RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21K 2K 195

Bersaing dengan orang lain โŒ Bersaing dengan sepupu sendiri โœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.4 Aleo
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.2 Senyawa hidrida
3.3 Ekstra 0,2564
3.4 Gerak parabola
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.1 Konservasi
6.2 Pasar monopolistik
6.3 Imperialisme Jepang 1944
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

4.2 Singularitas gravitasi

448 47 2
By Mikhaely04

“Oh, jadi soal lo yang janjian bikin cake bareng Fikri, ini hasilnya?

“Iya. Itu dibikinnya tadi subuh.”

“Terus Fikri tau kue ini buat gue?”

“Hm em, soalnya gue yang ngasih tau.”

“Kerja bagus. Sekarang si paling suci itu pasti udah sadar sama perasaannya.”

“Hah? Perasaan apa?”

“Ssstt! Ini urusan gue, cewek idiot nggak usah ikut campur.”

“Apa?! Cewek idiot? Siapa yang lo maksud cewek idiot? Gue?”

“Iya lah. Jelas-jelas waktu itu gue bilang ulang tahun gue 29 Februari, tapi sekarang lo tiba-tiba ngasih gue kue ulang tahun, ada lilinnya pula. Lo nggak bisa baca kalender, kan? Kalau bukan idiot, terus namanya apa? Tolol?”

Aleen membanting pintu kamarnya lalu berjalan menuju kasur untuk merebahkan badannya. Mau dipikir berapa kali pun Aleen tetap merasa kesal mendengar ucapan Aleo yang seenak jidat mengatainya cewek idiot. “Rese banget sih Leo. Tingkahnya seolah-olah kalau dia bukan orang yang beberapa saat lalu nangis sampai pundak sama leher gue basah gara-gara air mata sama ingusnya dia.”

Sekitar lima menit yang lalu Aleen masih bersama pemuda itu, namun sekarang Aleo sudah pulang ke rumahnya setelah menghabiskan kue cokelat yang Aleen berikan sebagai kue ulang tahun untuk pemuda itu. Aleen menghela napas sambil mengubah posisinya jadi telentang.

Memandang langit-langit kamar, pikiran Aleen tiba-tiba menerawang mengingat kejadian di tangga depan air mancur tadi. Aleo yang tiba-tiba ingin urusan di antara mereka selesai. Aleen memejamkan matanya, apa jadinya seandainya tadi dia gagal membujuk Aleo?

Detik berikutnya gadis itu menggeleng cepat, tidak! Aleen tidak bisa membayangkan itu. Untung saja suasana hati Aleo bisa berubah-ubah dengan cepat. Dari marah, sedih, sampai kembali ke mode menyebalkan, semua berubah hanya dalam sekejap mata.

Si berandal itu ternyata bisa menangis?

Sudut bibir Aleen tiba-tiba tertarik ke atas. Tangisan pemuda itu membuatnya jadi terlihat lebih manusiawi. Jujur saja, selama ini Aleen tidak pernah benar-benar menatap Aleo sebagai manusia. Pasalnya semua yang ada pada diri pemuda itu serba berlebihan.

Tingkah ajaibnya yang selalu di luar nalar, wawasannya yang seluas alam semesta, kisah hidupnya yang selalu menarik untuk didengar, serta fisik dan paras yang sempurna membuatnya benar-benar tampak seperti ilusi. Namun tangisan pemuda itu beberapa saat lalu akhirnya membuat dia jadi terlihat seperti manusia sungguhan.

“Ah, lapar~” keluh Aleen sambil mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur sembari memegang perutnya. Kali ini dia memang melewatkan makan malam gara-gara menemani Aleo menghabiskan cake cokelat tadi.

Ngomong-ngomong, Papa sudah menghilang selama tiga hari disebabkan pekerjaan. Itu artinya kali ini Aleen harus menyiapkan makanannya sendiri. Sebelum berkutat di dapur, Aleen memilih membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah membersihkan diri dan siap dengan setelan piama berwarna biru langit, Aleen bergegas menuju pintu kamar.

Namun belum sempat membuka pintu kamar, tanpa sengaja netra Aleen malah menangkap lukisan berukuran sedang yang sudah terbingkai rapi bersandar di depan nakas samping tempat tidurnya. Lukisan cahaya kutub alias aurora yang akhir-akhir ini selalu ia kerjakan bila ada waktu senggang. Sekarang lukisan itu sudah selesai, Aleen memang sedikit berbakat di bidang seni lukis.

