"Kalau menurut pak lek, sebaiknya--"
Braaak.
"Assalamualaikum Papaaaaaaaaa. Mmuuuuaaaah, Nessa kangeeeeen banget ma Papa."
Hartono tidak jadi melanjutkan ucapannya karena saat dia ingin bicara ada seseorang yang mendobrak pintu depan yang tak dikunci itu, seorang wanita langsung berhamburan memeluk Hartono, menciuminya, menunjukkan kerinduanya.
Keadaan yang membuat seseorang dalam ruangan itu pun menahan geli
Ya ampun, bener-bener seperti bocah. Tapi anak pak lek sejak kapan pakai penutup kepala? Dia tidak punya masalah kerontokan rambut karena penyakit kanker kan?
Reiko sejujurnya berpikir kalau Aida menggunakan penutup kepalanya itu hanya sebagai tameng dikarenakan rambutnya rontok. Makanya dia berpikir begitu tentang Vanessa Widya Putri.
"Vanessa. Jangan begini dong." Tapi pikiran Reiko teralihkan karena pekikan pak lek-nya.
"Papa kenapa sih? Apa sekarang Papa nggak suka kalau aku peluk Papa lagi? Kan aku kangen. Emang Papa gak kangen ke aku?"
"Jangan cemberut dulu, Vanessa. Kamu nggak lihat Papa sedang ada tamu?"
Vanessa sama sekali tidak melihat Reiko di dalam ruangan itu. Saat pintu terbuka, matanya langsung tertuju pada papanya yang memang duduk tepat sekali berhadapan dengan pintu yang terbuka.
Karena itulah Vanessa langsung menentukan arah langkahnya tak tengok kanan kiri lagi. Sedangkan Reiko berada di blind spot dari mata Vanessa. Gadis itu sama sekali tidak mempedulikannya
Tapi sekarang ...
"Wah Papa punya tamu kok ganteng banget sih. Dia siapa?"
"Ehm, Nessay."
"Hehehe, Bang Rey." Vanessa keceplosan sehingga dia kaget mendengar namanya dipanggil oleh pria yang masih berdiri di depan pintu.
"Maap Bang Rey, bener loh orang yang ngobrol ama papaku ganteng." Di sini Vanessa masih senyum-senyum tapi sayangnya wajah suaminya masih menunjukkan tatapan tak suka
Karena itulah
"Eeeh, aku salah ya Bang Rey?" Mulai ngeri Vanessa.
"Tapi beneran kok nggak ada yang lebih ganteng dari bang Rey. Jadi bang Rey nggak usah marah dulu sama aku. Buat aku masih gantengan Bang Rey meskipun mungkin buat orang lain kali aja gantengan dia."
Heish, wanita ini benar-benar mencari masalah dengan suaminya sendiri. Membuatku jadi tidak enak, pikir Reiko jadi serba salah karena memang Reyhan sepertinya tidak suka dengan pujian istrinya pada pria lain. Jadi wajahnya masih lecek.
Vanessa ini kan kalau bicara memang suka ceplas-ceplos. Jelas saja suaminya yang masih menggendong anak mereka tak suka dengan sebutan ganteng bagi laki-laki lain yang baru saja diberikan olehnya.
"Sudah-sudah kalian ini. Apa kamu lupa dengan Reiko?"
Untung saja sebelum kemarahan Reyhan meledak, Hartono sudah menengahi.
"Ini masmu loh Vanessa. Dia ini anak dari kakak Papa, Pak de Endra Adiwijaya, masa kamu lupa sih?"
"Ooooo--" Vanessa menjawab sambil dia berpikir, wajah polosnya bercampur sedikit agak bodoh mengingt-ngingat masa lalu,
"Mau kamu ingat-ingat pun kamu tidak akan ingat."
Tentu saja dia tidak akan pernah mengingatnya, makanya Hartono bicara lagi.
"Inget kok, tapi Kenapa Mas Reiko jadi seganteng ini? Dulu kan botak kan?"
"Eeh, a-aku gak pernah botak."
