"Bee, gak gitu. Aku pikir kita mau santai dulu di hotel dan kita akan ke sana besok pagi."
"Kita gak akan ke sana."
"Hei, gak gitu. Ka-kalau memang sudah janjian sekarang kita berangkat saja sekarang."
"Gak usah dipaksakan, kita--"
Mmuuuah.
Brigita tidak melanjutkan ucapannya karena saat itu juga Reiko memberikan kecupan di bibirnya. Hanya sedetik, karena itu kan di muka umum.
"Sudahlah, ayok." lalu Reiko menatap pada Shandra dan Tommy bergantian
"Maaf ya, kalian tahukan bagaimana pasangan? Kami sedang sedikit ada masalah kecil, ribut kecil aja, bikin mood swing. Tapi ayo kita lihat, kalau uang aku bisa pikirkan nanti bagaimana caranya."
Lagi lagi Reiko berada di situasi yang memang bukan dia inginkannya.
Sudahlah semuanya nanti aku pikirkan. Yang pasti sekarang aku tidak mau Bee marah dulu padaku. Aku tidak mau juga dia sampai minum obat-obatan depresi. Tidak, tidak. Sssh, ini benar-benar menguji kesabaranku.
Bisa dibayangkan tidak sih bagaimana perasaan Reiko yang harus melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan?
Ssssh, bagaimana ini? Makin lamalah aku melihat situasi di apartemenku. Aish, semua urusanku jadi berantakan begini. Aku bahkan tidak berani menyalakan handphoneku dulu untuk sebentar. Tadinya setelah sampai hotel baru nanti aku akan bicara dengan semua orang termasuk dengan papa dan aku juga harus menghubungi Roy.
Tak jelas sudah yang pasti sekarang jadwal Reiko memang berantakan karena kepergiannya ke Bali ini belum confirm ke mana-mana.
Mana Aurora Corporation juga sudah melakukan pembayaran mereka lagi. Aku harus secepatnya menyelesaikan semua urusan di sini supaya Senin depan minimal kami sudah bisa langsung menjalankan pembangunan.
Makin cenat-cenut kepala Reiko. Dia bahkan tak tahu berapa lama harus ada di Bali karena kemarin saat Brigita menjelaskan ini juga dia tidak konsen dan hanya iya-iya saja.
Dan sekarang dia harus berpusing-pusing ria dengan perjalanan lebih dari dua jam menuju ke Bali Barat lewat jalur selatan. Hampir mendekat ke arah Gilimanuk dengan jalan yang sedikit padat dan macet di beberapa titik.
Sssh, perasaanku benar-benar tidak tenang juga memikirkan seseorang di apartemenku. Bagaimana dia bisa hidup dengan kaki dan tangan yang terluka itu di sana sendirian?
Makin berantakanlah pikirannya. Dan bagaimana dia bisa mendengarkan semua yang diceritakan oleh Tommy Kalau pikirannya tidak ada di sana?
"Bagaimana menurutmu tentang rencana pembangunan ini?"
"Hmm," Reiko itu bukan orang yang multitasking. Jadi kalau dia sudah fokus pada satu hal dia tidak bisa fokus pada yang lainnnya. Makanya kini dia menggaruk pipinya sambil seakan-akan sedang berpikir.
"Aku rasa ini adalah program yang bagus. Maksudku ini adalah bisnis besar dan akan mendatangkan profit besar."
Dia tak sama sekali merekam satupun penjelasan Tommy selama sejam lebih tadi di dalam otaknya. Semuanya seperti didengar telinga kanan dan keluar melalui telinga kirinya.
"Makanya kami berusaha untuk membuka jalan investasinya untukmu. Aku yakin kalau aku tawarkan pada keluargaku yang lain mereka semua memang sudah menunggu untuk itu. Mereka ingin membiayainya tapi Shandra bilang kekasihmu adalah temannya."
