Kesatria Mentari (Completed)

By primasantono

1.2K 252 107

Kisah ini bukan tentang Kesatria yang menyelamatkan seorang putri yang ditawan di sebuah menara tinggi di dal... More

Who
Mentari yang Kembali
Kesatria Tersesat
Mentari Menyapa
Tugas Satria
Kesatria Mentari yang Bingung
Siasat Bintang
Siasat Satria
Kisah Mentari
Kesatria Pelindung
Sandiwara Kesatria Mentari
Penyelamatan Mentari
Janji Satria
Ajakan Satria
Kesatria Mentari Berkencan (?)
Kemelut Kesatria Mentari
Usaha Satria
Pilihan Satria
Kesatria Mentari Berkencan (Beneran)
Kegalauan Mentari
Mentari Tak Lagi Membenci
Satria Menyusul
Kesatria Mentari Jatuh Cinta
Mentari Memahami
Restu untuk Kesatria Mentari
Proposal Satria

Memulai Kembali

37 5 0
By primasantono

"Sayang, adik kamu lulus."

Mentari mendadak berseru di tempat duduknya begitu mendengar suara Satria. Hari Seninnya yang sejak tadi terasa berat seketika menjadi ringan kembali. Ia perlahan memasang bluetooth earphone-nya agar suara Satria bisa terdengar lebih jelas meski ia sedang duduk di area kantornya yang cukup ramai.

"Aku nanti kirim foto-foto dia pas keluar ruang sidang ya."

"Nanti aku juga info Ayah sama Ibu deh. Lega banget rasanya."

"Jadi, ibu kamu beneran bikin nasi kuning?" sahut Satria kembali, teringat cerita Bintang dahulu. Mentari hanya tergelak.

"Kayaknya Ibu sudah mulai pesan ke vendor buat weekend ini. Tapi, tenang aja, acara syukurannya nggak bentrok sama arisan keluarga kamu kok. Ibu sudah atur sedemikian rupa."

"Eh iya, kamu tetap bisa datang ke rumahku kan?"

Mentari mengangguk, walau anggukannya pun tidak akan terlihat oleh lelaki itu, "Ibu sudah ribet mau beliin baju baru. Udah kayak hari kemenangan aja."

Satria di seberang telepon hanya tertawa mendengarnya, "Aku nggak sabar lihatnya. Nggak usah bawa apa-apa ya."

"Nggak bisa janji. Kamu tahu kan, Ibuku." sahut Mentari sedikit ragu karena Ibunya pasti heboh. Semalam saja sudah heboh pas dia menceritakan undangan Satria untuk datang ke arisan keluarga pria itu.

"Oh iya, satu hal lagi," sahut Satria kemudian, "Aku harap kamu nggak kaget kalau tiba-tiba ada salah satu keluargaku yang nyeletuk soal Helena. Mereka semua juga sudah pernah ketemu Helena juga,"

Mentari mendadak membisu. Dimana-mana manusia memang seperti itu. Sudah berusaha menutup masa lalu tapi orang-orang di sekitar malah yang belum bisa move on. Mentari sadar akan hal itu karena ia pun mengalaminya belakangan ini.

Begitu tetangganya melihat Satria sering mampir ke rumahnya, tiba-tiba banyak suara yang terdengar dari tetangganya, membanding-bandingkan Satria dengan Nathan. Masih ada saja yang bilang sayang sekali karena melepaskan Nathan demi bersama dengan Satria yang tidak terlihat sekaya Nathan.

Hadeuh, kalau ingat itu rasanya pingin ngulek mereka pakai ulekan bekas sambal terasi Ibu.

Satria benar, dengan ia memberitahu hal seperti ini lebih dulu, ia bisa lebih menyiapkan kupingnya dari mendengar bisik-bisik orang lain yang pasti akan membandingkannya dengan Helena.

Mentari teringat, Helena di masa mudanya saja sudah sangat cantik, apalagi sekarang ya?

"Kok diem? Maaf ya, kamu kepikiran?"

Mentari sadar dia sempat melamun, jadi ia langsung berujar, "Eh nggak, aku sambil baca email," Mentari mencoba mencari-cari alasan, "Aku harus siapin mental dan kuping aku ya."

