SPINE BREAKER

By Mira_Kakumirai

1.6K 234 259

Spine Breaker mungkin adalah julukan yang cocok untukku. Aku adalah si pembuat masalah dan Ayah yang selalu m... More

The Characters
PROLOG
THE LEATHER JACKET
THE RECORDING
I WANT IT TOO
YOU HAVE NO CHOICE
UNANSWERED QUESTIONS
NOT MY HABIT
NOBODY KNOWS
MY WORST BIRTHDAY
SOMETHING LOST
I DON'T KNOW ANYTHING
THE BOY ON THE PLAYGROUND
THE KILLER AND THE INNOCENT
STAY WITH ME
SIBLING RIVALRY
PLEASE, DON'T CHANGE

SWEET NIGHT

122 13 20
By Mira_Kakumirai

Kim Taehyung

Kejaksaan Bicara Soal Video Anonim terkait Kasus Pembunuhan Gilsijang.

Pagi ini, tak sengaja aku membaca sekilas surat kabar yang tergeletak di meja apartemen Jimin. Entah sejak kapan, Jimin hobi membaca surat kabar mengingat koran itu adalah produk kantor berita PJ News milik keluarganya. Jimin mengumpulkan banyak majalah dan menumpuknya rapi di salah satu rak di kamarnya.

Aku menginap di flat Jimin sejak dua hari yang lalu setelah mendapat hukuman dari Ayah karena tidak ikut dalam pertemuan keluarga. Meski telah melarikan diri, tapi masalah rumah tidak juga lepas dariku saat ponselku berbunyi.

Kim Namjoon meneleponku lagi. Kulihat riwayat panggilan masuk darinya sebanyak delapan kali sejak pagi tadi. Ia juga mengirimiku pesan beberapa kali.

Tuan Muda, Anda di mana?

Anda tidak pulang?

Anda menginap lagi di apartemen Park Jimin?

Tuan Muda, jangan lupa nanti malam.

Tuan Muda, apa perlu saya jemput?

Tuan Muda, kabari saya kalau Anda ingin dijemput.

Dia mirip sekali dengan ayahnya saat masih bekerja di rumah kami dahulu. Kim Namjoon kini menjadi sekretaris pribadi ayahku menggantikan ayahnya. Ya, seperti yang semua orang ketahui, Kim Nam-ok kini mendekam di penjara karena melakukan pembunuhan seorang pria di Gilsijang.

Aku tidak ada niat sedikit pun untuk membalas pesan maupun mengangkat telepon Namjoon-Hyung. Aku bisa menebak ia akan mengomel dan memintaku menuruti aturan yang dibuat Ayah sejak bertahun-tahun yang lalu. 

Ini tentang ulangtahun Seokjin-Hyung. Melihat kalender yang menggantung di dapur apartemen Jimin membuatku yakin alasan Kim Namjoon mencariku adalah untuk memastikan kehadiranku di pesta ulangtahun itu.

"Ponselmu berdering terus. Kenapa tidak diangkat?" tanya Jimin yang sedang bercermin merapikan rambutnya.

"Tidak perlu. Aku sudah tahu apa yang terjadi di rumahku pagi ini."

"Kim Taehyung kabur dari rumah setelah mendapat hukuman dari ayahnya," tebak Jimin lalu melempar hoodie berwarna putih kepadaku, pakaian miliknya yang ingin kupinjam.

"Itu salah satunya saja. Yang terpenting adalah tanggal 4 Desember adalah ulangtahun Seokjin-Hyung."

"Hal ini terjadi setiap tahun. Kau selalu ingin kabur dari acara itu."

"Ayah menghukumku baru-baru ini. Siapa juga yang ingin menemui orang yang baru saja menghukummu?" ucapku mengeluh sembari melangkah ke kamar mandi. "Aku paling benci kalau Ayah marah sambil minum wine. Dia bisa saja melempar gelasnya padaku. Bagaimana kalau tiba-tiba botol wine yang dilemparnya? Aku bisa mati, Jimin."

"Itu tidak akan terjadi kalau kau menjadi anak baik."

...

Kini kami sampai di kampus. Jimin dan aku sama-sama berada di Fakultas Bisnis karena berasal dari keluarga pemilik perusahaan. Jimin adalah ahli waris salah satu perusahaan media, sehingga atas keinginan dan inisiatif sendiri, ia mengambil jurusan ini. Sedangkan aku, ayahku adalah pelaku utama yang menyebabkanku terjebak di sini. Kata Ibu, aku harus mengambil jurusan bisnis kalau mau bertahan hidup sebagai Kim Taehyung di dalam keluarga.

