SPINE BREAKER

By Mira_Kakumirai

1.6K 236 259

Spine Breaker mungkin adalah julukan yang cocok untukku. Aku adalah si pembuat masalah dan Ayah yang selalu m... More

The Characters
PROLOG
SWEET NIGHT
THE RECORDING
I WANT IT TOO
YOU HAVE NO CHOICE
UNANSWERED QUESTIONS
NOT MY HABIT
NOBODY KNOWS
MY WORST BIRTHDAY
SOMETHING LOST
I DON'T KNOW ANYTHING
THE BOY ON THE PLAYGROUND
THE KILLER AND THE INNOCENT
STAY WITH ME
SIBLING RIVALRY
PLEASE, DON'T CHANGE

THE LEATHER JACKET

98 12 13
By Mira_Kakumirai


KIM TAEHYUNG


Mungkin ini sudah terjadi seratus kali dalam hidupku, digiring ke ruangan Ayah setelah membuat kekacauan. Namun, rasa takut masih terus kurasakan. Namjoon selalu berjalan di depanku. Tubuhnya yang tegap dan tinggi itu seharusnya bisa melindungiku. Namun, dia hanya bisa menanyakan keadaanku dan menatapku iba ketika Ayah mulai memukuliku.

"Maafkan saya, Tuan Muda. Saya harus melaporkan ini kepada Tuan Besar. Apakah Anda akan baik-baik saja?"

"Tolong, jangan biarkan ibuku tahu," ucapku saat kami tiba di depan pintu ruangan Ayah.

Sejak aku kecil, berdiri di depan pintu ruangan Ayah bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Alih-alih mengharapkan tambahan uang jajan, aku hanya akan mendapatkan luka baru. Bukan hanya luka memar di kulit, tapi Ayah sudah beberapa kali menggores permukaan hatiku bahkan ketika belum sempat kuobati.

Dahulu sekali, kejadian menakutkan juga terjadi di balik pintu ini. Aku masih ingat betul ketakutan dan gelapnya malam itu. Namun, tidak ada yang tahu kebenarannya selain aku dan Kim Nam-ok. Sayangnya, aku hanya anak kecil yang tidak dapat bersuara. Aku tidak mengatakannya pada siapapun, meski mimpi buruk terkadang menghantuiku. Sayang sekali, aku terlalu takut karena Ayah telah mengancamku.

Namjoon membukakan pintu setelah mengetuk dua kali. Foto pernikahan Ayah dan Ibu terpajang di dinding ruangan, bersebelahan dengan foto pernikahan Ayah dengan istri pertamanya. Ayah tersenyum manis dalam foto itu, seperti yang selalu ia perlihatkan di depan Ibu, Seokjin-Hyung, maupun rekan bisnisnya. Namun, begitu kursi kebesaran yang semula menghadap ke luar jendela itu berputar, hanya wajah geram Ayah yang dapat kulihat, wajah yang selalu ia perlihatkan padaku.

Ayah sudah tahu apa yang terjadi karena Namjoon sudah mengabarinya tadi. Aku tahu ia akan langsung menohokku dengan serentetan pertanyaan yang tidak bisa kujawab dengan benar.

Namjoon memposisikan diri di sudut ruangan, seolah meninggalkanku sendirian di arena tinju. Rupanya tubuh Namjoon yang besar tidak berguna sama sekali ketika berada di ruangan ini. Aku hanya dapat menelan ludah kasar sambil berusaha menata hatiku.

Ayah memicingkan mata sembari bertanya, "Baru muncul sudah membuat keributan. Tidak bisakah kau mengendalikan diri?"

"Aku tidak punya kata-kata untuk membela diri," ujarku penuh keberanian, jengah dengan situasi semacam ini.

"Lihat, kau baru saja membuat pesta kakakmu hancur, kini membuat masalah lain. Sudah berapa hari kau kabur dari rumah?"

"Apa Ayah pernah memikirkan kapan aku pulang dan pergi? Ada di rumah atau tidak, apa Ayah peduli?"

Braakkkk!!!

Ayah mengacaukan bidak catur yang tertata rapi di atas meja kerjanya, hingga beberapa jatuh berhamburan di karpet tebal ruangannya. Ia meraih bidak raja lalu melemparnya ke arahku. Dengan sigap bercampur kaget, aku menangkap bidak raja yang dilemparnya sebelum mengenai pelipisku. Entah kenapa, amarahku memuncak hingga berani berjalan santai mendekati Ayah. Dengan tak tahu diri, aku pun meletakkan bidak raja tadi di atas mejanya.