"Nggak usah sampai begitu kok," ujar Satria sepertinya terdengar sedikit menyesal karena membahas persoalan ini, "Yah, aku bikin kamu kepikiran ya?"

Mentari merebahkan punggungnya di kursi kerjanya itu, menyilangkan kaki sambil berusaha tetap rileks, "Kepikiran itu pasti, Ya. Soalnya aku bakal ketemu keluarga kamu kan. Wajar, aku mau ketemu keluarga dari orang yang aku sayangi dan mereka juga pasti sayang sama kamu,"

"Jadi pasti mereka akan menilai aku. Itu wajar, karena mereka peduli sama kamu," lanjut Mentari juga berusaha tetap tenang padahal hatinya ikut merasa khawatir.

"Complicated ya," sahut Satria melemah membuat Mentari dengan cepat memotong.

"Tapi cepat atau lambat memang aku harus ketemu keluarga kamu jadi mari dihadapi aja lah ya?"

"Bareng-bareng. Kita berdua."

"Iyaa, kita berdua," sahut Mentari lagi kemudian tersenyum lagi setelah mendengar kata 'berdua' mereka ucapkan dengan canggung, "Oh ya aku mau nanya dong. Kalau ditanya kenapa kamu memilih aku daripada Helena, bakal jawab apa?"

Ada jeda sejenak sebelum Satria menjawab. Tak lama ia langsung menjawabnya, "Karena dia masa lalu dan kamu masa depan. Gitu aja,"

Mentari tertawa perlahan, takut-takut akan terdengar oleh teman-temannya di kubikal lain, "Kamu kan nggak tahu masa depan gimana,"

"Hmmmmm, menurutku karena kita sepadan?" sahut Satria berhati-hati, "Aku ngerasa sama kamu, aku nggak merasa rendah maupun tinggi. Sama. Sepadan,"

Mentari terdiam sejenak. Ia pernah menanyakan hal seperti ini pada Nathan sebelumnya dan jawabannya memang selalu klise. Ia cantik, ia pintar, ia baik, atau ia tulus. Jujur jawaban Satria barusan sangat baru untuknya dan membuatnya terdiam sejenak.

"Bersama kamu, aku ngerasa nggak perlu jadi orang lain," lanjut Satria kemudian, membuat Mentari masih mengukirkan senyum di wajahnya.

"Gantian dong, kalau kamu gimana?" sahut Satria lagi diselingi tawa khasnya. Mentari berdeham sejenak sambil pikirannya berkelana sendiri.

Pikirannya tiba-tiba mengembara ke saat-saat ia bersandiwara dengan lelaki itu. Dari sesuatu hal yang spontan namun kini menjadi hal yang sangat serius untuk mereka jalani.

Mentari juga tidak mengerti, kenapa ia sepercaya itu pada Satria? Kenapa ia seakan merasa aman bersama pria itu padahal sudah lama sejak mereka bersua di masa-masa mereka kuliah?

Rasanya memang aneh.

"Aneh sih sama kamu kayaknya aku ngerasa aman. Kayak nggak perlu takut apapun selama ada kamu."

"Kadang aku ngerasa bersalah sih. Sebelumnya aku selalu ngerasa baik-baik aja sendirian. Tapi sejak ada kamu, aku jadi nggak mau sendirian. Clingy banget ya?"

"Biarin dong, aku juga mau berguna di hidup kamu." suara Satria terdengar mengelak.

"Oh ya? Malah repotin kamu nggak sih?"

"Mentari, makin aku berguna buat kamu makin aku merasa 'Ada' di hidup kamu." sahut Satria dengan sedikit memberi penekanan pada kata-katanya barusan. Seakan ingin membuat Mentari semakin yakin.

Mentari tertawa sambil memelintir ujung rambutnya sendiri karena kesengsem sama pacarnya sendiri, "Ya, kantorku ini di lantai 3, kamu mau bikin aku terbang sampai lantai berapa sih?"

Gantian Satria yang tertawa di seberang telepon, "Kalau bisa terbang sampai Dramaga sini. Kangen!"

