ALIF

By Sastra_Lara

6.3M 442K 51.8K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

36. Manipulatif

83.3K 6K 735
By Sastra_Lara

Mari untuk melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

Rama mengintip Lahya yang berusaha membalut es batu dengan sapu tangan yang entah milik siapa dipinjam. Sekarang mereka duduk di bawah pohon mangga, mencari tempat berteduh. Kenapa tidak mencari tempat teduh lain? Dikoridor misalnya? Rama sudah malas beranjak pergi dari lapangan, apalagi kepalanya sakit bukan main.

"Sakit banget ya, Kak?" tanya Lahya menyodorkan sapu tangan yang sudah membalut batu es.

Rama hanya diam menerimanya. "Bisa kasih cermin?" minta Rama pada Lahya.

Lahya mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka kamera ponsel untuk digunakan seniornya itu. "Maafin Lahya, ya, Kak?"

"Gak capek minta maaf terus?" tanya Rama sibuk mengompres bekas sepatu Lahya yang membuat benjolan di keningnya.

"Kasian Kak Rama pasti sakit," sedih Lahya melihat Rama menahan sakit sedari tadi.

Rama tersenyum hambar. "Kamu kasihan?"

Lahya mengangguk kasihan.

"Lebih sakit semalem, sih, Ya. Masa kasihannya baru sekarang?"

Lahya menarik mundur tubuhnya. Matanya sayu seketika, tatapan mata Rama persis seperti semalam. Rama tidak pernah gagal melemahkan hati kecilnya. Lahya tertunduk tidak berani membalas tatapan itu.

"Memang bener, kan, Ya? Orang sepele kayak aku jadi bahan kalahan terus. Kalah bondo, menang rupo selawase." Rama menertawakan dirinya sendiri.

Lahya menggeleng. "Tidak semua perempuan itu mandang fisik dan harta, Kak. Kebanyakan perempuan lebih memilih laki-laki yang pola pikirnya dewasa, attitudenya baik, yang bisa memperlakukan perempuan dengan baik, dan yang paling utama agama dan akhlaknya. Semua itu ada di diri Kak Rama, kok, cuma sayang-,"

"Sayang kenapa?"

"Mau laki-laki itu sepaham apa pun dengan agama dan sebagus apa pun akhlaknya, tapi jika dia friendly ke semua perempuan. Dia tidak pantas untuk dikagumi."

"Ngennak banget nyindirnya," canda Rama tertawa sumbang menatap Lahya yang tertunduk senyum. "Gini rasanya ternyata ditolak tanpa ada kata penolakan."

"Itu juga nyindir," potong Lahya cepat.

Tak lama Anggi datang membawa air mineral untuk Lahya dan Rama. Anggi datang sendiri, sebab Nadine sudah masuk kembali untuk mengikuti pelajaran di kelas.

"Trima kasih Anggi," kata Lahya menerima botol mineral dari partner lombanya.

Rama yang melihat ada yang kurang dari tangan Lahya berakhir menegurnya, "Kalung yang aku jadikan gelang ditanganmu mana?"

Lahya mengangkat sedikit lengan bajunya. Ia panik seketika. Seingatnya ia tidak pernah melepas kalung dari ibunya sejak Rama yang memakainkan di UKS. Apa kalung dari ibunya putus tanpa ia sadari? Lalu jatuh entah kemana?

Nanggung, Lahya meneguk air setengah botol lalu berdiri cepat ingin mencari kalung dari ibunya. Kalung itu tidak boleh hilang. Sepuluh tahun Gus polisi menjaga kalungnya tetap aman, lalu kalungnya hilang begitu saja saat baru satu minggu lebih ia pakai?

"Lahya!" panggil Rama ditinggal pergi Lahya.

"Mau cari kalung dari ibu!" balas Lahya sudah jauh.

"Aku ikut Ya. Kak aku pergi sama Lahya dulu?!" pamit Anggi mengejar Lahya yang sudah naik tangga untuk ke lantai 3 kelas 12.

Lahya berlari secepat ia bisa. Sebelum masuk kelas, ia mengecek terlebih dahulu bahwa teman kelasnya sedang berada di ruang seni di jam pelajaran Seni dan Kebudayan. Kelas kosong, dengan cepat Lahya masuk dan mengecek laci mejanya.

Lahya merogoh lacinya sampai sudut-sudut meja. Ia mengeluarkan semua buku-buku miliknya dari laci. Tidak ada. Hasilnya nihil.

