"Apa semua wanita yang seumuran sama Reti dan Rukma harus Bapak kecup dahinya?"
Kesel Aida tadinya dia tidak mau menimpali. Tapi karena tak tahan, akhirnya dia bicara.
Untung saja saat Aida bicara dia sudah bisa mengendalikan dirinya sehingga tidak menangis lagi.
"Hmm, pilih-pilihlah. Yang cantik boleh. Kalau yang..."
"Ish." Aida mencibir. Malas dia mendengar lanjutan dari ucapan Reiko.
"Ya, gimana, masa kalau nggak cantik aku mau mengecupnya? Bau keringet, ogah. Mau yang bersihlah. Enak aja sembarangan cewek."
"Om om gatel," seru Aida bergidik.
Tapi apa itu membuat Reiko merasa khawatir dan marah?
"Hmmm. kenapa emangnya? Kamu pikir aku mengecupmu tadi karena aku menyukaimu, Hmm?"
"Gak. Bapak cuma merasa bersalah udah marahin saya dan bikin saya nangis makanya Bapak mengecup saya supaya saya diam dan tidak lagi menangis. Kayak anak kecil yang lagi dibujuk, dipeluk, disayang dan dikasih balon supaya gak nangis lagi."
"Hmm, tuh pinter."
Reiko bicara, sambil mengacak-acak rambut Aida sedikit
"Tunggu dulu di sini aku ambilkan pakaianmu," ucapnya berbarengan dengan tangannya memindahkan air dan duduk di belakangnya.
Karena kondisinya Reiko tadi duduk hanya di pinggiran tempat tidur.
"Saya udah duduk di sini Bapak kenapa masih di situ?"
"Kamu pikir tubuhmu ringan dan setelah aku memangkumu selama setengah jam lebih kamu pikir mudah untukku berdiri?"
"Hihihi." Di sini Aida malah terkekeh.
"Hei, jangan pegang kakiku. Aku benar-benar kesemutan ini." Reiko protes berat. Karena rasanya kalau kesemutan dipegang kan tidak enak
"Hahaha." Tapi ini malah membuat Aida jadi terkekeh.
Kesalnya masih ada sih yang tadi tapi sekarang sudah lebih baik. Dia sudah bisa menguasai dirinya dan tidak lagi emosional.
Apakah sekuat itu pengaruh pelukan bisa membuat seseorang jadi lebih tenang? Ah, soal yang satu ini Aida tak tahu apa jawaban yang paling tepatnya. Tapi memang dia merasa sangat hangat lagi dipeluk seperti tadi.
Dan untuk pertama kalinya memang ada seorang pria yang memeluknya sekuat itu.
"Bentar aku ambilin." Sambil meringis tapi memang kondisi kakinya sudah mulai bisa digerakkan Reiko pun berdiri.
Tapi kenapa harus dia? Kenapa harus dia Tuhan? Apa tidak ada yang lain kah? Apa aku tidak pantas mendapatkan yang terbaik? Aku tak pernah berbuat zina, seru hati Aida masih mempertanyakan.
Sesak hatinya jika memikirkan soal ini dan ingin sekali dirinya tidak lagi berhubungan dengan pria yang kini sedang memakaikan pakaiannya. Satu persatu, bahkan dia tidak mengizinkan Aida untuk mencoba memakai pakaiannya sendiri.
Sungguh keadaan yang membuat dirinya sangat frustasi apalagi tak ada jawaban apapun yang bisa dia dengar.
Karena Tuhan tidak berkomunikasi langsung dengan manusia bukan?
Jadi tentu tidak bisa berharap akan ada pesan masuk ke melalui WhatsApp dari Tuhan.
"Nanti sore aku akan memandikanmu lagi. Saat dokter Silvi datang aku akan ada di apartemen ini." Dan ini yang diucapkan Reiko saat dirinya sudah selesai memakaikan baju Aida.
"Sini aku perban dulu tangannya."
