RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21K 2K 195

Bersaing dengan orang lain āŒ Bersaing dengan sepupu sendiri āœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.4 Aleo
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.2 Senyawa hidrida
3.3 Ekstra 0,2564
3.4 Gerak parabola
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.2 Singularitas gravitasi
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.2 Pasar monopolistik
6.3 Imperialisme Jepang 1944
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

6.1 Konservasi

477 55 10
By Mikhaely04

Pukul 12 malam. Lima remaja itu memutuskan untuk istirahat mengingat ini sudah tengah malam, tidak baik bila mereka terus berkeliaran apalagi di tengah hutan. Berbekal korek api milik Aleen—yang Sabrina sendiri pun bingung kok gadis itu bisa punya—mereka akhirnya bisa membuat api unggun untuk membantu menghangatkan suhu tubuh.

“Gila! Ini dingin banget. Gue bisa meriang kalau sampai pagi terus-terusan ada di sini.”

Sabrina melirik ke sumber suara. Di sana, Razel yang duduk di sebelah Fikri, tampak menggigil dengan kondisi wajah yang sudah pucat pasi. Gadis itu tidak berhenti menggosok-gosokkan telapak tangannya yang kemudian di tempel ke pipi tirus-nya.

Maklum, sih. Sabrina paham betul kalau dibalik seragam putih gadis rese itu pasti hanya ada tank top tipis yang melapisi badannya. Sabrina saja yang jelas-jelas mengenakan baju kaos sebagai pelapis, masih dapat merasakan udara dingin menembus kulitnya.

Namun meskipun paham kondisi Razel, itu sama sekali tidak menyurutkan niat julid Sabrina terhadap si gadis rese. “Gitu aja ngeluh. Huuuuu ... lemah!”

Razel menoleh dengan mata berkilat penuh emosi. Tentu saja, Sabrina sudah tau ending-nya. “Lo itu sebenarnya kenapa sih? Hobi banget ngejekin gue.”

Sabrina hanya mengendikkan bahunya acuh. Tapi yang tidak pernah ia duga adalah Aleen akan menyambung ucapan Razel menggunakan kalimat yang terdengar menyebalkan. “Mungkin aja Sabrina lagi dalam proses pengakraban diri ke lo Zel, cuma caranya ya gitu.”

“Enak aja!” Elak Sabrina nyolot. “Nggak ya, nggak ada kayak gitu.”

“Ooooh, jadi lo pengen akrab sama gue? I see.” Razel mengangguk-anggukkan kepalanya anggun.

Sabrina menggeleng keras. “Gue bilang enggak!” Tegasnya penuh penekanan.

Namun Razel tidak menggubrisi. “Harusnya lo bilang dari awal, dong.” Kata gadis rese itu. “Siapa tau bisa gue pertimbangkan, kan?”

“Siapa juga yang mau dipertimbangkan sama lo.” Sabrina beralih pada Aleen. “Heh, Leen! Lo kalo ngomong jangan sembarangan dong. Anak orang jadi besar kepala, kan?”

“Siapa yang lo maksud besar kepala?” Gantian Razel yang nyolot.

Membuat Sabrina kembali merasa menang. “Ya lo, lah. Raba aja kepala lo, besarnya udah 3 kali lipat.”

Razel benar-benar memegang kepalanya, mungkin karena refleks.

“Nah, gobloknya kelihatan, kan?”

“SABRINAAA!”

Sabrina menyeringai puas, Aleen tertawa, dan Fikri terkekeh. Tunggu! Fikri terkekeh? Seringai di bibir Sabrina pudar, wajahnya berubah cengo, apa dia salah liat? Memangnya si es kutub punya ekspresi kayak gitu juga?

“Fikri! Lo ikutan ngetawain gue?”

Ah, ternyata Sabrina memang tidak salah liat. Beralih dari Fikri yang menjadi sasaran amukan Razel, Sabrina melirik ke arah Aleo. Tiba-tiba penasaran apa yang sedang pemuda itu lakukan, karena Aleen sendiri masih sibuk tertawa.

Dan pemandangan yang Sabrina dapati ternyata malah membuatnya jadi merinding sendiri. Di sana si berandal duduk terpisah, senyum-senyum sendiri memandangi Aleen dari kejauhan, wajahnya kentara terpesona. Sial! Mana ini di tengah hutan.