Ponselku berdering lagi, bahkan ketika aku masih berada di kelas. Aku menenteng jaket kulit dan menyelipkan rokok elektrik di saku celana, keluar dari kelas setelah mata kuliah tentang pembukuan selesai.

Aku melihat layar ponselku yang masih setia bergetar. Untuk kesekian kalinya, dua puluh satu kali dalam satu hari, ibuku menelepon.

"Hei, Kim Taehyung! Kenapa baru mengangkat telepon?!!" teriak Ibu ketika aku baru saja menempelkan ponsel di telingaku.

"Aku ada kelas, Ibu."

"Syukurlah kau masih ikut kelas dan tidak membolos," ujar Ibu. "Pulanglah. Kalau tidak Ibu akan sedih."

"Aku menginap di tempat Jimin, jadi berhentilah pura-pura sedih."

"Apa Jimin lebih penting daripada keluargamu?"

"Tepat sekali," candaku.

"Ulangtahun Seokjin, kau ingat?" tanya Ibu tanpa basa-basi dan sesuai dugaanku.

"Aku tidak bisa hadir," tegasku lalu menutup telepon.

Jimin muncul dengan wajah judgemental-nya. "Kau itu cuma minta uang untuk kesenanganmu sendiri, tapi tidak pernah mendengarkan orangtuamu."

"Acara ulangtahun Seokjin-Hyung itu cuma ajang pamer untuk memvalidasi bahwa Kim Seokwoo dari Daejib telah berhasil mendidik putra sulungnya yang pandai mengelola Daeppan. Sedangkan ulangtahunku tidak pernah dirayakan karena aku tidak berguna sama sekali. Atau mungkin Ayah sudah lupa tanggal lahirku."

Bukannya aku iri dan ingin perayaan ulangtahun yang mewah, tapi kenyataan ini terjadi sejak dahulu, bahkan ketika aku belum paham soal warisan. Sejak awal, Ayah mungkin sama sekali tidak pernah melihatku.

Jimin menatapku iba. "Baiklah, sekarang kau mau melakukan apa? Bar? Billiard? Atau bermain game?"

"Bar."

Seperti kebiasaan kami, aku menyewa meja di bar langganan kami. Aku memesan minuman yang mahal meski sebenarnya aku bukan peminum yang andal. Aku meminta beberapa gadis cantik untuk menemani kami berpesta. Jangan salah paham, aku ini cupu. Sebenarnya aku tidak tertarik, tapi Jimin menyukainya. Itu juga salah satu cara untuk mengundang teman-temanku bergabung.

Jimin memang pandai berpesta. Kulihat ia banyak menghabiskan waktunya untuk menari di keramaian ketika playlist musik yang diputar cocok dengan seleranya. Sementara itu, aku hanya duduk sambil menyesap wine dari gelas-gelas panjang dan memakan cemilan yang diantarkan ke meja kami. 

Dua orang gadis duduk mengapit di sebelahku, menawarkan untuk menuang minuman lagi. "Biar kutambahkan lagi, Tuan."

"Tidak, tidak, sudah cukup," ucapku menolak.

Sesekali gadis-gadis itu menggodaku, mengangkat gaunnya untuk memperlihatkan kulit pahanya lebih banyak padaku. Aku hanya terkekeh acuh saat menatap mata mereka yang mengedip genit. Aku juga paham mereka hanya bekerja dan kadang terpaksa, merelakan diri demi mendapatkan uang. Dunia memang sekejam itu.

Sialnya, ponselku berdering lagi. Setelah belasan kali Kim Namjoon menelepon, kini panggilan itu berasal dari Jung Hoseok yang bekerja sebagai sekretaris pribadi kakakku. Aku tahu kegemparan pasti terjadi di rumah karena batang hidungku belum muncul saat pesta ulang tahun Seokjin-Hyung seharusnya sudah dimulai.

"Astaga, ini hari yang buruk," keluhku.

Aku melempar ponselku begitu saja. Lagi-lagi, tidak ada niat sedikitpun untuk menerima panggilan siapapun malam ini. Ponselku jatuh di paha gadis penggoda yang duduk di sebelah kananku.

