Hujan Bulan Desember

By sebaitrasa

43.9K 6.5K 3.7K

Desember di tahun-tahun sebelumnya, setiap hujan turun bersama angin, akan selalu ada dua gelas teh dan susu... More

Pembuka
Bab 1; Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah
Bab 2; Sudut-sudut Rumah yang Kehilangan Hangatnya
Bab 3; Musim Tempat Luka Itu Tumbuh Kembali
Bab 4; Katanya, Setiap Luka Akan Tiada Setelah Terbiasa
Bab 5; Saat Awan-awan Hitam Terbelah dan Hujan Turun Kembali
Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga
Bab 7; Di antara Garis-garis Senja yang Lenyap dari Langit
Bab 8; Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit
Bab 9; Ketika Kita Bicara Tentang Siapa yang Mencintai Lebih Besar
Bab 10; Setelah Mentari Pergi dan Hujan Turun Mendahului Mendung
Bab 12; Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati
Bab 13; Dalam Malam yang Tenang, Beberapa Hati Kembali Patah
Bab 14; Cinta Tidak Diciptakan untuk Membuat Seseorang Menyakiti yang Lainnya
Bab 15; Bahkan Setelah Musim Berganti, Bintang Tidak Pernah Meninggalkan Langit
Bab 16; Hujan adalah Bahasa Isyarat Paling Jujur di Bumi

Bab 11; Kepada Langit Malam yang Menenggelamkan Bintang-bintang

3K 402 165
By sebaitrasa

Bab 11;
Kepada Langit Malam yang Menenggelamkan Bintang-bintang

___________________________________________


Manado, di tahun-tahun yang Kala lewati tanpa Denta.

Kala tidak tahu kapan tepatnya cinta Papa menghilang. Ia tidak tahu di bulan apa, hari apa, dan tanggal berapa, tepatnya lelaki itu berhenti menaruh nama Kala dalam daftar orang-orang paling ia sayang. Sebab, di bulan-bulan pertama kepindahan mereka ke Manado, Kala masih bisa merasakan sisa-sisa perhatian Papa. Lelaki itu masih sering bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan. Masih sering memberi kabar jika hari itu akan terlambat pulang. Papa masih sering mengantar Kala pergi ke mana-mana, juga masih suka mengiriminya pesan setiap kali Kala belum tiba di rumah.

Makanya, walaupun di hari-hari itu Papa lebih sering berada di luar untuk urusan pekerjaan sementara Kala lebih sering menghabiskan sepanjang hari sendirian, masih ada orang yang akan selalu ia tunggu kepulangannya setiap malam. Masih ada tempat yang dapat ia tuju setiap kali ia merasa kesulitan. Setelah pergi jauh meninggalkan Mama dan Denta di Desember yang menyakitkan itu, dan harus berjuang mati-matian menata hidup dari awal di tempat yang baru, setidaknya, waktu itu Kala masih punya Papa.

Bahkan meskipun ia harus melewati malam-malam yang panjang sendirian, meski ia harus susah payah membiasakan hidup tanpa Denta yang dulu 24 jam selalu bersamanya, dan meski tidak ada satu detik pun yang terasa mudah untuk ia sambut setiap pagi, setidaknya, Kala merasa bahwa Papa masih ada di sana. Masih bersamanya. Masih mencintainya.

Hingga suatu hari, pelan-pelan, perhatian Papa mulai jarang Kala terima. Lelaki itu berhenti menyiapkan sarapan untuknya. Pesan-pesan dari nomor lelaki itu mulai jarang mengisi ruang obrolan mereka. Papa jadi lebih tidak banyak bicara. Terkadang, lelaki itu juga jadi lebih mudah marah. Kesalahan-kesalahan kecil yang Kala perbuat bahkan bisa membuat emosi Papa meledak-ledak. Suara tegas Papa yang dulu akan melembut setiap berbicara kepada ia dan Denta, di hari-hari itu jadi sering sekali membentak. Tangan Papa yang dulu terasa hangat saat ia genggam itu pun tiba-tiba terasa begitu dingin ketika mendarat di wajah Kala, meninggalkan bekas merah tamparan yang bahkan masih tersisa saat ia terbangun di keesokan paginya.

Kala ingat, saat itu, untuk pertama kali ia memberanikan diri membuka akun media sosial yang sebelumnya sudah dihapus oleh Papa. Diam-diam ia membuat akun baru dengan nama orang lain supaya tidak bisa dilacak jejaknya. Namun, sebelum ia sempat mengirim apa pun ke akun Denta yang berhasil ia temukan dalam satu kali pencarian, malam itu Papa pulang. Dengan wajah merah padam lelaki itu menghampiri Kala di kamar dan langsung membanting ponselnya ke lantai. Layar benda itu retak, casing-nya pecah, sama menyakitkannya dengan tamparan Papa yang saat itu menghantam wajah Kala.

Selain memutus seluruh jalan untuk Kala dapat menghubungi keluarganya di Jakarta, ternyata diam-diam Papa juga menyadap ponselnya. Dan di malam itu, Papa marah besar. Suara bentakannya mengisi seluruh penjuru ruangan, kalimat-kalimat kasar dari mulutnya yang saat itu bau tembakau pun seperti mimpi buruk yang membuat Kala harus terjaga semalaman.

Sebelum akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan Kala sendirian, di kamarnya yang dingin, dengan ponsel yang sudah sepenuhnya mati, dan bahkan tidak pernah menyala kembali.