Aleen beranjak untuk mengambil lukisan itu. Lukisan yang dari awal Aleen buat dengan tujuan untuk diberikan pada Fikri—si pencinta aurora. Tak jadi memasak di dapur rumahnya, Aleen malah melangkahkan kakinya menuju magna domus. Jam segini Fikri pasti berada di perpustakaan keluarga.

Dan yah, tebakan Aleen valid. Fikri benar-benar ada di perpustakaan, pemuda itu sedang berdiri di depan salah satu rak buku, memperbaiki tatanan buku yang tampak acak tidak teratur.

“Fikri.” Aleen langsung menghampiri.

Pemuda itu menoleh. “Ada apa?” Meski bertanya begitu, nyatanya wajah Fikri terlihat santai seakan tidak tertarik maupun penasaran kenapa Aleen menghampirinya.

“Gue mau ngasih ini ke lo.” Aleen mengulurkan lukisan itu.

Fikri menerimanya. Pemuda itu mengamati lukisan di tangannya dengan raut wajah datar tanpa ekspresi apa pun. Tidak lama kemudian, netranya beralih menatap Aleen. “Buat apa lo ngasih ini ke gue?”

“Em, sebenarnya gue udah lukis itu dari lama, tapi selesainya baru beberapa hari yang lalu. Niat awalnya emang pengen gue kasih ke lo, dan kebetulan banget lo udah bantuin gue bikin cake, ya udah, itu sebagai ucapan terima kasih gue.” Aleen menjelaskan. “Lagian, lo juga emang suka aurora, kan?” Tambah gadis itu.

Fikri menunduk menatap Aleen lama, sebelum akhirnya pemuda itu menegakkan kepalanya dengan pandangan lurus seakan-akan menatap sesuatu yang ada di belakang Aleen. Dan sepertinya memang begitu, karena detik berikutnya Fikri tiba-tiba berkata, “Lo tau, Leen? Orang yang ada di belakang lo juga suka aurora.

Aleen lantas menoleh ke belakang dan mendapati Aleo yang berdiri dengan jarak sekitar satu meter dari posisinya. Sejak kapan si berandal itu ada di sini? Aleen memutuskan mendekat, “Emang benar, Leo? Lo juga suka aurora?” Tanyanya penasaran.

Tidak bohong, kali ini Aleen benar-benar penasaran. Merasa tertarik karena tidak menyangka Fikri dan Aleo—dua pemuda dengan segala sisinya yang sangat bertolak belakang—ternyata masih memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menyukai aurora.

Tapi alih-alih menjawab pertanyaan yang Aleen ajukan, Aleo justru diam dengan pandangan yang tidak lepas dari Fikri. Aleen melihat kedua pemuda itu secara bergantian, mereka saling menatap dengan tatapan permusuhan.

Mungkin kalau Aleen diberkati penglihatan yang bisa melihat sesuatu tak kasat mata, sekarang gadis itu pasti sudah melihat sesuatu semacam aliran listrik bermuatan negatif (elektron) saling bertabrakan yang terpancar dari mata kedua pemuda itu.

-

Bab 22 “Singularitas gravitasi”

•••

Langkah Aleen mendadak terhenti begitu mendengar suara nyaring yang bersumber dari mikrofon sekolah sedang menginstruksikan agar seluruh murid serta para pengajar segera berkumpul di auditorium. Aleen yang memang tidak tau jalan menuju auditorium lantaran baru satu kali melihat bangunan itu saat Evan membawanya tur, pun hanya bisa mengikuti langkah murid-murid yang lain.

Tidak mendapati keberadaan teman-temannya, Aleen memilih langsung masuk dan tenggelam dalam desak-desakan para murid yang satu pun di antaranya, tidak ada yang ia kenali. Berhasil menerobos pintu masuk, hal pertama yang Aleen lihat adalah ruangan super luas yang mungkin bisa menampung sepuluh ribu orang atau bahkan lebih.

