(Sementara itu, selepas Nada dan Radit meninggalkan Villa)
"Harusnya kau tetap di dalam saja Denada."
"Hemmm ... Dan membiarkanmu menyulut peperangan dengan seorang pria di belakang sana dan ujungnya Aida tidak akan pernah bisa diizinkan lagi untuk bertemu dengan putriku Riri?"
Nada menyindir sambil melirik wajah suaminya yang masih terlihat keras dan kaku.
"Aku sudah bilang padamu jangan ikut campur urusanku karena aku mau bicara soal bisnisku saja. Aku tidak membicarakan apapun dengannya kecuali bisnis."
"Kalau cuman masalah bisnis kau tidak akan begitu murka melihat dia menipumu bukan?"
"Ahahha, jadi kau menyadarinya juga dan masih bermulut manis didepannya? Kau menyukainya, hemmm?" sindir Radit yang lalu mencebik pada Nada
"Otakmu dangkal," protes Nada
"Kupikir kau mulai terpesona dengannya." tapi Radit tak peduli.
"Heish." Jawaban yang tentu saja membuat Nada memutar bola matanya.
Tentu saja Nada yakin kalau semua yang dikatakan oleh Aida tentang hubungannya bersama dengan Reiko itu adalah tipuan. Nada paham soal itu tapi dia melihat dari sisi seorang wanita.
"Kau pikir aku tidak berpura-pura bahagia bersama denganmu dulu ketika kita berada di rumah besar?" sindir Nada tanpa menatap Radit dan mereka memang sedang berjalan di lorong belakang yang menghubungkan antara Villa dengan pintu yang menuju tangga yang agak curam tepat ke kebun bunga. Nada bicara dengan suara sedikit sesak dan Radit sulit bicara kalau sudah membahas ini.
"Kondisinya sama atau bahkan mungkin lebih buruk dariku? Atau kami sama buruknya seperti saat kau masih tergila-gila pada istrimu itu, nyonya Vi--mmmmmh."
"Kalau aku tidak mengecupmu begitu kau terus saja mengoceh membuat telingaku sakit, hatiku sakit, pikiranku kacau."
Bagaimanapun sekarang memang Nada tahu kalau Radit mencintainya.
Tapi bayang-bayang masa lalu itu tetap masih ada di dalam benaknya apalagi Nada juga merasakan bagaimana kecemburuan Viola dan kebenciannya sudah hampir merenggut nyawa putra putrinya dan dirinya di villa Sean.
Jadi saat ini sebelum mereka melewati pintu yang menghubungkannya dengan tangga Nada menatap tajam pada Radit
"Apa salah yang aku ucapkan?"
"Denada Aprilia sekarang semua sudah berbeda dan harus seperti apa lagi aku mengatakan padamu kalau aku sangat mencintaimu? Kau selalu saja berpikir kalau aku akan kembali dengan Viola. Itu tidak akan pernah terjadi."
Nada hanya menghempaskan napas dan membuang wajahnya saja. Tak ada ekspresi lain.
"Coba lihat dan tatap aku. Kau tak percaya padaku?"
Sebetulnya kalau ditanya percaya atau tidak, Nada sangat percaya sekali pada pria di hadapannya. Pria yang sudah menjaganya dan melindunginya selama dirinya juga dalam kondisi sakit. Tapi bayang-bayang hubungan antara pria itu dengan wanita yang pernah dicintainya memang masih melekat dalam benak Nada, memberikan trauma tersendiri dan toxic dalam hatinya.
"Sudahlah Raditya. Aku tidak mau membahas masalah ini dan jangan campuri urusan wanita itu dengan rekan kerjamu Pak Reiko." Nada merasa sangat terganggu sekali pikirannya dengan ini meski berusaha bersikap biasa.
"Kau yang mulai," cicit Radit meski dia juga setuju tak membahas ini lagi.
"Kau melihat dirimu sendiri padanya? Tapi aku tidak seburuk itu Denada." Radit mencoba bicara, meluapkan sesaknya, meski dia tak mau membahas ini lagi, tapi Radit tak bisa diam.
