ALIF

By Sastra_Lara

6.3M 445K 52K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

31. Aku Disini

90.7K 6K 785
By Sastra_Lara

Mari untuk melestarikan vote dan komen di setiap bab cerita ini sebagai bentuk apresiasi kalian pada penulis.

"Rama suka padamu Lahya."

"Kak Rama saja baru putus, Gus. Mana mungkin bisa suka sama orang lain secepat itu? Mana mereka sempet pacaran lama. Gak mungkinlah bisa move on secepat itu. Kalau memang iya, pasti cari pelaraian, cari temen, atau cari penghibur," jawab Lahya serealistis mungkin.

"Jika kamu tidak percaya, kenapa kamu tidak tanyakan saja langsung. Apa maksud dari semua sikap perhatian yang dia berikan untuk kamu?"

Wah, benar-benar kalimat Gus polisi melekat bak lem di kepalanya sekarang. Itu obrolan mereka sebelum pulang dari ponpes. Lahya hanya bisa mencoret-coret kertas kosong dengan tanda tangan abal-abalnya. Perpustakaan di jam istirahat sangat sepi. Ya, memang siapa yang mau ke perpus kalau bukan karena tugas dan hukuman menyusun buku-buku ke rak?

Gus polisi tidak masuk kelas, teman-teman menjauhinya. Entahlah siapa yang bisa Lahya temani mengobrol sekarang? Lahya sedih. Semudah itu mereka mempercayai berita fitnah yang osis publish.

Mana kemarin Gian memarahinya habis-habisan karena berita fitnah itu. Padahal ia sudah menjelaskan siapa Malik sebenarnya. Mereka juga bertemu di rumah, namun hanya sebentar karena katanya Gus polisi ada panggilan dari anggotanya. Untung saja ada Rama yang membelanya.

Bapaknya yang mendengar pertengkaran kecil mereka jadi ikut penasaran. Lagi-lagi ada Rama yang mengalihkan pembahasan, sehingga bapak tidak lagi memperdulikan mereka. Jika dilihat dengan seksama memang ada yang aneh dari sikap Rama. Sikap peduli Rama yang sekarang, berbanding terbalik dengan sikap bodoamatan Rama dulu. Tidak, Rama tidak cuek. Perlu digaris bawahi, antara cuek dan bodoamatan itu berbeda.

Antara peduli dan perhatian pun berbeda. Tapi untuk sekarang Lahya tidak bisa membedakan keduanya. Ada apa dengan Rama sekarang? Apa jangan-jangan yang Gus polisi katakan, benar?

"Allahu Akbar!" gumam Lahya menaruh dengan kasar pulpennya. Ia beralih mengambil jaket biru tua yang tersampir di sandaran kursi perpus.

Lahya memeluk dengan erat jaket milik Gus polisi di atas meja perpustakaan. Jaket yang ia bawa sepuluh tahun lamanya tanpa izin pemiliknya langsung. Lahya malu jika ingin meminta jaket jaket ini pada Alif. Padahal itu niat pertama yang ia akan lakukan saat bertemu Mas Ganteng. Bisakah mas Ganteng yang ia temui dulu, tetap jadi mas Ganteng saja? Tidak usah jadi Gus polisi yang sukanya 'halo dek'?

Lahya mulai mengantuk. Berat rasanya ia mempertahankan matanya tetap terbuka. Sepertinya sebentar lagi ia akan masuk ke alam mimpi. Sialnya, mimpi Lahya dimulai setelah ia melihat ada Gus polisi baru saja datang dari ujung rak buku dekat pintu sana.

Matanya belum sepenuhnya tertutup, tapi semua nampak gelap setelah almamater Rama jatuh menutup seluruh kepalanya. Apa? Rama? Kesadaran Lahya kembali penuh, ia membuka kain yang menutup setengah badannya.

"Kak Rama?"

Rama tersenyum melihat mata Lahya yang terlihat sangat mengantuk di jam istirahat sekarang. "Kirain tadi udah tidur."

Lahya memperbaiki jibabnya yang sedikit merosot maju. Ia clangak-clinguk mencari Alif yang ia pikir itu hanya awal permulaan di alam mimpinya. Namun, Rama tiba-tiba duduk di sampingnya, menghalangi pencariannya.

