak!

Rama datang diwaktu yang tepat, mahasiswa itu menghantam keras kepala pedofil itu dengan helmnya. Sampai pedofil itu jatuh terkapar dan mengerang kesakitan.

"Kak Rama!?"

"Kamu gak apa-apa?" tanya Rama khawatir memeriksa semua bagian tubuh Lahya yang tengah menangis ketakutan.

Lahya menggeleng. "Lahya takut Kak Rama." Lahya mencengkram kuat kedua lengan almamater kampus Rama.

"Jangan takut, ada aku. Maaf aku telat," sesal Rama. Ia benar-benar menyesal tidak langsung mengejer Lahya saat keluar dari SMA TB. Ia malah sibuk mencari oknum yang telah menyebarkan berita sampah itu.

"Sialan!" kesal pedofil itu berdiri.

Lahya membulatkan mata saat pedofil itu sudah mengangkat sebilah pisau. "Kak Rama awas!" pekik Lahya.

Bagh!

Rama menendang bagian perut pedofil itu hingga kembali terjungkal. Tendangan T Rama memang tidak diragukan lagi bisa melumpuhkan lawan, seperti Lahya. Lahya bahkan belajar tendangan T dari Parama.

"Ayok berdiri!"

"Lahya gak kuat Kak."

"Lahya dengerin aku, sekarang kamu harus kuat. Lari ke jalan besar dan minta pertolongan ke siapa pun di sana. Paham?"

Lahya menggeleng saat Rama memaksanya berdiri dan mencari pertolongan.

"Lahya paham?!" geretak Rama mengguncang tubuh Lahya.

"Tapi Kak Rama bagaimana?" tanya Lahya takut meninggalkan Rama bersama pedofil yang masih kesakitan itu.

"Makanya lari ke jalan besar dan cari bantuan!" bentak Rama tidak ingin anak ini lemah. "Lari sekarang!" bentak Rama.

Lahya tidak kaget. Ia sudah sering mendapat bentakan seperti ini dari seniornya itu, entah saat latihan paskib atau pencak silat.

Lahya mengangguk berlari menjauh. Baru saja berlari, ia menutup mulut saat Rama harus beradu kekuatan dengan pedofil itu. Hujan deras membuat langkahnya sedikit berat. Sepatunya berat karena basah. Seragamnya sudah lusuh bercampur tanah.

Sekuat tenaga Lahya berlari keluar ke jalan besar. Ia tidak ingin Rama kenapa-napa karena melawan pedofil bersenjata pisau tadi. Seharusnya Rama tidak akan kenapa-napa, bukan? Rama pernah menang bertanding dikejuaraan nasional pencak silat.

Lahya terjatuh. Ia menangis sejadi-jadinya saat kakinya lemas tidak bisa diajak kerja sama.

"Ya Allah tolong Kak Rama!" isak Lahya memikirkan seniornya itu. Lahya berteriak memaksa dirinya berdiri dan melanjutkan lari.

Lahya berhasil keluar jalan besar. Mobil dan motor melaju begitu cepat. Tidak ada orang-orang yang bisa ia mintai tolong, hujan deras membuat jalanan sekitar sepi, kecuali halte di seberang. Ada beberapa orang meneduh disana, mungkin saja bisa Lahya meminta tolong ke mereka.

Tanpa memikirkan apa pun lagi, Lahya berjalan menyebrang begitu saja. Otaknya sekarang mengkhawatirkan Rama. Ia tidak ingin orang yang ia cintai terluka. Meski sudah menolak Rama, ia tidak bisa membuang begitu saja perasaannya pada Rama.

"AWAS!"

Teriakan orang-orang dari halte bus membuat Lahya menoleh melihat sebuah mobil melaju ke arahnya. Decitan rem mobil pada jalanan yang licin membuat semua panik. Suara teriakan orang-orang bersahutan dengan gemuruh petir di langit.

