SPINE BREAKER

By Mira_Kakumirai

1.7K 241 262

Spine Breaker mungkin adalah julukan yang cocok untukku. Aku adalah si pembuat masalah dan Ayah yang selalu m... More

The Characters
PROLOG
SWEET NIGHT
THE LEATHER JACKET
I WANT IT TOO
YOU HAVE NO CHOICE
UNANSWERED QUESTIONS
NOT MY HABIT
NOBODY KNOWS
MY WORST BIRTHDAY
SOMETHING LOST
I DON'T KNOW ANYTHING
THE BOY ON THE PLAYGROUND
THE KILLER AND THE INNOCENT
STAY WITH ME
SIBLING RIVALRY
PLEASE, DON'T CHANGE
THE CULPRIT

THE RECORDING

83 16 23
By Mira_Kakumirai

MIN YOONGI


Tanda pengenal milikku terjatuh dan hampir saja tertinggal di lokasi saat aku sedang menyidik pembunuhan di sebuah klub. Semua itu karena aku terburu-buru kembali ke Kantor Kejaksaan. Investigator yang bekerja denganku, Bae Junho, baru saja menelpon. Ia mengatakan ada sebuah paket yang dikirimkan oleh anonim ke divisi kami.

"Aku sudah membukanya. Ada sebuah disket yang berkaitan dengan pembunuhan Jeon Jung-il. Anda harus segera mengeceknya, Jaksa Min."

Disket itu berisi file rekaman kamera dashboard yang telah disegel dengan rapi. Tentu saja, rekaman itu bukan sembarang rekaman. Rekaman itu merupakan salah satu alat bukti yang dapat mengungkap kebenaran. Namun, rekaman itu sama sekali tidak pernah muncul dalam pemeriksaan dan persidangan dua belas tahun yang lalu.

Aku harus memulai penyidikan dan membuka ulang kasus ini. Aku yakin sekali, pengirimnya mencoba memberitahuku bahwa pelaku pembunuhan Jeon Jung-il belum tertangkap dan Kim Nam-ok bukanlah pelakunya.

...

Kutemukan sebuah memo di atas meja kerjaku. Kepala Divisi Pembunuhan yang merupakan atasanku sepertinya telah mendengar tentang video yang kudapatkan dari anonim. Melalui memo tersebut, ia memintaku untuk menyerahkan rekaman itu padanya atau setidaknya berhenti melakukan penyidikan lebih lanjut.

Aku meremat memo itu lalu meraih jas hitam yang tersampir di pojok ruang kerjaku. Aku menyambar tanda pengenal yang tergeletak di atas meja lalu keluar dari ruangan tergesa-gesa. Sambil mengatur napas, aku mengalungkan tanda pengenal yang jarang sekali kukenakan.

Aku mengetuk pintu ruangan Kepala Divisi Pembunuhan lalu masuk sebelum dipersilakan. Aku melihatnya sedang menyeruput kopi panas dari cangkirnya. Ia melirikku sambil menyunggingkan senyum.

"Sudah kuduga kau akan seperti ini," balas Kepala Divisi Oh Daehyun.

"Aku sudah lihat rekamannya."

"Kalau begitu, buang saja dan berhenti. Atau serahkan padaku. Aku akan melenyapkannya!"

"Mana bisa begitu, Pak! Aku yakin ada kesalahan selama proses penyidikan sampai persidangan. Video itu dapat mengungkap kebenaran!" ucapku emosi.

"Jaksa Min, kau tidak tahu siapa yang kita hadapi! Kejaksaan bisa hancur kalau kita bertindak gegabah!"

"Aku tidak peduli. Berikan surat perintah penyidikan padaku!"

Aku segera keluar dari ruangan sambil membanting pintu. Oh Daehyun sudah mengenal perangai burukku ini, jadi seharusnya ia paham mengapa aku tidak mau mendengar perintahnya.