"Dan aku bersikap seperti yang kau lihat pada Viola waktu itu karena memang dia adalah istriku. Aku tidak selingkuh di belakangmu dan dia memang ada lebih dulu dan dia menikah denganku sepuluh tahun lebih. Sudah tanggung jawabku untuk menjaga istriku. Tapi berbeda dengannya." Radit masih bersikeras dia menggerakkan tangannya memegang dagu Nada pelan membuat wanita itu mendongak sedikit menatapnya.
"Kau tahu orang yang bernama Brigita itu? Dia belum menjadi istrinya dan mereka tidak punya hubungan lebih selain kekasih. Itu lebih buruk bukan?"
"Hah." Nada geleng-geleng kepala ketika mendengar ucapan Radit
"Iyalah, kau lebih baik. Kau sangat mencintai istrimu. SAAA-NGAAAT."
"Hey, kau mau menyindirku lagi? Bagaimana dengan kekasihmu yang selalu saja kau cari sampai sekarang? Dewata Arjuna."
"Aku tidak mencintai Dewa seperti apa yang kau pikirkan Raditya." Nada paling anti menyebut nama Radit sebagai Radit. Dia lebih baik memanggil nama panjang pria itu seperti ini karena selalu saja terbayang-bayang panggilan dari Viola kepada Radit
"Aku hanya ingin bilang terima kasih dan maaf karena waktu itu aku tidak bisa meresponnya. Aku melihatnya tapi aku tidak tahu bagaimana aku harus mengatakannya. cuma itu aja, karena bagaimanapun juga aku banyak berhutang nyawa dan hidupku dengannya."
"Berapa total hutangmu? Name it. Aku akan membayarnya," sinis Radit tak suka.
"Hutang budi itu dibawa mati, Raditya!" protes Nada tegas
"Sssh." Kata-kata yang memang mengganggu Radit dia mencengkram rambutnya dengan dua tangannya dan membuang wajahnya dari Nada sambil menaruh kedua tangannya di pinggang setelahnya.
"Kalau kau mau marah padaku marahlah, Raditya. Tapi aku hanya berusaha berkata jujur. Dan sekarang aku ikut denganmu karena aku tidak mau sampai kau mengatakan sesuatu yang membuat Pak Reiko itu tak mau lagi membawa Aida ketemu dengan putri kita Riri."
"Sampai kapan kau akan meragukanku begini Denada? Pernikahan kita sudah berjalan lebih dari dua tahun tapi tetap saja kau masih menyimpan bayang-bayang wanita itu di dalam benakmu, kau masih menyimpan kebencianmu padaku kah?"
"Aku tak membencimu."
"Lalu apa namanya setiap kita ribut kau selalu saja membandingkan dengan Viola, dan Viola."
"Kau suka menyebut namanya Raditya?"
"Jangan putar-putar. Jawab aku aja, Denada."
Mungkin orang melihat kehidupan mereka sepertinya sangat bahagia dan tak ada masalah tapi trauma Nada terhadap wanita yang bernama Viola memang masih ada melekat dalam dirinya dan memang kata-katanya kalau sudah membahas masalah Viola akan menyakitkan untuk Radit.
"Kau tak bisa menjawabnya?" Ya karena Nada diam dia memang tak bisa menjawabnya hanya matanya saja yang membumbung air mata, pengap hatinya.
'Aku tak ragu cintanya, tapi Viola selalu menyiksa pikiranku, menyakitkan memikirkan apa yang dia lakukan pada wanita itu. Aku cemburu dan ini absurb. Tuhan, kapan aku bisa menghilangkan semua pikiranku tentangnya?' Nada bingung juga. Dia tak mau begini, tapi memang ini sulit untuknya.
"Kau meragukan dan membenciku Denada?"
"Bukan." Nada pun menjawab.
"Aku baru bisa tenang mungkin kalau rasa bersalahku pada Riri sudah hilang dan dia tidak lagi seperti sekarang kondisinya Raditya. Aku--"
"Ssst." Radit memeluk Nada erat. "Ini semua salahku. Maaf Denada."
Kondisi anak itu memang yang paling memprihatikan dan Radit juga paham kenapa Nada cemas begini,
"Kau jangan khawatr." Radit sedikit memaksa meminta Nada tetap dalam cangkumannya meski Nada tadi mau mendorong tubuh Radit.
"Aku berjanji padamu tidak akan membuat sesuatu yang menyusahkan Aida untuk dekat dengan anak kita."
"Kau janji?"