"Tuan, ada panggilan masuk. Mengapa tidak diterima?" tanya gadis itu sambil menyodorkan ponselku.

"Itu urusanku. Kau tidak perlu ikut campur urusan pribadi pelanggan."

...

"Lepaskan aku!!" teriak seseorang dari meja bar tepat di depan bartender, diikuti dengan suara berisik dan kursi yang jatuh.

Tentu saja aku berdiri dan beranjak dari tempatku untuk memastikan apa yang terjadi. Kulihat ada seorang gadis yang tersungkur di lantai. Gadis itu kemudian berdiri dengan sempoyongan, tanda sedang mabuk berat.

Setengah pakaiannya basah, sepertinya bir yang diminumnya tumpah membasahi sebagian pakaiannya. Matanya berair dan memerah, ia kelihatan kacau sekali.

"Jangan menyentuhku sembarangan!!" teriak gadis itu sambil menunjuk-nunjuk seorang pria perlente yang ada di depannya.

"Aku hanya ingin membantumu. Kau butuh uang? Butuh pekerjaan? Aku bisa memberimu banyak," ujar si pria tidak tahu malu mengundang suara-suara dari orang-orang di sekitarnya.

Gadis itu meneguk gelasnya sampai habis lalu menampar pria gila yang hampir melecehkannya itu. Pria itu memegangi pipinya lalu menoleh dengan tatapan nyalang yang cukup mengerikan. Kalau tidak ada yang menahannya, gadis itu mungkin sudah diserang.

"Wow!!! Fantastis!" komentar Jimin yang kini berdiri di sampingku menikmati pertunjukan seperti biasanya.

"Yuri, hentikan. Ayo kita pulang saja," ajak seorang pemuda yang kuyakin adalah teman kerjanya.

"Minki, kau bilang aku akan mendapatkan malam yang manis kalau melupakan masalahku sejenak. Aku tidak mau pulang, aku ingin di sini saja!!" teriak gadis itu.

"Yuri, jangan! Ayo, pulang saja!" ajak teman gadisnya yang mengekor di belakang pemuda bernama Minki itu.

Gadis itu pun menggeleng sambil menangis. "Aku tahu Jungkook membenci Daejib. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku memang butuh uang! Lagipula, siapa bilang Daejib menyebabkan semua masalah di keluargaku?!!"

Apa dia gila? Dia baru saja membicarakan tentang Daejib, perusahaan makanan terbesar milik keluargaku. Dia bicara melantur dan keadaannya sedang mabuk, tapi hal semacam ini bisa menjadi masalah bagi perusahaan kalau beritanya sampai diketahui publik. Kuharap tidak ada orang iseng yang diam-diam merekam kejadian ini hanya untuk kesenangan dan popularitas akun media sosialnya.

"Taehyung, kau harus hentikan dia," bisik Jimin menepuk pundakku.

"Daejib...,"

Aku menerjang kerumunan dan menarik tangan gadis itu sebelum ia melontarkan kalimat tentang Daejib lagi. Aku membawanya keluar dari dalam bar meski ia terus mencoba melepaskan tangannya dari cengkramanku. Kudengar teman-temannya juga meneriakiku karena membawa paksa gadis itu pergi. Pria tak tahu malu tadi pun berteriak marah seolah aku telah merebut sasarannya.

Di luar bar, ketika lampu temaram yang dipasang berwarna kemerahan, kulihat wajahnya samar-samar. Kulihat jelas pakaiannya yang berantakan. Kemeja putihnya basah serta kancing bajunya terbuka sehingga hampir memperlihatkan dadanya.

"Siapa kamu? Kamu juga tidak boleh menyentuhku sembarangan!" teriak gadis itu sempat memukuliku dengan tinjunya yang mungil.

Aku membuka jaket kulit kesayanganku dan kupakaikan padanya. Aku hanya ingin menutupi bajunya yang berantakan, tapi tubuhnya gemetar ketakutan karena aku juga seorang pria asing yang seharusnya tidak mendekatinya sekarang.

Gadis itu cegukan lalu menatapku lekat. Matanya sangat cantik. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Namun, aku memalingkan wajah saat tak sengaja memperhatikan kancing bajunya.

"Kancing bajumu. Bisakah kau merapikannya?"

"Jungkook benar. Banyak orang Korea yang tampan," katanya melantur, masih menatapku lekat.