"Tapi kalau kamu ngajak aku bolos di hari kerja buat ke pantai antah berantah sih aku juga bakal negor kamu ya. Aku masih butuh pekerjaan ini."

"Iya, kamu harus terus kerja. Biar mahasiswa-mahasiswa kamu yang kesulitan bisa kebantu terus. Udah berapa mantan mahasiswa kamu yang aku temui dan semuanya selalu bilang kamu dosen terbaik mereka. Beruntung banget ya mereka ketemu kamu."

Satria hanya terkekeh sendiri, "Bukan mereka aja yang beruntung. Aku juga," sahut Satria sambil kemudian terdengar suara di baliknya sepertinya memanggil nama pria itu, "Aku masih kangen tapi ini dipanggil Prof Doni. Nanti malam aku telepon lagi ya."

Tak lama setelah Satria menutup telepon itu, Mentari menghela napasnya sambil tetap tersenyum.

Tidak bisa ia pungkiri, jantungnya masih berdegup kencang ketika ia ingat di hari Sabtu nanti ia akan bertemu keluarga besar Satria.

Apakah mereka akan menerimanya?
Apakah mereka akan membanding-bandingkan dirinya dan masa lalu Satria?

Mentari perlahan bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pantry kecil di sudut ruangan. Mungkin kafein akan membantu pikirannya yang mulai kalut pada sesuatu yang belum terjadi itu.

Dalam sekejap mata, hari Sabtu datang begitu saja. Tanpa ia minta, ibunya sudah membungkuskan ia sekotak Lapis Surabaya yang didapat dari toko kue langganannya di daerah Pondok Kopi. Bau khas kue itu membuat bulu kuduk Mentari merinding sendiri. Ia seakan-akan sedang dikirim ke medan perang dengan membawa senjata perang berbentuk kue lapis.

Mendadak semua orang di rumahnya juga ikut menjadi komentator. Ada yang komentar soal bajunya yang terlalu sederhana, atau shade lipstiknya yang terlalu pucat, pokoknya semuanya dikomentari.

"Bu, aku cuma mau datang arisan lho,"

"Bukan 'Cuma', Teh. Kamu mau dikenalin ke keluarga besar Satria. Harus cakep!" sahut Ibunya sambil membantunya apply compact powder sekali lagi.

Mentari hanya bisa pasrah sambil memperhatikan dirinya yang sudah dipoles sedemikian rupa oleh Ibunya itu.

Dress selutut berwarna biru langit itu tampak begitu cantik dengan sandal heels putihnya itu. Dipadukan lagi dengan make up natural yang dipoles ibunya yang mantan MUA di masa mudanya itu, membuatnya sempat tertegun akan pantulan dirinya di cermin.

Ia tersenyum sekali lagi sambil menyalami tangan Ibu dan Ayahnya. "Teteh berangkat ya, Ayah, Ibu,"

Kedua orang tuanya hanya tersenyum. Ibunya perlahan merangkul lengan anak gadisnya itu menuju mobil mereka terparkir. Kepala Bintang muncul dari balik kaca di kursi kemudi, "Lama banget. Pantat Sopir udah rata nih sejam duduk nunggu disini,"

"Maaf, Ibu sih nih pakai acara ganti lipstik segala."

Mentari dengan cepat melangkah ke arah kursi penumpang di samping Bintang, di sisi lain mata lelaki itu seakan tidak berkedip melihat transformasi kakaknya yang sudah didandani itu.

"Ngeri juga ya Ibu kalau tangannya udah berkarya."

"Kenapa? Aneh ya?"

Bintang menggeleng, "Kayaknya hari ini Pak Satria nggak berkedip deh."

Mentari pura-pura merengut, "Jangan dong, kasihan kalau nggak ngedip nanti matanya kena debu. Hapus aja kali ya?"

"Terserah Teh! Terserah!!" sembur Bintang sambil memasang seat belt-nya sendiri dan mendumel. Mentari hanya terkekeh sambil mengabari Satria kalau ia akan segera berangkat.

Bintang mengemudikan mobilnya dan untungnya perjalanan ke Bogor tidak begitu macet sehingga mereka tidak perlu banyak mengeluh ketika sampai di tujuan.

