Syukurlah sekarang Bee sudah tak lagi kesal denganku.
Pikiran Reiko yang sudah tidak lagi fokus ke mana dia harus mencari modal dan bagaimana menenangkan hati Brigita membuat dirinya merasa benar-benar lega.
Hahah, aku yakin, kemarahan istri bisa membuat suami gila. Jangan-jangan, orang korupsi itu juga karena tuntutan di rumahnya yang besar kan? Aku rasa ini bisa jadi, bisik Reiko ketika dia melewati salah satu gedung pemerntahan sambil memikirkan tentang kemarahan Brigita tadi malam.
Tapi Bee bukan wanita seperti itu. Dia menuntut karena aku pula yang sudah berjanji, kan? Dia gadis yang manis dan pengertian. Buktinya dia mau membangun usaha kami merintis dari nol.
Bahkan dalam kondisi macet seperti ini yang tidak disukai oleh Reiko, dia masih bisa tersenyum.
Kondisi moodnya memang sedang sangat baik. Apalagi tadi Brigita juga meminta maaf, kan padanya? dia mau mendengarkan dan tak banyak menuntut ketika Reiko memberitahukan aturan investasi yang akan di buat Reyhan.
'Kakek saja yang tak mengenalnya. Aku yakin, kakek akan menyayanginya saat sudah mengenalnya dekat '
Reiko sangat yakin dengan tebakannya ini. Dan pikirannya membuat dirinya begitu bahagia, tak sabar pula menunggu momen bahagia itu terwujud.
Tapi berapa lama dia bisa setenang ini tanpa stress?
"Reiko kita ada rapat segera dengan petugas pajak. Kamu kemana aja tadi? Laporan pajak, apa sudah kamu cek ulang? Kita juga mesti berusaha meminta amnesti pajak. Ini untuk mengurangi pengeluaran yang tak penting itu."
"Aku yakin Papa pasti tahu kan kalau aku ketemu sama Brigita?"
Sampai di kantor baru juga dia mau masuk ke dalam ruangannya sekretarisnya sudah memberi info kalau dirinya harus ke ruangan Endra Adiwijaya.
Di sanalah Reiko sudah disemprot oleh papanya, melihat jumlah yang harus dibayarkan, itu terlalu tinggi menurutnya.
"Tapi kan kamu tahu kita masih ada kerjaan. Dan ini, bayar pajak kok sampai 1,8 triliun. Kamu gila, heeeh?"
"Maaf Papa tadi urgent. Tapi memang segitu kewajiban kita pada negara."
"Kurangi. Buat jadi 180 miliar maksimum, syukur bisa kurang dari 100 miliar."
Endra tak rela dengan itungan yang sudah disepakati Reiko dengan semua akuntan dan direktur keuangan. Ini hitungan yang benar.
"Iming-imingi pembagian THR pada karyawan, buat dana operasional untuk perbaikan kantor, buat biaya pendanaan untuk maintenance pabrik, pembelian alat transportasi baru, masih banyak yang bisa kamu karang, kan?" Endra menekan.
"Aku mau kau perbaiki ini sebelum pejabat pajak datang."
"Heeh, Papa, penggelapan dana pajak ini bisa jadi masalah pada perusahaan kita."
Reiko memang tak mau mempermainkan ini. Biasanya memang Endra sendiri sih yang mengurus soal pajak. Baru tahun ini Reiko dilibatkan. Makanya dia tidak mengerti kenapa papanya bersikeras untuk membuat jumlah pajak kewajiban mereka itu harus ditekan.
"Ikuti yang aku inginkan, perbaiki semuanya."
"Fuuh." Reiko jadi pening. "Papa, aku padahal sedang bahagia, malah mesti ngerjain yang ga penting dan bikin bad mood lagi," protes Reiko yang sebenarnya juga malas melakukan keinginan papanya itu.
"Brigita memberimu sesuatu?"
"Bukan," inginnya sih Reiko cerita sekarang
Tapi
"Aku ada surprise untuk Papa tapi nanti ya. Yah, mungkin 3 sampai 4 bulan lagi aku kasih tahu. Nanti juga Papa bisa lihat sendiri wanita seperti apa yang kucintai."
"Jangan bilang kamu berencana untuk menghamili Brigita."
"Tidaklah, Papa. Aku sudah komitmen kalau kami akan punya anak setelah kami menikah. Aku tidak mau kalau nanti ada media yang mulai membuat kerusuhan dan mereka membandingkan tanggal pernikahanku dengan kekasihku lalu ujung-ujungnya mereka akan mencibirku karena Brigita melahirkan lebih dulu dari tanggal estimasi."
"Ya bagus begitu."
Endra Adiwija pun merasa lega.
"Ini juga akan merusak nama baik keluarga kita. Ingat itu. Aku tidak mau ada konflik apapun sebelum ada pernikahanmu dengannya. Tidak boleh ada anak dulu."