Jantung Lahya seperti lepas. Kakinya lemas saat mobil itu berhenti tepat beberapa senti dari tubuhnya. Tubuh Lahya jatuh di atas aspal, duduk bersimpuh masih belum percaya ia masih selamat.

"Lahya?" teriak Hana yang keluar dari mobilnya.

Lahya tak mampu menjawab. Nyawanya seperti sudah hilang saparuh.

"Lo gak apa-apa, kan?" tanya Hana khawatir. Orang-orang dihalte pun turun mengerumuni Lahya.

"Dikasih minum dulu mungkin anaknya kaget," ujar ibu-ibu berpayung yang memberikan sebotol air minum untuk Lahya.

Polwan itu tidak menerima botol air tersebut. "Maaf Bu, tapi orang kaget jangan langsung dikasih minum."

"Lahya, lo kenapa hujan-hujan begini lari ke tengah jalan?" tanya Joni memayungi Lahya yang sudah basah kuyup.

"Bentar Jon, anaknya masih kaget," kilah Hana melihat Lahya mematung.

Lahya sadar. Disela-sela nyawanya yang hampir melayang, ia masih mengingat Rama dalam bahaya. Ia menangis. Semua orang kaget melihatnya menangis sekencang-kencangnya di bawah derasnya hujan.

"Kak Hana. Kak, tolong bantu Kak Rama," panik Lahya.

"Rama siapa? Dia kenapa?" tanya Hana ikut panik.

"Kak Rama diserang orang Kak. Orang itu mau nyelakain Lahya, tapi Kak Rama datang nyelametin Lahya. sekarang Kak Rama dalam bahaya. Tolong Kak Rama, Kak Hana."

"Rama sekarang dimana?" tanya Joni.

"TMPK," jawab Lahya sebelum kesadarannya mulai menurun.

Kepala Lahya berdenyut sakit. Telinganya berdenging, suara-suara disekitarnya senyap secara tiba-tiba. Penglihatannya semakin kabur menghitam. Tak lama kemudian ia tak sadarkan diri.

"Jon bawa ke mobil. Telpon anggota lain untuk ke TMPK."

"Gue takut Komandan marah kalau gue sentuh calonnya."

Hana yang menopang tubuh Lahya hanya bisa marah. "Liat situasi dong, gak mungkin Komandan marah. Udah cepat, gue gak bakal kuat. Kasihan juga temennya pasti dalam bahaya."

Joni hanya bisa pasrah. Ia menggendong tubuh Lahya dan membawa masuk ke dalam mobil. Ia saja masih gemetar karena hampir menabrak orang. Mana orang itu adalah calon istri komandannya, apa tidak semakin gemetaran Joni?

'-'-'-'

"Pelan-pelas Mas. Tunggu Aya!" ucap Ayasya berlari mengejar kakaknya yang berlari mencari ruang rawat Lahya.

Alif yang sudah khawatir setengah mati itu tidak menggubris lagi. Telepon dari Hana saat ia sibuk memeriksa TKP kasus baru mengharuskan ia meninggalkan pekerjaannya saat itu juga. Padahal ia sedang menunggu kedua rekannya itu ke TKP, tetapi telepon datang dan mengatakan Lahya dibuntuti oleh seorang pedofil dan hampir ditabrak oleh kedua rekannya.

"Pak Yasin?!" kata Alif menemukan pak Yasin tengah duduk dikursi luar ruang rawat Lahya.

"Kamu dihubungi siapa?" tanya pak Yasin berdiri kaget melihat kedatangan Alif.

"Anggota saya Pak. Pak saya minta maaf karena tidak bisa menjaga Lahya. Hari ini saya ada tugas_"

"Sudah-sudah. Jangan menyalahkan diri kamu. Kamu abdi negara, tugas kamu banyak. Memang sudah takdirnya begini, mau menghindar sebagaimana pun juga tidak bisa. Allah punya ketetapan."

Alif mengangguk. Ia melihat Giandra yang berdiri di depan pintu ruang rawat. Sedikit jauh dari ruang rawat Lahya, Alif melihat Rama tengah dimintai keterangan oleh kedua rekannya.