"Gak latihan Dek? Jam segini seharusnya mulai latihan, kamu malah masih di perpus. Ingat, tersisa beberapa hari lagi. Kamu harus fokus sama persiapan lomba pencak silat kamu dan belajar abai dengan sikap orang-orang yang ada di sekolah ini ke kamu."

"Kak Rama tadi lihat Gus polisi? Lahya tadi lihat. Lahya pikir itu mimpi, tapi ternyata bukan. Tadi itu Gus polisi, kan?" tanya Lahya mengabaikan perhatian Rama lewat kata.

Rama terus mengikuti arah mata Lahya yang masih mengitari rak-rak buku sekitar. "Dek?"

Saat mata Lahya bertemu dengannya, ia berhasil mengunci manik mata Lahya dengan tatapan datarnya. Ia bahkan memperlihatkan raut wajah tidak sukanya saat Lahya mencari keberadaan polisi muda itu.

"Aku disini loh. Kenapa kamu malah cari orang lain? Aku ngomong apa, kamu malah tanya siapa."

Lahya mengerutkan dahi seraya tersenyum terpaksa. "Kak Rama kenapa, sih? Akhir-akhir ini aneh banget. Lahya dengar, kok, Kak Rama tadi ngomong apa."

"Terus kenapa yang kamu cari Gus polisi-Gus polisi terus?"

"Kak?!" panggil Lahya mulai sulit memahami Rama.

Rama mengambil almamaternya yang terhampar di atas meja. Ia kembali memakainya dengan perasaan kecewa. Susah payah ia mengawasi Lahya sedari tadi, sejak kelas Lahya berlangsung di perpus sampai semua temannya pergi dan tidak ada satu pun yang ingin berinteraksi dengan gadis ini. Ia tidak ingin ada yang menyakiti Lahya lagi seperti kemarin, entah itu secara verbal atau fisik.

Ia bahkan sengaja menutupi Lahya dengan almamaternya saat polisi muda itu datang ke perpustakaan. Sengaja ia melakukan ini semua, menjauhkan Lahya dari polisi itu sementara waktu. Ia tidak ingin fitnah itu menjadi-jadi dan yang akan mendapat imbas besarnya adalah Lahya.

"Di UKS lalu, aku nemenin kamu sampai bangun. Kamu cari siapa? Cari Gus polisi, kan? Waktu kamu kena kasus tespek dan hasil USG. Kamu cari aku? Gak, orang yang pertama bela kamu, itu aku, tapi yang kamu cari dan lihat siapa? Polisi itu, kan? Waktu di makam kemarin, kamu pergi bareng aku, Dek. Tapi kenapa pulangnya bareng polisi itu? Sekarang?" tanya Rama berhasil membulatkan mata Lahya karena terkejut dengan pengakuan rasa sakit hatinya.

Tidak ada nada tinggi dari perkataannya. Semua terdengar pelan, namun penuh penekanan. Matanya pun berhasil menyiratkan rasa kecewanya pada Lahya.

Lahya terlihat tidak mau disudutkan. Ia menarik nafas lalu bertanya, "Kak Rama, kita ini sebenarnya apa? Kak Rama siapanya Lahya? Jangan buat Lahya bingung dengan sikap Kak Rama yang semakin hari makin ambigu."

Rama terpaku menatap ponsel Lahya yang bergetar di atas meja. Terpampang dengan jelas panggilan masuk dengan nama 'Gus Polisi'. Mereka berdua saling tatap setelah melihat nama si pemanggil telepon.

"Kak Rama tau? Sikap Kak Rama aneh," ujar Lahya mengabaikan ponselnya.

"Aku aneh kenapa Dek?" tanya Rama dibarengi mengangkat tangannya tidak tahu.

"Sikap kak Rama gak seperti biasanya. Jangan sampai Lahya geer karena sikap peduli kak Rama yang tinggi. Sekarang klarifikasi ke Lahya, apa maksud sikap kak Rama akhir-akhir ini. Biar Lahya bisa memposisikan diri Lahya."