Semenjak malam itu, Kala tidak pernah lagi melewati batasnya. Amarah Papa malam itu adalah hal paling menakutkan untuk Kala dan karenanya ia berusaha untuk tidak pernah lagi membangkitkan sisi gelap Papa yang satu itu. Tidak satu kali pun. Namun, dari hari ke hari, Kala akhirnya sadar, kalau ternyata Papa tidak hanya marah padanya gara-gara Denta. Ternyata Papa tidak hanya menyakitinya ketika ia ketahuan melanggar batas yang lelaki itu ciptakan di rumahnya. Bahkan setelah Kala diam dan menuruti semua keinginannya, lelaki itu masih sering marah. Masih sering membentak. Juga masih sering menyakitinya.

Sampai akhirnya, di tahun ketiga ia hidup di kota itu, Kala akhirnya tahu bahwa Papa punya seorang wanita. Namanya Amara. Beberapa kali, Papa membawa wanita itu ke rumah. Di jam-jam tengah malam menuju dini hari, dengan pakaian terbuka, bau alkohol, juga sisa-sisa asap rokok yang bahkan masih bisa tercium di sepanjang udara dari depan pintu menuju satu kamar kosong di rumah mereka. Hingga suatu hari, di bulan November tahun ketiga kepindahannya dari Jakarta, saat hujan pertama di bulan itu turun luar biasa derasnya, di sanalah puncak dari seluruh amarah Papa. Yang juga menjadi puncak seluruh rasa sakit Kala.

Kala baru kembali dari sekolah hari itu, dengan satu paper bag berisi kue ulang tahun yang dia beli di perjalanan pulang, ketika mendapati pintu kamar Papa terbuka lebar dengan Amara yang ternyata sudah mengeluarkan hampir seluruh isi lemari lelaki itu.

Dengan tergesa-gesa pemuda itu meletakkan kue yang dibelinya ke meja makan dan langsung bergegas ke kamar Papa.

"Anda ngapain di kamar Papa saya?"

Wanita dengan rambut sebahu yang diwarnai cokelat terang itu seketika menoleh dan mengembuskan napas kasar. Tetapi seolah tidak peduli dengan kedatangan Kala, wanita itu berpindah dari lemari satu ke yang lainnya. Kala tidak tahu apa yang sebenarnya wanita itu cari hingga dengan kurang ajar dia menjajah isi kamar lelaki yang bahkan bukan suaminya, di saat pemiliknya jelas-jelas sedang tidak ada. Selama ini, Kala bahkan tidak berani masuk kamar Papa sembarangan. Tidak berani menyentuh barang-barang Papa tanpa izin. Tetapi wanita itu, yang bahkan bukan siapa-siapa, yang mungkin statusnya di rumah itu tidak lebih dari sekadar wanita simpanan, berani sekali mengobrak-abrik hampir semua barang Papa yang ada di dalam ruangan.

"Keluar dari sini!" ujar Kala, penuh penekanan. Tangan pemuda itu sudah mengepal, kuat sekali hingga telapak tangannya seperti terbakar. Namun, wanita di depannya itu hanya membalas dengan suara decihan dan tetap membongkar satu per satu rak lemari Papa.

Hingga sampai di rak paling bawah, sebuah kotak brankas wanita itu temukan. Lalu tanpa permisi dia mengambil sejumlah uang, memasukkannya ke dalam tasnya sendiri dan dengan gerakan tergesa-gesa mengembalikan lagi barang-barang yang tadi ia keluarkan dengan asal. Terakhir, pintu lemari yang semula terbuka wanita itu tutup kembali dengan kasar, hingga suara berdebam menggema di seisi kamar Papa yang seharusnya tenang. Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa wanita itu berjalan melewati Kala. Tetapi dengan cepat pemuda itu menahan lengannya.

"Uang yang selama ini Papa saya kasih buat anda masih belum cukup?"

Wanita itu menatap tajam tangan Kala yang mencengkeram lengannya, sebelum kemudian pandangannya naik dan berhenti tepat di kedua mata Kala yang sore itu juga menyala dengan emosi serupa.

"Kamu anak kecil. Nggak usah ikut campur. Balik aja ke kamarmu sana." Lalu dengan kasar wanita itu menyentak cengkeraman Kala. Hingga terlepas. Hingga ruang gerak wanita itu kembali bebas.

Langkahnya yang sempat terhenti pun kembali bergerak meninggalkan kamar Papa dengan tergesa. Samar-samar Kala juga bisa mendengar ponsel di dalam tas wanita itu berdering, tetapi sepertinya sengaja diabaikan saja.

"Kalau anda pergi dengan keadaan kamar Papa yang kayak gini, Papa bakal ngira saya yang udah ngacak-acak kamarnya, dan nyuri uangnya." Kala kembali mengejar langkah Amara keluar dan sekali lagi pemuda itu berhasil menghentikannya.

Wanita itu tampak kesal. Caranya menatap Kala saat itu jauh lebih tegas dan tajam daripada saat pertama kali pandangan keduanya saling beradu dulu, di malam itu, ketika untuk pertama kali Kala melihat Papa pulang dalam keadaan mabuk berat. Dengan bau alkohol yang luar biasa menyengat. Malam itu, Amara datang bersama Papa ... dan tinggal untuk menghabiskan sisa malam yang masih panjang berdua, di rumah mereka. Di tempat di mana Kala juga ada di dalamnya.

"Bukan-urusan-saya!" Wanita itu mendorong Kala untuk mundur menggunakan telunjuknya, tetapi lagi-lagi Kala berhasil menghalangi jalannya.