"Mau masuk?" tawar Gian melihat Alif penuh peluh keringat di cuaca yang dingin.

Alif menoleh pada pak Yasin seperti minta persetujuan.

"Lahya tidak mau dijenguk laki-laki lagi. Kejadian sepuluh tahun terulang kembali, trauma Lahya kambuh lebih parah," jelas Pak Yasin kembali duduk di kursi tunggu koridor rumah sakit. Pria paruh baya itu hanya bisa pasrah.

"Astagfirullah!" sebut Alif mengacak rambutnya frustasi.

Ayasya yang melihat betapa kacaunya kakaknya sekarang itu mendekat dan mengusap ringan lengannya. "Sabar Mas."

"Ay, tolong belikan Mas air botol dikantin RS mau, kan? Mau Mas doakan dan kasih ke Lahya," minta Alif pada adiknya. Ayasya mengangguk, lalu pergi mencari kantin RS untuk membeli pesanan kakaknya.

"Alif?"

"Iya Pak?" tanya Alif mendekat ke Pak Yasin.

Alif berjongkok di dekat pak Yasin yang tertunduk lemas menatap hampa lantai rumah sakit. Sungguh Alif tidak tega melihat bapak yang tengah mengkhawatirkan anaknya yang tengah sakit, namun anaknya menolak untuk dijenguk masuk.

Pak Yasin menyodorkan jaket biru tua yang menjadi obat Lahya saat traumanya kambuh. "Coba kamu masuk, siapa tau Lahya mau jika kamu yang menemuinya. Kita semua sudah ditolak."

Alif ragu mengambil jaket miliknya sepuluh tahun lalu. Jaket biru tua dengan inisial HAF dibagian sakunya adalah jaket yang dulu selalu menemani kelas malam Alif di pondok.

"Dicoba dulu Le, jaketnya kamu bawa masuk. Di dalam ada Nadine, jadi kalian tidak berdua," ujar Pak Yasin dijawab anggukan dari Alif.

"Saya izin masuk Pak!" izin Alif sebelum masuk.

"Gian, saya izin masuk!"

Giandra mengangguk membukakan pintu ruang rawat Lahya untuk Alif.

Alif masuk ke dalam ruangan. Baru saja pintu ditutup pelan, tubuh Lahya tersentak kaget karena suara pintu. Gadis itu berbaring memunggungi pintu ruangan. Tangannya itu tak lepas memegang tangan Nadine.

"Siapa Nad?" tanya Lahya enggan berbalik.

"Ini saya Alif, Lahya." jawab Alif masih belum berani mendekat.

Lahya tersigap duduk dan melihat Alif dengan wajah yang sudah sembab. Betapa terkejutnya Alif melihat pipi Lahya memar dengan salah satu sudut bibir yang terluka. Dengan langkah ragu Alif mendekati Lahya yang sudah menangis tanpa suara.

"Maafkan saya Lahya. Maafkan saya!" kata Alif duduk di kursi samping bangsal Lahya. Hatinya teriris sakit, sorot mata Lahya menyalurkan kepedihan tersendiri baginya.

Mata Alif berair, mimik wajahnya sudah merah padam tak sanggup melihat penderitaan Lahya. Ia akan membuat pedofil itu menanggung akibatnya telah membuat gadis yag dicintai celaka untuk kedua kalinya.

"Gus, Lahya takut. Dia datang lagi. Dia ngikutin Lahya. Lahya takut Gus." Tangis Lahya mengadukan pada Alif.

"Dia apakan kamu? Kenapa pipi kamu lebam?" tanya Alif ikut pilu mendengar isak tangis Lahya.

Lahya menggeleng. "Gus jangan tinggalin Lahya. Lahya takut. Tolong penjarakan lagi pedofil gila itu lagi!" mohon Lahya menyatukan tangannya ketakutan dihadapan Alif. Seolah Aliflah pedofil itu sampai harus ditakuti sebegitu besarnya oleh Lahya.