Rama diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia sebenarnya juga tidak tau kenapa harus seperhatian atau sepeduli ini pada Lahya. Ia juga bingung. Bingung harus mencari jawaban kemana atau kesiapa atas sikapnya sendiri.

Lahya berdiri dari kursinya. Terlalu menunggu jawaban Rama. Kenapa pula ia harus mempercayai ucapan Gus polisi? Mana mungkin juga seorang Raden Parama menyukai gadis sepele sepertinya.

"Lahya permisi dulu Kak."

"Tunggu Dek!" kata Rama menahan kursi Lahya dengan kakinya. Ia tidak mengizinkan Lahya beranjak untuk menggeser kursinya agar bisa keluar.

Lahya mengangkat sebelah alisnya. Sabar menunggu jawaban Rama.

"Salah satu alasannya ialah karena kamu junior aku. Kemudian dalam dunia game, ada yang namanya chemistry, sama seperti hubungan. Dan yang paling terakhir, diantara semua siswi pencak silat di sini, cuma kamu yang paling-paling imut," jawab Rama terlihat entang di mata Lahya.

Lahya berdecih remeh. Sesaat kemudian mengangguk, menerima jawaban Rama. Dunia game? Memangnya Lahya sesepele itu ya, bisa disamakan dengan game? Imut? Memangnya Lahya mainan? Game yang bisa dimainin? Dasar manusia friendly bisanya cuma bikin sakit hati.

Bruk!

Lahya dan Rama spontan menoleh saat Nadine dan Anggi jatuh dari balik rak buku. Keduanya terlihat saling menyalahkan satu sama lain.

"Kamu sih main dorong-dorong terus," tuduh Anggi.

"Yang dorong siapa? Kamu sendiri yang jatuh terus main tarik orang!"

Lahya menghela nafas berat. Sangat berat. Malulah dia. Sudah malu pada Rama. Sekarang malu pada dua manusia tidak tau malu ini. Mana semakin membuatnya malu dihadapan Rama.

'—'—'—'

Lahya berlari mengitari lapangan, berat badannya naik. Jadi coach menyuruhnya untuk berlari lebih banyak dari biasanya. Mata hari begitu terik di musim hujan. Sangat mendukung hati Lahya yang panas terbakar api ekspektasinya yang tinggi terhadap Rama.

Lahya menatap nyalang kearah Nadine dan Anggi yang sedang menguji kesabarannya. Kedua manusia itu memamerkan segarnya memakan es krim di pinggir lapangan.

"Ya, gak mau minta maaf, kah?" tanya Nadine saat Lahya berhenti di depan keduanya.

"Ke siapa? Aku punya salah apa?"

Anggi menelan bongkahan kecil es yang ia gigit. "Ke diri sendirilah. Minta maaf karena udah terjun bebas."

"Yang ada kalian berdua harus minta maaf ke aku. Aku tambah malu karena kalian ketahuan ngintip." Lahya duduk berselonjor di tanah lapang. Ia tidak memperdulikan apakah pakaian silatnya nanti akan kotor atau tidak.

"Gimana ya, Ya? Kita tau kok, kamu suka Kak Rama, tapi jangan terjun bebas kek tadilah," tutur Anggi prihatin dengan Lahya.

"Aku cuma minta klarifikasi soal sikap kak Rama akhir-akhir ini. Emang salah?"

"Salah. Edan tenan bocah iki. Kamu gak tau kalau sikap kak Rama dasarnya emang friendly? Dia baik ke semua orang. Gak usah geer," sarkas Nadine tidak suka Lahya dipermainkan oleh Rama.

"Jane namung masalah tresna tapi kok yo loro..." nyanyi Anggi.

"Yen akhire wirang ben wirang pisan

Yen akhire loro ben loro tenan," timpal Lahya memegang dramastis dadanya. Ia tidak marah, ia hanya sedikit kesal dengan dirinya sendiri.

"Opo wong tulus wis garise ngene

Slalu ngancani ilang endinge." sambung Anggi seraya menggerakkan kepalanya ringan menikmati lagu mereka.

"Cah-Cah wirang tenan aku!" sesal Lahya berdiri. Anggi tertawa melihat Lahya yang sebisa mungkin terlihat biasa saja, padahal ia tahu hati anak itu tengah malu dan sakit hati disatu waktu. - Cah-Cah aku beneran malu!