Curiga sepupunya yang satu itu kerasukan, Sabrina menghampirinya. “Cuma berani natap dari jauh, heh?”

Aleo mendongak, meski cuma sebentar namun itu sudah cukup membuktikan kalau untungnya si berandal tidak kerasukan, makanya Sabrina berani ikut duduk di sampingnya. “Lo nggak punya inisiatif buat jelasin sesuatu ke Aleen, gitu?”

“Selalu punya, cuma nggak sempat.”

“Sekarang kan bisa.”

“Di depan lo bertiga? Yang benar aja.”

Sabrina melirik Aleen, ternyata gadis itu juga sedang melihat ke sini. “Dia ngeliatin kita,” beritahunya pada Aleo, yang sebetulnya percuma karena sebenarnya Aleo sudah melihat Aleen sedari tadi. “Kayaknya cemburu.” Lagi, Sabrina memberitahu. “Leo, sebenarnya lo tau nggak sih kalau Aleen itu suka sama lo?”

“Tau. Makanya waktu itu gue percaya diri nyiapin sesajen buat dia.”

Sabrina mengernyit. “Sesajen?”

“Hm.”

“Parah! Orang jenius kalau ngomong bahasanya emang harus aneh ya?”

“Kalian ngomongin apa?”

Sabrina mendongak, mendapati Aleen yang berdiri di depan Aleo. Melihat gadis itu sampai menyusul ke sini membuat jiwa jahil Sabrina bangkit. “Menurut lo? Coba tebak.”

Sayang sekali Aleen tampaknya tidak terpancing. Dibanding menanggapi Sabrina, Aleen justru memilih duduk di sisi Aleo. “Leo, tadi kan pas buka borgol tangan kanan lo masih bisa gerak, apa sekarang nggak bisa digerakin lagi? Sebentar aja.”

“Buat apa?” Aleo bertanya.

“Buat masukin tangan lo ke lengan baju. Emang lo nggak menggigil setengah telanjang gitu? Maksud gue separuh telanjang.”

“Ya udah, bantuin.”

Sabrina memutar bola matanya malas, sudah marahan tapi tetap aja alay-nya masih mengekor. Meninggalkan pasangan alay itu, Sabrina beranjak kembali menuju tempat awalnya. Dari sini dia masih bisa melihat bagaimana Aleen membantu Aleo membetulkan pakaiannya. Pun bisa mendengar bagaimana cemprengnya suara Razel memaki-maki Fikri.

Sabrina memejamkan matanya. Sungguh, suasana ini benar-benar asing baginya. Dan itu sukses membuatnya ... “Feel like getting energi baru dan terbarukan.” Gumam gadis itu dengan suara yang begitu lirih.

-

Bab 31 “Konservasi”

•••

Sayup-sayup mendengar bisingnya suara gonggongan anjing, Razel mengerutkan keningnya. “Ternyata di hutan banyak anjingnya juga? Kirain serigala doang yang tinggalnya di hutan.”

Fikri melempar tatapan heran. “Emang lo nggak tau kalau di dunia ini ada yang namanya ajag?”

Aleen yang duduk di samping Aleo, mengangguk. “Hm em, ajag itu anjing hutan asli Indonesia. Spesies-nya ada 2, cuon alpinus javanicus dan cuon alpinus sumatrensis.”

Sabrina senyum mengejek. “Pantessan Zel, lo selalu peringkat 5, gitu aja nggak tau. Lagian, habitat aslinya anjing kan emang di hutan dan di alam liar, gimana sih? Malu-maluin marga ADHINATHA yang agung dan keramat.”

Razel mencebik. Terpaksa bungkam karena mood-nya sudah hancur duluan. Sebenarnya Razel tau kok, cuma kan lupa aja. Maklum, otaknya sudah menampung terlalu banyak ilmu. Rumus dan teori, IPA sampai IPS, semuanya melebur jadi satu. Makanya wajar dong kalau Razel melupakan beberapa bagian.

“Tapi yang barusan Razel dengar itu bukan suara ajag.” Semua orang serempak menoleh pada Aleo. “Melainkan suara anjing bloodhound, salah satu ras anjing pelacak.” Jelas pemuda itu.

“Ras anjing pelacak?” Razel bergumam. Menyadari sesuatu, matanya melotot. “ANJING PELACAK?!” Teriaknya tak santai. Tapi kali ini Razel tidak sendiri, karena Sabrina dan Aleen juga ikut berteriak bersamanya.