Aku akan tetap membuka ulang kasus ini. Aku melihatnya dengan jelas di rekaman itu, Kim Nam-ok bersama dengan seseorang di sana. Orang itu menganiaya korban dan mengeluarkan pisau dari sakunya. Orang itu menusuk korban di perut beberapa kali. Sayangnya, rekaman itu sepertinya berasal dari kamera dashboard mobil yang terparkir di belakang mereka dengan jarak cukup jauh. Jadi, aku tidak dapat mengidentifikasi siapakah yang berdiri bersama Kim Nam-ok di sana.

Aku melangkah menuruni tangga terburu-buru. Aku lupa lagi membawa tanda pengenal. Aku menyalakan rokok dan menghisapnya dengan nikmat. Namun, kulihat seseorang menghampiriku sambil menunjukkan wajah seolah telah berjam-jam mencariku.

Pemuda itu adalah seniorku di universitas dan bekerja di Divisi Pembunuhan yang sama denganku, Jaksa Lee Dongmin. Ia menyeringai bersamaan dengan embusan asap rokok yang kuarahkan padanya.

"Yoongi, lihat apa yang kudapatkan," ejek Jaksa Lee lalu memperlihatkan surat yang baru saja ia terima dari Oh Daehyun, atasan kami. "Perintah untuk memusnahkan rekaman yang kau punya."

Jaksa Lee lalu tertawa kecil dan menepuk bahuku. Aku sama sekali tak berniat mengatakan apapun padanya, karena aku sudah tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat.

Ia pun berlalu sambil menyengir padaku.. Aku hanya bisa menghela napas lalu membuang puntung rokok yang masih panjang ke tanah lalu mematikan api dengan sepatu. Ia pikir, aku bisa dihentikan?

Aku masuk ke dalam mobil lalu menerima telepon dari Investigator Bae. Katanya, beberapa orang dari Bagian Penyimpanan Barang Bukti telah merampas rekaman itu. Sebentar lagi, divisi yang seharusnya bertugas menyimpan barang bukti itu justru akan memusnahkan rekaman itu.

Ada kejanggalan di sini. Oh Daehyun adalah jaksa yang berintegritas sepanjang pengetahuanku. Ia punya banyak prestasi di masa mudanya, sehingga di usianya yang terbilang muda, ia sudah bisa menduduki jabatan kepala divisi. Namun, kejadian barusan membuatku curiga. 

Lagipula, siapa yang ditakutinya sampai-sampai ia tidak mau mengusut ulang kasus ini.

...

Aku sampai di sebuah kompleks apartemen yang sudah cukup lama tidak kukunjungi. Aku membawa serta flashdisk di saku jasku ketika turun dari mobil. Aku harus mengamankan rekaman yang sudah kugandakan di diska tersebut. Aku bukan orang yang melek teknologi. Jadi, sesekali aku melakukan ini dalam penyidikan.

Aku menelepon pemilik salah satu flat di kompleks apartemen tersebut dan tersenyum begitu ia merespon dengan gaya bicaranya yang lucu.

"Kali ini apa lagi, Hyung? "

...

Aku masuk ke dalam ruang kerja dengan membawa secarik kertas berupa surat peringatan untuk menghentikan investigasi. Pergerakanku yang telah memulai penyidikan sudah tercium lagi sampai ke telinga Pak Oh. Pagi ini, aku dipanggil ke ruangannya dan diberikan peringatan.

Aku meremat surat peringatan itu dan melemparnya ke tempat sampah. Investigator Bae Junho dan Nam Chunghee saling bertatapan saat melihatku kalut.

"Jaksa Min, ada apa lagi?" tanya Bae Junho.

"Kalian ingin ikut denganku atau tidak?"

"Maksudnya?"

"Ada surat peringatan. Kurasa aku harus melanggar perintah, jadi pikirkan baik-baik tentang keselamatan karir kalian di sini," kataku tidak mau membuat dua investigatorku terkena dampak dari keegoisanku.

"Kalau tentang rekaman itu, aku akan ikut investigasinya," ujar Chunghee bersemangat.

"Aku juga, Hyung."