Tommy senyum penuh makna menatap Reiko yang meliriknya.
"Makanya kami membiarkan ini dilihat oleh kalian duluan dan kalian yang mendapatkan ini. Sungguh kesempatan yang sangat langka sekali. Aku juga terpaksa harus menolak yang lainnya untuk kalian."
"Ah." Reiko tersenyum dan manggut-manggut
"Aku akan pikirkan ini." Selesai bicara, Reiko pun berjalan mendekat ke arah Brigita yang sedang bicara entah apa yang dibicarakan bersama dengan Shandra tampak larut dalam obrolan mereka, terlihat senyum dan sesekali ada tawa dengan wajah serius dan itu adalah obrolan yang menyenangkan.
Beda dengan obrolan tadi Reiko dengan Tommy yang hanya satu arah dan Reiko hanya manggut-manggut saja tanpa banyak bicara karena memang pikirannya tak ada di tempat itu.
"Bee, sayang ... Aku rasa ini sudah hampir malam, sudah sunset. Bagaimana kalau kita kembali ke hotel dan kita bicarakan ini?"
"Oh, bukankah Brigita bilang kalian akan langsung menandatangani perjanjiannya?"
"Eh, apa?"
Reiko tak pernah menjanjikan itu. Kenapa dia harus segera buru-buru menandatangani perjanjian? Itu kan butuh uang. Kenapa pula kekasihnya menjanjikan itu?
Jelaslah Reiko kaget.
Karena itulah ...
"Aku tidak berani menjanjikan apapun sebelum aku mendapatkan uangnya. Lagi pula project ini bukannya masih cukup lama?"
Tak salah dong jika Reiko bertanya begini.
"Kita bisa membicarakannya lagi setelah kalian mendapatkan kontrak kerjasamanya. Karena kalau sekarang kita membahas masalah ini sedangkan projectnya belum tentu menjadi milik kalian bagaimana? Perjanjian kosong dong? Buat apa buang uang, repot-repot ke notaris dan membuat legal hukum untuk sesuatu yang belum pasti?"
"Reiko, kamu kok ngeremehin temen kita gitu sih?"
Mata Brigita terlihat begitu marah.
Tapi sebenarnya apa yang salah dari yang diucapkan Reiko? Ini sebuah bisnis. Bukankah mereka harus punya kepastian dan satu hal yang perlu diingat, harus punya uang. Mereka belum ada uang, lalu bagaimana bisa membuat sebuah janji akan memberikan modal pada project tersebut?
Reiko tak mengerti ke mana pikiran Brigita yang membuat dirinya jadi lepas kontrol.
"Aku nggak ngeremehin," seru Reiko mengelak. "Aku mengatakan yang sebenarnya, kalau kita belum ada uangnya. Aku harus cari dulu uangnya dan project ini juga harus ada kepastiannya dulu dong. Sekarang apa yang mau dibuat perjanjian sedangkan project ini masih project milik MTC. Kita menandatangani kontrak tapi kontrak apa yang kita tanda tangani? Bahkan di sini tidak ada orang yang menyambut kita. Ini masih tanah kosong. kita ada di pinggir jalan, di pinggir pantai tanpa ada siapapun. Ini tanah orang."
Tak tahulah Reiko tapi dia sudah kehilangan kesabarannya. Dia bicara begitu dan selesai langsung menyugar rambutnya ke belakang sambil menghempaskan napas kesal. Matanya kini beralih pada Tommy
"Katamu sudah banyak kolegamu yang tertarik untuk menjalankan project ini kan? Aku tidak sanggup. Berikan saja pada mereka."
Itulah kata-kata terakhir Reiko sebelum dia membalikkan badan dan menuju ke arah tempat mobil mereka berada sekitar 500 meter dari posisi mereka berdiri.
"Shandra, seharusnya kamu nggak usah ngebahas kalau Brigita dan kekasihnya akan menandatangani perjanjian itu sekarang. Lihatlah dia marah besar," seru Tommy yang menatap Shandra dengan tatapan marah.