“Sial!” Aleo mengumpat, mungkin pemuda itu juga baru sadar.

Fikri bergerak mengambil ranting, jelas sekali si es kutub sudah paham situasi. “Kita harus pergi dari sini secepatnya.”

Menggunakan ranting di tangannya, Fikri berusaha memadamkan api unggun mereka dengan cara memukulnya. Setelahnya, mereka mulai mengikuti Aleo selaku penunjuk jalan. Langkah mereka dipercepat, Razel tidak tau apa yang Sabrina, Fikri, Aleo, dan Aleen rasakan, yang jelas Razel bisa merasakan jantungnya nyaris meledak saking paniknya.

Lama berjalan cepat di antara pepohonan, mereka akhirnya sampai di area sungai. “Pas banget ada sungai.” Aleen menyeru, gadis itu menjetikkan jarinya. “Gue pernah liat di film. Kondisinya persis kayak yang kita alami sekarang, dikejar anjing pelacak. Supaya jejak kita hilang, kita harus nyebrangin sungai itu.” Lanjutnya memaparkan.

“Film sama realita itu beda, Aleen Alnaira.” Aleo bersuara. “Mana ada nyebrang sungai bisa menghilangkan jejak. Malahan, air yang menetes dari kaki kita, bisa berfungsi mengantarkan aroma tubuh kita ikut menempel ke tanah. Yang ada malah memperparah.”

“Di situasi kayak gini, teori udah nggak penting lagi, Aleo.” Aleen membalas. “Yang harus kita lakukan tuh praktek. Ketangkap atau enggaknya, itu urusan belakangan.”

Aleen kemudian menginstruksikan mereka untuk berputar lama di satu titik di pinggir sungai, katanya begitu yang dia lihat di film. Anehnya Razel, Sabrina, dan Fikri menurut saja, berbeda dengan Aleo yang terpaksa berputar sebab pemuda itu diseret oleh Aleen.

“Nah, sekarang lepas alas kaki kalian.”

“WHAT?!” Razel jelas memekik. Enak aja, mana mau Razel disuruh melepas alas kaki-nya begitu. Di dalam kamarnya yang lantainya kinclong saja, dia tetap selalu menggunakan alas kaki. Lantas buat apa Razel harus melepas alas kaki-nya di tempat yang sudah jelas berlumpur begini?

“Lepas alas kaki, Razel. Lepas sepatu lo.” Aleen mengulangi. “Alas kaki kita harus ditinggal di sini.”

Razel menggeleng keras. “Nggak mau.”

“Udahlah, tinggalin aja dia di sini sama sepatu kesayangannya.” Celetuk Sabrina. “Biarin dia diterkam anjing pelacak, abis itu dicincang-cincang sama Avia. Aman deh, nggak bakal ada lagi orang rese yang mengganggu pemandangan.”

Menggertakkan gigi sambil menghentakkan kakinya, Razel menatap sinis ke arah Sabrina. Apa gadis tomboi itu tidak sadar diri kalau sebenarnya yang rese itu dia? Memilih mengalah, Razel akhirnya melepaskan sepatunya.

“Ayo.”

Pada akhirnya mereka menyeberangi sungai tanpa alas kaki. Di sepanjang perjalanan, Razel tak hentinya mengeluh. Mulai dari air sungai yang dinginnya nyaris mengalahkan air dalam lemari pendingin, sampai kerikil sungai yang terasa tajam menusuk telapak kaki-nya, semua Razel komentari.

Sungguh, meskipun dirinya tumbuh di kawasan hutan belantara, namun ini benar-benar pertama kali dalam hidupnya kaki Razel berpijak di sungai. Tanpa alas kaki pula, makanya dia sempat terpeleset. Untungnya tidak sampai jatuh karena Sabrina menahannya. Iya, kalian tidak salah dengar, Sabrina yang menolongnya.

“Makanya cara jalan lo nggak usah sok cantik.” Gadis tomboi itu mencibir.

“Bukan sok cantik, tapi cara jalan gue emang selalu cantik.” Detik itu juga Razel bisa mendengar Sabrina mendengus.

