Mati aku. Benar-benar mati aku sekarang. Dia sudah tutup pintu, kakeknya sudah pergi.
Tak lega rasanya hati Aida ketika memikirkan ini.
Dari saat Reiko ada di pintu, Aida juga sama sekali tak peduli apa yang mereka bisik-bisikkan di depan sana. Yang dia pikirkan adalah bagaimana cara dirinya bisa menjelaskan semuanya kepada Reiko.
Tapi sampai suara pintu itu tertutup pun dia masih belum menemukan alasan yang tepat.
Habislah aku nih.
Aida tak berani menatap Reiko. Dia lebih memilih untuk menundukkan kepalanya saja dalam-dalam.
Mungkin kalau dia sekarang bisa menggali tanah Aida lebih memilih untuk cepat-cepat masuk dan bersembunyi menutupi wajahnya.
Duudududuuuuuh, dia marah gak ya? Cemas dan nyut-nyutan kepala Aida.
Tapi dia gak ke sini? Dia menuju ke meja makan?
Masih banyak piring-piring kosong di meja makan.
Aku basa-basi apa ya? Kayaknya dia mau cuci piring deh.
Makanya Aida kepikiran ke sini.
Aida yang sudah tinggal sebulan dengannya, tahu kalau Reiko yang super bersih itu tidak suka kalau melihat sesuatu yang kotor. Apalagi bekas makan itu tidak dirapikan?
Bukan dia banget.
"Pak apa butuh bantuan cuci piringnya? Saya rasa saya udah bisa kok Pak melakukan itu."
Habis Aida bingung harus bagaimana. Makanya dia berusaha menawarkan walaupun Aida sendiri juga tahu, tak mungkin dia bisa mencuci piring dengan tangannya yang diperban? Dan mencuci piringnya itu sambil berdiri. Bukankah dia tak diizinkan memberikan beban yang berat dulu pada kakinya selama tiga hari?
Tapi aku sudah tahu sih kalau bakal dicuekin kayak gini. Aida berbisik karena sepertinya tawarannya itu tidak dipedulikan oleh seseorang yang justru sudah mulai mencuci piringnya.
Mau ditolong tidak mau ya sudah. Dia sendiri yang nyuci piring kok. Aida juga berusaha tak peduli
Tapi
Masalahnya sekarang ini adalah salahku yang bicara dengan kakeknya begitu.
Mau bagaimana lagi, Aida sudah melakukan satu kesalahan fatal. Bukannya wajar kalau Reiko memarahinya dan mencuekannya? Toh Aida juga sudah membicarakan sesuatu tanpa berdiskusi dulu padanya.
Gara-gara mulut besarku ini jadinya aku sekarang kena deh. Aku memang sudah bilang kalau aku tidak suka berbohong dan aku juga sering menyindir masalah berbohong. Tapi sekarang aku sendiri yang berbohong pada kakeknya?
Yah, namanya juga manusia tidak sempurna. Kadang mereka khilaf dan kadang juga terbawa oleh suasana dan keadaan yang membuatnya melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan isi hatinya.
Sama seperti perbuatan Aida yang merasa bersalah.
"Tapi bukannya dia harus mendengar dulu penjelasanku? Kenapa aku harus membicarakan itu pada kakeknya?"
Aida tahu dia salah tapi bukannya dia juga punya hak untuk membela diri?
Karena itulah ...
"Pak maafkan saya." Aida mengencangkan suaranya supaya bisa didengar oleh orang yang sedang mencuci piring.
"Waktu kemarin itu saya terpaksa bicara tentang masalah program, soalnya Romo Adiwijaya sama pakde Waluyo terus saja bertanya macam-macam. Jadinya saya bingung dan berbohong soal ini. Saya pikir ini bisa membuat mereka tidak lagi banyak menyusahkan saya dan bertanya yang lain-lainnya."
Aku tahu dia pasti mendengarku kan? Tapi kenapa dia tidak menjawab?
Kesal Aida.
Reiko memang masih terlihat sibuk dengan cucian piringnya.
"Saya tahu kok Bapak marah sama saya karena saya sudah membahas masalah ini pada romo Adiwijaya." Aida bicara lagi.