Tempat duduknya bertingkat-tingkat. Karena pintu masuknya ada di belakang, maka Aleen harus menuruni beberapa undakan tangga untuk bisa sampai ke kursi paling depan. Namun belum sampai di kursi paling depan, Aleen tiba-tiba berubah pikiran dan memilih untuk duduk di kursi bagian tengah saja.

Tidak butuh waktu lama, kursi yang ada di dalam auditorium itu akhirnya terisi. Suara bisik-bisikan para murid berdengung seperti lebah, tidak ada yang menegur sebab para pengajar yang duduk di kursi khusus juga kelihatan asik dengan kegiatan masing-masing. Aleen sendiri sedari tadi hanya diam karena tidak mengenal orang yang duduk di sampingnya. 

Kebisingan tiba-tiba mereda ketika pintu utama auditorium terbuka, pintu khusus untuk para pengajar yang letaknya ada di bagian depan ruangan. Deretan orang-orang dengan pakaian formal layaknya bangsawan, muncul dari sana. Jumlahnya ada tujuh orang, Aleen mengenali dua di antaranya—Om Madaharsa dan ... Avia.

40 menit acara diisi oleh pidato Om Madaharsa selaku Headmaster AHS. Pembahasannya seputar keunggulan sekolah ini, kabarnya beberapa hari yang lalu AHS resmi mendapat pengakuan secara internasional? Entahlah, Aleen tidak terlalu memperhatikan, intinya Om Madaharsa hanya berbicara tentang prestasi AHS.

Setelah Om Madaharsa selesai, pidato kemudian dilanjutkan oleh Avia yang pembahasannya tidak jauh berbeda. Aleen menghela napas bosan, rasanya acara ini tidak terlalu penting. Sungguh, Aleen benar-benar tidak mengerti tujuan utama acara ini sebenarnya apa?

Namun rasa bosan Aleen lenyap seketika saat mendengar Avia berkata, “Saya bersyukur atas fakta bahwa kelima cucu saya juga mengenyam pendidikan menengah atasnya di sekolah ini.”

Deg! Jantung Aleen tiba-tiba berdetak dua kali lipat lebih cepat.

“Mungkin tidak banyak yang mengetahui fakta ini, atau bahkan sama sekali tidak ada yang tau ... tapi ya, hari ini saya katakan dengan lantang, lima cucu saya bersekolah di Aritmanatha High School.

Tanpa sadar tubuh Aleen bergerak gelisah, gadis itu bahkan memejamkan matanya erat, berharap apa yang ada dipikirannya tidak terjadi. Avia tidak mungkin memperkenalkan mereka ke publik, kan?

Razelle Roula.

Detik itu juga mata Aleen langsung terbuka. Mampus! Avia bahkan sudah menyebutkan nama Razel.

“Razel, bisa tolong berdiri.” Avia mengedarkan pandangannya seolah mencari keberadaan pemilik nama yang ia sebutkan.

Semua pandangan pun langsung tertuju pada gadis berbandana merah muda yang berdiri di barisan kursi paling depan yang posisinya berada di sebelah kanan podium.

“Kemudian, Sabrina Belva.

Gadis tomboi itu berdiri di barisan kursi ke 3 dari belakang, posisi kursinya juga berada di sebelah kanan podium. Sabrina menyempil di antara murid laki-laki. Karena 4 baris kursi paling belakang, semuanya memang diisi oleh murid laki-laki.

Fikri Khaizuran.

Atensi semua orang kembali beralih ke depan. Fikri berdiri di barisan kursi paling depan sama seperti Razel. Namun bedanya, kalau tempat duduk Razel ada di sebelah kanan podium, tempat duduk Fikri justru berada di sebelah kiri podium.

Aleo.

Tidak sama seperti Sabrina dan Fikri yang langsung berdiri begitu namanya disebut, Aleo justru tidak menampakkan dirinya sama sekali. Semua orang menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan pemuda itu, termasuk Aleen. Di mana si berandal itu duduk?

“Aleo.” Avia akhirnya mengulangi karena Aleo tidak kunjung berdiri.

Dan ternyata pemuda itu ada di barisan kursi paling belakang, tepatnya di pojok kiri ruangan. Di sana Aleo berdiri dengan wajah tak ikhlas setelah ditarik paksa oleh salah satu temannya.

“Dan yang terakhir ...”

Mendengar kalimat tergantung itu membuat Aleen dengan cepat membalik badannya kembali menghadap ke depan.