"Ehm, ini bukan salah Shandra. Aku yang mengatakan kalau kami akan langsung menandatanganinya."
Dan Brigita yang tidak enak pada sahabatnya itu memutuskan untuk bicara. Khawatir kalau Shandra akan kena marah oleh suaminya.
"Aku tidak tahu kalau dia akan semarah ini. Biasanya dia tidak begini."
"Karena ini bisnis, Brigita," lembut Tommy bicara.
"Lagi pula benar katanya, kami belum menandatangani apapun. Sebaiknya kita tidak perlu membahas masalah ini dulu dan kekasihmu ke sini hanya untuk melihatnya dulu, kan. Dan kalau kalian tidak tertarik jangan sampai ini membuat permusuhan. Aku gak ada masalah kok." Tommy lalu tersenyum simpul di saat yang bersamaan Brigita menggelengkan kepalanya cepat
"Aku akan mencoba membujuknya. Tunggu di sini biar aku minta dia untuk tanda tangan. Aku sangat tertarik."
"Hey jangan." Tommy lalu memberikan sebuah senyum pada Brigita dan menggelengkan kepalanya saat menahan tangan wanita itu sudah ingin berlari mengejar Reiko.
"Bukannya kamu masih harus memperjuangkan project BIA dengan MTC?" Tommy menyadarkan Brigita tentang sesuatu yang masih belum menjadi miliknya dan masih harus diperjuangkan oleh Reiko.
"Sebaiknya kamu dekati dia dan mungkin dia sedikit marah dari tadi. Kamu mencuekannya dari tadi kan di mobil? Coba hibur dia dulu. Dan nanti kita bicarakan tentang project ini kapan-kapan lagi yang penting hubungan kalian baik dulu saja."
Kata kapan-kapan lagi yang diberikan oleh Tommy harusnya membuat Brigita sadar kalau Tommy sepertinya kepepet uang. Kenapa harus menunggu mereka yang tidak punya uang? Bukankah banyak teman yang tertarik?
"Ehm, terima kasih ya. Makasih banget buat pengertiannya padahal kalian ingin menolong kami malah kami yang merepotkan di sini." Tapi sayangnya Brigita tak berpikir begitu.
Dasar pria bodoh. Setelah aku mendapatkan Gerald Peterson aku akan meninggalkanmu dan benar-benar akan membuatmu terhina! seru hati Brigita. Dan dia berlari mengejar kekasihnya yang sudah hampir sampai ke mobil mereka.
Brigita membiarkan Tommy dan Shandra berada di belakangnya sambil mata Tommy menatap serius pada Shandra.
"Bukannya kita harus meminta dia memberikan uang itu minggu depan atau paling lambat akhir bulan ini? Kita sudah dikejar-kejar untuk satu tender kita Tommy."
Yah, mereka kepepet dan butuh uang. Ini juga sudah dipikirkan oleh Sandra matang-matang untuk membuat Brigita meminta uang kepada Reiko.
Kekayaan keluarga kekasih Brigita itu masih bisa menyelamatkan bisnis Pramono dari kebangkrutan dan dari hinaan publik.
"Kalau sampai kita tidak bisa memenuhi itu maka nama baik kita akan hancur dan kita akan tercium keburukannya oleh Gerald Peterson. Dia tidak akan percaya dan akan memberikan tender itu pada orang lain bukan? Dari tadi malam kau juga tidak sabaran kan memintaku untuk cepat-cepat membuat mereka memberikan uang pada kita?"
"Hmm." Tommy tahu masalah ini adalah masalah yang pelik.
"Tenanglah dulu. Aku sudah punya ide bagus dan kita akan dapat uangnya," ucap Tommy dengan senyum di bibirnya.
"Brigita akan membuka jalan untuk kita. Aku tahu rencanaku kali ini tidak akan meleset."