"Hei, kau mabuk berat," ujarku lalu menaikkan resleting jaket kulit yang kuberikan padanya. "Di mana rumahmu? Aku bisa mengantarmu pulang."

Aku serius berniat baik, tapi gadis itu tidak mendengarkanku. Ia kemudian kehilangan kesadarannya, jatuh tertidur begitu saja. Aku menopangnya, kepalanya pun terkulai di pundakku.

"Rupanya malam ini tidak seburuk itu. Seharusnya malam ini menjadi lebih manis kalau kamu tidak tertidur," ujarku pelan di telinganya.

Gadis itu mendengkur halus. Sayang sekali ia tertidur, padahal aku ingin berkenalan dengannya. Kalau saja ia bisa menunjukkan di mana rumahnya, aku pasti akan mengantarnya pulang. Ah, paling tidak, seharusnya aku menanyakan namanya.

Dua pasang teman gadis ini datang menghampiri kami. Mereka membungkuk padaku, salah satunya mengambil alih tubuh gadis itu untuk memapahnya. Aku masih memadangi wajah layu gadis itu, dan jaketku yang telah berhasil melindunginya dari malam musim dingin. Apalagi bajunya basah. Entahlah, semoga saja esok hari dia tidak terserang demam.

"Maaf, Tuan, kami akan membawanya pulang. Anda bisa mengambil jaketnya kembali di Toko Roti Daeppan. Kami semua bekerja di sana."

Tentu aku sedikit terkejut. Dari sekian banyak toko roti dan dari sekian banyak tempat kerja, mengapa gadis itu harus bekerja di toko yang dikelola kakakku sejak empat tahun yang lalu itu. Entah ini keberuntungan atau kesialan, tentu aku juga berpikir untuk menemuinya lagi di Daeppan dengan alasan ingin mengambil kembali jaket kesayanganku.

Mereka menghentikan taksi yang melintas dan berlalu begitu saja setelah kedua teman gadis itu mengucapkan terima kasih yang berlebihan.

"TIN TINNNN!!!"

Suara klakson mobil yang amat kukenal terdengar dari arah jalanan ketika aku hendak masuk lagi ke dalam bar. Aku menoleh dan melihat mobil Seokjin-Hyung di sana. Sosok Jung Hoseok terlihat ketika ia menurunkan kaca mobil. Wajahnya tersenyum bangga karena telah

"Naiklah, Tuan Muda Seokjin menunggumu."

"Hoseok-Hyung? Bukannya acaranya sudah selesai?"

"Anda harus datang di After Party, Tuan Muda Taehyung."

***


Kim Seokjin


Sejak ibu kandungku meninggal, hari-hariku tidak pernah semenyenangkan dulu. Mungkin itu juga sebabnya aku jadi lebih banyak diam. Sebenarnya Nyonya Taeyeon, Ibu Taehyung, sangat baik dan telah berusaha keras untuk menggantikan ibuku. Namun, setiap kali melihatnya, aku selalu teringat pancaran kesedihan di mata ibuku.

Menurut cerita semua orang, Ayah menikah dengan Nyonya Taeyeon saat aku masih berusia dua tahun. Saat itu ibu kandungku masih ada dan kami hidup berdampingan. Ibu dan Nyonya Taeyeon sangat rukun, mereka baik-baik saja. Ibu menyayangi Taehyung, seperti Nyonya Taeyeon menyayangiku. Kurasa tidak pernah ada masalah sampai senyuman di wajah ibuku memudar suatu waktu. Mungkin saja penyebabnya bukan Nyonya Taeyeon, pikirku. Beberapa kali kudapati ibuku menangis setelah keluar dari ruangan Ayah. Aku tidak tahu apa-apa, tapi kurasa Taehyung mengetahui sesuatu. Namun, aku tidak yakin Taehyung masih ingat karena saat itu ia masih terlalu kecil.

Taehyung memang anak yang nakal. Aku tidak melihatnya di rumah selama dua hari belakangan. Kudengar dari Hoseok, anak itu kabur dari rumah setelah mendapat hukuman karena membuat masalah di kampusnya.

Aku tidak terlalu peduli, karena Sekretaris Kim Namjoon biasanya berhasil membawa anak itu pulang. Kalau saja aku bisa membantunya, aku ingin sekali mengurung Taehyung di dalam sangkar burung dan memaksanya untuk menceritakan keluh kesah yang menjadi alasannya berbuat nakal.