"Ada?"

Lahya menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Gak ada Nggi. Gimana dong? Itu kalung dari almarhumah ibu. Baru balik minggu lalu, masa iya hilang lagi?"

"Tenang dulu. Coba cek di bawah meja."

Lahya menuruti Anggi. Ia bersimpuh mencari di bawah meja. Siapa tau saja jatuh seperti dugaan Anggi.

"Lagi cari apa?"

Dagh!

Begitu nyaring kepala Lahya terbentur ke atas meja. Ia langsung membekap kepalanya yang sakit setengah mati. Pasti ini yang dirasakan Rama saat terkena lemparan sepatunya.

Bukannya ditolong Anggi malah tertawa. Sampai siswa pindahan yang terkenal badung itu malah heran melihat keduanya. Yang satu menahan sakit kepala karena terbentur meja, yang satu malah manahan sakit perut karena tertawa.

"Malik!" rintih Lahya melihat Gus polisi menatapnya kasihannya, tapi tak bisa menolong.

"Sakit?" tanya Alif berjongkok memastikan Lahya tidak pingsan akibat benturan tadi.

"Banget. Ngapain ditanya lagi?"

"Kamu yang tidak hati-hati. Lain kali hati-hati. Kamu cariin apa?"

Lahya berdiri keluar dari bawah meja. Kepala masih berdenyut hebat. Tak henti-hentinya ia mengusap bekas benturan meja di kepalanya. Karma berbalik padanya.

"Kalung dari ibu hilang. Lahya udah cari di laci tapi gak ada," jelas Lahya sedih.

"Kalungnya sengaja kamu lepas?" tanya Alif menggantikan Lahya mencari kalung tersebut di laci meja Lahya.

"Lahya gak pernah lepas kalungnya. Apa kalungnya putus, terus jatuh, ya?"

Anggi yang melihat hal itu malah senyum-senyum sendiri, lalu menyenggol ringan lengan Lahya. Ia menggoda temannya yang mendapat perhatian dari siswa baru di sekolah mereka.

"Apa sih?" resah Lahya.

"Di laci tidak ada. Sudah coba cari di tempat lain?" tanya Alif merapikan kembali buku Lahya yang tercecer di atas meja.

"Belum."

"Coba cari lagi atau coba kamu hubungi bapak atau Gian. Siapa tau jatuh dirumah," saran Alif membuat Anggi memicingkan matanya curiga.

Alif duduk di kursinya. Ia melihat Lahya masih saja panik keluar dari kelas. Setelah memastikan anak gadis itu keluar bersama temannya barulah Alif menunduk tertawa gemas dengan tingkah Lahya. Berulang kali ia istrigfar untuk meredam tawanya, tapi gagal.

"Malik?!"

Alif berdehem cepat. "Hm, pripun?" tanya Alif menaikkan kedua alisnya.

"Ngetawain Lahya, ya?" tanya Lahya diambang pintu kelas.

Alif mengangguk jujur.

Lahya menghela nafas pasrah, lalu masuk kembali dalam kelas. Mereka berdua berakhir terkikik bersama. Siapa juga yang tidak akan tertawa melihat adegan tadi? Lahya sendiri pun tertawa mengingat kebodohannya. Lihatlah mereka berdua, umur berbeda tapi selera humor mereka sama.

"Lahya lupa! Hape Lahya ketinggalan di meja."

'-'-'-'

"Syukurlah kalau kalungnya ada sama Kakak," syukur Lahya tidak bisa mengucap alhamdulillah, sebab posisinya sekarang ada di toilet.

Setelah ia mencari kalung dari ibunya di ruang ganti, ruang pencak silat, secret paskibra sekolah, sampai akhirnya ia menelpon orang rumah dan berakhir memberi tahu polisi ini lewat chat grup rahasia mereka. Tak lama setelahnya, Hana menghubunginya.

"Joni yang dapet kalung kamu jatuh di rumah Nadine," jelas Hana dari sebrang telepon sana.

"Kak Hana, kok, baru kasih tau sekarang?" tanya Lahya sedikit takut dengan polwan ini.

"Maaf. Sebenarnya tiap ingat pengen langsung hubungin lo, tapi di kantor bener-bener sibuk."

"Makasih ya Kak sudah jagain kalung Lahya."

"Kalungnya mau gue titip ke komandan?"

Lahya menggeleng keras, meski Hana diujung telepon sana tidak melihatnya. "Jangan Kak, nanti ketahuan."