Langkah mereka mendadak terhenti di tengah sungai begitu mendengar suara gonggongan anjing. Ngomong-ngomong jangan berpikir macam-macam, ya. Sungai yang mereka seberangi bukan sungai besar layaknya sungai amazon, melainkan sungai kecil dengan air yang paling dalam hanya setinggi lutut perempuan, arusnya pun tidak terlalu deras, lebarnya sekitar 10 meter mungkin.

“Suara anjingnya makin besar, itu artinya mereka makin dekat.”

Kalimat yang Fikri ucapkan sukses membuat tubuh Razel bergetar ketakutan. Bagaimana jadinya kalau mereka tertangkap? Apa yang akan Avia lakukan pada mereka? Nggak mungkin yang aneh-aneh, kan? Secara mereka ini masih darah dagingnya Avia, loh.

Berhasil menyeberangi sungai, Razel berdehem. “Guys, sebenarnya kenapa kita harus kabur, sih? Penculiknya kan, Avia. Nenek kita sendiri, nggak mungkin juga kalau kita ketangkap bakal dimutilasi.”

“Itu kalau nenek lo normal.” Aleo menanggapi.

“Hm, dan sayangnya kita semua tau kalau dia nggak normal.” Fikri menambahkan.

“Karena kalau dia normal, nggak mungkin dia melakukan penculikan terhadap cucu-cucunya sendiri.” Sabrina melanjutkan.

“Jadi kemungkinan kita bakal dimutilasi kalau ketangkap, peluangnya ada 90%.” Aleen melengkapi.

Razel menggigit bibir bawahnya. Benar juga, Avia kan nggak normal. “Terus, kita mau kabur ke mana? Masa iya kita harus sembunyi di hutan selamanya?”

“Nggak, kita nggak perlu sembunyi. Karena yang harus kita lakukan adalah pulang ke sangkar keluarga ADHINATHA.”

“Hah?! Lo bercanda?”

“Leo benar,” sahut Fikri. “Satu-satunya tempat yang aman buat kita cuma kediaman keluarga ADHINATHA. Meskipun Avia kepala keluarga, tapi dia nggak bisa berbuat macam-macam di depan keluarga besar.”

“Tapi syaratnya kita harus sampai di sana pake kaki sendiri. Mungkin sekarang semua orang udah tau kalau kita diculik, tapi nggak ada yang tau kalau dalangnya adalah Avia, nggak bakal ada yang curiga ke dia. Makanya kalau kita berhasil ditangkap, Avia bebas ngelakuin apa aja ke kita.” Ujar Aleo.

“Menurut perkiraan gue, paling-paling kita bakal disiksa. Dipaksa buka mulut buat jelasin detail rencana itu.” Yang ini suara milik Sabrina.

Lalu Aleen ikut menyahut. “Intinya kita nggak boleh ketangkap, atau semuanya akan berakhir.”

Rumit, ini benar-benar rumit. Rencana penuh risiko milik Aleo bahkan sama sekali belum mereka mulai, namun drama penculikan sudah melanda begini. Razel tidak bisa membayangkan bagaimana akhir dari permainan ini, success atau justru game over.

-

Berkat jam tangan Alexandre Christie 9201NMCBS Night Vision—jam tangan hitam glow in the dark seharga 2 jt lebih yang melingkar di pergelangan tangan kiri Aleo—mereka akhirnya bisa tau kalau sekarang waktu sudah memasuki pukul 4 dini hari.

Sebenarnya Sabrina juga pakai jam tangan, namun jam tangan mahal miliknya bukan Night Vision yang glow in the dark seperti milik Aleo. Sabrina mana pernah memperkirakan kalau suatu saat dirinya akan terjebak di kegelapan seperti ini.

Pun dengan jam milik Fikri, jam tangan pemuda itu juga tidak memancarkan cahaya di dalam kegelapan. Mungkin kalau selamat dari sini Sabrina akan mengganti jam tangannya, dia juga akan menyarankan itu pada Fikri. Percuma pakai jam mahal kalau tidak bisa berfungsi di segala situasi.

“Apa kita masih dikejar?” Razel yang berjalan di belakang Sabrina, bertanya. “Suara anjingnya udah nggak kedengaran dari tadi. Jujur banget gue udah capek jalan.” Ucap gadis itu.