Aleen Alnaira.

Di barisan kursi yang letaknya hampir persis di tengah-tengah, Aleen berdiri ragu-ragu. Rasanya tidak nyaman begitu tau kalau semua pasang mata kini tertuju padanya. Aleen merasa gelisah, gelisah yang semakin bertambah saat matanya tidak sengaja saling pandang dengan mata keempat temannya yang ternyata tempat duduknya hanya berjarak dua baris kursi tepat di depan Aleen.

-

“Ck, sebenarnya apa tujuan Avia bikin identitas kita terungkap kayak gini?” Razel melipat tangannya di depan dada sambil menyenderkan punggungnya pada sandaran single sofa yang sedang gadis itu duduki.

Setelah acara di auditorium berakhir, kelima remaja itu digiring ke ruangan yang ada di samping lobi gedung utama AHS atas perintah dari Avia. Ruangan itu biasanya digunakan sebagai ruang tunggu untuk tamu-tamu penting yang melakukan kunjungan.

Aleen yang duduk di sofa panjang bersama Sabrina, lantas memijat pangkal hidungnya ikut memikirkan jawaban dari pertanyaan Razel. Fikri sendiri duduk di single sofa lain yang ada di samping Razel. Sedangkan Aleo, pemuda itu berdiri sembari menyenderkan lengan atasnya pada lemari aluminium dengan sekat-sekat kaca yang berisikan ribuan piala serta piagam milik sekolah.

Tidak tahan berada dalam suasana hening itu, Aleen menoleh pada Sabrina, bermaksud ingin menanyakan bagaimana tanggapan gadis itu. “Sabrina—”

“Jangan ngomong sama gue!” Namun Sabrina langsung menyela dengan cepat. Hal itu sukses menyita perhatian 3 orang lainnya. “Sampai detik ini gue masih nggak terima lampu di rumah gue berubah.”

Aleen menelan ludah, “I-itu—”

“Albert udah jelasin,” Sabrina lagi-lagi menyela. “Tapi tetap aja gue nggak bakal maafin lo semudah itu.”

Menghela napas, Aleen akhirnya menunduk lesu, “Maaf.” Hanya itu yang dapat ia katakan.

“Kalian terlibat urusan? Urusan apa?” Razel menyahut, wajahnya memancarkan ketertarikan.

“Diam lo! Lo nggak diajak.”

Mendapat tanggapan sinis dari Sabrina, Razel langsung tersulut emosi. “Lo!”

Aleen menggelengkan kepalanya pelan melihat kedua gadis yang katanya saudara seayah itu berakhir saling melempar tatapan sinis. Belum lagi ketika Aleen melirik dua pemuda yang sedari tadi sama sekali tidak mengeluarkan suara, namun nyatanya diam-diam saling melempar tatapan tajam.

Hahh, mereka berempat ini memang benar-benar!

Tidak lama kemudian pintu ruangan dibuka dari luar, secara mengejutkan bukan Avia yang muncul, melainkan Albert. “Avia memberikan ini untuk kalian.” Albert mengulurkan secarik kertas pada Aleo yang posisinya memang paling dekat dari pintu.

Namun bukannya mengambil kertas itu, tangan Aleo yang tadinya terlipat di depan dada, malah bergerak menyusup masuk ke dalam saku celananya. Aleo bahkan dengan kurang ajarnya tidak melirik Albert sedikitpun. Razel yang mungkin sudah sangat penasaran akhirnya beranjak dan merampas kertas itu dari tangan Albert.

“Kalau begitu, saya pamit undur diri. Permisi.”

Albert pergi dari sana tanpa seorang pun yang peduli padanya. Pasalnya semua atensi kini terpusat pada Razel, terlebih lagi saat Razel mulai membaca tulisan di kertas itu. “Identitas kalian sebagai generasi penerus keluarga ADHINATHA sudah terlanjur terungkap ke publik, saya yakin kalian pasti tau apa yang harus kalian lakukan. Perbaiki citra kalian dan jaga nama baik keluarga. Usahakan terkenal akan prestasi, bukan sensasi.

Damn!” Razel langsung mengumpat setelah selesai membaca tulisan itu. “Harusnya gue udah tau kalau tujuan Avia ujung-ujungnya bakal jadi kayak gini.”