Selama ini, Kala tidak pernah melakukan apa-apa. Ia diam saat wanita itu keluar masuk rumah mereka seolah bangunan itu adalah miliknya. Ia tidak pernah mengeluh meski keberadaan wanita itu di sana benar-benar membuat Kala tidak merasa nyaman. Ia tidak pernah berkomentar, bahkan setiap kali Papa membawanya pulang dalam keadaan berantakan dan berakhir menidurinya di kamar. Kala berusaha untuk tidak mengatakan apa pun, bahkan ketika Papa mulai lebih mendengarkan wanita itu dibandingkan dirinya. Lebih percaya wanita itu daripada dirinya. Dan mungkin ... lebih mencintai wanita itu daripada dirinya.

Namun, hari ini, Kala tidak bisa menahannya lagi. Ia bersumpah, akan membiarkan Papa berkencan dengan wanita mana pun, dan bahkan mungkin menikah lagi dengan wanita mana pun, asal bukan dengan wanita itu. Asal bukan dengan wanita yang justru membuat hidup Papa jauh lebih buruk, alih-alih menyembuhkannya yang sedang hancur.

"Anda itu bukan istri Papa. Bukan juga keluarganya. Nggak ada kewajiban Papa untuk menghidupi anda secara finansial. Uang yang anda ambil barusan, itu juga sama sekali bukan hak anda. Apa jadi wanita yang suka tidur sama laki-laki lain aja belum cukup rendah sampai anda harus jadi pencuri juga?"

Kalimat itu sepertinya berhasil memantik api dalam diri Amara. Wanita yang sepertinya baru menginjak usia awal tiga puluhan itu seketika menoleh dengan tajam. Tatapannya yang semula masih tenang saat meninggalkan kamar Papa kini berubah marah, dan di detik itu juga suaranya meninggi lebih dari yang pernah Kala dengar.

"Kamu ini kenapa, sih, ikut campur aja? Papa kamu yang nyari duit aja nggak keberatan ngasih duitnya ke saya. Kamu yang cuma numpang hidup sama dia aja, kok, repot. Udah bagus kamu itu diem aja, jadi anak baik yang nurut sama Papamu. Nggak usah sok-sokan belajar jadi pemberontak kayak gini."

Wanita itu maju satu langkah untuk mendorong Kala mundur dari tempatnya. Di detik itu jejak-jejak aroma asap rokok seperti keluar dari helai pakaian yang wanita itu kenakan. Dan sekarang Kala tahu, akhir-akhir ini Papa menjadi perokok gara-gara siapa. Sekarang ia tahu mengapa Papa yang dulu tidak pernah menyentuh barang itu kini selalu menyimpan beberapa bungkus di laci kamar, dengan sisa-sisa puntungnya yang sering Kala temukan di tempat sampah atau di meja dapur karena lupa dibuang.

Pemuda itu lantas mendecih, sembari membuang muka ke samping. Ia benci asap rokok. Dan aroma dari tubuh wanita itu membuat ia berkali-kali lebih membencinya.

"Papa dulu nggak gini. Sebelum ketemu sama anda, hidup Papa saya enggak sehancur ini."

"Hidup yang kayak gimana yang kamu maksud? Hidupnya saat masih sama mantan istrinya dulu?" Saat itu Kala bisa mendengar Amara tertawa, seolah meremehkan.

Di detik berikutnya, hujan mulai turun di luar. Hujan pertama di bulan November tahun ini. Hujan yang berubah menjadi deras dengan cepat sekali. Kemudian, di antara semua itu, suara Amara kembali terdengar.

"Kalau memang papamu sebahagia itu sama mantan istrinya, dan kalau memang mama kamu itu sebaik yang kamu kira, hari ini kamu nggak akan ada di sini. Kamu masih akan hidup bahagia di kota kelahiranmu sana, dengan keluarga yang juga masih lengkap. Tapi kamu lihat kenyataannya gimana? Kamu sekarang di sini. Dan Papa kamu ketemu sama saya. Jadi, hidup seperti apa yang mau kamu sombongin itu, hah?"

"Seenggaknya Mama saya nggak pernah bikin Papa nyentuh alkohol, ngerokok, pulang tengah malam dalam keadaan mabuk. Selama hidup sama Mama, Papa juga nggak pernah bawa wanita lain ke rumah, dan tidur sama wanita lain di depan mata anaknya sendiri."

"Terus kamu kira dengan begitu mama kamu itu jauh lebih baik dari saya? Asal kamu tau aja, mama kamu yang kamu puja-puja seperti malaikat itu, nggak pernah sebaik yang kamu kira. Wanita itu sama aja kotornya kayak saya. Sama juga bejatnya. Kamu pikir kenapa Papa kamu bisa tertarik sama wanita kayak saya? Itu semua karena sebelum ini dia bahkan pernah jatuh hati sama wanita yang jauh lebih murahan daripada saya."

Kali ini Kala yang melangkah maju. Tidak peduli dengan bau asap rokok yang membuat paru-parunya seperti tercekik, pemuda itu maju dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Amara. Yang di detik itu juga langsung ditepis dengan kasar oleh wanita itu karena tidak terima.

Tetapi Kala juga tidak akan pernah menerima cara wanita itu menjatuhkan Mama di hadapannya. Setelah berhasil merusak Papa, sekarang wanita itu juga berusaha merusak sosok Mama di mata Kala.

"Berhenti bicara hal buruk tentang Mama saya," ucapnya, tegas dan menekan. Tetapi alih-alih diam, wanita itu justru berteriak dengan lebih kencang.

"Itu kenyataannya! Makanya kamu jangan seenaknya ngatain saya wanita murahan, kalau kamu bahkan nggak tau semurahan apa wanita yang selama ini kamu panggil Mama itu!"