Sabrina menghela napas. “Razelle Roula, udah nggak dikejar pun kita masih tetap harus jalan buat nyari di mana posisi kediaman keluarga ADHINATHA. Atau lo tau rute yang harus kita lalui biar sampai ke sana? Kalau dipikir-pikir lo sama Fikri kan besar di hutan, siapa tau kalian hafal seluk beluk daerah ini.”

“Lo pikir gue orang hutan?”

“Loh? Gue nggak bilang gitu ya, lo sendiri yang bilang.”

“Nyebelin.”

Sabrina mengangkat bahunya acuh. Emangnya apa yang salah dari ucapannya? Razel sama Fikri memang besar di hutan, kan? Ya walaupun tinggalnya di mansion megah tapi kan tetap aja letak mansion-nya di tengah hutan.

“Apa kita mencar aja?” Tiba-tiba Fikri menyarankan hal aneh.

Namun hebatnya, Aleo langsung menyetujui 0,1 detik setelah Fikri mengucapkannya. “Ide bagus,” kata si berandal. “Leen, lo ikut gue, ayo.”

“Tapi gue nggak mau bareng sama lo.”

“Ini bukan waktunya buat milih-milih, Leen. Nggak usah keras kepala.” Aleo menarik Aleen ke sisinya. “Gue sama Aleen ke arah kanan, lo bertiga ke arah kiri. Ingat, tetap jalan sesuai arah angin, kita ketemu di depan.”

Lalu Aleo dan Aleen pergi dari sana. Sabrina mendengus, si berandal itu bilang apa? Ini bukan waktunya buat milih-milih? Cih, padahal pemuda itu sendiri yang jelas-jelas seenaknya memilih rekan. Pintar sekali dia mencari kesempatan dalam kesempitan.

“Lo, sih.” Sabrina melirik Fikri. “Ngasih saran kok yang aneh. Kalau kita nggak bisa ketemu sama mereka lagi gimana? Kan nggak ada jaminan kita bisa ketemu di titik yang sama.”

“Ehkem! Untuk kali ini—untuk kali ini aja loh ya—gue setuju sama Sabrina. Lo ceroboh, Fik.” Sahut Razel, membuat Sabrina mengerutkan keningnya heran, tumben sekali gadis rese itu mengesampingkan ego.

“Dengar ya, kalau kita berpencar, peluang buat nemuin posisi mansion bisa meningkat 2 kali lipat. Siapapun yang sampai lebih dulu juga bisa lapor ke keluarga besar, dan mereka bakal kirim bala bantuan. Keuntungan lainnya, dengan berpencar kita bisa mengecoh penciuman anjing pelacak karena aroma tubuh kita bakal tercium di dua jalur yang berbeda. Lagian Leo juga langsung setuju, tuh.” Jelas Fikri seolah membela diri.

Sabrina berkacak pinggang. “Si berandal itu langsung setuju karena ini bisa jadi kesempatan emas buat dia berduaan sama Aleen.”

“Nggak,” Fikri menentang dengan tegas. “Gue yakin Leo setuju karena dia punya perkiraan yang sama. Udah lah, daripada debat mending kita juga ikut cabut dari sini.”

Fikri berjalan lebih dulu. Pada akhirnya Sabrina dan Razel tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah pemuda itu. Perjalan mereka tentu saja diisi oleh perdebatan antara Sabrina dan Razel yang meributkan hal-hal random. Entah itu Sabrina yang memulai atau Razel yang memulai.

Namun jujur perdebatan mereka lebih banyak disulut duluan oleh Sabrina. Sengaja, sebab kapan lagi coba Sabrina bisa puas mengolok-olok orang yang selalu bersekongkol dengan Mamanya untuk merecoki hidup Sabrina. Ini jelas kesempatan emas baginya untuk balas dendam.

“Sabrina, ish! Lo sengaja banget ya nginjekin kaki gue dari tadi.” Razel yang sekarang posisinya memang berjalan di depan Sabrina, lantas membalik badannya. “Liat kaki gue! Semua penuh lumpur, bahkan sampai betis, semua gara-gara lo.”

Melirik kaki si gadis rese, diam-diam Sabrina menyeringai. “Siapa suruh lo jalan di depan gue.”

Razel menggertakkan giginya. Tampaknya kesabaran gadis itu sudah di ambang batas. “Lo!”