Cukup telaten dan sabar. Dia mengurus Aida lebih dulu dengan kondisinya masih memakai handuk seperti tadi. Tak peduli dia dengan dirinya sendiri.
"Sebentar aku mengurus dulu yang di kamar mandi."
Reiko masih meninggalkan bekas pembalut di sana.
"Dan handuk ini juga harus dicuci kan?"
Aduh, aku baru sadar kalau aku haid. Dan tadi darah haidnya ke handuk?
Aida sungguh tak memperhatikan kalau handuk itu kedua-duanya terutama yang dia kenakan dan ada sedikit juga yang rembes ke handuk yang dipakai Reiko itu ada bercak merahnya.
Dia sudah terlanjur sedih sekali sehingga tidak memikirkan soal ini.
"Maaf Pak."
Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Aida selain ucapan itu karena memang Reiko tidak mungkin mengizinkannya untuk mencuci itu semua bukan?
"Jika benar-benar ingin minta maaf padaku turuti aku dan jangan lagi melanggar janjimu padaku."
Dan itulah permintaan Reiko sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya
Heish, apa yang membuat emosiku jadi seperti itu? Tak seharusnya aku tadi menangis begitu dan tidak mikir kalau aku sedang haid. Tak paham Aida dengan dirinya sendiri.
Ini kompleks. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Sangat complicated sekali pikirannya dan entahlah, semua ini menyesakan untuk Aida.
Bahkan dia lupa dengan kebiasaannya untuk berdoa sejenak.
Dia justru malah terus saja memaki dirinya sampai.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Reiko bertanya saat dirinya membuka pintu Aida masih dalam posisi yang sama seperti tadi dan tidak melakukan apapun, hanya menunduk memperhatikan kedua tangannya.
"Gak ada." Aida hanya menggelengkan kepalanya pelan
"Jangan kebanyakan bengong. Mendingan kamu nyanyi aja yang kayak kemarin tuh."
"Itu sholawat Pak bukan nyanyi."
Masih dengan suaranya yang malas-malasan Aida menjawab di saat dia juga tidak mau memandang ke arah Reiko yang sedang mengganti pakaiannya.
Bisa nggak sih dia nggak harus ngotorin mata aku buat ngeliat dia? Tapi aku sudah nunduk sih dan tidak melihat apapun. Ya anggap aja begitu, seru Aida lagi.
Andai dia tahu kalau aku sekarang jadi kayak gini karena aku nggak bisa mikir. Berat kepalaku. Apalagi dadaku juga pengap mengingat bagaimana dia memelukku tadi.
"Udah jangan banyak pikiran. Lakuin aja kebiasaanmu itu. Aku mau kerja dulu ya."
"Kerja?" Aida baru sadar kalau barang-barang Reiko masih ada di kamar itu.
"Bapak kenapa nggak kerja di ruang kerja Bapak aja? Nanti kalau Ratu Lebah Bapak nyariin, Bapak abis loh."
"Dia nggak bakal nyariin aku. Dia tahu jam berapa aku kerja dan dia nggak pernah kepo buat nyari-nyari aku ke ruang kerjaku. Tempat itu adalah tempat yang paling dia benci di seluruh ruangan di rumah ini, dan mungkin itu adalah tempat kedua yang dia benci selain kamar ini sekarang."
"Heeeh?"
Jawaban yang tentu saja membuat Aida bingung.
"Bagaimana ruang kerja bisa menjadi tempat yang paling dibenci?"
"Karena kalau di ruang kerja aku akan diam dan tidak banyak bicara dengannya. Aku larut dengan pekerjaanku dan dia tidak suka melihat aku yang mencuekannya."
Paham betul sekarang Aida maksud dari ucapan Reiko. Tapi memang dia tak menjawab hanya membulatkan bibirnya saja membentuk huruf O dan tak ada lagi percakapan di antara mereka, apalagi Aida sudah melihat kalau Reiko sudah menyalakan laptopnya.