Hari ini adalah hari ulangtahunku. Seperti biasa, malam ini ada pesta yang diselenggarakan Daejib untukku. Sebenarnya Ayah mulai menjadikan pesta ulangtahun anggota keluarga sebagai salah satu strategi marketing. Jadi, pesta ini tidak ada bagus-bagusnya selain hadiah yang kuterima dari rekan-rekan bisnis Daejib.

Empat tahun yang lalu, aku dihadiahi Daeppan oleh Ayah di hari ulangtahunku. Hingga kini, bisnis roti yang kujalankan selalu mengalami kemajuan. Entah sejak kapan pula, Daeppan menjadi tempat terfavorit bagiku. Aku senang berada di sana, karena wajah-wajah bahagia pelangganku, berikut dengan kegembiraan yang tercipta di dapur dan kantor belakang.

"Selamat pagi," ucapku ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam Daeppan.

"Tuan Seokjin, selamat datang," sapa pegawaiku ramah.

"Di mana Yuri?" tanyaku ketika tak melihat gadis ceria itu di depan etalase roti.

"Kelihatannya hari ini dia sedang kurang bersemangat. Dia masih di ruang staf," kata Sujin yang selalu tampil cantik dengan rambut pendeknya.

Aku hendak menghampiri gadis bernama Yuri yang sebenarnya sudah membuatku tertarik sejak pertama kali ia mendaftar bekerja di sini. Namun, saat aku baru saja membuka pintu ruang staf, kulihat gadis itu sedang duduk berpangku tangan sambil memandangi foto ayahnya. Haruskah aku memberikannya waktu sejenak?

"Hei, apa kau sakit?" tanyaku dari ujung pintu.

Yuri terkesiap lalu menoleh dan menampilkan wajah sembabnya. Apakah ia baru saja menangis?

"Ah, tidak. Maaf, Tuan. Aku harusnya bekerja giat karena ini hari ulangtahun Anda," ucap gadis itu langsung berubah ceria.

"Kau mengingatnya dengan baik," komentarku.

"Hari-hari besar seperti ini harus diingat," katanya lalu beranjak menuju ke depan cermin yang tergantung di dekat jendela.

Ia merapikan rambut dan pita berwarna pink yang melingkar di lehernya, serta celemek berwarna pink berlogo Daeppan. Kesedihannya segera terhapus. Ia tersenyum manis saat mata kami bertemu ketika ia sedang bercermin.

"Kami menyiapkan sesuatu untuk Anda, Tuan," ucapnya lalu berlari kecil keluar dari ruangan itu melewatiku begitu saja.

Dia melambaikan tangan, memintaku untuk mengikutinya. Seorang pegawai lain menyodorkan bunga padaku. Entah dari mana, confetti menghujani kepalaku dan teriakan meriah menggema di toko roti yang masih belum buka ini. Hoseok adalah salah satu pelaku dari kericuhan imut yang dilakukan oleh karyawan-karyawanku. Sebuah kue ulangtahun besar dengan lilin di atasnya digiring ke tengah-tengah cafetaria.

"Anda harus meniup lilin dan mengucapkan doa," kata Yuri di tengah-tengah lagu Selamat Ulang Tahun yang dinyanyikan kompak oleh yang lainnya.

...

Yuri adalah salah satu alasan Daeppan menjadi tempat favoritku. Entah kenapa, aku senang berada di sekitarnya. Bahkan hanya melihat sosoknya dari jauh, aku bisa senyum-senyum sendiri. Ia bersemangat dan memiliki aura positif. Karena itu, aku sedikit khawatir saat melihatnya berpangkutangan dan menangis dalam diam.

"Sepertinya hari ini adalah peringatan kematian ayahnya. Makanya dia sedikit berbeda," ujar Hoseok saat kami mengendarai mobil untuk pulang ke rumah sore itu.

"Apa kita juga menerima profil sedetail itu saat penerimaan pegawai?" tanyaku penasaran darimana Hoseok mengetahui informasi pribadi seperti itu.

"Kau pikir untuk apa telingaku diciptakan?" balasnya mulai memperlihatkan sifat aslinya yang kurangajar padaku.

"Kau pasti menguping pembicaraan mereka, ya?"