Ayah malah tertawa pelan sambil memandangi bidak raja yang baru saja kuletakkan. Raja yang seharusnya bisa melakukan apa saja pada pion-nya, kini malah dipermalukan oleh pion-pion itu. Kurasa, ia merasa tersinggung atas perilaku tak sopan barusan.

"Kau perlu dihajar," ucapnya.

Jantungku hampir berhenti berdetak ketika Ayah melesat cepat dan menarik kerah bajuku. Entah kenapa cengkraman tangan besar Ayah membuat napasku sesak bukan main. Ayah lalu melayangkan pukulannya menghantam pipiku. Belum sempat menyeimbangkan diri, Ayah menarik lagi pakaianku dan memberikan pukulan lainnya pada wajahku hingga aku jatuh di bawah kakinya.

"Tolong, jangan sampai ibuku tahu," lirihku sambil menatap sandal rumahnya. "Jangan katakan apapun pada Ibu. Jangan biarkan Ibu tahu Ayah memukulku."

Ayah hanya terkekeh mendengar rintihanku. Tangan besarnya lalu meraih daguku agar menghadap padanya. Ia lagi-lagi menatap mataku yang sedang diselimuti kabut karena kehilangan daya.

"Ibumu tidak akan tahu. Berdirilah."

Aku berdiri kepayahan, dibantu oleh Namjoon yang dengan cepat menggapai lenganku. Namjoon bahkan membantu merapikan pakaiaku yang terkoyak akibat cengkraman Ayah tadi.

"Katakan dari mana saja kau selama beberapa hari ini?" tanya Ayah membelakangiku.

"Tempat Jimin."

"Lalu apa maksudmu membuat kekacauan di pesta Seokjin?"

"Hoseok-hyung membuatku marah, Ayah."

"Satu-satunya yang membuat semua orang marah adalah kau!"

Aku hanya terdiam sambil mengumpat dalam hati. Aku tahu kesalahanku hari ini. Aku memang selalu mengacau di pesta Seokjin-Hyung setiap kali aku hadir. Jadi, mengapa ia tidak membiarkanku bermain di luar saja? Bukankah akan lebih baik jika aku tidak hadir sejak awal?

"Kenapa kau tidak hadir di acara inti?" tanyanya lagi.

Tidak ada kata-kata yang bisa kulontarkan. Mulutku terasa pahit sehingga enggan untuk bicara. Aku hanya memandangi punggung besar Ayah yang terlihat sangat jauh dariku, seperti bukan sesuatu yang bisa kusentuh. Punggung besar Ayah seharusnya menjadi tempatku bersandar meski hanya sesekali, namun punggung itu selalu menjauh dan semakin jauh.

Selama aku hidup, belum pernah sekalipun ia memegang punggung Ayah hanya untuk sekedar bertumpu. Tangan besar itu juga tidak pernah sekalipun kugenggam. Tangan itu tidak pernah mengelus punggungku atau mengusap kepalaku. Tangan itu hanya terus melukai kulitku. Aku pun tidak punya ide bagus untuk memperbaiki kenyataan itu. Kalau Ayah membenciku, maka aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Kau membuatku muak, Taehyung."

Kata-kata Ayah terdengar seperti petir yang menyambar sampai ke hatiku. Ini bukan yang pertama, lagi-lagi aku menyadarinya. Namun, rasanya tetap sakit setiap kali Ayah memaki dan mengumpat padaku. Ayah menorehkan luka dan aku tidak berniat membela diri lagi.

"Namjoon akan mengawasimu selama sepekan. Jangan berbuat macam-macam," kata Ayah lagi lalu melangkah ke arah mejanya untuk memungut bidak catur yang berserakan di karpet bermotif dari Timur Tengah.

Aku masih berdiri di sana, merasakan dentuman di dalam dadaku semakin kencang dan sesuatu berhasil mencekik leherku. Napasku terengah dan pukulan Ayah sepertinya membuat kepalaku sedikit pening. Suara napasku terdengar semakin kasar, mungkin Ayah akan segera terganggu. Namun, aku tidak bisa bergerak sedikit pun.

"Kenapa tidak keluar?" tanya Ayah.

Namjoon menghampiriku lalu menepuk punggungku untuk menyadarkanku.

"Tuan Muda, Anda baik-baik saja?"

Aku hanya menoleh sekilas kepada Namjoon lalu mengatur napasku hingga kini lebih tenang.

"Kau mau dipukul lagi?"

Pertanyaan itu membuatku bisa melangkahkan kakiku lagi. Aku membungkuk sebentar lalu pergi tergesa-gesa. Aku keluar dari ruangan Ayah dengan membanting pintu. Mungkin Ayah melempar lagi bidak caturnya ke arah pintu begitu aku menutupnya dengan keras. Namjoon menyusulku terburu-buru menenteng kotak P3K.