"Ah, iya, ya? Ya udah kapan-kapan gue balikin, tapi sabar soalnya banyak kasus baru yang masuk."

Lahya mengangguk setuju. "Iya Kak Hana. Sekali lagi terima kasih banyak."

"Siplah. Teleponnya gue tutup."

"Iya Kak."

Lahya tersenyum lega menaruh ponselnya di dasar keramik wastafel toilet. Ia menatap dirinya dari pantulan cermin. Ia tertawa bersama pantulan dirinya. Padahal sudah panik setengah mati sampai terbentur meja. Selain kepalanya yang sakit setengah mati, ia harus menahan malu setengah hidup di depan Gus Polisi.

"Takut ketahuan apa kamu?" tanya siswi yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet.

"Takut ketahuan apa, ya? Hamil kali, ya?"

Lahya menyenderkan tubuhnya ke wastafel toilet. Ia bersedekap dada menatap Sarah dari atas sampai bawah. Penampilannya berbeda dari beberapa hari yang lalu. Sudah tidak ada sweeter yang membalut tubuh Sarah, padahal beberapa bulan belakangan siswi ini tak lepas memakainya.

Sarah berdecih remeh. Ia mencuci tangannya di wastafel sebelah Lahya. Ia tertawa menilik wajah songong Lahya yang terus memperhatikannya. Suara tawa Sarah semakin menjadi.

"Seneng atau gila karena isinya udah digugurin?" sindir Lahya melirik perut Sarah yang rata.

Sarah mengangguk, ia menepuk perutnya bangga. "Seneng, tapi ada yang lebih buat aku seneng. Dijauhin satu sekolah gimana rasanya? Enak? Atau enek? Maaf yah karena perbuatanku, jadi kamu yang makan imbasnya."

Lahya bergerak mendekat. "Bukan aku yang makan imbasnya. Justru jabang bayi kamu yang kena imbas karena harus nanggung dosa ibu yang gak tau malu."

Sarah menahan dirinya agar penyesalan tidak pernah ada setelah ia menggugurkan kandungannya. Orang yang paling ia benci setelah Nadine yang dulu sering membully dirinya dan Liya yang mengetahui kehamilannya adalah Lahya Deemah.

Karena sebenarnya Lahyalah yang membunuh anak di dalam kandungannya. Karena Lahya yang menyeretnya ke hadapan kepala sekolah, sampai harus melakukan tespek. Karena Lahya yang membuat Bu Wina murka padanya dan memintanya untuk menggugurkan anak di kandungannya.

"Siapa peduli? Tah yang nanggung malu itu kamu, bukan aku. Yang viral di portal osis, kan, juga namamu sama anak badung itu, bukan aku. Ck. Ah, kok, gak pernah kepikiran, ya?" Sarah nampak kecewa dengan otaknya yang lama mencerna sesuatu.

Sementara Lahya sendiri sudah panas melihat sikap manipulatif Sarah.

"Ck, apa jangan-jangan berita yang osis terbitin bener soal kamu sama anak badung itu, yang berduaan di UKS, bener terjadi? Sayang di UKS gak ada cctv. Coba ada cctv, mungkin video kamu bakal diperjual beliin, tuh."

Lahya melotot, darahnya mendidih. "Wihh Sar, jangan mancing. Aku sama Nadine itu sebelas, dua belas, bedanya Nadine gak kenal tempat dan gak mau tau aturan. Ini jatuhnya kamu lagi nyeritain diri kamu sendiri, bukan mau nuduh aku. Ngomong-ngomong kamu mainnya sama siapa?"

"Apa?" emosi Sarah. Tadinya ia ingin memancing amarah Lahya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Apa?" ulang Lahya dengan gerakan mengejek. Jika kalian mengira Lahya sepolos itu, tidak ferguso. Lahya mengikuti alur permainan lawannya.

Sarah mengepalkan kedua tangannya kuat, ia tidak suka dianggap remeh. Sudah cukup ia dianggap lemah warga SMA Tunas Bangsa. Sarah mendorong lengan Lahya sampai gadis itu terhuyung karena tidak siap.

"Wahhh!" seru Lahya tak percaya.

"Tidak usah sok suci deh kamu. Bener, kan, kalau kamu sama anak badung itu sudah berbuat di UKS," tuduh Sarah menguras habis kesabaran Lahya.