"Jangan samain Mama saya dengan wanita yang dari awal memang nggak ada harganya seperti anda!"

"Kurang ajar kamu, ya!"

Bersamaan dengan itu tangan Amara terangkat dan mendarat dengan keras di wajah Kala. Satu jejak tamparan membekas jelas di tempat yang sama, seperti saat pertama kali Papa menamparnya. Namun, untuk membela Mama, Kala akan melakukan apa saja. Termasuk bagaimana ia memangkas seluruh rasa takut untuk balik menampar Amara di detik berikutnya.

"Kala!"

Akan tetapi, di detik yang lainnya, tepat setelah tangan Kala yang bergetar beradu dengan wajah Amara dan suara pekikan wanita itu pecah, Kala bisa mendengar suara lain di antara mereka. Suara yang lebih tegas, lebih keras, juga lebih marah. Itu suara Papa, yang menggema dari ambang pintu rumah mereka.

Kala tidak tahu sejak kapan lelaki itu tiba, ia tidak tahu sejauh mana Papa melihat dan mendengarkan semuanya. Yang ia tahu, saat itu Papa maju dengan langkah lebar-lebar, dengan garis-garis wajah yang sepenuhnya menegang, dan selanjutnya yang Kala terima adalah kerasnya pukulan. Di wajahnya, di tempat yang lagi-lagi sama. Panas dari sisa tamparan Amara di tempat itu bahkan masih tersisa dan sekarang tangan besar Papa menambahkannya.

"Pa—"

Namun, bahkan sebelum Kala sempat menyelesaikan ucapannya, satu tamparan keras kembali ia terima. Kali ini di sisi lain wajahnya. Seketika wajah pemuda itu terasa kebas, kepalanya pening untuk beberapa saat. Sesuatu terasa mencekik tenggorokan Kala hingga suaranya menghilang, hingga ia bahkan tidak bisa untuk sekadar menyebut nama Papa dengan sisa-sisa tenaganya.

Saat itu, Kala cuma berharap Papa menyesali perbuatannya dan meminta maaf untuk dua jejak pukulan yang dia tinggalkan di wajah Kala. Sayangnya, ketika ia mengangkat wajah, ia sama sekali tidak mendapati rasa bersalah di kedua mata Papa. Seolah apa yang baru saja dia lakukan tidak menyakiti Kala, lelaki itu justru mendatangi Amara, memeriksa wajahnya, kemudian samar-samar ia dengar Papa meminta wanita itu menunggu di luar.

Hingga beberapa saat setelahnya, ketika Amara sudah benar-benar pergi dari sana, ketika daun pintu sudah kembali menutup dengan suara bantingan pelan, dan ketika hujan di luar tiba-tiba turun lebih deras dari sebelumnya, Papa kembali ke hadapan Kala. Yang saat itu masih menunduk, menatap bayangannya sendiri di atas lantai. Dengan pipi yang masih kebas, juga seluruh wajah yang rasanya seperti terbakar.

"Papa nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi kurang ajar sama teman Papa."

"Dia masuk kamar Papa dan ambil uang Papa sembarangan."

"Itu uang Papa. Biarin aja. Kenapa kamu marah sampai segitunya?"

"Menurut Papa aku nggak boleh marah? Justru karena itu uang Papa, makanya aku nggak terima. Papa yang kerja keras nyari uang itu, sampai jarang pulang ke rumah, sampai Papa lupa kalau Papa ninggalin aku sendirian, terus tiba-tiba orang lain seenaknya ambil uang itu untuk menuhin keinginannya sendiri? Menurut Papa aku nggak boleh marah?"

"Nggak harus sampai main tangan kayak gitu juga, kan? Kurang ajar itu namanya. Amara itu jauh lebih tua dari kamu, dia perempuan, dan dia temen Papa, kalau kamu lupa."

"Dia nampar aku duluan, Pa." Kala menyahut cepat. "Lagipula dia pantes dapetin itu, untuk semua kata-kata buruk yang dia tujuin buat Mama."

Namun, saat itu Kala lupa, bahwa menyebut nama Mama akan selalu membuat emosi Papa naik lebih dari sebelumnya. Di detik itu juga Papa maju untuk meraih kursi di balik meja makan dan membantingnya. Suara berdebam yang memekakkan seketika membuat Kala memejam, sementara kepalanya merancang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kemudian. Dan dari pandangannya yang berkabut oleh air mata saat itu, Kala bisa melihat Papa mengusap wajah dengan kasar. Sebelum akhirnya dia kembali menghadap Kala, mengangkat telunjuknya yang gemetar, dan menyudutkan pemuda itu seolah ialah yang paling bersalah di antara mereka.

"Jangan pernah sebut orang itu lagi di depan Papa!" katanya.

Satu hal yang tidak Kala mengerti di sini adalah, kenapa semua orang seperti menyalahkan Mama? Pertama, Amara. Dan sekarang Papa. Kenapa mereka bicara seolah-olah Mama yang ia kenal sebagai wanita paling baik selama ini adalah orang yang telah membuat segalanya menjadi sekacau ini? Orang-orang itu menyebut nama Mama seolah wanita itu adalah penjahat, dan Kala tentu tidak terima.

"Aku nggak akan diem aja ketika mamaku direndahin, Pa. Nggak ada satu pun orang yang boleh bicara hal buruk tentang mama, terutama perempuan itu! Aku nggak bisa biarin mamaku dihina sama perempuan kayak Amara!"

"Mama kamu itu nggak lebih baik dari Amara. Apa yang mau kamu bela?"