Tambah lagi melihat ini Reyhan makin gemas pada istrinya saat mendengar jawaban Reiko, yang memang anti sekali membuat rambutnya plontos.
Bahkan dia lebih memilih tidak ikut masa orientasi siswa kalau disuruh memotong habis rambutnya. Lebih memilih mendapat hukuman saat masuk sekolah nanti.
"Sudah papa bilang kamu nggak akan ingat Vanessa." Inilah ujian kesabaran Hartono kalau anaknya sudah kembali ke Jakarta.
"Terakhir kali kamu bertemu dengan masmu ini, sudah lama sekali. waktu usiamu sepuluh tahun Vanessa. Kamu kan nggak pernah mau ikut ke Kudus lagi kan? Apalagi setelah mamamu meninggal, kamu sudah sibuk dengan kegiatanmu dengan teman-temanmu."
"Hehehe."
Mau menyangkal apa lagi Vanessa? Tak ada yang bisa dia lakukan selain tertawa seperti itu.
Vanessa memang tidak terlalu dekat dengan keluarga Adiwijaya.
Dia juga tidak pernah melihat Reiko lagi, bayangan wajahnya juga samar.
Dan biasanya kalau Hartono menelepon Adiwijaya, Vanessa ikut video call saja. Tapi hanya dengan Adiwijaya dan istrinya. Saat neneknya meninggal, Vanessa kala itu sudah menikah dengan Reyhan Dharma Aji. Makanya dia tidak datang ke acara pemakaman itu dan tidak bertemu juga dengan Reiko.
Vanessa lebih dekat dengan keluarga dari ibunya Hartono dan omnya dari pihak ibu yang sudah dianggap sebagai ayah angkat oleh Hartono. Mengajarinya banyak hal dan membantu biaya sekolahnya juga dengan membiarkan Hartono sekolah sambil membantu usahanya.
Hartono mendapat gaji yang bisa dia gunakan untuk biaya sekolah dan beasiswa yang diperolehnya juga membantunya untuk bisa seperti sekarang.
"Yah, mana aku tahu kalau punya sepupu seganteng mas Reiko."
Makanya istri Reyhan itu pun tertawa kecil sambil garuk-garuk kepala seperti sekarang, tapi kata ganteng yang keluar dari bibir Vanessa itu memang sangat tidak disukai oleh suaminya.
Karena itu ...
"Bawa anak kita ke kamar dia masih mengantuk, Nessay."
Tanpa menatap Reiko atau siapapun kecuali Vanessa, Reyhan bicara. Dia bahkan belum masuk dan mendekat pada Vanessa. Masih berdiri di luar pintu, menahan emosinya.
"Maaf, Papa lupa mempersilakanmu masuk, Rey."
"Iya Papa, tidak apa, aku hanya sekalian menunggu Roy," alasan Reyhan. Padahal sebetulnya dia tak kepikiran masih berdiri di sana. Sudah terlanjur kesal dengan istrinya
Barulah setelah Hartono bicara, akhirnya Reyhan masuk dan matanya langsung tertuju pada Vanessa sambil menyerahkan anaknya.
"Oh iya. Tapi kan aku masih baru sampai aku mau ngobrol dulu sama papa, bang Rey. Aku kangen banget ma papa."
"Terus Dharma gimana? Masa kamu nggak mau bantu temenin di kamar? Nanti kalau bangun gimana? Kan lebih enak kalau dia tidur di tempat tidur daripada di tangan begini sambil digendong? Lagian kita nginep di sini seminggu, kan?" sanggah Reyhan yang lagi-lagi menitikberatkan semuanya kepada anaknya, padahal dia tak suka Vanessa terlalu lama dalam satu ruang bersama Reiko dan lagi pula dia juga belum mengenal pria yang dibilang sepupu Vanessa.
"Tapi Bang Rey--"
"Gak ada tapi, temenin Dharma dulu di kamar."
Sebuah pembicaraan yang membuat Reiko menghempaskan napas pelan.
Ini anak bener-bener seperti bocah. Sudah lihat kalau suaminya cemburu denganku, heish. Reiko tak enak hati.