"Anak badung siapa yang anak badung, hah? Dia itu sebenarnya_," ucapan Lahya terpotong saat sadar hampir mengungkap identitas Gus polisi.

Sarah kembali mendorong Lahya. "Dia apa? Hah? Ternyata bener yang kamu maksud takut ketahuan itu, kamu sama anak badung itu, kan?"

"Wahhh!" Lahya tertawa emosi. "Aku atau kamu yang takut ketahuan hamil sampai gugurin kandungan?" balas Lahya balik mendorong Sarah.

Sarah yang badannya jauh lebih ramping itu terdorong jauh kebelakang. "Kalau iya, kenapa, ha? Mau laporin? Terus ada yang percaya sama kamu? Yang ada kamu bakal makin dibenci seSMA TB karena nuduh sembarang. Dasar cewek munafik!" Sarah menarik jilbab Lahya karena emosi.

Lahya menjerit karena rambutnya sakit ditarik bersama hijabnya.

"Kamu yang munafik! Dasar manipulatif!" hina Lahya balik menjambak rambut panjang Sarah.

Kedua beradu kekuatan seperti perempuan pada umumnya yang saling jambak dan cakar. Mereka saling menarik satu sama lain. Terhuyung ke kanan dan ke kiri, berusaha saling mengalahkan satu sama lain.

Saat Sarah sudah terdesak karena kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Lahya. Dengan piciknya ia sengaja menarik tubuh Lahya keluar dari pintu utama toilet. Ia membiarkan tubuh Lahya jatuh ke atas tubuhnya.

Jeritan dari beberapa siswi yang hendak melewati toilet terdengar sampai keseluruh koridor.

"Astaga!"

"Kalian berantem?"

"Kasihan Sarah sudah keos begitu."

"Lahya kamu apain Sarah?"

"Fix ini pasti karena berita osis kemarin."

"Itu gak dipisahin?"

"Gak ah takut sama Lahya."

Lahya yang sadar dirinya kembali di kelilingi banyak warga SMA TB itu hanya menutup matanya malu. Andai ia tidak tersulut api setan. Sarah benar-benar pandai memanipulasi keadaan.

Nafas Lahya memberu naik turun. Ia bahkan belum beranjak dari atas tubuh Sarah. Ia bisa melihat senyum penuh kemenangan dari Sarah.

"Kenapa berhenti?"

"Dasar manusia manipulatif!"

Sarah tersenyum licik. "Baru tau? Kalau gak gitu, aku udah masuk kantor polisi karena udah bunuh Liya, sayang sahabatmu gak mati-mati," ungkap Sarah dengan nada berbisik.

"APA?!" Lahya menarik kerah seragam Sarah sampai kepala siswi itu ikut terangkat.

Lahya melepas kerah Sarah begitu saja, sampai kepalanya terbentur ke atas lantai. Tidak usah dijelaskan apa yang terjadi selanjutnya. Sudah pasti Lahya yang memenangkan perkelahian itu. Tanpa ada yang mampu menghentikan mereka berdua, kecuali pak Mahmud yang datang karena aduan salah satu penonton keduanya.

'-'-'-'

Sudah setengah jam Lahya dan Sarah dihukum untuk hormat ke tiang bendera. Mereka harus tetap dalam posisi hormat sampai orang tua mereka datang ke sekolah. Tak habis-habisnya Lahya meruntuki dirinya sendiri yang sudah membuat babak belur anak orang.

Hati Lahya penuhi rasa penyesalah yang besar saat menoleh melihat wajah Sarah yang lebam dan terdapat beberapa cakaran dipipinya. Lahya benar-benar kemasukan setan saat Sarah mengaku bahwa dialah yang mencoba membunuh sahabatnya.

Siapa pun yang juga mendengar pengakuan Sarah tadi, tolong bantu Lahya untuk menjadi saksi dengar. Percuma juga Lahya berkoar-berkoar di depan polisi jika tidak mempunyai bukti yang nyata.

Untuk beberapa saat ia termenung, bagaimana kabar Liya sekarang? Apakah kondisi Liya sudah ada kemajuan? Lahya rindu sahabatnya.

Lahya menghela nafas. Matanya tak sengaja bertemu dengan Gus polisi yang menatapnya penuh kecewa dari lorong kelas.

"Maafin Lahya!" ucap Lahya tanpa suara.