"Mamaku nggak pernah tidur sama laki-laki lain yang bukan suaminya, kayak apa yang dilakuin perempuan itu sama Papa—"

Akan tetapi, sebelum kalimat Kala benar-benar selesai, tangan Papa lebih dulu terangkat dan satu tamparan lagi berhasil memutus seluruh kalimat Kala. Pemuda itu seketika bungkam, dengan pipi yang kembali memerah dan terasa nyeri luar biasa. Jejak tangan Papa bahkan kini membekas jelas di sana, hingga Kala tidak berani menyentuhnya.

"Tutup mulut kamu kalau kamu nggak tau apa-apa!" Sekarang, derasnya hujan di luar bahkan tidak cukup untuk meredam suara teriakan Papa.

Dan seolah belum cukup, lelaki itu kembali menarik kursi-kursi lainnya dan membantingnya. Gelas-gelas yang semula tertata rapi di meja sebagian juga dia lempar, membentur dinding dapur dan pecah berserakan. Kue yang tadi Kala beli pun dalam sekejap sudah berpindah ke lantai, hancur berantakan.

Dengan perasaan yang juga hancur lebur, Kala mencoba untuk menghentikan Papa. Ia tahu Papa hanya akan berhenti setelah ia meminta maaf, maka sebisa mungkin ia berusaha melakukannya. Saat itu ia berhasil menjangkau tangan Papa, tetapi dengan cepat lelaki itu justru menyentaknya. Terlalu kuat, sampai tubuh Kala terdorong ke belakang, menabrak kursi lain dan berakhir jatuh ke lantai.

"Papa, udah! Aku minta maaf, oke? Tolong Papa berhenti. Papa udah nyakitin aku banyak banget hari ini."

Lelaki itu akhirnya berhenti setelah menendang kaki meja dan berteriak marah keras sekali. Menyisakan hela-hela napas yang terdengar lelah, juga gemuruh hujan yang semakin keras menabraki tanah. Sementara Kala masih terdiam di atas lantai yang dingin, menatap sisa-sisa amarah Papa yang sore itu berhasil menghancurkan seisi dapur. Kursi-kursi yang jatuh, gelas-gelas yang pecah, juga kue ulang tahun yang yang tidak lagi berbentuk.

Kemudian, dalam jeda hening panjang itu, kepala Kala mulai dipenuhi beberapa hal. Diam-diam pemuda itu membayangkan bagaimana jadinya jika hari itu Papa pergi dengan membawa Denta, alih-alih dirinya. Bagaimana jika Denta yang hari ini ada di hadapan Papa, bukan dirinya.

"Seandainya Denta yang ada di sini, apa Papa bakal kayak gini juga?"

Pertanyaan itu Kala bisikkan di sisa-sisa suaranya yang hampir terbenam oleh isakan. Pelan-pelan pandangannya ia bawa menuju jendela yang menembus dari ruang tengah menuju ke luar. Menyaksikan bagaimana tumbuhan di sekitar rumah bergerak dan air dari langit jatuh membelah dedaunan. Sekarang baru bulan November, tetapi hujan sudah turun sederas ini. Baik itu hujan di luar sana, maupun hujan di dalam rumahnya.

Hingga beberapa detik kemudian suara Papa menyela di antara jeda yang tercipta. Kali ini tidak ada lagi bentakan, tidak ada teriakan, tetapi ternyata kalimat Papa yang keluar dengan pelan itu justru terasa lebih menyakitkan.

"Itulah kenapa kamu yang Papa bawa ke sini. Karena Papa tau, diri Papa akan jadi seperti apa setelah ninggalin Jakarta. Dan akan jauh lebih berat lewatin semuanya seandainya Denta yang ada di sini."

"Karena lebih gampang buat Papa lampiasin semuanya ke aku daripada dia? Karena aku cuma punya separuh hati Papa, sedangkan Denta punya seutuhnya?" Saat itu, Kala mencoba kembali menatap Papa. Lelaki itu sudah tidak semarah tadi. Wajahnya sudah jauh lebih tenang dibandingkan saat dia mendaratkan tiga kali tamparan di pipi Kala; satu di kanan dan dua di kiri.

"Kenapa, Pa? Kenapa Papa bisa dengan mudah nyakitin aku, tapi nggak bisa nyakitin Denta? Kita berdua sama-sama anak Papa, kan? Kita berdua sama-sama lahir dari perut Mama, kok. Kita juga lahir di hari yang sama, di waktu yang hampir sama. Aku dan Denta tumbuh sama-sama. Setiap Papa lihat Denta, di situ pasti Papa juga lihat aku. Tapi kenapa, cintanya Papa bisa beda buat kita berdua?"

Dari dulu, Kala selalu ingin tahu jawaban dari pertanyaan yang satu itu. Sayangnya, bahkan sampai hari ini, sampai titik di mana ia tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi, pertanyaan tersebut masih tidak terjawab. Papa sepenuhnya diam. Mungkin, lelaki itu juga tidak dapat menemukan jawabannya. Di dunia ini, ada perasaan-perasaan yang bisa tumbuh tanpa dapat dicegah, atau dihindari. Mungkin cinta Papa untuk Denta juga demikian. Seperti kata Mama dulu, dalam setiap hubungan, akan selalu ada pihak yang dicintai lebih besar. Dan dalam hal ini, Papa kebetulan memilih Denta untuk dicintai lebih besar, tanpa perlu alasan.