"Tapi saya sama sekali tidak berniat untuk punya anak dari Bapak juga kok. Sama sekali enggak, Pak. Itu semuanya cuman pura-pura supaya kakek tidak terus-terusan mengintrogasi saya. Jadi bapak jangan berpikir kalau saya memang mengharapkan akan punya anak dari Bapak dan mengikat Bapak selamanya untuk menikah dengan saya. Sumpah, wallahi saya nggak mau Pak. Selamanya terikat sama Bapak dalam pernikahan."
Klontang.
Kalau pecah piringnya baru tahu rasa kau kena kakimu sendiri. Mbok yo kalo nyuci piring itu nggak usah berisik begitu sih. Kaget aku jadinya.
Kesal Aida karena dia sedang bicara serius tiba-tiba ada suara piring cukup kencang dari dapur.
Tapi Reiko sendiri tidak sama sekali menatap padanya atau peduli dan bahkan tidak sama sekali berniat untuk mengajak Aida ribut sepertinya.
"Kalau Bapak kesal sama saya Bapak ngomong aja."
Makanya semakin tak enak dia karena dicuekin. Aida pun langsung merespon lagi.
"Saya juga sudah kepikiran harus bicara apa pada kakeknya Bapak supaya romo Adiwijaya tidak macam-macam lagi dan tidak menyuruh Bapak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana kita, termasuk punya anak tadi, ndak akan terjadi kok Pak."
Sibuk sekali dia di dapur? Cucian piringnya sebanyak apa sih? Harusnya sudah selesai bukan? Bisa kali ngeluangin waktu buat ngejawab sebentar saja.
Tapi percuma Aida berharap banyak karena pria itu masih fokus pada urusannya di dapur.
Susah payah aku bicara menjelaskan semuanya, tapi dia seperti ndak peduli. Malah sekarang pergi ngeloyor gitu aja naik ke atas.
Yah, Reiko bahkan sama sekali tak melirik dan menatap Aida. Seakan-akan di ruang tamu itu kosong, dia sudah naik ke tangga.
Bilang pendidikannya tinggi. Tapi tak punya manner.
Ini juga yang membuat Aida malah mencebik
Sial sih. Aku sudah bicara panjang lebar dia malah kabur gitu aja. Dan sekarang aku harus menunggu dia sampai kapan di sini? Apa jangan-jangan dia tidur di lantai atas? Lupa kalau ada orang yang ditinggalkannya di sini?
Setengah jam sudah berlalu, Reiko masih belum turun juga. Makanya Aida berpikiran begitu.
Apa aku harus masuk ke kamarku sambil merangkak lagi?
Itu hanya tanya yang Aida berikan pada dirinya sendiri dan sebenarnya Aida juga tidak masalah sih kalau harus berjalan begitu.
Tapi nanti aku kena omel lagi. Kakiku belum sembuh, tanganku belum sembuh, dibilang sengaja jalan seperti itu supaya menyusahkannya lagi dan nanti lukaku lama sembuh supaya dia terus-terusan merasa bersalah dan akhirnya merawatku.
Aida sudah terbayang bagaimana semua akan dibolak-balik oleh Reiko.
Dan belum lagi nanti dia liat bajuku kotor, dia pikir aku sengaja mengotori bajuku berjalan merangkak begitu supaya aku dikasihani lagi olehnya dan dia menggantikan bajuku lagi dan dia akan melihat bagian tubuhku yang bisa dia hina habis-habisan.
Namanya juga orang sedang overthinking. Aida tadi bertanya tidak dijawab-jawab makanya dia kepikiran begini.
Aku juga tidak mau sakit seperti ini. Aku juga inginnya sehat. Aku juga sudah kepikiran seperti ini sejak sebelum operasi apakah aku harus mengangkat kedua payudaraku atau tidak. Tapi kata dokter itu memang harus diambil supaya tidak ada lagi sisa-sisanya. Siapa sih orang yang ingin seperti ini?
Sesuatu yang mengganjal di kepalanya yang membuat dirinya tak enak bahkan kini Aida menunduk sambil melihat telapak tangannya yang masih diperban.