-

“Apa?!” Razel melotot galak ke arah dua temannya yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan yang bahkan Razel sendiri tidak tau apa maksudnya.

“Zel, kita berdua tuh masih nggak percaya kalau lo ternyata cucu pemilik sekolah ini. Maksudnya, okelah dari gaya lo emang udah kentara banget kalau lo itu berasal dari keluarga konglomerat. But, cucu dari pemilik sekolah elit ini? Itu terlalu wow, gitu.”

Viola yang duduk di samping Meliska, mengangguk setuju. “Dan yang lebih mencengangkan lagi, lo bukan satu-satunya, tapi berlima bareng 4 manusia-manusia ajaib milik AHS. Itu artinya Zel, mereka berempat sodara lo?”

“Saudara sepupu, bego!” Razel menjawabnya sensi.

Viola menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Iya juga, sih. Mustahil juga kalian kembar lima.”

By the way, pantas aja selama ini Sabrina jadi satu-satunya siswi AHS yang nggak pernah takut sama lo, Zel. Ternyata kalian emang sodara.” Sahut Meliska yang sukses membuat Razel melempar tatapan membunuh ke arah gadis itu.

Meliska yang ditatap begitu, langsung gelagapan. “Eh eh, maksud gue sodara sepupu, ya kan?”

-

“Anjir lah, Sab. Sepupu lo abnormal semua.” Sabrina memutar bola matanya malas mendengar ucapan Rey. Jujur Sabrina sendiri juga tidak percaya kalau hari di mana teman-temannya tau tentang identitasnya akan datang secepat ini.

“Sabrina juga abnormal, Rey.” Celetuk Ivan. Sabrina yang posisinya duduk di samping Dipta, langsung mendelik tidak suka.

Rey mengangguk-anggukan kepalanya. “Iya juga, ya? Sabrina juga nggak normal. Berarti emang udah dasarnya keturunan keluarga ADHINATHA freak semua.”

“Jadi ini alasannya, Sab?”

Sabrina yang tadinya sudah siap menyerang Rey dan Ivan, malah berakhir menoleh pada Dipta yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan ambigu. “Hah?”

“Alasan kenapa waktu belajar lo melebihi batas normal.” Dipta menatap Sabrina serius, “Itu karena status lo sebagai keturunan keluarga terhormat, kan?”

Sabrina diam seribu bahasa. Ingin membantah namun apa yang Dipta katakan itu memang benar, ingin membenarkan namun sebagai dari diri Sabrina juga merasa enggan.

-

“Oooh jadi kalian berlima itu cuma saudara sepupu? Bukan saudara kandung?” Fikri melangkah memasuki perpustakaan tanpa berniat menjawab pertanyaan bodoh dari Ibas.

“Tadinya gue nggak mau percaya, Fik.” Ibas mengekori, ikut masuk ke dalam perpustakaan. Padahal biasanya pemuda itu akan kabur bila mereka sudah sampai di depan pintu perpus. “Tapi masalahnya, lo sama 4 orang itu diakui langsung oleh kepala keluarga ADHINATHA. Gila sih, parah, lo nggak pernah cerita ke gue.”

Fikri hanya acuh, memilih membaca bukunya setelah duduk di bangku yang memang sudah biasa ia tempati.

“Aaa ... sekarang gue paham kenapa waktu itu lo tiba-tiba kepo perihal Sabrina yang berkeliaran di asrama cowok, ternyata dia sepupu lo, wajar sih kalo lo khawatir sama dia.” Lagi-lagi Fikri tetap diam. Biarkan Ibas berceloteh sesukanya, nanti juga pemuda itu akan berhenti dengan sendirinya.

“Selain itu, gue jadi keingat insiden 7 bulan lalu antara lo dan Leo. Kejadian waktu itu berarti perang antar sodara, perang sodara yang memperebutkan satu—”

TAK!

Fikri menutup bukunya tak santai, tatapan dingin ia layangkan pada Ibas. Ibas yang melihat itu pun lantas meringis. “Ampun Pak Bos!” Cicitnya dengan nyali menciut.

-

Aleo merebahkan badannya di atas rumput tepat setelah bunyi peluit Coach Lutman menggema menandakan latihan hari ini berakhir. Aleo berbaring telentang dengan kaki yang diluruskan, kedua tangannya merentang ke samping sebelum salah satunya menekuk di atas wajahnya untuk menutup matanya.