Mentari menghela napas karena lega sudah sampai tepat waktu, ia langsung mengabari Satria karena sudah sampai, "Kamu acara sampai jam berapa, Bin?"

"Hmmm aku cuma nongki sama anak-anak sih, nanti kalau pada bubaran aku nunggu Teteh aja,"

Mentari manggut-manggut sambil melepas seat belt, terlihat Satria melambaikan tangan dari teras rumahnya yang ramai oleh manusia, "Paling Teteh juga nggak lama lah ya. Takut Teteh juga diinterogasi."

Bintang mendadak tertawa, "Teh, dulu kan pernah begini juga."

"Ya tetep lah degdegan, Bin," ujar Mentari sambil berusaha menenangkan jantungnya yang rasanya lompat-lompat, "Nih, coba lihatin lipstik Teteh masih bagus kan?"

Bintang mengerucutkan bibirnya, "Teteh kalau nanya sekali lagi bisa dapet payung cantik deh. Serius itu lipstik masih nempel, masih berwarna juga, udah dibilangin dari tadi."

Mentari akhirnya mengangguk mantap sambil membuka pintu ketika Satria sudah berada di dekat mobil mereka, "Doain ya!"

"Good luck!" sahut Bintang sambil tertawa lagi. Begitu Mentari keluar dan disambut Satria, Bintang meng-klakson mobilnya sekali sambil berjalan mundur dan meninggalkan pekarangan rumah Satria.

Satria langsung menyambutnya dengan senyum sumringah. Ia langsung menggenggam tangan Mentari, "Macet nggak?"

Mentari menggeleng sambil menyambut tangan Satria, "Nggak, syukurlah. Kupikir bakal macet banget," sahut Mentari sambil matanya mengarah ke arah rumah Satria yang sudah ramai orang, "Udah pada datang ya?"

Satria mengangguk sambil menatap ke arah bungkusan di tangan Mentari, "Aku bilang nggak usah bawa apa-apa juga," tangan Satria kemudian mengarah ke arah bungkusan itu, menawarkan bantuan untuk membawanya. Mentari hanya tertawa sambil menyerahkan kotak isi lapis Surabaya itu.

"Kamu kayak nggak tahu aja ibuku. Ini tadinya mau bawa 5 kotak, masih untung ini 2 doang,"

Satria menatap kotak-kotak itu sambil mengedikkan kepalanya ke arah rumahnya, "Mari kita lihat, kamu pasti bikin kaget Mami." sahutnya sambil mengusap kepala gadis itu.

Mentari hanya tersenyum sambil berjalan mengikuti Satria ke arah rumahnya yang mulai ramai diisi oleh kerabat dari lelaki itu. Ada beberapa orang yang menatapnya terperangah, ada yang tersenyum, dan tentu saja ada yang langsung heboh bertanya siapa dia ke arah Satria.

"Neng Geulis! Aduh, meuni geulis pisan!" dengan sumringah ibunya Satria menyambutnya dan memeluknya erat, "Senang Mami bisa lihat kamu lagi."

"Gimana kabarnya, Tante? Sehat?"

"Makin sehat lihat kamu. Yuk, masuk kenalan sama saudaranya Satria."

Mentari menatap ke arah Satria dengan tatap pasrah sambil kakinya mengikuti langkah kaki Ibunya Satria yang cepat. Satria hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala, tangannya lalu menyerahkan dua kotak kue ke arah asisten Ibunya sambil menginstruksikan untuk bisa langsung dihidangkan ke tamu.

Satria kemudian berjalan mengikuti kedua perempuan terfavorit di dunianya itu, perlahan mengawasi takut-takut Mentari merasa canggung. Ketika melewati salah satu deret kursi yang diduduki sepupu-sepupunya, mereka menatap Satria dengan tatap penuh rasa penasaran.

"Gila Sat! Nggak salah selera lo emang!"

"Cantik banget loh, Kang!"

Satria hanya tersenyum diam-diam. Matanya masih mengarah ke arah Mentari yang kini dengan canggung menyalami saudara-saudara dari Ibunya itu. Tak sekali dua kali gadis itu menatap ke arahnya.