Aku memang tidak mungkin bergerak sendiri, jadi kupastikan investigatorku bekerja bukan karena paksaan. Tidak bisa dipungkiri, aku bukanlah orang yang patuh. Aku selalu menyebabkan masalah bagi orang-orang di atas. Bukannya sombong, tapi aku tidak suka kebusukan yang dipelihara oleh orang-orang berkuasa.

"Kasus pembunuhan Jeon Jung-il tidak bisa ditutup begitu saja sementara ada bukti baru yang kita dapatkan," ujarku sambil melepas jas hitam dan menyampirkannya di tempat duduk.

"Masalahnya siapa yang mengirimkan rekaman itu dan kenapa baru sekarang," sahut Junho lalu menyerahkan dokumen padaku.

Sesuai arahan, pemuda cerdas itu telah mengumpulkan beberapa informasi terkait kasus pembunuhan Jeon Jung-il yang janggal dua belas tahun silam. Berita yang tenggelam seiring berjalannya waktu ini berhasil digali hanya sebanyak yang beredar di media pada saat itu.

Menurut hasil pencariannya, Jeon Jung-il ditemukan tewas di lokasi proyek pembangunan gedung baru milik Daejib Grup di daerah Gilsijang, yang kini telah menjadi kantor perusahaan makanan fermentasi Daejang. Pada waktu kejadian, ditemukan tiga luka tusuk pada bagian perut korban dan diduga korban meninggal akibat kehabisan darah.

Kim Nam-ok ditangkap karena rekaman CCTV yang dipasang di perempatan jalan dekat rumah Jeon memperlihatkan dirinya bertamu sendirian pada sekitar pukul sepuluh malam. Keduanya terlihat keluar dari rumah Jeon dan berjalan bersama sambil berbincang. Sayangnya CCTV yang menghadap ke jalanan rusak dan tidak ada saksi mata. CCTV lainnya ditemukan di lokasi proyek di mana dalam video tersebut, terlihat Kim membawa paksa Jeon yang telah terluka ke lokasi proyek dan meninggalkan tubuh Jeon di tumpukan material bangunan. Kemudian, dalam persidangan, Kim Nam-ok mengakui masalah pribadi membuatnya dendam pada Jeon Jung-il sehingga ia membunuhnya malam itu. Kim lalu dijatuhi hukuman penjara selama lima belas tahun.

"Janggal sekali saat dia mengakui perbuatannya. Masalah pribadi apanya?" komentarku saat membaca artikel yang diberikan Junho.

Aku masuk ke dalam sistem aplikasi milik kejaksaan yang menyajikan informasi semua perkara yang masuk dalam yurisdiksi kami. Sayangnya, saat penanganan kasus itu, sistem belum secanggih sekarang, jadi data yang tersimpan hanya secara umum. Kami hanya bisa mengakses informasi umum perkara dan mendapatkan putusan yang dijatuhkan hakim kepada Kim Nam-ok.

"Berkas perkara bisa kita temukan di gudang arsip," sahut Chunghee.

"Benar juga. Tapi, sebelum itu, ada yang harus kita lakukan," ujarku.

Aku segera mematikan komputer, lalu beranjak sambil mengalungkan tanda pengenal yang seringkali ketinggalan. Aku menyambar jas hitamku kemudian mengambil kunci mobil yang tergeletak sembarangan di atas meja.

**

KIM NAMJOON


Usiaku terbilang muda ketika Tuan Kim memintaku bekerja untuknya. Lulus SMA, aku dibiayai kuliah oleh Tuan Kim. Sebagai gantinya, ia memintaku bekerja sebagai sekretaris di rumahnya. 

Aku mengenal Taehyung sejak kecil. Ayahku dahulu sering membawa Taehyung ke rumah kami atau membawaku bermain ke rumah Tuan Kim. Aku dan Taehyung hanya terpaut dua tahun, namun kami tidak boleh akrab. Taehyung adalah majikan ayahku, bukan temanku.