"Izinkan saya membantu mengobati luka Anda," katanya.

**


JEON YURI


Aku terlonjak karena suara alarm ponselku berdering tepat di sebelah telingaku. Yang pertama kulakukan ketika terbangun adalah melompat kaget dan mendarat kembali untuk mematikan alarm ponsel. Aku mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuhku sendiri. Pengar masih menguasai tubuhku, tapi aku sungguh tidak banyak mengingat kejadian semalam.

Aku beranjak dari ranjang tidur lalu mengambil ikat rambut yang tergeletak di meja rias. Saat melirik sebentar ke cermin, pantulan wajahku lebih mirip hantu ketimbang manusia. Aku terburu-buru memungut pakaianku semalam yang berhamburan di lantai. Bajuku basah oleh alkohol dan ada sebuah jaket kulit berwarna hitam tersampir di kursi.

"Oh! Seorang pemuda menolong dan memberikan jaket padaku," gumamku karena mengingat kejadiannya samar.

Yang kutahu, kemarin aku mabuk berat. Hari itu adalah peringatan kematian Ayah. Ayah meninggal dengan cara tidak adil, sehingga kepergiannya merupakan peristiwa traumatik bagiku. Aku benar-benar kacau setiap mengenang kematian Ayah, bahkan aku tidak pernah sanggup menghadap ke altar doa yang kami buat.

Seharian penuh, aku tidak bersemangat. Namun, Tuan Seokjin muncul di depan pintu ruang staff dan menanyakan kondisiku dengan nada lembut. Kuharap ia tidak melihat mata sembab dan aliran air mata yang mengering di pipiku. Ini hari ulangtahunnya, jadi seharusnya aku memberikan senyum dan bekerja dengan giat. 

Aku menyelesaikan pekerjaan sekitar pukul sembilan. Minki dan Sujin mengajakku menutup hari dengan minum-minum di bar yang sedang viral di media sosial belakangan ini. Namanya Paradise Bar, katanya orang-orang kaya sering menghabiskan waktu di sana. Minki menjanjikan malamku akan menjadi malam yang manis jika melupakan sejenak semua masalahku dan menikmati hari di tempat itu. Kemudian, aku mabuk dan yang kuingat hanyalah mata seorang pemuda yang menyelamatkanku.

...

Aku harus segera berangkat ke kampus. Tidak peduli pengar, aku meminum banyak air. Aku terburu-buru mendatangi meja makan kecil yang sebenarnya membuat rumah sederhana kami ini menjadi semakin sempit. Ibu dan adikku berada di dapur dengan kegiatan masing-masing.

"Noona, jelaskan semalam kau pergi kemana?" sahut adikku, Jungkook, yang sedang menuangkan susu ke dalam gelas.

"Minum dengan teman-temanku," jawabku segera membantu Ibu di dapur.

"Ke club? Dengan seorang pria? Pemilik jaket kulit mahal yang Noona kenakan semalam?" tanya Jungkook lagi terlalu posesif pada kakak perempuannya.

Aku berusaha mengingat siapa yang meminjamkannya, tapi nihil. Aku cuma mendapat informasi setelah membaca pesan Sujin yang mengatakan pemiliknya akan datang ke Daeppan untuk mengambil jaketnya kembali.

"Aku tidak ingat, tapi dia pasti pria kaya raya."

"Lagipula kenapa Noona malah pergi minum? Tempat seperti itu bahaya dan orang mabuk tidak bisa mengendalikan diri. Bagaimana kalau ada yang berbuat jahat padamu, Noona?" tanya adikku lagi posesif.

"Yuri, apa kamu baik-baik saja? Kalau kamu kelelahan, kamu tidak perlu bekerja. Penghasilan dari kedai memang tidak seberapa, tapi Ibu akan berusaha," sahut Ibu sepertinya menduga perasaan jenuh dan lelahku karena bekerja.

"Tidak, Ibu. Aku bisa melakukannya. Lagipula Daeppan menyenangkan. Gajinya juga lumayan," jawabku.

...

Aku mengemas jaket kulit merek mewah itu ke dalam paperbag berwarna merah yang kusimpan di laci kamar. Meski pria itu ingin mengambilnya segera ke Daeppan, tapi kurasa aku harus membawanya ke penatu. Jaket itu harus kembali kepada pemiliknya dalam keadaan bersih. Jadi, kuputuskan akan membawanya ke penatu sebelum berangkat ke kampus.