Dan memang inilah alasan Reiko juga yang membuat dirinya tidak mau melakukan sesuatu yang salah soal membuat creature baru lahir di dunia ini. Nama baiknya. Dia adalah satu-satunya penerus dari Adiwijaya group tidak boleh terlihat cacat di hadapan publik.
"Reiko, aku rasa kamu mesti hati-hati dengan Tommy Pramono juga."
"Eh, kenapa Papa?"
"Nanti Papa jelaskan selesai kamu perbaiki catatan pajaknya."
"Ya sudah."
"Reiko." tapi Endra memanggil lagi. "Aku tidak suka kalau kamu seperti ini. Urus kantor ini lebih dulu daripada urusanmu yang lain termasuk bisnismu yang buang-buang waktu itu. Mengerti?"
Maklum saja bisnis yang ditekuni oleh Royco itu hasilnya menurut Endra bukan sesuatu yang luar biasa apalagi itu adalah bisnis yang dikerjakan bersama dengan Aurora Corporation yang merupakan saingan bisnis mereka. Musuh besar mereka. Jadi tidak ada yang bisa dibanggakan.
"Iya Papa."
"Kerjakan yang aku perintahkan."
Setelah mendengar ucapan papanya terpaksa Reiko harus kembali ke ruangannya. Dia meminta sekretarisnya untuk menyampaikan pada bagian keuangan apa saja yang harus ditambahkan pada catatan pengeluaran perusahaan.
Dengan menambahkan ini maka biaya pajak akan bisa ditekan.
Sesuai dengan perintah Endra Adiwijaya.
"Fuuh, aku tinggal tunggu laporan yang mereka buat nanti," ucap Reiko yang masih bisa menarik napas lega ketika ada dalam ruangannya dan bisa beristirahat sejenak sambil menunggu bagian keuangan dan akuntan memberikan catatan dan secepatnya dia harus mengeceknya.
Tapi tak bisa dipungkiri, Reiko sedikit lelah. Makanya, sambil menunggu, dia ingin relax dulu sejenak. Reiko memiih menyandarkan kepalanya di kursi kerjanya sambil menghempaskan napas pelan. Lelah sekali, dari jam tiga dia bangun belum sedikit pun beristirahat.
Inginnya sih Reiko memejamkan mata. Tapi sesuatu yang ada di hadapannya sedikit mengganggu.
"Aku penasaran."
Kata-kata itu terlontar dari bibirnya sebelum dia membuka laptopnya
"Apa yang kau lakukan hari ini?"
Sebulan terakhir ini memang Reiko sering sekali mengecek CCTV apartemennya. Ini sudah seperti kegiatan berulang kali. Chemistry-nya mirip seperti seseorang yang melihat handphonenya nganggur dan ingin sekali membuka handphone itu. Padahal tidak ada pesan atau apapun, tapi dia sudah membuka whatsapp-nya, media sosialnya, hanya sekedar membuka.
Sama seperti yang Reiko lakukan. Karena sudah kebiasaan sebulan ini dia jadi penasaran apa yang sedang dilakukan oleh wanita yang ada di rumahnya.
Rasa ingin tahunya ini justru membuat dirinya membelalakkan mata ketika dia melihat apa yang ada di sana
"Apa yang dia lakukan?"
Kesal Reiko. Ini juga yang membuat dirinya yang seharusnya duduk diam di kantor dan beristirahat menunggu laporan keuangan baru itu segera menutup laptopnya buru-buru. Bahkan Reiko tadi menutup cukup kencang dan berlari, bergegas menuju pintu ruangannya.
"Permisi Pak Reiko ini laporannya baru saja--"
"Berikan ke kantor papaku."
Berbarengan dengan seorang sekretaris yang baru saja mau mengetuk pintunya kaget ketika Reiko membukanya duluan jadi langsung mengutarakan niatannya.
"Bilang pada papaku handle dulu rapat ini. Maksudku bilang ke Pak Endra Adiwijaya."
Reiko seakan tak punya waktu untuk izin pada papanya. Dia sudah menuju lift Tapi saat itu
"Reiko."
Papanya yang juga baru mau ke ruangannya melihatnya
"Papa urgent. Aku harus kembali ke rumah dulu."
"Ke rumah?"
Saat lift terbuka Reiko menengok ke belakang lagi, menggelengkan kepalanya pelan.
"Rumahku, maksudku apartemenku. Ada sesuatu yang harus aku bereskan di sana," ujar Reiko yang masih tergesa-gesa
"Aku belum sempat bicara dia sudah pergi."
Untung saja aku sebenarnya sudah buat laporan cadangan. Anak ini, aku menyuruhnya tanggungjawab juga.
Endra sampai geleng-geleng kepala tak tahu apa yang ingin dilakukan oleh Reiko
Untung juga ini tidak ketahuan Romo dan Lesmana. Sikapnya ini bisa membuat dirinya tidak qualified sebagai penerus Adiwijaya.