"Tolong jangan tinggalin Lahya, Gus. Lahya takut, tolong tangkap pedofil itu. Lahya takut. Lahya mohon!" mohon Lahya mulai tidak terkendali.

Nadine duduk di bangsal mendekati Lahya. "Tenang Ya. Kamu gak sendirian. Tenang yah?" Nadine menahan tubuh Lahya agar berhenti memohon seperti orang gila pada polisi muda ini.

Alif menutup matanya tidak tega.

"Aku capeeek!" teriak Lahya tiba-tiba saja. "Aku capek, dadaku sakit Nad," erang Lahya menekan dadanya sendiri.

"Lahya jangan sakiti dirimu sendiri." Nadine mulai kuwalahan menahan tangan Lahya yang terus memberontak memukul dirinya sendiri.

"Otak aku brisik. Bayang-bayang pedofil itu gak mau pergi dari otak sampahku ini!" jerit Lahya memukul kepalanya.

"Berhenti Lahya. Yang ada kamu semakin sakit." Khawatir Alif mau tidak mau harus ikut menahan tangan Lahya agar berhenti memberontak.

"Lahya udah sakit. Selama ini Lahya sakit, tapi gak ada yang tau. Pikiran Lahya sakit. Sakit dihantui trauma itu!" teriak Lahya memberontak minta dilepaskan. Keadaan mental Lahya benar-benar terguncang hebat karena kejadian beberapa jam lalu.

Suara Lahya yang memberontak membuat Giandra dan pak Yasin terpaksa berlari masuk ke dalam ruangan. Mereka melihat Alif dan Nadine sudah kuwalahan menahan Lahya yang menggila.

Giandra yang baru saja masuk, langsung menahan kedua kaki keponakannya. Lahya persis orang kerasukan. Tidak. Lahya sedang tidak kesurupan, tapi tengah depresi menghadapi rasa traumanya sendiri.

Bibir Lahya tidak berhenti mengeluarkan semua unek-unek yang ia tahan selama ini. Menyalahkan dirinya yang selama ini tak mampu membuang rasa traumanya. Bahkan, memukul kepalanya sendiri karena bayang-bayang 10 tahun lalu menempel bak permen karet didalam otaknya.

"Lahya, mboten pareng nggih Nduk? Bukan hanya kamu yang sakit jika seperti ini, tapi saya dan bapak juga. Sampun, nggih?" kata Alif pelan menahan kedua tangan Lahya secara paksa. - Lahya tidak boleh ya, Nak? Bukan hanya kamu yang sakit jika seperti ini, tapi saya dan bapak juga. Sudah, ya?

"Lihat bapak. Lahya lihat bapak. Bapak menangis melihat kamu seperti ini," kata Alif menyadarkan Lahya agar melihat pak Yasin yang dibanjiri air mata, stress menangisi keadaan anaknya.

'-'-'-'

Bagaimana dengan bab ini kawan-kawan? Apakah sudah tercium bau-bau endingnya gimana? Dibab sebelumnya udah seberapa tinggi kalian melayang, sampai harus jatuh dibab ini?

Rama baik tau. Taukan seberapa besar perjuangan Rama pada akhirnya? Hayok yang kemarin minta Rama diilangin siapa?

Nexttt bab spam >>>

MasyaAllah >>

MasyaAllah >>

Continue Reading

You'll Also Like

292 93 12
{HAPPY READING} Ini tentang lelaki yang harus lumpuh akibat kecelakaan.farhan salah satu ketua geng motor yang baru menjabat sebagai ketua selama 1 b...
2.5M 294K 68
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesan📌 ≪•◦ ❈ ◦•≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...
22.9K 2.6K 19
Kejadian satu malam yang tak terduga menyebabkan Karina Anastasya Zeanna (19) harus hidup bersama seorang Abyantara Hantara Wijaya(29). Pria asing y...
9.8K 893 23
Gita Sekar Dhea Angelia