Aku juga tidak menyuruhnya untuk menggantikan pakaianku dan membuat dirinya jijik dan kesal karena sudah melihat sesuatu yang memang tidak disukainya. Aku tadi meminta dia untuk memberikan bajunya supaya aku bisa pakai baju sendiri. Tapi dia sendiri yang tidak memberikannya.
Aida yang sedang menunduk, mengedip-ngedipkan matanya supaya dia tidak menangis tapi memang rasanya hatinya begitu perih.
Dia bilang dia harus dianggap dokter, kan? Pura-pura menjadi dokter dan dia tidak punya perasaan apapun padaku. Seharusnya dengan dia mengatakan itu ya aku harus menganggapnya sebagai dokter. Karena ini yang paling masuk akal untuk kami berdua. Lagi pula dia juga memang tidak mungkin punya rasa apapun padaku. Dan aku juga tidak mungkin punya rasa apapun padanya. Aku tahu batasannya. Siapa aku di sini dan aku juga tidak pernah berharap untuk terus bersama dengan laki-laki yang sudah berzina. Oh ndak, Ya Rob, janjiMu, wanita pezina untuk lelaki pezina, wanita baik-baik untuk lelaki baik-baik. Aku bukan pezina.
Namanya juga Aida kesal sudah disuruh menunggu hampir satu setengah jam orang yang ditunggu tidak turun-turun.
Makanya dia mengoceh saja dalam hatinya berpikir apapun yang bisa membuat dirinya sibuk. Meski memikirkan ini juga membuat hatinya terluka.
Tidak, jangan menangis. Mungkin ini hanya ujian dan Tuhanmu hanya mengetesmu saja dengan laki-laki pezina itu. Kamu tidak boleh terlihat lemah. Lagi pula nanti dia lihat CCTV dia senang melihatmu menangis, Aida, bisik hati Aida yang sekarang sudah berhati-hati dengan CCTV.
Ah sudahlah. Aku jadi mengantuk sekarang. Siapa suruh dia meninggalkanku di sini lama-lama? gerutu Aida lagi.
Wajar bukan kalau sudah ditinggal dua jam rasanya mengantuk sendirian begitu. Apalagi dia tidak memegang handphonenya juga.
Baik aku tidur saja. Terserahlah dia mau turun atau tidak. Tapi aku tadi sudah minta maaf. Kalau dia butuh penjelasan aku akan menjelaskan dan kalau aku mau ke kamar mandi, kalau aku sudah tidak tahan ya aku akan merangkak saja,seru Aida pada dirinya sendiri, sudah malas merasa bersalah.
Kalau dia tanya-tanya kenapa aku meniduri sofanya, aku bilang aja kalau dia tidak datang dan dia tak bisa menyalahkanku. Enak saja main kabur, marah kabur, gak jelas. Sambil menepuk-nepuk bantal kursi Aida menggerutu.
Aku juga kan tidak tahu bagaimana kakeknya bisa datang ke sini. Mana aku kepikiran kalau dia mau membicarakan masalah Mesir? Dan pakde Waluyo juga, kenapa juga harus membahas masalah ini sih?
Sudah ngantuk berat Aida. Karena memang dia tadi juga minum obat pereda nyeri dan itu ada obat tidurnya. Dirinya juga sudah kelelahan dari tadi ribut terus dengan Reiko dan sudah bermain perasaan banyak sekali dari pagi hari sampai menjelang sore hari ini.
Makanya sambil selonjoran dirinya sudah senyum-senyum merilekskan tubuhnya ingin memejamkan mata.
"Udah nggak nyut-nyutan kakiku."
Dan saat sudah mendapatkan posisi enak matanya pun perlahan-lahan tertutup.
Sungguh nyaman. Karena memang inilah yang diinginkan olehnya, apalagi penyejuk ruangan cukup nyaman dan membuat dirinya bisa tidur lebih lelap di sofa yang empuk itu.
Tidur tanpa gangguan apapun.
Tapi apakah benar Reiko tidak mau turun ke bawah karena dirinya benar-benar kesal pada Aida?