"Jadi kapan nih resminya?" celetuk salah satu Uwa-nya membuat Satria langsung menjawab dengan tenang.

"Secepatnya. Tapi nunggu Mentari siap, Uwa."

"Iya, jangan lama-lama. Kalau kelamaan, Uwa ambil juga nih jadi mantu!"

"Enak aja!" seru Ibunya Satria sambil menggeser Mentari ke balik punggungnya, "Ini putriku ya! Awas aja berani ambil!!"

Mentari hanya tersipu sambil matanya menatap bingung ke arah Satria. Rasanya ia malu setengah mati.

Sesi perkenalan akhirnya selesai. Mentari dan Satria kini duduk di meja makan dapur rumah Satria, berpura-pura membantu pihak katering dan asisten keluarga Satria menyiapkan hidangan.

"Habis energiku hari ini." ucap Mentari sambil memasukkan cabai rawit ke sela-sela risol yang telah diplastiki.

"Capek ya?" sahut Satria lalu mengusap-usap kepala Mentari lembut.

"Menurut kamu, mereka menyukaiku nggak?" ucap Mentari perlahan, berhati-hati jangan sampai orang di sekitar mereka mendengar. Satria yang sedang mengelap piring itu sontak tersenyum.

"Katanya aku hebat ketemu orang kayak kamu. Cantik, pintar, manis banget lagi."

"Kamu sama aja kayak benda yang kamu pegang,"

"Piring? Glowing maksud kamu?" sahut Satria nggak ngerti sambil angkat piring.

"Kain gombaaaal."

Satria hanya tertawa sambil mencomot salah satu Lapis Surabaya oleh-oleh Mentari yang kini sudah dipotong-potong. "Terima kasih ya."

"Buat lapisnya?"

"Kamu. Terima kasih sudah mau datang di hidupku."

Mentari hanya tertawa kecil. "Coba kalau kamu belum pacaran sama aku. Mau bawa siapa hari ini?"

Satria memanyunkan bibir, "Paling dari pagi aku disini, ngelap piring atau motongin kue. Ngumpet aja."

"Tapi untung nggak ada yang nyeletuk ya soal mantan kamu."

Satria sejenak terdiam sambil perlahan menaruh kain dan piring yang tadi ia pegang lalu menggenggam kedua tangan gadis itu. "Kamu kepikiran ya?"

"Sedikit."

"Yang aku dengar tadi cuma pujian soal kamu sih. Mungkin akan aman ya."

Mentari tersenyum sedikit lega, "Mudah-mudahan yah. Mereka suka sama aku juga."

"Aamiin!" sahut Satria sambil melepas tangannya dari tangan Mentari lalu merapikan poninya sendiri yang terjuntai. Mentari tiba-tiba dengan cepat berseru, "Ya! Aku habis megang cabe!!"

Satria dengan cepat mengerjap-ngerjap lalu bergegas berjalan cepat ke arah wastafel diiringi tawa Mentari.

Di sela-sela tawa itu, salah satu asisten rumah Satria mendatangi Satria yang masih sibuk mencuci muka.

"Den, ada Mbak Helena di depan nyari Mami. Kayaknya dia nggak tahu Mami ada acara."

Satria sontak terdiam lalu menoleh. Tetesan air perlahan membasahi bajunya karena Satria menoleh dengan cepat ke arah wanita itu.

Mentari sontak menghentikan tawanya. Ia lalu menatap ke arah dua manusia itu dengan tatapan canggung.

Timing Tuhan memang tidak bisa ditebak.

Notes from Prima:

Maaf banget, pekerjaan di rl lagi buanyaaaak banget. Ditambah adikku habis menikah jadi rasanya waktu rasanya sempit banget belum bisa up chapter baru.

Semoga kalian masih bersedia membaca kelanjutan Satria dan Mentari!

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 295K 107
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
9.3M 649K 82
[ BOOK 1 OF AZITERA: YTHER'S QUEEN ] Consumed by avarice, the four human kingdoms-the Infernal Empire, the Kingdom of Caelum, the Kingdom of Treterra...
1.4M 35.2K 47
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...