Jungkook mengikutiku, padahal ia tidak punya jadwal kuliah pagi. Bocah laki-laki yang gemar olahraga ini akan pergi ke gymnasium kampus sebelum kelasnya dimulai. Aku bukannya kesal, tapi Jungkook memang sedikit bawel. Sebenarnya dia merupakan adik yang menggemaskan, tapi ia berubah menjadi menyebalkan saat membicarakan tentang pekerjaan paruh waktuku.

"Noona, sudah kubilang keluarlah dari pekerjaanmu," kata Jungkook saat kami baru saja mendapatkan posisi di dalam bus.

"Kau mau bilang kalau membenci Daejib Grup lagi?" kataku mencibir.

"Semua masalah yang kita hadapi itu gara-gara mereka," bisik Jungkook.

"Gajinya besar, bosnya tampan, tempatnya nyaman. Jadi, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini begitu saja."

"Hei, orang tampan dan kaya di Korea banyak. BTS punya tujuh anggota. Pilih salah satu di antara mereka dan hidupmu akan bahagia, Noona."

"Bukannya bahagia, tapi seluruh dunia akan menyorotku," jawabku tepat saat bus kami sampai di halte depan kampus, sehingga aku terbirit meninggalkan Jungkook.

...

Pekerjaanku dimulai pada sore hari setelah melukis sebentar di ruang seni kampus. Dengan ceria, aku menempuh perjalanan cukup jauh untuk sampai ke tempat kerjaku. Aku mengganti pakaianku dengan seragam. Kemeja putih dengan aksen kotak-kotak berwarna merah muda dan rok pendek warna senada. Tak lupa aku memasang pita warna magenta dan pin nama di atas kemeja.

Senja memang waktu terbaik sebelum kegelapan menutup tirai pertunjukan. Toko roti ini dilengkapi cafe yang menyediakan minuman pendamping roti. Cafe mulai ramai, jadi aku pun mulai sibuk mencuci beberapa cangkir.

Ting tong... 

Lonceng yang terpasang di ujung pintu berbunyi tanda ada pelanggan yang masuk. Aku sedang merapikan etalase roti dan melirik sebentar ke arah pintu.

"Selamat datang," sapa rekan kerjaku yang sedang mengantar cappucino ke salah satu meja.

"Aku mencari seseorang," ujar pemuda dengan suara bariton yang sebenarnya tidak asing bagiku.

Sujin terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia lalu menghampiriku dan berbisik. "Yuri, pria itu sungguh datang."

"Siapa?"

"Pria pemilik jaket kulit itu!! Sungguh, dia benar-benar tampan! Kemarin aku mabuk, jadi kupikir aku bermimpi bertemu pangeran! Ternyata dia benar-benar datang!" sahut Sujin girang dan berlebihan.

Aku harus menemuinya untuk meminta maaf karena sayang sekali tadi pagi jaketnya baru saja kubawa ke penatu. Aku melepas sarung tangan plastik yang kukenakan lalu tergesa-gesa menuju ke kafe. Aku mencari-cari pria tampan yang dimaksud Sujin. Akhirnya kutemukan pria paling tampan di kafe. Pemuda tinggi dan tampan itu duduk di meja dekat kaca di pojok ruangan. Pria itu memainkan ponselnya dengan serius, mungkin sedang bermain game.

"Permisi," sapaku membuatnya berhenti sebentar dari aktivitasnya lalu mengangkat kepalanya.

"Kau benar kerja di sini," katanya langsung memberikan tatapan lega.

"Mau kopi dan roti manis?" tanyaku menawarinya makan dan minum.

"Aku tidak suka kopi," jawabnya kembali menoleh ke ponselnya untuk menyelesaikan permainan.

"Bagaimana kalau minuman coklat, smooties, atau milktea?"

"Duduklah," katanya seketika membuat bibir cerewetku terhenti begitu saja.

Pemuda itu menolak tawaranku beberapa kali, tapi akhirnya aku memaksa dengan memberikan secangkir coklat hangat dan roti berbalut gula halus untuknya. Kini aku duduk di hadapannya sambil memperhatikan pemuda itu menyeruput minumannya kepanasan.

"Mana jaketku?" tanyanya singkat sambil meletakkan cangkirnya.

"Jadi, kau memang pria itu. Maaf dan terima kasih karena aku sudah merepotkanmu malam itu."

Pemuda itu tertawa lalu menatap kerah bajuku yang kini dihiasi oleh pita berwarna magenta. "Kemarin malam, kancing bajumu berantakan dan hampir terbuka sampai bawah. Aku hampir saja merapikannya, lho, hehehe."