Memang Endra selalu berusaha untuk menutupi semua kesalahan putranya agar terlihat sempurna di hadapan Adiwijaya. Tapi entah sampai kapan dia bisa seperti itu terus?
Sedangkan rapat penting seperti ini saja anaknya sudah kabur begitu saja.
Bisa apa dia?
"Apa yang terjadi di rumahnya?"
Saat ini Endra yang sudah tidak bisa lagi melihat CCTV apartemen Reiko, bertanya-tanya juga.
Sepertinya sesuatu yang urgent. Makanya dia hanya bisa menebak-nebak saja sambil berjalan masuk ke dalam ruangannya, menunggu rapat dan menyiapkan laporan cadangan Yang memang sudah dibuatnya lebih dulu.
Mau bagaimana lagi, tidak mungkin kan dia rela untuk membayar pajak seperti hitungan Reiko? Endra terpaksa menghandle ini sendiri, seperti biasanya.
Pria itu juga adalah seorang yang bertangan dingin dalam berbisnis. Jadi untuk dealing dengan yang seperti ini tak ada masalah untuknya. Dan untung saja Adiwijaya group memiliki orang-orang yang kompeten. Endra Adiwijaya sendiri juga sudah terbiasa menangani petugas pajak setiap tahunnya. Sehingga semuanya berjalan sesuai dengan rencana meskipun tidak ada Reiko.
"Awas aja nanti kalau dia kembali," umpatnya lagi. Ingin sekali dia menghubungi anaknya saat ini juga
Karena itulah
"Bosmu sudah datang belum?" tanya Endra setelah dia berpisah dengan petugas pajak.
Saat ini Endra ada di depan ruangan Reiko tapi dia tidak langsung masuk ke dalam. Melihat sekretaris putranya berdiri, itulah yang langsung ditanyakannya dengan wajah tak bersahabat.
"Belum pak Endra."
"Ini sudah dua jam dia belum kembali?"
Kesal Endra. Padahal jarak dari apartemennya ke kantornya kalaupun macet biasanya sekitar 30 menit saja. Sangat dekat sekali, bahkan gedung apartemennya jelas terlihat dari ruangan kantor Reiko dan Endra. Kalaupun kondisi jalan sangat buruk berarti dalam waktu sejam Reiko sudah kembali lagi ke kantornya, bukan? Tapi ini sudah dua jam.
Kenapa Reiko belum kembali?
Endra baru ingin menelepon putranya, tapi saat itu
"Halo Om Endra Adiwijaya. "
Panggilan yang didengarnya dari belakang membuat dirinya menengok ke sumber suara dan tersenyum tentu saja setelah melihat siapa yang datang. Minimal tak menunjukkan wajah marahnya tadi.
"Hey, Brigita. Mencari Reiko?" tanya Endra yang hanya sekedar basa-basi. Mana mungkin dia tidak tahu kalau Brigita pasti mencari Reiko.
Bahaya jika Romo tahu mereka masih dekat.
Hanya saja kedatangan wanita itu tidak diharapkan olehnya.
"Ya tadi dia ke kantorku dulu. Tapi obrolan kami belum selesai dan ada yang lupa yang ingin aku sampaikan soal kerjasama kami. Jadi aku datang ke sini sengaja ingin membahas itu, sekalian tadi baru selesai meeting di luar, Om."
"Oh."
Endra meladeni lagi di saat Brigita menengok ke arah sekretaris yang masih berdiri
"Dia sekretaris baru Reiko?"
Tatapan kekasih Reiko sepertinya tak suka pada seseorang yang tersenyum padanya itu
"Oh iya. Namanya Mimi. Kenapa?"
"Oh tidak apa-apa."
Brigita kembali me-manage mimik wajahnya dan terlihat tersenyum lagi di hadapan papa Reiko itu.
"Permisi Om Endra, apa boleh aku menemui Reiko sekarang?"
Brigita masih menunjukkan sikap sopan yang di saat Endra justru menggalakan kepalanya
"Aku rasa tidak bisa."
Jelas ini membuat Brigita kaget. Kenapa jawabannya seperti itu?
"Hahaha." Namun wajah serius Endra hilang ketika dia sudah terkekeh. "Jangan dibawa serius."
"Anda pandai sekali membuat lelucon, Om," seru Brigita menimpali candaan Endra.
"Ya sekedar iseng aja. Haaah," tambah Endra lagi sambil menghempaskan napas pelan
"Reiko tidak ada di ruangannya. dia ke apartemennya."
"Apa?"
Jelas Brigita tak percaya kalau bukan mendengarnya dari Endra.
Mau apa Reiko di apartemennya? Ini masih siang menjelang sore. Tidak mugkin kan dia sudah selesai bekerja sedangkan papanya masih di kantor?
"Apa dari tadi, om?" makanya Brigita penasaran.
"Hmmm. Aku juga menunggunya sudah dua jam dia belum kembali."