RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21K 2K 195

Bersaing dengan orang lain āŒ Bersaing dengan sepupu sendiri āœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.4 Aleo
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.2 Senyawa hidrida
3.3 Ekstra 0,2564
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.2 Singularitas gravitasi
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.1 Konservasi
6.2 Pasar monopolistik
6.3 Imperialisme Jepang 1944
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

3.4 Gerak parabola

458 45 0
By Mikhaely04

Menatap pemandangan kota besar di malam hari dari atas rooftop bangunan terbengkalai membuat mata Aleen berbinar. Ini bukan pertama kalinya bagi gadis itu, sebelumnya dia sudah pernah melihatnya, namun kali ini Aleen akui pemandangannya jauh lebih indah.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun tidak ada tanda-tanda Aleo mengajaknya pulang. Padahal menurut aturan, gerbang kediaman keluarga ADHINATHA akan tertutup persis jam 12 malam. Aleen menoleh melihat pemuda itu, pemuda yang duduk 4 meter dari Aleen karena dia sedang merokok.

“Katanya nggak tahan sama asap rokok.” Aleo menyindir begitu Aleen memutuskan mendekat dan duduk di samping pemuda itu.

“Gue butuh teman cerita. Biar nggak ngantuk.” Tidak bohong, jam-jam segini Aleen biasanya memang sudah bersiap untuk tidur.

Aleo mengisap rokoknya sekali lalu menghembuskan asapnya. Pemuda itu kemudian memegang rokoknya secara vertikal dengan bagian yang menyala berada di bawah, menekan bagian yang menyala itu ke tembok hingga rokok itu benar-benar padam. Padahal rokok Aleo belum terlalu pendek.

“Lo sengaja matiin rokoknya buat gue?”

Aleo menoleh. “Enggak. Emang lo spesial?”

Aleen lantas memukul lengan pemuda itu. Meski Aleo berkata begitu tapi Aleen tau kalau rokok itu memang sengaja Aleo padamkan untuknya.

“Jadi lo mau curhat apa?” Aleo bertanya.

“Bukan curhat, tapi gue pengen nanya-nanya ke lo.”

“Nanya apa?”

“Kata Bayu, lo pernah jadi gembel. Emang itu benar?”

Aleo mengubah duduknya jadi bersila, lalu menopang dagunya sambil menatap ke arah Aleen. “Kenapa lo pengen tau? Penasaran?”

Aleen menggeleng. “Bukan. Karena gue peduli, lah. Gue kan udah janji mau ngurusin lo.”

Aleo diam beberapa detik, sebelum akhirnya pemuda itu menghela napas sambil mengalihkan perhatiannya pada pemandangan kota malam hari yang ada di hadapan mereka. Mata Aleo memang melihat ke sana, namun dilihat dari tatapannya, pikiran pemuda itu seolah menerawang ke dimensi lain. “Sebenarnya gue nggak lahir di kediaman keluarga ADHINATHA. Tapi lahir di lingkungan kumuh yang kita kunjungi tadi.”

“Apa?!” Aleen menyeru, antara terkejut dan tidak percaya pada apa yang Aleo ucapkan. “Lo bercanda?”

“Gue serius.” Aleo membalas dengan cepat.

“Jadi lo bukan keturunan asli keluarga ADHINATHA?” Aleen menutup mulutnya saking tidak percayanya.

Namun detik berikutnya Aleo malah mendenguskan tawanya sambil mendorong pelan kening Aleen menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Bodoh. Gue ini keturunan asli keluarga ADHINATHA. Ayunindiya, Ibu gue, dia anak ke-empatnya Avia.

Iya, sih. Avia juga pernah menjelaskan itu pada Aleen. Tapi kenapa Aleo bisa lahir di tempat seperti itu? “Terus, kenapa lo bisa lahir di sana?”

“Ibu nggak pernah ceritain. Tapi Avia bilang waktu itu Ibu dibawa kabur sama laki-laki berengsek yang dia cinta. Sampai di situ sih gue percaya, soalnya Ibu besarin gue sendirian tanpa laki-laki itu.”

“Lalu? Gimana ceritanya lo bisa masuk ke lingkungan keluarga ADHINATHA sedangkan lo nggak lahir di rumah itu?”

“Ibu meninggal di rumah sakit, gue nggak tau dia sakit apa soalnya waktu itu gue masih kecil. Yang jelas semua biaya rumah sakitnya ditanggung sama keluarga ADHINATHA. Terus jenazah Ibu diambil sama mereka, sedangkan gue dibalikin ke tempat kumuh itu. Tapi pas umur gue 14 tahun, lebih tepatnya 2 tahun lalu, Avia datang mungut gue.” Aleo berhenti sebentar, pemuda itu tertawa sarkas sambil menunduk memperhatikan tangannya. “Lo tau, Leen? Mungkin sampai sekarang nenek tua itu nggak bakal mungut gue kalau aja dia nggak tau gue punya IQ di atas 160.”

Untuk sesaat Aleen tidak bisa berkata apa-apa. Aleo bilang Ibunya meninggal ketika usianya masih 9 tahun, lalu ternyata Avia baru mengambilnya ketika pemuda itu sudah berusia 14 tahun, itu artinya Aleo umur 9, 10, 11, 12, dan 13 tahun, hidup sendiri. Bagaimana bisa Aleo melewati semua itu?