Anggukan kepala tentu terlihat saat Nada mendongak dan menatap pria itu.
"Semuanya sekarang hidupku hanya untuk kalian." Dan itulah yang dikatakan Radit sebelum dia memberikan kecupan di dahi Nada.
Sesuatu yang hangat apalagi ketika Nada memang berada di dalam perlindungan dua tangannya yang melingkari tubuhnya itu
"Maafkan aku Raditya. Kadang-kadang aku tidak bisa mengendalikan diriku kalau sudah terlalu cemas soal Riri dan ingat tentang masa lalu itu."
"Kau ingin lihat kebun bunganya?"
Tanya yang membuat Nada mengangguk pelan.
"Kalau begitu jangan jalan di sana. Jalannya terjal dan licin. Naiklah ke punggungku." Radit membiarkan tangannya melepaskan tubuh wanita terbaiknya. Dia sekarang jongkok dan menepuk punggungnya.
"Ish, aku sudah tidak sakit dan kau tidak perlu menggendongku ke sana."
"Naiklah aku ingin membawamu."
Tentu saja senyum pun muncul di bibir Nada yang tak terlihat Radit. Sikap suaminya selalu sama ketika mereka ingin melewati tangga itu.
Ya karena memang mereka selalu seperti itu. Radit sering sekali berjalan-jalan ke taman di waktu senja atau pagi hari kalau menginap di Villa. Tentu saja dengan membawa Nada di punggungnya.
Kadang-kadang anak mereka titipkan pada pelayan di villa sehingga mereka bisa pergi berduaan, mengenang masa lalu.
Dan tentu saja Nada tak menolak sekarang apalagi pria itu memang benar-benar menginginkannya dan mereka tidak akan kemana-mana kalau Nada tidak naik.
"Apa sekarang aku lebih berat Raditya?"
Suara dari belakang punggungnya itu membuat Radit tersenyum simpul
"Ya aku rasa berat badanmu bertambah dua kali lipat."
"Cih. Beratku dulu itu cuma 50 dan sekarang beratku tidak lebih dari 53 mungkin paling berat 55, mana mungkin kau bilang aku dua kali lipat?" kesal Nada tapi Radit memang sengaja hanya menggodanya saja saat dirinya turun melewati tangga itu
"Apa tangganya tidak bisa di renov Raditya? Kalau tangganya lebih landai ini kan akan lebih mudah sih dilalui."
Karena Radit tak menjawab, Nada yang melihat Radit jalan menuruni tangga perlahan langsung berceloteh lagi
"Kalau tangganya diubah kau tidak akan pernah mau digendong lagi seperti ini."
Sebenarnya itu adalah persoalan mudah tapi Radit memang ingin menjadikan ini sebagai excuse bagi dirinya.
Ini juga yang membuat Nada mengerucutkan bibirnya namun pandangannya kini mengarah ke tiga orang dewasa dan anak kecil yang digendong berjalan menuju ke arah mereka dari belokan depan
"Raditya turunkan aku."
"Kenapa memangnya? Tidak sudi."
Radit tak mau dia membiarkan istrinya tetap ada di punggungnya di saat matanya menatap ke arah dua orang yang sepertinya baru selesai mengerjakan sesuatu
"Taman ini sangat indah sekali Pak Raditya."
Pernyataan itulah yang didengar oleh Radit ketika mereka sudah saling berhadapan
"Kau sudah bicara dengan ayahku?"
Pria itu kembali mengangguk dengan senyum di bibirnya
"Ini tempat yang luar biasa sekali--"
"Apa Rasya tidur?"
Namun sebelum lawan bicaranya yang tadi ingin bicara itu menyelesaikan ucapannya, Radit menengok pada Sandi sambil melirik anak yang ada di dalam gendongan ajudannya.
Rasya agak berat makanya Sandi memilih menawarkan pada Padri untuk menggendongnya apalagi dia memang sudah terlelap dan kini Sandi pun mengangguk pelan
"Kau bisa bawa Rasya dan ayahku masuk ke dalam."
"Baik Tuan Raditya. Saya permisi dulu kalau begitu."
Keduanya menurut. Mereka pergi di saat Reiko merasa sesuatu yang tak enak dan mulai menduga-duga
'Apa kira-kira yang ingin dibicarakan oleh dua orang ini?'