Hari besar yang diingat gadis itu adalah hari kematian ayahnya, yang kebetulan bertepatan dengan hari ulangtahunku. Jadi, dia bukan mengingat tanggal ulangtahunku. Baiklah, sebaiknya aku tidak boleh terlalu sombong.

Kami pun sampai di rumah dan kulihat Namjoon sedang mondar-mandir sambil menggenggam ponselnya. Ia kelihatan panik, bahkan hampir tak menyadari kedatanganku.

"Sekretaris Kim, kenapa kau masih di sini?" tanyaku penasaran, karena seharusnya ia mempersiapkan berbagai keperluan Ayah untuk tampil maksimal di pesta nanti.

"Skrip sambutan Tuan Seokwoo sudah siap dan beliau sedang bersiap-siap sekarang," jawab pemuda yang tinggi itu.

"Bagaimana dengan Taehyung?" tanyaku.

"Itu dia masalahnya. Dia tidak menjawab teleponku sejak pagi tadi. Pesanku hanya dibaca dan tidak dibalas."

"Biar Hoseok saja yang mengurusnya," kataku lalu melangkah menuju kamar besar di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Taehyung.

...

Dengan segala kewibawaannya, Ayah memberikan sambutan sebagai pembuka acara. Kemudian, nyanyian Selamat Ulangtahun terdengar cukup meriah. Aku meniup lilin dan memotong kue tart super besar. Secara simbolis, aku harus memberikan sepotong kue kepada Ayah dan Ibu Taehyung, serta kepada perwakilan Direksi Daejib.

Aku diminta mengucapkan beberapa kalimat sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih. Aku juga harus menyampaikan harapan untuk Daejib dan untuk diriku sendiri di depan semua tamu. Ayah ingin aku memperlihatkan ambisi dan visi misi kepada para pebisnis, pesaing Daejib, rekan-rekan Ayah, dan tentu kepada teman-temanku. Ayah harus mendapatkan pujian karena telah mendidik dan membesarkan seorang penerus yang cakap. Inilah hal yang dibenci Taehyung.

"Taehyung belum datang juga?" bisik Ayah kepada Namjoon yang berdiri di dekat podium.

"Jung Hoseok sedang mencarinya, Tuan," jawab Namjoon.

...

Aku meminta Hoseok untuk mencari adikku. Sebenarnya dibandingkan aku, Hoseok lebih mengenal Taehyung. Pasalnya, Taehyung adalah anak yang mudah berteman dengan siapapun, jadi sejak lama Taehyung tidak membuat jarak dengan Hoseok meskipun ia bekerja sebagai sekretaris di keluarga ini. Hoseok tahu tentang kebiasaan-kebiasaan Taehyung. Kalau ia tidak ada di kampusnya, ia pasti berada di apartemen Jimin. Kalau tidak ditemukan, dia mungkin pergi bermain bersama teman-temannya di tempat kesukaannya.

Hoseok menelepon di akhir acara. Ia berhasil menemukan adik tiriku yang bandel itu. Aku menitipkan pakaian untuk dikenakan Taehyung karena sesuai prediksiku, anak itu mungkin hanya mengenakan kaos putih, celana jeans, dan jaket kulit kesayangannya. Setidaknya ia harus menyesuaikan pakaiannyan dengan tema semi formal di acaraku.

Pukul sepuluh pesta itu berakhir. Tapi, aku mengadakan After Party khusus untuk teman-teman dan rekan bisnisku. Ayah dan tamu-tamunya harus pulang mengingat malam yang terlalu larut tidak baik untuk orang-orang berumur. Jadi, kupastikan Taehyung datang di After Party meskipun terlambat.

Aku berkumpul dengan teman-temanku di pinggir kolam renang di belakang ruang makan rumah kami. Kami menikmati salah satu anggur termahal di dunia yang dihadiahkan ayahku. Namjoon mengawasi After Party yang kuselenggarakan atas persetujuan Ayah, sementara Ayah memilih untuk beristirahat di kamar.

Hoseok mengirim pesan memberitahu kalau Taehyung sedang bersiap-siap di kamarnya. Aku meminta Hoseok merapikan pakaian dan rambut Taehyung agar dia tidak muncul di After Party asal-asalan.

Anak itu terlihat berjalan dengan langkah lebar, disertai raut wajah yang kesal. Halaman belakang dan ruang makan kami hanya dibatasi oleh pintu kaca sehingga aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku mengambil lagi satu gelas anggur putih untuknya, kemudian menghampirinya begitu ia keluar dari dalam rumah.