Aku menyipitkan mata kesal karena candaannya sama sekali tidak lucu. Bagaimana bisa pria itu terang-terangan membahas kancing bajuku yang terbuka kemarin. Dia tidak sadar kalau telah membuat gadis di depannya ini malu.

"Jangan marah padaku karena kau masih berhutang terima kasih padaku," katanya lalu terkekeh pelan.

"Jaketmu masih ada di penatu. Aku harus mengembalikannya dalam keadaan bersih," kataku menimpalinya, tak mau meladeni candaan yang menyebalkan.

Pemuda itu melongo memiringkan kepalanya menatap wajahku yang merasa tak bersalah ini. Ia rasa kedatangannya hari ini menjadi sia-sia. Pemuda itu lalu berdeham, kemudian menggigit roti berbalut gula halus yang tersaji di hadapannya dengan lahap.

Aku tertawa saat melihat gula putih menempel di sekitar bibir pemuda itu. Dia lucu sekali seperti anak kecil.

"Manis sekali," ujar pemuda itu sambil memandangku, lalu menyeka gula halus di bibirnya dengan jempol.

Aku tidak tahu mana yang menurutnya manis sekali. Roti gula itu atau wajah yang sedang dipandangnya. Tapi, kurasa pria aneh itu memang sedang menggodaku.

Aku memutar mataku, tak bisa menyangkal bahwa pemuda di hadapanku ini sangat merepotkan. Sesungguhnya aku ingin segera menyudahi pertemuan ini, toh jaket miliknya belum bisa kukembalikan sekarang. Jujur saja aku pun sudah mengutuk diri sendiri sejak tersadar seseorang telah membantuku di club malam itu. Aku tidak suka jika harus berurusan dengan orang asing seperti ini. 

Namun, dalam hal ini seharusnya aku memang berterimakasih padanya.

Dia melirikku lagi, sementara aku melontarkan tatapan setengah sinis. Ia malah menyunggingkan senyum tipis.

"Kamu membuatku harus balik kesini lagi untuk mengambil jaketku," keluh pemuda itu kemudian membuatku merasa tak enak hati.

Dengan canggung aku memutuskan untuk memberikan alternatif. "Bagaimana kalau aku saja yang mengantarkannya ke rumahmu? Aku tidak mau merepotkanmu."

Pemuda itu mengerutkan alis sambil menggeleng tidak setuju dengan ide gilaku. Ia bahkan menyilangkan tangannya tanda tidak setuju. Ia menyeruput habis minumannya dengan cepat, lalu menghabiskan rotinya. Ia beranjak bermaksud untuk pergi, sehingga meletakkan beberapa uang kertas yang jumlahnya jauh di atas total tagihan. 

Langkahnya berhenti sebelum sampai di depan pintu. Ia berbalik lagi dan menoleh padaku sekilas.

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu canggung.

"Jeon Yuri."

"Yu...ri...," gumam pemuda itu mengulang namaku pelan. "Pastikan jaket kulitku sudah bisa kuambil dua hari lagi."

Aku hanya mengembuskan napas agak kesal dan lelah dengan sikap pemuda yang telah meminjamkan jaket untukku. Pemuda itu seenaknya memutuskan tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.

"Namaku Kim Taehyung," katanya lalu keluar dari toko ini, namun sukses membuatku memperhartikan punggungnya sampai tak terlihat lagi.


***

TBC

Bonus picture buat kalian yang merindukan mereka...




Halo My Lovely Readers...

Bagaimana tahun 2023-mu? Apakah menyenangkan?

Kuharap 2024 menjadi tahun yang lebih baik untuk kalian semua

Yuk, share impianmu di tahun 2024 ini dan mari kita aminkan bersama agar segera tercapai

Kuharap tulisanku bisa menemani hari-hari kalian, semoga kalian menyukainya..



Vote and Comment Please

Continue Reading

You'll Also Like

35.8K 3.7K 10
Mereka telah bahagia, walau dibesarkan dalam tempat yang menampung anak-anak kurang kasih sayang orangtua. Mereka telah bahagia, setelah berhasil mel...
Senandika By Lae

Fanfiction

3.9K 677 14
Ada satu hal yang membuat Abi tidak bisa sepenuhnya membenci Mama. Mama memang suka marah padanya. Tak segan memakinya, atau bahkan menyakiti hatinya...
74.7K 8.3K 21
I'm the lost soul Filled with regret Where joy use to live Regret for decisions made And opportunities missed For the pain I caused and The pain I f...
5.2K 1.6K 29
"Jika kau hadir hanya untuk menjadi melodi, ku harap kau tak perlu susah payah hadir dalam melodi kehidupanku." - Jeon Jungkook. "Aku berusaha untuk...