“Ssstt! Kalian bisa diam nggak, sih? Dari tadi kerjaan kalian ribut mulu. Bahkan dari semalam—oh enggak, dari kemarin sore pas di hospital, malah.” Fikri menengahi. “Gini aja, Razel lo jalan di depan gue, dan Sabrina lo tetap di belakang.”

“Nggak mau. Sabrina aja yang di depan, supaya kalau kita ketemu hewan buas, dia yang diterkam duluan.”

Sabrina memutar bola matanya malas. Kakinya melangkah maju melewati Razel dan Fikri, kali ini biarkan dia yang mengalah. Berjalan duluan, Sabrina meninggalkan mereka 2 meter di belakangnya. Namun tiba-tiba suara ranting patah membuat langkah Sabrina berhenti. Merasa kalau suara itu berasal dari atasnya, dia mendongak.

BRAK!

“SABRINA!”

Dan semuanya terjadi begitu cepat. Dahan tanpa daun yang ukurannya lumayan besar mendarat persis di tempat Sabrina sebelumnya berpijak. Untung saja Fikri berhasil menariknya menjauh, kalau tidak, Sabrina mungkin sudah rata dengan tanah.

“Ekhem, senang kan lo bisa dipeluk sama Fikri?”

Kalau bukan karena suara Razel yang berucap begitu, Sabrina mungkin tidak akan sadar kalau saat ini dirinya ada di pelukan Fikri. Mendongakkan kepalanya, netranya langsung bertemu dengan netra Fikri yang ternyata sedang menunduk.

“Lo nggak pa-pa?” Ditanya begitu, Sabrina menggeleng pelan. Saat ini jantungnya berdetak sangat cepat, entah itu karena shock, atau justru karena alasan lain Sabrina tidak tau.

“Wah, wah, romantis banget. Mana moment-nya pas banget, lagi. Menjelang sunset.

Sabrina melepas diri dari Fikri, tatapan aneh ia layangkan pada Razel. “Sunset? Pagi hari itu sunrise, kali.”

“Kepleset dikit nggak ngaruh, ya.”

“Ya ngaruh lah, artinya aja beda jauh.”

-

Berhasil keluar dari barisan pepohonan, Aleo dan Aleen kini berjalan menyusuri tebing. Melihat area yang familiar, Aleo semakin yakin kalau hutan ini masih satu kawasan dengan kediaman keluarga ADHINATHA.

Puluhan menit berjalan bersama, sedari tadi mereka berdua hanya saling diam. Aleo menarik napas, mungkin ini waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada gadis yang saat ini berjalan di belakangnya.

“Aww ... Leo! Lagi-lagi lo berhenti mendadak.”

Menghiraukan protesan gadis itu, Aleo membalik badannya. “Leen, gue pengen jelasin semua tentang Aurora.”

Raut kesal di wajah Aleen memudar, ekspresi gadis itu berubah datar. “Nggak usah.”

“Aleen.” Aleo memanggil, lantaran gadis itu berjalan duluan melewatinya.

“Aleen Alnaira.” Bukannya berhenti, langkah Aleen justru semakin cepat.

Di tempatnya, Aleo mengepalkan kedua tangannya. “SALAT TARAWIH,” teriaknya dan itu berhasil membuat langkah Aleen terhenti. “Pemenangnya bukan siapa yang datang paling awal, melainkan siapa yang mampu bertahan sampai akhir. Tapi ini bukan tentang salat tarawih, Leen”

Aleen membalik badannya. Melalui jarak jauh, netra mereka bersitubruk. “Aurora mungkin memang yang pertama, tapi yang bertahan saat Fikri datang ... itu lo. Gue berani sumpah kalau sampai akhir pemenangnya cuma lo Leen, cuma lo.”

Continue Reading

You'll Also Like

104K 5.2K 37
Kinan Biru Permata, gadis yang selalu dituntut menjadi sempurna oleh orangtuanya. Selalu dibandingkan dengan saudara kembarnya, bahkan dia dituntut h...
Alarah By Ahta

Teen Fiction

2.7K 2.3K 27
(FOLLOW SEBELUM BACA YA PREN ! ) Kisah ini menceritakan tentang seorang gadis bernama Alarah Maheswari. Kehidupannya yang dahulu kalah bahagia harus...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.6M 267K 32
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
10.6K 607 16
Alleana Zanara dengan segala permasalahan sosialnya. Si gadis introvert, pendiam, dan anti sosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya tidak bisa berg...