Aku tahu semua masalah yang dibuat olehnya, sebab dulu Taehyung dibawa ke rumahku setiap kali ia selesai dihukum. Dari situlah aku tahu, keluarga kaya tidak selamanya sempurna. Taehyung punya banyak luka saat itu. Ayah sering memintaku membawakannya mainan atau permen.

Ayahku mengobati luka Taehyung dan berusaha membuatnya tertawa lagi. Taehyung selalu datang dengan luka dan tangis di wajahnya. Saat kutanya, ia hanya bilang kalau ayahnya baru saja memberinya hukuman. Aku pun mengajaknya bermain dan makan bersama.

Semuanya berubah ketika aku menjadi sekretaris pribadi Tuan Kim. Taehyung adalah Tuan Muda yang harus kulayani juga. Sejak enam tahun yang lalu, aku tahu apa yang Tuan Kim lakukan pada Taehyung. 

Aku kebagian tugas yang sama dengan ayahku. Aku harus mengawasi Taehyung, terutama ketika ia baru saja mendapat hukuman. Sebenarnya ia tidak diizinkan pergi apalagi menghilang dari acara penting, namun anak itu memang tidak pernah menurut.

Setiap melihatnya dipukul oleh Tuan Kim, hatiku teriris. Tuan Kim selalu bertutur baik padaku, memberikan imbalan besar padaku, dan memperlakukanku sebaik-baiknya, tapi kenapa ia memukul anaknya segampang itu?

Sejak menjadi sekretaris, aku tidak banyak berbincang dengan Taehyung. Aku tidak pernah lagi mengobati lukanya, karena ia selalu kabur jika aku datang membawa kotak P3K. Bagi Taehyung, aku dan ayahku berbeda.

Taehyung mengakuinya. "Kenapa kau selalu seperti ini? Kau tidak bisa jadi seperti Kim Nam-ok! Jadi, berhenti sok perhatian padaku!"

"Maaf, saya hanya berusaha untuk...,"

"Lagipula, apa yang Kim Nam-ok lakukan? Dia malah di penjara karena membunuh seseorang. Seharusnya dia masih di sini dan mengobati lukaku," ujar Taehyung kalut setelah ia dihukum karena tidak hadir di acara ulangtahun Tuan Seokjin.

...

Aku mengunjungi pusat penahanan tempat Ayah dihukum. Ayah telah menjalani dua belas tahun penjara, sehingga tiga tahun lagi ia bisa bebas. Aku tidak sesering itu menjenguk Ayah, mengingat pekerjaan sebagai sekretaris pribadi Kim Seokwoo tidaklah sedikit.

"Lama tidak bertemu," sapaku sambil tersenyum dengan lesung pipi mencuat.

"Kau semakin besar."

"Hm, dan Ayah semakin kurus," komentarku.

"Bagaimana pekerjaanmu? Kim Seokwoo menepati janjinya, kan?"

"Jangan khawatirkan itu. Aku melakukan seperti yang Ayah lakukan dulu."

"Kau menerima suratku?" tanyanya merujuk pada sebuah surat yang beberapa hari lalu Ayah kirimkan kepadaku.

"Tentu, aku mengecek kotak surat setiap pulang ke rumah."

"Kau harus menjaga diri dan selalu berwaspada," ucap Ayahku dan kubalas dengan anggukan kepala.

Aku hendak pergi, tapi ponselku berdering sesaat sebelum aku menyalakan mesin mobil. Nomor tidak dikenal yang telah memenuhi daftar riwayat panggilan tak terjawab sejak dua hari yang lalu masih berusaha menghubungiku. Aku dapat menerka siapakah orang yang mencariku, tapi menurut otak cerdasku, ini bukan saat yang tepat untuk menjawab.

...

Panggilan lainnya masuk ketika aku sedang mendampingi Tuan Seokwoo rapat. Kali ini aku harus mengangkatnya karena Hoseok yang meneleponku, dan ini sudah cukup larut.

"Namjoon, kau kehilangan Taehyung?" tanya Hoseok.