Tapi aku tak habis pikir apa yang membuat pria dewasa seperti dirinya, mapan dan terlihat serba berkecukupan, punya tampang juga, memilih menikah dengan bocah seperti sepupuku yang berantakan ini? Pasti akan menyusahkan seperti mengurus anak kecil kan sikapnya. Mana bisa melayani?
Reiko berpikir dalam hatinya karena menurutnya anak seperti Vanessa tak lebih menarik daripada seorang wanita yang sudah dewasa.
Dari body shape-nya harusnya pria matang seperti dia bisa mendapatkan wanita seperti Brigita. Dia tidak bisa melihat wanita cantik apa ya?
Vanessa bukan tidak cantik. Tapi dia masih sangat muda. Usianya sekarang masih 20 tahun dibandingkan dengan Brigita yang sudah dewasa, hampir tiga puluh tahun dan sudah mengerti bagaimana bermake up, bersikap dan memiliki pendidikan yang tinggi juga sudah berkarir, tentu saja berbeda dengan Vanessa yang masih polos, hobi nonton kartun dan masih lebih senang mengganggu Reyhan seperti layaknya seorang bocah pada kakaknya, bahkan saat ini Vanessa tanpa make up. Terlihat lelah karena perjalanan jauh dari Amerika ke Indonesia. Dia juga menggendong anaknya seperti menggendong adik bayinya karena wajahnya yang memang baby face, seakan bayi itu keponakannya. Vanessa masih seperti anak remaja pada umumnya.
Tapi memang dia bukan tipe wanita yang menarik untuk Reiko kalau harus dijadikan istri.
Aku yakin wanita kampung di apartemenku itu kalau aku kasih hati saja sedikit dia pasti akan bersikap seperti ini. Benar-benar wanita yang menyusahkan. Untung saja aku masih punya otak untuk tidak dekat-dekat dengannya, bisik hati Reiko yang lagi-lagi menunjukkan gambaran sempurna bagaimana Brigita tetap menjadi wanita terbaiknya.
"Ikuti kata Reyhan." Hartono tahu anaknya akan terus saja berkelit makanya dia ikutan bicara, yang sebenarnya didengar oleh Reiko meski pikirannya tetap menunjukkan kurang suka dengan Vanessa.
"Karena sekarang Papa ada tamu dan lagi ada pembicaraan serius ini. Kamu urus dulu saja Dharma, habis itu nanti kita makan bersama, Vanessa. Tak baik melanggar perintah suamimu dan bernegosiasi alot kalau dia sudah memerintahkanmu untuk kebaikan."
"Iya Papa." Vanessa mencebik. "Maaf bang Rey."
"Kamarmu juga sudah dibersihkan. Sana kamu bisa istirahat dulu. Nanti papa panggil kalau sudah waktunya makan."
"Eh, makan."
Jawaban makan dari papanya sungguh menggugah selera Vanessa, sehingga dia kembali melirik dan menunjukkan wajah antusiasnya pada Hartono.
"Papa masak apa?" Lupa sudah kalau dirinya harus cepat-cepat ke kamar.
"Papa belum masak."
"Heh?" Jawaban yang membuat Vanessa mengerucutkan bibirnya
"Terus kalo papa belum masak, kita mo makan apa dong?"
"Makan apa ajalah yang ada nanti kita bisa pesan online makannya kan?"
"Online? Enggak ah, enggak mao. Aku masa udah jauh-jauh sampe Indonesia makannya online? Dih."
"Vanessa bukan makan online pesan makanan online, anakku sayang."
"Sama ajalah Papa, cuma bahasanya aja kebalik, aku maksudnya juga ke situ," protes Vanessa, tambahan yang membuat Reiko masih mengurut dadanya.
Untung saja aku masih punya otak normal untuk tidak menyukai wanita di bawah umur wanita dewasa yang cerdas seperti Brigita, bisik hati Reiko yang merasa lega.
"Aku nggak mau. Nanti biar aku aja yang masak."
"Ya sudah terserah kamu sajalah"
Namun kata-kata Vanessa ini sedikit mengganggunya
Apa anak-anak seumuran ini memang hobinya memasak ya? Kenapa sama seperti dia?