"Aku pergi bentar ya," pamit Lahya tidak sengaja melihat Bu Wina lewat.

"Mau ke mana woy?" teriak Nadine namun diabaikan Lahya.

Lahya berlari kecil menjauhi mereka. Ia mempercepat langkahnya mengikuti Bu Wina yang berjalan di koridor kelas 10. Terlihat guru BK itu mengawasi koridor sekitar menuju samping sekolah. Beberapa kali Lahya harus berhenti dan menjaga jarak dari guru BK itu agar tidak ketahuan.

Lahya sempat melihat Rama bersama teman mahasiswanya tengah asik bercengkrama di gazebo samping sekolah. Tapi ia tidak memperdulikannya, ia tetap melangkah mengikuti Bu Wina menuju belakang sekolah.

Lahya merogoh saku celananya. Tidak ada ponsel didalam. Lahya ingin merekam apa yang tengah guru BK lakukan di antara bunga-bunga di taman belakang sekolah.

"Kok, gak bawa hape sih?" kesal Lahya menepuk ringan kepalanya berulang kali.

Guru BK itu tengah menggali tanah di antara bunga-bunga taman. Lahya menyipitkan matanya memastikan ada bungkusan kecil yang guru BK itu masukkan ke dalam lubang yang telah dibuat itu. Apa itu bibit bunga? Tapi kenapa bibit bunga biasa harus disembuyikan sampai segitunya? Ditanam sebungkus-bungkusnya? Pasti barang itu bukan bibit bunga, tidak mungkin juga bibit bunga tidak dalam bentuk butiran kecil. Sedangkan yang guru BK itu taman seperti bubuk putih.

"Tepung terigu?" tebak Lahya, lalu menggeleng.

"Bedak bayik?" tanya lagi pada dirinya. Tak lama kemudian ia sadar guru BK itu telah selesai menguburkan barang tersebut.

Lahya berbalik dan berlari saat guru BK itu menyelesaikan tugasnya dari taman belakang sekolah. Mata Lahya sempat bertemu Rama yang turun dari gazebo, sepertinya akan kembali mengajar bersama temannya.

Sekarang bertemu atau berpas-pasan dengan Rama hanya malu baginya. Lahya sedikit lega saat menemukan gudang dibawah tangga koridor kelas 10 terbuka. Demi tidak ketahuan oleh Bu Wina, ia memilih masuk ke dalam gudang kebun.

Ya Allah, bantu Lahya- batin Lahya.

Perlahan Lahya mundur menjauh dari pintu gudang. Tentu saja gudang bawah tangga ini kecil, hanya diisi peralatan berkebun. Tidak ada lampu dalam gudang ini. Hanya cahaya dari luar yang masuk lewat pintu.

Saat berbalik, alangkah terkejutnya ia melihat ada Gus polisi berdiri di belakangnya. Lahya mendelik kaget, sampai menutup mulutnya sendiri karena sempat menjerit.

Sama halnya dengan Alif, ia juga terkejut saat tahu siapa yang masuk gudang kebun. Ia pikir tadi tukang kebun, namun kedatangan Lahya lebih membuatnya terkejut.

Tidak ada yang dapat keduanya lakukan, kecuali hanya saling tatap karena sama-sama kaget. Namun, saat  derapan langkah sepatu boot yang berat menyadarkan keduanya.

"Gus!" lirih Lahya takut ketahuan.

"Sshhttt!" Alif bergeser mencari tempat gelap, lalu menggerakkan tangannya meminta Lahya melakukan hal yang sama.

Lahya tidak berani ke tempat gelap. Begini saja ia sudah takut. Remang-remang. Apalagi ada laki-laki dalam satu tempat. Lahya takut traumanya kambuh.

"Jangan takut, kamu percaya saya, kan?" tanya Alif pelan.

Lahya mengangguk, lalu perlahan bergerak masuk ke tempat gelap. Jika Alif bersembunyi ke sebelah kanan, maka Lahya memilih untuk bersembunyi ke sebelah kiri yang sudut atasnya mengerucut. Dalam hati Lahya takut traumanya kambuh.