"Denta itu mirip sama Papa. Dalam hal apa pun, dia tumbuh dengan cara yang sama seperti Papa. Semua hal yang Papa suka, dia juga suka. Semua yang Papa nggak suka, dia juga nggak suka. Dalam diri dia, Papa seperti lihat diri Papa sendiri. I can't hurt him. Nyakitin dia rasanya sama kayak nyakitin diri Papa sendiri."

"Dan kalau aku, Papa bisa?"

Lagi, untuk kedua kali, pertanyaan Kala tidak mendapat jawaban. Dan kali ini pemuda itu tidak lagi memaksakan. Sepertinya memang benar, cinta Papa yang lebih besar untuk Denta itu tidak membutuhkan alasan. Kala mencoba menerima, walau rasanya menyakitkan.

Pandangan anak itu kemudian berpindah kembali pada kue yang sudah tumpah, yang krim warna-warninya bahkan sudah mengotori lantai. Ia masih bisa menahan diri untuk tidak menangis saat Papa membentaknya, menamparnya, bahkan menyentaknya sampai jatuh. Tetapi melihat kue itu berantakan, rasanya ia benar-benar ingin menangis.

"Hari ini Denta ulang tahun, Pa. Aku juga. Kukasih tau, karena kayaknya Papa lupa."

Sayangnya, di hari di mana ia genap berusia 15 tahun ini, tidak ada ucapan selamat. Tidak ada perayaan. Tidak ada potong kue dan tiup lilin. Tidak ada lagi selamat ulang tahun yang dinyanyikan. Sebagai gantinya, di hari ini, Kala mendapat empat kali tamparan. Satu dari Amara, dan tiga di antaranya dari Papa.

"Aku dulu janji sama Denta, untuk selalu jadi orang pertama yang ngucapin dia selamat tiap kita ulang tahun. Untuk jadi orang pertama yang ngucapin doa panjang umur dan sehat selalu buat dia. Aku udah janji untuk nggak pernah ngelewatin satu tahun pun, tanpa nyanyiin dia lagu selamat ulang tahun. Aku juga udah janji untuk nggak pernah biarin dia niup lilinnya sendirian. Tapi dua tahun ini, aku nggak bisa tepatin janjiku ke dia. Aku cuma bisa doain dia dari jauh, potong kue sendirian, dan tiup lilinku sendirian juga. Tahun ini malah kayaknya aku nggak bisa lakuin itu, karena kuenya udah hancur."

Sepanjang Kala bicara, Papa hanya diam. Kedua tangannya mengepal, tetapi bukan amarah lelaki itu yang sekarang Kala rasakan. Dari sudut tempat Kala berada, di antara pendar lampu yang menyala sore itu, Kala bisa melihat garis-garis kesedihan di wajah Papa. Ada raut penyesalan dari caranya menatap Kala di detik-detik itu, yang jauh berbeda dari caranya menatap Kala beberapa saat yang lalu.

"Aku, tuh, nggak keberatan Papa lebih sayang Denta daripada aku. Aku nggak marah walaupun Papa sekarang jadi suka kasar dan nyakitin aku. Tapi ... aku marah karena Papa bikin aku harus ngelanggar janjiku ke Denta. Aku marah karena Papa bikin aku jadi nggak bisa ngucapin selamat di tiap tanggal ulang tahunnya. Denta pasti juga marah, karena aku nggak bisa nepatin semua janji yang kubuat sendiri."

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, air mata Kala pecah. Jatuh melewati pipinya yang bahkan masih merah. Di detik yang sama, Papa mundur dari hadapan Kala dan berbalik.

"Nggak selamanya ulang tahun harus selalu dirayain," katanya kemudian. "Papa masih ada urusan habis ini."

Dan setelahnya lelaki itu membawa langkahnya pergi. Namun, beberapa langkah jauhnya, tepat sebelum tangan lelaki itu meraih gagang pintu, Kala memanggil dengan lirih, dan di detik itu juga Papa berhenti.

"Pa," panggilnya. Pemuda itu menggigit bibirnya sebentar sembari menatap punggung Papa yang tampak lebar. Semua kejadian di kepalanya seketika seperti dibangkitkan dan berhamburan. Ia sudah menahan ini selama satu tahun terakhir, dan di hari ini, di tanggal ulang tahunnya, ia cuma ingin Papa melakukan satu hal.

Setidaknya kalau Papa tidak bisa mencintainya sama besar seperti dia mencintai Denta, dan kalau Papa tidak mau memberinya kesempatan merayakan tanggal ini bersama saudara kembarnya, Kala hanya ingin lelaki itu hidup seperti dulu. Sehat, secara fisik dan mental.

"Papa nggak mau coba ketemu psikiater? Aku ngerasa Papa nggak baik-baik aja semenjak kita pindah ke sini."

Namun, saat itu, Kala hanya bisa melihat bagaimana bahu Papa naik perlahan dan kembali turun dengan lamban saat lelaki itu menghela napas panjang. Ia tahu, Papa sekarang sepenuhnya dalam keadaan sadar. Lelaki itu sudah pasti mendengar, dan mengerti apa yang ia katakan. Tetapi tidak ada yang lelaki itu sampaikan, tidak persetujuan, tidak juga penolakan.

"Jangan lupa obatin lukamu setelah beresin semua ini nanti."

Hanya itu yang Papa sampaikan untuk kemudian menutup pertemuan mereka hari itu. Karena Kala tahu, malam itu, Papa pasti tidak akan pulang. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Papa tidak akan kembali ke rumah setelah mereka bertengkar, atau setelah menyakitinya.

Maka setelah punggung tegap Papa sepenuhnya tenggelam oleh daun pintu yang menutup perlahan, sore itu, Kala benar-benar sendirian.