"Aku sedang rapat dengan Tuan Kim, jadi tidak bisa mengawasi Tuan Muda Taehyung."

"Dia berada di perempatan jalan menuju ke Daeppan sejak sore tadi. Kini, ia mengikuti kami sampai ke Gilsijang."

"Hah? Gilsijang?"

"Seokjin-Hyung tidak tahu Taehyung mengikuti kami. Jadi, kau seharusnya segera mengurus ini sebelum hal yang semakin buruk terjadi," ujar Hoseok di telepon.

"Baiklah aku akan mengurusnya setelah ini," ucapku lalu memutus panggilan.

Namun, setelah rapat itu usai, Tuan Seokwoo memanggilku untuk menemuinya secara pribadi di kantornya. Wajah Tuan Seokwoo nampak gusar sekaligus cemas, jadi aku terburu-buru mendekat.

"Ada laporan dari tim pengawas. Lihat ini," ujarnya sambil menyodorkan dua lembar kertas laporan dan beberapa lembar foto.

Berita buruk telah diterima oleh internal Daejib. Kabarnya, sebuah rekaman kamera dashboard dikirim oleh anonim ke kantor kejaksaan setempat. Rekaman tersebut berisi video yang menyorot peristiwa pembunuhan Jeon Jung-il yang melibatkan ayahku.

"Segera hubungi Kepala Kejaksaan," ujar Tuan Seokwoo kalut.

"Baik, Tuan."

"Pastikan Kejaksaan memusnahkan rekaman itu dan tidak menindaklanjutinya."

"Baik, Tuan."

"Riwayatnya, rekaman itu dikirim langsung kepada Min Yoongi, jaksa muda yang berada di divisi pembunuhan."

Sedikit banyak, aku tahu tentang orang-orang di Kejaksaan. Daejib telah membangun relasi yang baik dengan Kejaksaan Agung, terlebih dengan Kepala Kejaksaan setempat. Dan aku pun tahu tentang Jaksa Min Yoongi yang belakangan ini terkenal karena integritasnya. Kuyakin alasan video anonim itu dikirimkan padanya adalah karena Jaksa Min adalah orang baru yang tidak terlibat dalam kasus ini di masa lalu dan ia cukup dikenal sebagai jaksa yang tidak mau dimanipulasi.

"Jadi, awasi dia."

"Baik, Tuan."

"Satu lagi, pastikan Taehyung datang di pertemuan besok pagi."

Sejujurnya aku juga penasaran video apa yang membuat Tuan Seokwoo ketar-ketir. Namun, perintah Tuan Seokwoo segera kulaksanakan tanpa bertanya isi videonya meski hal ini berkaitan dengan ayahku.

Aku segera menghubungi Kepala Kejaksaan dan meminta tim keamanan dari perusahaan bertindak. Sedangkan untuk urusan Min Yoongi, aku sendiri yang akan menanganinya.

Aku harusnya pergi untuk bernegosiasi dengan kejaksaan. Sayangnya, malam semakin larut dan aku kepikiran soal Tuan Muda Taehyung. Hoseok mengirim pesan padaku sekitar satu jam yang lalu. Kabarnya, Tuan Muda Taehyung hilang dari jangkauannya setelah mengikuti mobil Tuan Seokjin sampai ke Gilsijang. Jadi, kuputuskan untuk mencari anak itu.

Setelah beberapa tempat kesukaannya kukunjungi, kecuali apartemen Jimin, kutemukan Tuan Muda Taehyung kini duduk berpangku tangan di salah satu bar langganannya. Meski tak begitu kuat minum, ia terlihat sudah meminum beberapa gelas. Aku menyusulnya ke dalam, menghampirinya.

Ia mengerang sambil memijat pangkal hidungnya. Kuyakin kepalanya mulai berkunang-kunang, tapi ia minta bartender agar menuangkan lagi minuman di gelasnya.

"Aku kalah lagi dari Seokjin-Hyung," gumamnya dengan kesadaran tipis.