Lahya bisa melihat Alif berjongkok dengan posisi tangan menutup setangah wajahnya yang tertunduk. Ia bisa melihat polisi muda itu dalam kegelapan. Terus menunduk dan lirih terdengar beristigfar berulang kali.

"Pak, gudangnya biar saya yang kunci, tadi pak Mahmud manggil bapak. Katanya kenapa bisa lolosin anak-anak yang bolos."

"Waduh yang bener kamu?"

"Iya, sepertinya bakal panjang ini urusannya Pak. Mending diurus dulu, ini gudangnya biar saya yang urus!"

Lahya mendongak mendengar suara Rama dari luar gudang. Setelah suara keduanya lenyap, barulah Lahya keluar dari kegelapan dan melihat Rama sudah berdiri didaun pintu gudang. Wajah Rama terlihat sangat masam sekarang.

Lahya berbalik hendak mencari Alif yang ternyata sudah berada di sampingnya. "Gus!"

"Gak apa-apa, kan? Traumanya kambuh?" tanya Alif memastikan terlebih dahulu.

Lahya menggeleng. Memegang kepala dan dadanya yang aman. "Aneh. Kok gak kambuh ya, Gus?"

"Kalian mau keluar atau aku kunciin di sini?" tanya Rama sudah memegang gembok gudang.

"Sabar, Kak Rama." kata Lahya keluar segera dan meninggalkan mereka berdua. Ia tidak ingin berlama-lama bersama Rama. Bertemu Rama akan mengingatkan kembali jawaban Rama atas sikap baik yang dilakukan padanya.

Rama melihat punggung Lahya yang berlari kembali menuju lapangan. Melihat Lahya yang masuk ke gudang bawah tangga membuatnya langsung berlari ke sini. Setelah sebelum ia mengikuti polisi muda itu masuk ke gudang lebih dulu.

"Gemboknya aku taruh di sini," ucap Rama menggantungkan gembok gudang ke gagang pintu.

"Terima kasih Rama."

"Semua yang aku lakukan karena Lahya, bukan sampeyan," ungkap Rama hendak meninggalkan gudang.

Alif menyungging sebelah bibirnya. "Lalu kenapa kamu tidak jujur saja pada Lahya?"

Rama berbalik. "Jujur untuk apa?"

"Kamu cemburu pada saya. Diperpustakaan, kamu tidak ingin Lahya bertemu dengan saya, bukan? Saya pegang omongan kamu yang menganggap Lahya tidak lebih dari junior kamu yang imut."

Rama menukik tajam alisnya. Tatapan datarnya berubah tajam. "Tidak usah ikut campur urusan aku dengan Lahya. Urusan sampeyan disini hanya karena tugas negara. Tidak usah urus-urusan hati orang lain."

"Apa pun yang bersangkutan dengan Lahya, itu urusan saya. Termasuk hatinya. Saya sudah beri kamu kesempatan, tapi kamu sia-siakan."

"Aku gak ngerti apa yang sampeyan maksud, tapi lebih dari itu, berhenti mencapuri urusan perasaan aku dan Lahya."

'—'—'—'

Sore hari. Lahya sudah berganti seragam sekolah. Anggi pun sama. Latihan hari ini cukup menguras tenaga fisik Lahya. Malam nanti ja sudah memiliki janji dengan dua anggota polisi Alif. Ia sudah memberi tahu Hana dan Joni perkara keganjalan dari guru BK yang ia lihat. Mereka akan mendiskusikan hal ini di rumah Nadine nanti malam.

"Kunci yang megang aku atau kamu?" tanya Anggi setelah mngunci ruang silat.

"Coach tadi udah pulang duluan?"

Anggi mengangguk.

"Kamu aja kalau gitu, soalnya aku suka teledor."

Anggi mengangguk lagi, lalu memasukkan kunci dalam saku seragamnya. "Lahya!"

"Hm?"

"Berat badanmu turunin lagi ya?"

Lahya menoleh. "Naiknya, naik banget ya?"

"Iya, aku takut gak kuat pas bantingan nanti."