Seharusnya, saat itu, ia duduk di depan kue dengan lilin yang dinyalakan. Seharusnya, ia masih bisa merayakan 27 November tahun ini meski hanya sendirian. Seharusnya, di hadapan kue dan lilin-lilin itu, ia masih bisa mengirimkan doa-doa kepada langit dan meminta Tuhan membawa satu di antaranya kepada Denta.

Namun, nyatanya, saat itu ia justru terduduk di atas lantai yang dingin. Dengan jejak-jejak tamparan yang masih perih. Dengan kue yang sudah hancur. Juga dengan air mata yang pelan-pelan kembali turun.

[•••••]

Mendung-mendung tebal sudah hampir rata menutup langit. Senja juga sudah sepenuhnya merapat ke barat. Cerita Kala sudah selesai bermenit-menit yang lalu. Tetapi sepertinya semua hal yang sore itu Kala buka di depan Denta masih menyisakan jejak-jejak sakitnya. Hingga Denta yang sempat menangis hebat itu masih belum bisa mendapatkan kembali ritme normal jantungnya. Masih belum bisa mengatur tarikan napasnya sendiri. Wajahnya yang basah juga belum mengering, bahkan setelah berkali-kali Kala menggunakan tangannya untuk membantu pemuda itu menghapus sisa-sisa air di sana.

"Denta ...." Setelah membiarkan menit-menit panjang sebelumnya berlalu hanya dengan diisi oleh hening, detik itu suara Kala kembali terdengar.

Denta tahu anak itu berusaha menenangkannya, tetapi percuma. Pikirannya terlanjur kacau. Hatinya terlanjur hancur berantakan. Rasanya sakit sekali, ketika ia mengetahui bahwa Papa yang selama ini ia kagumi ternyata sudah berubah sejauh ini. Sakit sekali, saat ia tahu bahwa orang yang ia pikir hidup dengan baik selama bertahun-tahun, ternyata harus melewati hari-hari yang jauh lebih berat dari yang ia miliki. Kala tidak pernah hidup dengan baik bersama Papa. Fakta itu saja sudah cukup menyakiti Denta. Jauh lebih sakit daripada saat mereka pergi meninggalkannya lima tahun yang lalu.

"Apa lagi, Kal?" Menghindari Kala, Denta lebih memilih melabuhkan pandangannya ke jendela kamar yang terbuka, pada tirainya yang bergerak-gerak tertiup angin, juga langit gelap di luar sana.

"Selain yang lo ceritain barusan, apa lagi yang udah Papa lakuin ke lo dan gue nggak pernah tau?"

Namun, sampai di sana, Kala cuma diam dan Denta tidak tahu apa yang anak itu pikirkan. Kedua matanya yang semula masih bisa terlihat tenang itu pelan-pelan mulai memerah dan berlinang. Jari-jari tangannya yang beberapa menit lalu masih membantu Denta menghapus air matanya pun detik itu beralih mencengkeram permukaan sprei dengan kencang. Mungkin, diam-diam anak itu mulai mengingat lagi amarah-amarah Papa, bentakan-bentakan kerasnya, perlakuan-perlakuan kasarnya, juga malam-malam memuakkan yang lelaki itu habiskan bersama Amara.

Mungkin, ingatan Kala sedang memutar lagi hari-hari menyakitkan yang selama lima tahun dia lewati sendirian. Sialnya, melihat Kala yang masih diam dan bagaimana air mata anak itu akhirnya turun perlahan, tangis Denta yang semula sudah reda itu seperti kembali mendesak keluar.

Ia tidak tahu hari-hari semenyakitkan apa lagi yang Kala lewati di sana hingga untuk menceritakannya pun dia tak bisa. Sampai pertanyaan sederhana yang Denta ajukan saat itu bahkan hanya dibalas dengan air mata.

Hingga kemudian, setelah cukup panjang jeda menenggelamkan suara hela-hela napas mereka, saat awan-awan mendung di luar akhirnya pecah menjadi gerimis, dengan suara bergetar Kala membisikkan satu pertanyaan kepadanya.

"Den, kalau gue bilang, gue pengen tinggal di sini aja sama kalian ... gimana?"

Desember lima tahun yang lalu, untuk pertama kali, Denta berdiri di bawah hujan untuk melihat kepergian Kala. Desember tahun ini, hujan turun lagi, tetapi Denta sudah tidak kehujanan. Ia duduk di dalam kamarnya yang hangat, dengan Kala di hadapannya. Dengan wajah yang sama-sama basah. Dengan mata yang sama-sama terluka parah.

"Itu kalimat yang seharusnya gue denger dari lo di hari Papa minta lo buat pergi sama dia, lima tahun yang lalu," ucap Denta, setelah memberi jeda dengan menarik napas dalam-dalam.

Kemudian, tangan pemuda itu bergerak, menghapus jejak-jejak air di wajah Kala, seperti yang tadi juga anak itu lakukan untuknya. Yang ternyata justru membuat Kala menangis dengan lebih keras. Seolah-olah ada beban berat yang sudah dia tahan selama bertahun-tahun dan hari ini akhirnya dia biarkan lepas.

Sementara Denta berbicara kepada dirinya sendiri.

"Setelah semua yang terjadi, gue nggak akan biarin Papa bawa lo lagi, Kal. Nggak akan pernah."

Tanpa mereka sadari, dari balik pintu kamarnya, Mama berdiri dan mendengarkan semua. Sembari menggenggam dua lembar kertas lusuh yang tadi ia temukan di laci kamar tamu, wanita itu ikut menangis. Untuk pertama kalinya, perasaan bersalah seperti memukuli jantung wanita itu dari dalam. Perasaan bersalah yang begitu besar.