Aku yang baru saja datang segera duduk di kursi sebelahnya. Aku merebut gelas yang hampir ditenggaknya dan menjauhkan dari jangkauannya. Ia menoleh dan kecewa saat melihat wajahku.

"Hoseok menelponku. Anda pergi ke Daeppan? Lalu ke Gilsijang? Apa yang mau Anda lakukan? "

"Aissshhh....," keluhnya. "Berikan minumanku dan pergilah."

"Tuan Seokwoo mencari Anda. Anda harus ikut rapat besok pagi. Jadi, berhentilah minum."

Taehyung memiringkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, menatapku lekat. "Hyung, berhenti bicara formal padaku. Panggil aku Taehyung. Kita ini teman masa kecil."

"Sekarang bukan lagi. Saya harus melayani Anda. Dan untuk kebaikan Anda, dengarkan saja saran yang saya berikan."

Taehyung malah terkekeh geli. Namun, wajahnya segera berubah muram. Ia meletakkan kepalanya di meja marmer bar itu. Ia memejamkan mata seolah menolak mendengar ucapanku. Alisnya mengerut, menandakan pikirannya benar-benar kacau.

"Bisakah kau memihakku sekali ini saja?" lirih Taehyung . "Bukankah Ayah akan memukulku lagi?"

Aku hanya terdiam, tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk merespon kalimatnya. Entah sudah berapa kali aku menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Seokwoo memukuli dan memaki anak bungsunya. Terkadang, aku merasa iba dan ingin menolongnya, tapi aku bekerja untuk Tuan Seokwoo yang menjamin hidup keluargaku.

"Aku tidak mau kalah dari Seokjin-Hyung. Aku ingin bahagia seperti dia," ucap Taehyung lagi.

Aku melihat air mata yang mengalir dari kedua mata Taehyung yang terpejam. Anak itu pun jatuh tertidur karena mabuk, tapi aku masih tetap duduk di sampingnya sambil menatap gelas kaca yang kini sudah kosong.

Aku pun meraih ponsel milik Taehyung, lalu mencari nama Jimin di daftar kontak. Aku memilih untuk menyerahkan anak ini kepada Jimin, ketimbang membawanya pulang ke hadapan Tuan Seokwoo. Aku tak mau melihat anak ini dipukul lagi oleh ayah kandungnya.

"Park Jimin? Tolong bawa Tuan Muda Taehyung ke apartemenmu."

**

KIM TAEHYUNG


Sesuai janjiku, dua hari kemudian, aku datang lagi ke Daeppan untuk mengambil jaket kulitku. Gadis itu namanya Yuri. Entah kenapa aku ingin cepat-cepat bertemu lagi dengannya. Kalau urusan jaket kulit ini sudah selesai, kira-kira apakah aku masih bisa menemuinya? Agaknya, aku bersyukur gadis itu membawa jaketku ke penatu sehingga kami bisa bertemu lagi.

Aku mengendarai motor besarku menuju ke Daeppan saat hari petang. Namun, aku menghentikan laju motorku di persimpangan jalan karena melihat mobil kakakku terparkir manis di sisi jalan depan toko. Mana mungkin aku menemui Yuri saat Seokjin-Hyung ada di sana?

Toko Daeppan bereksterior kaca sehingga seharusnya aku dapat melihat ke dalam meski tidak jelas karena posisiku terlalu jauh. Namun, stiker-stiker perayaan natal dipasang memenuhi permukaan kaca sehingga aku sulit melihat ke dalam. Aku memarkir motorku di balik persimpangan jalan, berharap bisa menunggu sampai Seokjin-Hyung pergi dari sana.

Aku melepas helm dan bersandar di dinding bangunan agen perumahan. Sambil menghisap rokok elektrik, aku menunggu sambil bermain kerikil di bawah kakiku. Sayangnya, sudah dua jam berlalu dan Seokjin-Hyung tak kunjung pulang. Aku malah melihat seorang delivery man mengantarkan beberapa dos ayam goreng ke Daeppan dan diterima langsung oleh Hoseok-Hyung.