Aneh nggak sih? Tadi aku kesel banget sama dia di kamar mandi tapi sekarang kok tiba-tiba rasa kesel dan marahku hilang gitu aja ya?
Mana Aida paham bisa begitu?
Tak sama sekali.
"Hasbi allahumma wakil ni'mal maula wanikman nasir."
Tak tahu lagi harus berbuat apa yang ada sekarang Aida justru malah melantunkan itu di dalam hatinya sambil bibirnya juga bergerak dan matanya memilih menutup namun dia tidak mengeluarkan satu pun suara.
Ini lebih baik untuknya daripada terus memikirkan sesuatu yang mengganjal dan membuat dadanya sesak.
Reiko juga tidak bicara apapun. Dia fokus dengan pekerjaannya dan duduk membelakangi Aida dengan semua berkas-berkasnya itu entah apa yang sedang dia corat-coret di sana.
dreet dreet
Hingga suara getar membuat Reiko dan Aida sempat sedikit terkaget
Reiko: Halo pak Sandi.
Dia mengangkat telepon dari rekan kerjanya ya? Aida hanya tebak-tebakan saja
Reiko: Oh tidak masalah jam segini saya juga sudah bangun makanya tadi saya mengirim pesan pada Bapak untuk mengkonfirmasi yang tadi malam Bapak kirimkan itu tapi saya sudah tidur sepertinya jadi tidak membalasnya.
Eleh, aku yakin dia pasti belum tidur hanya saja tidak sempat membalasnya karena sedang berduaan dengan wanita itu, bisik di dalam hati Aida yang sebenarnya juga tidak tahu jam berapa Sandi mengirim pesan.
Saat itu memang Reiko sudah tidur.
Reiko: Baik kalau begitu Pak sampai ketemu nanti di sana. Saya akan datang jam empat sore sesuai dengan jam yang tadi Bapak tentukan.
Namun ketika mendengar ucapan dari Reiko hati Aida sedikit tak enak.
Jadi hari ini aku akan ditinggal sendirian di rumah ini karena dia ada kerjaannya? bisiknya lagi menduga-duga.
Ya biarlah. Lagian lebih bagus begitu. Dan mungkin aku bisa mencoba meminta padanya perawatan? Tapi aku rasa tanganku sudah bisa bergerak. Semoga saja dokter Silvy bisa memberikan sesuatu yang melegakan sehingga aku bisa jalan dan tak perlu lagi minta tolong padanya. Ini adalah harapan Aida di saat ini dia tidak bicara juga dan ketika Reiko sudah menutup teleponnya dia juga tidak mengganggu dan menanyakan apapun.
"Allahu akbar allahu akbar allahu akbar." Wanita itu melanjutkan lafadz dzikirnya di saat Reiko juga sibuk dengan pekerjaannya kembali.
Mereka tak bicara sampai akhirnya
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR.
Suara adzan itu berbarengan dengan Reiko yang sudah menutup laptop dan berkasnya.
"Sebentar aku siapin makan dulu ya."
Reiko sudah berdiri dari duduknya dan keluar tanpa bicara banyak lagi membiarkan Aida sendiri di dalam dengan dirinya melangkah cepat menuju dapur
"Aku paling sebal kalau harus meninggalkan cucian kotor dan sudah bau," gerutu Reiko, melihat cucian yang menumpuk itu.
Sebetulnya sih hanya ada empat piring, beberapa sendok dan satu mangkuk. Tapi tetap menyebalkan untuknya.
"Heish, cuci piring dululah." Reiko melakukan apa yang ingin dilakukannya secepat mungkin. Saat ini dia sudah memakai sarung tangan dan tentu saja tangannya tidak kotor.
Semuanya sudah masuk ke lemari.
Tinggal buat makanan, seru di dalam hatinya dan kini dirinya juga sudah menyiapkan bahan-bahannya itu
Dan tanpa disangka oleh Reiko.
"Sayang, kenapa kamu yang ada di dapur? Mana wanita pemalas itu?"