"Taehyung!" panggilku ceria untuk menghilangkan rasa kesal di hatinya.

"Kau harus mengucapkan selamat ulangtahun untuk kakakmu," ujar Hoseok yang mengekor di belakang Taehyung.

"Bukankah dia sudah mendapatkan banyak ucapan selamat dari tamu-tamu yang hadir?" balas Taehyung ketus.

"Sudahlah, tidak masalah. Yang penting Taehyung sudah hadir di sini," kataku membuat anak itu mendengus sebal.

Aku menyodorkan anggur putih padanya. Namun, ia menolak dengan alasan tidak ingin terjebak terlalu lama di sini.

"Ini pemaksaan," ujarnya.

"Hei, hati-hati dengan bicaramu, Taehyung. Kakakmu melakukan ini demi kebaikanmu. Kalau kau tidak hadir di After Party juga, hukuman dari Tuan Seokwoo akan ditambah. Kau tahu, kan, kalau Namjoon mengawasimu?"

"Aku tidak ingin bicara denganmu, Hyung," balas Taehyung menatap Hoseok dengan tajam.

"Hentikan, Taehyung. Semua orang melihatmu sekarang," ucapku pelan berusaha menenangkan semuanya.

Tiba-tiba saja Taehyung meraih kerah pakaian pakaianku dan menariknya kuat-kuat. Matanya menunjukkan sorot kemarahan hingga keningnya mengerut.

"Inilah yang tidak kusukai. Aku harus melakukan sesuatu sesuai keinginan kalian, untuk menjaga reputasi Daejib. Aku tidak boleh berbuat sesukaku karena kalian takut dengan penilaian orang!"

"Lepaskan kakakmu, Taehyung-ssi!" teriak Hoseok menjadi sedikit emosi melihatku diperlakukan demikian.

Taehyung segera melepaskan cengkramannya dariku namun tangannya yang terkepal meninju pipi Hoseok dengan keras. Hosoek terjerembab, menabrak meja bundar bertaplak putih tempat gelas-gelas berisi anggur putih disusun.

Gelas-gelas berjatuhan, pecah, dan anggur putih pemberian Ayah tumpah. Semua orang menatap ke arahnya, tapi aku yang merasa malu. Aku tersulut emosi sesaat melihat apa yang terjadi. Anak itu baru saja menghancurkan pestaku.

Hoseok berusaha berdiri, namun pecahan gelas membuat telapak tangannya terluka. Sementara itu, Namjoon muncul dengan tergesa-gesa. Ia melewati kerumuman orang dan sampai di hadapan kami dengan wajah khawatir. Aku yakin Namjoon pasti berharap bukan Taehyung pelakunya. Namun, harapannya pupus. Taehyung memang pelakunya.

"Sudah kubilang berhenti, kenapa kau malah merusak semuanya, Taehyung?!" bentakku sambil membantu Hoseok.

Taehyung hanya diam dan mengalihkan pandangannya. Entah ia menyesal atau apa, yang jelas Taehyung pasti sedang memikirkan cara melarikan diri lagi. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini, melihat sosok Namjoon sudah berdiri di antara orang-orang yang mengerumuninya. Ayah pasti akan memanggilnya lagi.

***


Halo teman-teman. 

Salam kenal buat yang baru nemuin aku, dan terima kasih buat kalian yang sudah mau mampir dan setia menunggu book baru ini.

Karena hari ini adalah hari spesial, maka aku merilis book baru ini untuk menemani akhir pekan kalian di akhir tahun ini, sekaligus merayakan ulangtahun Kim Taehyung.

Bagaimana ceritanya menurut kalian? 

Sebenarnya ini adalah genre family dan brothership, tapi kalian akan merasakan vibes drama korea yang mungkin sedikit menguras emosi kalian. Ini genre yang baru pertama kali kubawakan, lho, jadi aku harap kalian menyukainya.

Love you all.


Vote and Comment, Please




Continue Reading

You'll Also Like

6.2K 1K 29
ASTRONIEL, yang berarti ASTRO dan NIEL. Astro adalah nama pedang yang mempunyai kekuatan 7 gugusan bintang. Sedangkan Niel adalah sosok putra mahkota...
200K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
268K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
66.3K 10.6K 15
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...