Toko itu seharusnya tutup pukul sembilan, jadi kurasa saat ini mereka mulai berbenah untuk menutup toko. Namun, ayam goreng barusan membuatku yakin Seokjin dan karyawan-karyawan sedang berpesta sedikit. Aku harus menunggu sebentar lagi, mungkin Seokjin-Hyung akan segera pulang mengingat besok ada rapat penting yang diselenggarakan Ayah.

Ketika beberapa orang karyawan pulang, tak sadar senyum terkembang di bibirku. Mungkin sebentar lagi Yuri akan pulang, dan aku akan mencegatnya di jalan. Atau, sebentar lagi Seokjin-Hyung akan pulang sehingga aku bisa menemui Yuri ketika hendak menutup toko.

Hoseok-Hyung keluar dari dalam membawa satu plastik sampah besar. Setelah meletakkannya di tong sampah, Hoseok-Hyung menuju ke mobil kakakku. Tak lama kemudian, Yuri dan Seokjin-Hyung keluar bersama dari dalam toko. Yuri mengunci toko, sementara Seokjin-Hyung menunggu di belakangnya.

Selanjutnya mereka berjalan menuju ke mobil Seokjin. Kulihat Yuri menenteng paperbag dari penatu yang sudah pasti berisi jaket kesayanganku. Kulihat wajahnya berseri sambil bercerita panjang lebar. Ia menggoyang-goyangkan paperbag itu ketika Seokjin-Hyung tertawa mendengar ceritanya.

Kulihat Seokjin-Hyung seperti memohon kepada Yuri, entah apa. Sedangkan Yuri beberapa kali menggelengkan kepala dan sedikit membungkuk seolah minta maaf karena menolak permintaan itu. Namun, selanjutnya Seokjin-Hyung tersenyum sambil menarik tangan Yuri untuk ikut masuk ke dalam mobilnya.

Aku segera memakai helm dan sarung tangan kulit karena malam ini cukup dingin. Aku mengikuti mobil Kakak dengan sepeda motor. Aku tak peduli sama sekali jika Hoseok yang sedang menyetir melihatku dari spion. Tapi, aku tidak peduli, aku hanya ingin tahu kemana mobil itu pergi membawa Yuri. Mungkinkah Seokjin-Hyung mengantarnya pulang.

Mobil itu berhenti di kawasan Gilsijang. Aku menjaga jarak dan hanya melihat mereka dari jauh. Seokjin-Hyung turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Yuri.

Sayangnya, Seokjin-Hyung dan Yuri lalu berjalan kaki melewati jalan kecil karena mobil tidak bisa masuk ke sana. Aku mengikuti mereka diam-diam hingga mereka tiba di sebuah kedai, persis di bawah jalan layang dan bersebelahan dengan gedung perusahaan Daejang.

Tempat itu adalah rumah tinggal Yuri sekaligus kedai yang dikelola keluarganya, yang terpinggirkan akibat pembangunan Daejang. Kini aku tahu mengapa Yuri membicarakan Daejib saat mabuk. Aku paham mengapa gadis itu membenci Daejib, terutama adiknya. Aku teringat semua kalimat yang ia lontarkan soal Daejib. Ia membenci kami, namun hidupnya bergantung pada pekerjaannya di toko roti kami.

Aku tidak banyak tahu, tapi kudengar desas-desus masalah yang terjadi dua belas tahun yang lalu saat Daejang dibangun. Aku juga dengar banyak terjadi aksi unjuk rasa dari warga Gilsijang yang menolak pembangunan Daejang karena dianggap merugikan masyarakat kecil yang berdagang di kawasan itu.

Aku enggan melepaskan pandanganku dari mereka. Kulihat Yuri membungkuk untuk berterimakasih, tapi kakakku malah tersenyum dan menepuk bahu Yuri. Seokjin-Hyung juga menatap gadis itu dengan lekat. Dari jauh pun aku dapat melihat ketulusan dan aura positif dari mata kakakku. Apakah ia menyukai gadis itu?