[•••••]

Jakarta, di salah satu tahun yang Denta lewati tanpa Kala.

27 November datang lagi. Dan sekarang sudah masuk tahun ke-dua, di mana Denta harus meniup lilin ulang tahunnya sendirian. Dulu, ia selalu suka acara perayaan. Ia suka saat dari pagi buta Mama sudah sibuk di dapur, membuat kue untuk dipotong di malam ulang tahun mereka. Ia suka mendengar lagu Selamat Ulang Tahun dinyanyikan, meski dengan suara Papa yang sumbang. Ia suka setiap ucapan selamat yang datang dari orang-orang, juga doa-doa yang mereka titipkan. Hari itu selalu terasa istimewa, dan Denta paling menyukai 27 November, di antara semua tanggal dalam satu tahun kalender.

Namun, di usianya yang ke-13, 27 November menjadi hari yang paling ingin ia lewati. Ia berhenti menyukai acara perayaan. Berhenti menyukai lagu Selamat Ulang Tahun, juga berhenti menyukai potong kue dan tiup lilin. Sederhananya, Denta tidak lagi menyukai peringatan hari kelahirannya semenjak Kala pergi.

Dan di tahun itu, adalah tahun ke-dua ia menghabiskan 27 Novembernya tanpa perayaan. Kue yang Mama beli siang tadi bahkan masih ia biarkan di meja makan. Kotak kado dari Mama yang dibungkus sedemikian rupa itu juga masih ia diamkan saja di atas ranjang. Belum dibuka. Belum juga membuat ia penasaran untuk melihat isinya.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya semenjak Kala tidak lagi ada di sana, setiap 27 November tiba, Denta akan duduk di balik meja belajar, menghadap ke langit malam dari jendela kamarnya yang dibuka lebar. Mama pernah bilang, katanya, langit malam itu adalah permaidani seluas bumi yang mampu menampung seluruh permohonan. Untuk itu, Denta mencoba mengirim satu setiap tahunnya.

Ia akan menuliskannya di selembar kertas dan melipatnya membentuk pesawat. Karena ia tidak tahu di sudut bumi bagian mana Kala tinggal, ia berharap langit malam yang akan membawa pesan-pesannya kepada Kala.

Kala, ini tahun kedua, dan aku masih nggak tau kamu ada di mana. Nggak tau hari ini kamu rayain ulang tahun bareng siapa, dan dapat ucapan selamat dari siapa aja.

Kalau kamu mau tau, semalam aku bangun tepat jam 12. Langsung nyalain Hp. Buka semua akun media sosial. Aku pikir, tahun ini kamu bakal nepatin janjimu, buat jadi orang pertama yang ngucapin aku selamat ulang tahun. Tapi ternyata enggak. Kamu masih belum inget janjimu dulu.

Tapi, aku nggak marah, Kal. Demi Tuhan, aku nggak marah.

Aku nggak peduli kamu rayain ulang tahun sama siapa. Aku nggak peduli kamu dapat kado apa aja. Aku juga nggak peduli walaupun kamu lupain semua janjimu. Aku cuma pengen kamu hidup dan baik-baik aja, Kal. Di manapun kamu tinggal sekarang, aku cuma berharap kamu nggak kekurangan apa pun. Aku berharap kamu sehat, dan hidup dengan baik.

Kamu mungkin gagal nepatin janjimu, tapi sekarang gantian aku yang pengen bikin janji, Kal. Langit yang jadi saksinya. Jadi, kalau aku ingkar janji, langit juga yang bakal hukum aku nantinya.

Kala, kalau suatu hari nanti kamu pulang, aku janji bakal lakuin apa pun supaya kamu nggak pergi lagi. Bahkan walaupun kamu nggak mau, aku bakal tetep paksa kamu buat tinggal di sini. Walaupun Papa mungkin bakal marah, aku nggak peduli. Aku bakal lakuin apa aja buat bikin kamu tetep di sini, Kal. Karena nggak ada kamu rasanya sakit banget. Aku nggak bisa.

Capek banget nulis bab ini 🥴
Personally aku kurang puas, tapi semoga masih bisa dinikmati sama kalian.

Aku nggak tau ya, tapi aku sayang banget sama si kembar ini. Rasanya udah lama banget, aku nggak se-excited ini nulis setiap bab baru. Udah lama banget, sejak terakhir kali aku ngerasain 'warna-warna' itu saat nulis. Dan ga tau kenapa Denta sama Kala berhasil bikin aku dapetin itu semua lagi :(

Anw, gdnait 💙

______

03.12.2023

Continue Reading

You'll Also Like

808 129 10
≡;- ꒰ °🎶 𝐏𝐑𝐎𝐉𝐄𝐂𝐓 𝐒𝐄𝐊𝐀𝐈 𝐅𝐚𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ -"𝐽𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛-𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛, 𝑎𝑘𝑢 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑘𝑒 𝑡𝑢𝑗𝑢𝒉 𝑡𝑎𝒉𝑢𝑛 𝑦�...
1.2K 162 19
[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Ini sebuah kisah fiksi yang dibuat oleh seorang penggemar yang jatuh cinta kepada idolanya. Mungkin ini juga me...
1M 17.2K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
16K 2.4K 68
Punya abang itu enak. Ya, asalkan nggak pelit kayak Bang Rean! . Itulah menurut kakak beradik Dandellion Group. Semenjak kehilangan kedua orangtua, R...