“Minum dulu, Yo!” Aleo merasakan sesuatu yang dingin di atas perutnya, namun ia merasa enggan bergerak. Aleo juga bisa merasakan keberadaan beberapa orang yang duduk di sekitarnya.

“Oi Ver, lo nggak malu ngasih air kemasan murah meriah ke dia? Keturunan keluarga ADHINATHA kayaknya nggak minum air gituan, dah.”

“Terus menurut lo dia minum air apa? Air rendaman gold mix diamond?

“Nah, bisa jadi tuh.”

Lalu Aleo bisa mendengar mereka semua tertawa.

“Ngomong-ngomong, satu sekolah keknya heboh gara-gara itu.”

“Iya lah, emang siapa yang bakal percaya kalau 5 orang yang kelihatan nggak saling kenal ternyata punya hubungan keluarga.”

“Tunggu-tunggu, berarti Fikri sodaranya Leo, dong? Gila! Nggak bisa dipercaya.”

“Lebih nggak bisa dipercaya mana ketimbang Leo yang pacaran sama sodara sendiri?”

“Lah iya, anak baru itu juga sodaranya Leo. Tapi tunggu dulu, mereka sebenarnya sodara tiri atau kembar 5? Atau gimana? Gue nggak paham, anjir.”

Mendengar itu Aleo akhirnya memutuskan mengubah posisinya menjadi duduk sembari mengambil air kemasan yang ada di atas perutnya. “Mereka sepupu gue, tolol.” Katanya menanggapi.

“Berarti lo pacaran sama sepupu sendiri?”

Aleo melirik teman-temannya sekilas sebelum akhirnya fokus membuka tutup botol di tangannya. “Gue nggak pernah bilang kalau gue pacaran sama dia.”

“Berarti enggak?”

Aleo meneguk air itu hingga tandas, membuang kemasannya ke sembarang arah, kemudian berdiri. “Bukan enggak, tapi belum.” Jawabnya lalu beranjak pergi dari sana, meninggalkan teman-temannya yang tercengang mendengar itu.

-

“Maaf gue nggak cerita ke kalian dari awal. Tolong jangan marah.” Aleen memohon pada keempat temannya. Jujur saja ada perasaan takut apabila teman-temannya enggan berteman dengannya lagi.

“Maaf? Enak aja.” Safira berkacak pinggang. “Buat nebus kesalahan lo itu, selama satu bulan ke depan lo harus traktir kita jajan, bawain tas dan barang-barang kita, jokiin tugas kita, suapin kita makan, pijetin kaki kita, bersihin asrama—”

“Safira!” Anggia menyela. “Stop it, lo bikin dia takut.”

Safira nyengir lebar. “Hehe ... sorry, Leen. Bercanda.”

Haniva mengangguk mendekati Aleen. “Kita nggak marah, kok. Dan nggak punya hak buat marah, kan? Itu privacy lo, kita semua juga punya privacy masing-masing, kok.”

Aleen menghembuskan napas lega. “Gue pikir kalian nggak akan mau temenan sama gue lagi.”

“Dih, justru sekarang lo nggak bakal kita lepasin, Leen.” Sahut Maira.

Safira mengangguk semangat. “Hm em, selain cucu konglomerat, lo juga populer, polos-polos lugu pula. Udah cocok banget lo jadi objek pansos buat kita-kita.”

Aleen memberengut mendengar itu, membuat teman-temannya tertawa riang sebelum akhirnya berebut untuk memeluk Aleen.

Continue Reading

You'll Also Like

25.7K 2.2K 25
โ Ini cerpen ala-ala. โž BXG area ใƒผsandenim
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

930K 51.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
10.6K 607 16
Alleana Zanara dengan segala permasalahan sosialnya. Si gadis introvert, pendiam, dan anti sosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya tidak bisa berg...
2.3M 125K 61
"Walaupun ูˆูŽุงูŽุฎู’ุจูŽุฑููˆุง ุจูุงุณู’ู†ูŽูŠู’ู†ู ุงูŽูˆู’ุจูุงูŽูƒู’ุซูŽุฑูŽ ุนูŽู†ู’ ูˆูŽุงุญูุฏู Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...