...

"Taehyung! Hei, bangun!!"

Aku terjaga begitu saja saat suata Jimin masuk ke dalam mimpiku. Suara itu membuat mimpi menakutkanku berakhir dan akhirnya aku bisa terbangun. Aku melihat wajah khawatirnya mengadap padaku. Kenapa ada dia di depanku?

"Kau mimpi buruk?" tanyanya lalu menyodorkan botol air mineral padaku.

Ya, mimpi buruk itu datang lagi. Suara Ayah dan kekacauan yang terjadi hari itu terbayang lagi setiap aku mulai memejamkan mata.

Tunggu, kenapa aku ada di apartemen Jimin?

"Semalam Namjoon-Hyung menelponku dan menyuruhku membawamu kemari. Kenapa kamu mabuk-mabukan semalam?"

"Duh, kepalaku pusing. Berhenti mengoceh!" ujarku lalu meneguk air mineral yang diberikan Jimin.

"Sudah kubantu, tapi malah mengumpat padaku. Dasar anak harimau!"

"Kalau tidak mau membantu, kenapa tidak kau biarkan saja aku di sana? Lagipula, seharusnya Namjoon-Hyung membawaku ke hadapan Ayah. Kenapa malah menelponmu?"

"Kau itu menyedihkan sekali. Bagaimana kalau kupelihara saja?"

Dengan kesal, aku melempar Jimin dengan bantal sofa yang kugunakan semalam. Namun, dia terkekeh saat berhasil menghindarinya dan menjulurkan lidah padaku.

Drrrttt... drrttttt... Ponselku bergetar tanda ada panggilan masuk. Syukurlah bukan Namjoon-Hyung, tapi ibuku. Mungkin dia kesal karena aku menghilang lagi setelah beberapa hari yang lalu dihukum karena tidur di apartemen Jimin dan sengaja tidak hadir dalam acara ulangtahun Seokjin.

"Taehyung, cepat pulang dan hadiri rapat itu!" perintah Ibu dari telepon tepat saat aku baru saja menerima panggilannya.

"Rapat apa lagi?" tanyaku.

"Astaga! Kau tidak lihat surel yang dikirimkan perusahaan?"

"Oh, itu. Tapi, aku ada kuliah, Ibu," jawabku malas.

"Kamu berlagak seperti tidak pernah membolos saja," sindir Ibu yang diam-diam tahu kalau aku dan Jimin terkadang membolos kelas. "Pokoknya cepat datang atau kau tidak akan mendapatkan Daejang."

Aku terkesiap begitu mendengar tentang Daejang. Bahkan aku lupa kalau pengar masih bersarang di tubuhku akibat minum-minum semalam. Aku segera melompat dari sofa Jimin, tapi malah terjatuh akibat pusing di kepala. Jimin menggeleng heran sambil menyeduh ramen cup untuk sarapan.

"Daejang yang ada Gilsijang itu?" tanyaku memastikan.

"Kau pikir Daejang yang mana lagi?"

"Oke, aku akan datang!"

Aku ingin mendapatkan Daejang.

***


Halooo...

Bertemu lagi dengan Kim Taehyung...

Cerita ini sudah mulai masuk ke konflik utama, mohon ikuti karena banyak petunjuk yang kusebar di setiap chapter. Ayo kita main detektif-detektifan bersama 😁🥰

Tolong dukung aku terus 😁


Vote and Comment Please

Continue Reading

You'll Also Like

6.9K 897 34
Kisah Hidup Para remaja yang Penuh lika liku kehidupan. Hidup remaja yang penuh petualangan dan mengenal berbagai macam sisi gelap Kehidupan sosial...
86.8K 9.8K 41
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
74.7K 8.3K 21
I'm the lost soul Filled with regret Where joy use to live Regret for decisions made And opportunities missed For the pain I caused and The pain I f...
1M 61.7K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...