Betapa sakitnya hati kecil Lahya saat Gus polisi mengabaikannya. Mata Lahya berkaca-kaca melihat punggung polisi yang tengah menyamar menjadi siswa itu perlahan menghilang. Ia menunduk dalam-dalam, ia menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia sudah membuat Alif kecewa, tapi ia juga kecewa diabaikan seperti itu.

Kenapa rasanya Lahya takut ditinggal Alif? Bagaimana jika Alif tidak akan datang melamarnya lagi setelah melihat kelakuannya hari ini? Lahya takut, sekaligus menyesal. Menyesal tidak langsung menerima lamaran Alif dan takut tidak akan dilamar lagi. Apakah Lahya sudah jatuh cinta pada Alif sampai setakut ini ditinggalkan?

"Sarah! Lahya! Orang tua kalian sudah datang. Sekarang mereka menunggu kalian di BK," kata Bu Wina menginformasikan keduanya agar segera ke ruang BK.

"Munafik!"

"Manipulatif!" balas Lahya tak ingin mengejar Sarah yang berjalan mendahuluinya.

Sekarang bagaimana Lahya menghadapi bapak yang jauh lebih merasa kecewa dari Gus polisi? Bagaimana caranya menghilang dari Giandra? Dibanding bapak, Lahya lebih takut pamannya.

Lahya mempercepat langkahnya menuju ruang BK. Beberapa siswa yang berada di sekitar sudah siap menjadi pencuri dengar, sanksi apa yang akan mereka dapat nantinya. Dengan pasrah Lahya masuk ke dalam ruang BK.

"Pak?" lirih Lahya dengan hati mencelos sakit. Pemandangan yang ia dapati pertama kali masuk BK adalah mendapati sendal bapaknya putus sebelah.

"Silahkan, duduk di samping wali masing-masing." Kepala sekolah mempersilahkan keduanya.

Lahya melihat adik bapaknya juga hadir sebagai wali Sarah. Lihatlah, kakak-beradik datang bersamaan menjadi wali anak nakal mereka. Bedanya Lahya anak kandung pak Yasin, sedangkan Sarah anak sambung pak Yusuf atau adik bapaknya. Jika Nadine melihat ini, pasti anak itu akan kesetanan karena bapaknya membela musuhnya.

"Jadi begini Pak. Tidak ada yang tahu persis bagaimana kronologinya mereka bisa berkelahi, sebab mereka berkelahi di dalam toilet. Dari pengakuan Lahya ataupun Sarah itu berbeda. Sepertinya terjadi kesalahpahaman diantara keduanya mengenai kasus yang sudah terjadi."

Lahya menutup matanya. Ia susah payah menyogok Gian supaya tidak berbicara mengenai kasus usg dan tespek itu ke bapak, tapi akhirnya terbongkar juga. Uangnya lenyap begitu saja untuk mengganti senar gitar Gian.

"Kasus apa Bu kalau boleh tau? Setahu saya Lahya tidak pernah tersandung masalah apa pun sejak masuk di sini."

Kepala sekolah tersenyum kepada pak Yasin. "Teman Lahya dan Sarah menemukan hasil usg dan tespek di toilet. Temannya mengaku bahwa itu milik Lahya, tapi Lahya berkata itu milik Sarah karena sebelumnya Lahya sempat melihat Sarah membuang hasil dan tespek tersebut ke tempat sampah."

Pak Yasin langsung memegang dadanya terkejut. Ia menggeleng kecewa, baru kali ini anaknya menutupi hal seperti ini darinya.

"Hasil usg dan tespek itu milik Sarah, Bu," sanggah Lahya cepat.

"Memangnya kamu punya bukti apa?" tanya Sarah tidak terima.

"Kamu sendiri yang mengaku hasil usg dan tespek itu milik kamu, bahkan kamu sampai menggugurkan kandunganmu karena takut ketahuan," serang Lahya.

"Jangan menuduh anak Pak De seperti itu Lahya. Anak Pak De ini selalu di rumah, bahkan ia jarang keluar," bela pak Yusuf.

"Loh justru itu, apa pak De tidak curiga anak sambung pak De itu banyak di rumah? Bukannya Sarah anak seni tari yang sering latihan sore? Apa pak De tidak curiga ia sering mangkir tidak ikut latihan berbulan-bulan? Padahal dia anak emasnya seni tari?" serang Lahya lagi.

"Cukup Lahya!" sentak pak Yasin menarik tangan anaknya. "Bapakmu ini tidak pernah mengajari kamu meninggikan suara ke orang yang lebih tua."

"Maaf Pak," sesal Lahya.