Lahya menghela nafas. Ia pikir makan banyak tidak akan berpengaruh ke berat badannya. Sepertinya ia harus diet ekstra. Ia ingin puasa, tapi tidak memungkinkan juga bisa puasa saat latihan.

"Jangan tersinggung ya, Ya?"

"Gak, kok. Aku juga ngerasa berat badanku naik, sih," kekeh Lahya di koridor yang sudah sepi.

"KAK LAHYA!" sapa salah satu junior paskibra Lahya dari lapangan dan hanya dibalas anggukan kepala.

"Anak paskibnya belum pada pulang?"

Lahya menggeleng. "Bentar lagi ada lomba LKBB. Mereka juga latihan ekstra untuk lomba."

Lahya mempercepat langkahnya untuk segera keluar. Ia tidak ingin mas Gian memarahinya karena terlambat keluar sekolah. Untuk beberapa hari ini, mas Gian yang akan menggantikan bapak untuk menjemputnya.

"Hati-hati pulangnya," ucap Anggi berbelok kearah parkiran.

"Kamu juga hati-hati," balas Lahya. "Dadah...assalamu'alaikum!" Lahya melambaikan tangannya berjalan keluar gerbang.

Senyum Lahya luntur saat melihat Gian merokok di atas motornya. Pamannya itu belum menyadari kehadirannya karena asik bermain ponsel.

"Mas Gian."

"Eh-," kaget Gian membuang rokoknya begitu saja. Buru-buru melenyapkan sisa asap rokoknya yang mengudara dengan tangan. "Cantiknya Ndoro ratu kita. Gak tau orang sudah nunggu dari tadi."

"Maaf Mas. Biasanya kalo bapak yang jemput gak pernah protes," cemberut Lahya memainkan tali tas ranselnya.

Gian menaikkan standar motornya. "Masalahnya di rumah ada tamu yang cari kamu."

"Tamu? Siapa Mas?"

"Gak tau. Keknya temennya temen kamu yang kemarin. Yang Ning-Ning itu."

"Mba Ayasya?" tebak Lahya dengan semangat.

Gian menyalakan starter motornya. "Bukan. Temennya itu keknya. Cantik. Dia bawa undangan buat kamu."

"Ha?"

'-'-'-'

Assalamu'alaikum para jomsfi.
Gak, mbak author gak lupa kok kalau hari rabu jadwalnya update.

Gimana part ini, makin greget gak? Makin ke sini makin siap dengan segala konflik yang mulai memuncak? Lebih dari itu mending siapin tisu dulu. Takut kalian berekspektasi tinggi sama cerita ini.

Padahal sebelum masuk bab 1 udah dispoiler. Malah banyak yang komen minta happy end🥲

Dialog Rama dan Lahya di perpustakaan adalah dialog author dan Rama asli di dunia nyata lewat whatsapp.

Kalo ditanya, apa cerita ini nyata di dunia penulis atau sekedar fiktif? Jawabanya semua hanyalah fiktif belaka. Tetapi, ada beberapa adegan nyata yang penulis masukkan dalam cerita ini.

Alif ada karena Rama. Rama didunia nyata tak berperan seperti yang penulis harapkan, maka Alif ada sebagai penyempurnanya.

Bwehehe kedengeran seperti pengakuan yah. Sekian dari penulis. Untuk nexttt bab, harus spam dong. Biar Mbak author gak males update😄😄

Nexttt>>

Nexttt>>

Nexttt>>

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 293K 69
ZINNIA : CINTA TANPA KOMA Novelnya masih bisa dipesan📌 ≪•◦ ❈ ◦•≫ Fyi: alurnya masih berantakan, yang rapi versi novelnya. Gak maksa kamu buat baca...
1.4K 184 14
Gak semua orang baik bisa dipercaya. Persahabatan yang awalnya biasa saja berubah ketika satu persatu misteri disekitar mereka terpecahkan. percint...
3.6M 407K 63
Bagaimana kehidupan Alara menjadi seorang istri yang seharusnya dituntun oleh sang suami, tapi ia justru yang menuntun? ━━━━━⋇⋆✦⋆⋇━━━━━ *•.¸♡𝐓𝐄𝐋𝐀...
368K 21K 84
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...