"Berhenti menuduh aku tanpa bukti Lahya. Justru yang hamil itu kamu, kan? Kamu dihamili anak baru yang badung itu. Sudah mengaku saja kamu Lahya, satu sekolah sudah tau. Tega kamu tuduh aku sembarangan," kata Sarah malah menangis.

Lahya tidak percaya dengan ekting Sarah yang begitu hebatnya.

"Siapa anak baru itu Nduk?" tanya pak Yasin sesabar mungkin.

"Sabar Pak, ini hanya salah paham. Kasusnya sudah selesai. Sarah, Lahya atau temannya, tidak ada yang hamil. Meski Lahya dan Malik sempat berduaan di UKS dan itu yang menimbulkan salah faham diantara mereka, tapi saya yakin itu terjadi karena Malik peduli teman sebangkunya sakit. Jadi anak baru yang dimaksud tidak bermasalah disini," jelas Kepala sekolah menengahi kekacauan.

"Izinkan saya untuk tetap bertemu dengan anak baru yang dimaksud Bu!" minta pak Yasin.

Kepala sekolah mengangguk menyanggupi permintaan pak Yasin. Ia meminta Bu Wina mencari siswa bernama Muhammad Malik untuk ke BK sekarang.

Haduh, Lahya jadi pusing sendiri. Bagaimana bapak mau bertemu dengan orang yang baru saja melamarnya kemarin? Apa tidak kaget melihatnya datang berseragam SMA dan identitas berbeda?

"Sebentar ya, Pak. Bu Wina akan segera kembali bersama anak baru itu. Disela-sela menunggu dengan berat hati saya harus memberi sanksi kepada Lahya dan Sarah. Dari saksi yang sempat melihat keduanya berkelahi sampai keluar toilet, banyak yang mengatakan bahwa Lahya lebih banyak menyerang, maka sanksi yang Lahya dapat akan lebih berat."

Lahya menggeleng tidak terima. "Sarah yang menyerang saya lebih dulu Bu."

"Jangan memutar balikkan fakta kamu, deh, Lahya. Nyatanya yang banyak luka aku, kan?"

"Gila kamu!"

"Heh!" tegur pak Yasin mendengar perkataan anaknya.

"Maaf Pak," kata Lahya duduk kembali.

Cklek!

Semua menoleh saat mendengar pintu ruang BK terbuka karena Bu Wina sudah datang bersama Malik. Lahya langsung berpaling, ia menutup separuh wajahnya.

Pak Yasin yang melihat siapa yang datang jadi terbengong sendiri. Ia menyenggol tangan anaknya berulang kali meminta penjelasan. Akan tetapi, Lahya masih sibuk menutup wajah sebisa mungkin.

"Saya Muhammad Malik, teman sebangku Lahya. Ada apa Ibu mencari saya?"

'-'-'-'

Assalamu'alaikum para Jomsfi!!!

Panik gak nih? Panik gak? Lebih panik digantungin mbak author lagi sih, ya?🤣🤣🤣

Emosinya sampai mana nih liat si Sarah manipulatif ?

Coba absen dong kalian tau cerita Gus Polisi dari mana? Tiktok? Instagram? Atau temen?

Nexttt targetnya muali gampang dicapai, jadi target up bab selanjitnya itu 700 vote dan 500 komen.

Spoiler nexttt bab siap-siap baper tingkat akut lagi. Soalnya Gus Alif dan Lahya bakal disidang pak Yasin😭. Dan juga kepada para tamu undangan Ning Farah dan Azzam persiapkan isi undangan untuk mereka berdua🤭.

Nexttt bab spam

MasyaAllah >>>

MasyaAllah >>>

MasyaAllah >>>

Continue Reading

You'll Also Like

2K 1K 15
Kisah tentang gadis rumahan yang di pertemukan kembali dengan seorang lelaki, yang ternyata ketua geng motor dan menjadi pelindung untuk dirinya. Ket...
76.3K 8.4K 30
[Spin off Hakim, bisa dibaca terpisah] Bahagia seperti apa yang diinginkan semua orang? Apa bahagia mereka sama seperti definisi bahagia yang Husna...
1.7K 266 3
Siapa yang pernah menyangka jika gadis urakan seperti Dina harus dengan terpaksa menyetujui wasiat kakeknya, sang pemilik pesantren. Menjadi santri b...
2.5M 293K 69
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesan📌 ≪•◦ ❈ ◦•≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...