Avia sungguh kejam. Membiarkan anak sekecil itu hidup sebatang kara? Aleen tidak menyangka kalau nenek tua itu ternyata tidak punya hati. Dia juga baru mengambil Aleo setelah tau kalau ternyata Aleo memiliki IQ yang tinggi, berarti Aleo diakui hanya karena otaknya. Sepertinya Razel benar, semakin lama Aleen tinggal di keluarga ADHINATHA, dia semakin paham kalau keluarga itu ternyata memang gila.

Aleen menoleh pada Aleo yang tampak serius menatap ke depan, melihat pemuda itu dari samping membuat Aleen semakin sadar kalau sepertinya dia mulai merasa tertarik pada si berandal. Terlebih lagi begitu tau bahwa bukan hanya sekadar percaya Tuhan, tapi Aleo juga melaksanakan ibadah. Melihat pemuda itu keluar dari mesjid dengan rambut sedikit basah bekas air wudu, benar-benar menyinggung Aleen.

Aleo yang terkenal nakal saja masih salat, lalu Aleen? Salatnya masih bolong-bolong.

Cukup lama saling diam, Aleen akhirnya kembali menyahut. “Leo, btw ulang tahun lo kapan?”

“2—”

“Ssstt!” Aleen dengan cepat membekap mulut Aleo. “Jawabnya harus pake bahasa keren.” Gadis itu sengaja. Karena IQ Aleo ternyata di atas 160, pantas saja pemuda itu selalu berbicara menggunakan bahasa sok pintar. Dan sekarang Aleen ingin mendengarkan itu.

Aleo sendiri mengernyit. “Hah? Bahasa keren?”

“Iya.” Aleen mengangguk. “Bahasanya Aleo. Biasanya kan lo jelasin sesuatu pake bahasa ala-ala Ilmuwan.”

Aleo tiba-tiba tertawa. “Oke. Lo nanya, kapan ulang tahun gue, kan?” Melihat Aleo tertantang, Aleen jadi semakin excited ingin mendengarnya.

“Sebenarnya, dalam setahun, bumi punya 365,2564 hari. Ekstra 0,2564 hari itulah yang membuat adanya tahun kabisat, di mana setiap 4 tahun se-kali bulan Februari punya ekstra 1 hari jadi 29 hari. Dan gue lahir di ekstra 1 hari itu.”

“29 Februari?”

Aleo mengangguk. “Ulang tahun gue tanggal 29 Februari.”

Aleen menganga tidak percaya. Kenapa segala hal yang berhubungan dengan Aleo selalu menarik?

-

Bab 19 “Gerak parabola”

•••

Satu minggu berlalu.

Di perjalanan menuju ruang musik, Sabrina tidak sengaja berpapasan dengan Aleen. Gadis itu melempar senyum ramah, tapi Sabrina jelas tidak membalasnya. Karena cerita ini akan berubah horor bila seorang Sabrina Belva menampilkan senyum ramah. Beberapa hari terakhir Aleen memang terang-terangan berusaha mendekatinya, Sabrina menyadari itu.

“Lo kenal sama ceweknya Leo, Sab?” Rey si tukang kepo langsung bertanya.

Ya, kini satu sekolah percaya kalau Aleo dan Aleen benar-benar pacaran. Pasalnya sampai sekarang 2 orang itu sama sekali tidak melakukan klarifikasi untuk membantah gosip yang beredar.

“Nggak.” Sembari tetap berjalan, Sabrina menjawab pertanyaan Rey dengan nada yang dibuat sedatar mungkin. Sengaja agar pemuda tengil itu tidak mengajukan pertanyaan lanjutan.

Lagipula Sabrina memang tidak dekat dengan Aleen. Ngomong-ngomong tentang gadis itu, Sabrina tidak pernah lagi melihatnya bersama dengan Aleo. Mungkin itu buntut dari kejadian 1 minggu yang lalu, dimana 2 remaja itu melanggar aturan karena pulang di jam 2 malam, alias disaat gerbang kediaman keluarga ADHINATHA sudah tertutup.

Entah dari mana Aleo membawa anak gadis orang, yang jelas, kata Albert, waktu itu Aleo dan Aleen langsung mendapat peringatan dari Avia. Nenek tua itu juga melarang Aleen bermain dan berdekatan lagi dengan Aleo. Tapi yang luar biasanya, Aleen tidak dimarahi oleh Papanya. Sabrina jadi iri, bagaimana bisa Aleen mendapatkan Papa sebaik itu?

Di depan pintu ruang musik, Dipta menengadahkan tangannya pada Sabrina. Paham bila pemuda itu sedang meminta kunci, Sabrina lantas merogoh saku almamaternya lalu menyerahkan kuncinya. Gadis itu kemudian berdiri di belakang Dipta, membiarkan dia membuka pintu ruangan. Begitu pintu itu terbuka, Rey dan Ivan langsung menerobos masuk duluan.

“Anjay! Apaan nih?”

“Woy! Kerjaan siapa ini?”

Teriakan 2 orang itu sontak membuat Sabrina dan Dipta yang masih berdiri di luar ruangan, jadi saling tatap. Penasaran apa yang terjadi, Sabrina buru-buru mendorong Dipta masuk ke dalam. Detik itu juga seluruh anggota tubuh Sabrina seketika menjadi kaku. Alat musik mereka semuanya hancur berantakan. Padahal siang ini mereka harus tampil untuk perayaan Aha-day.

“Gitar gue, astaga.” Ivan memungut gitar eletrik yang patah.

Lalu Rey berlutut sambil memeluk keyboard rusak. “Huhu ... keyboard kesayangan gue.”

Bukan hanya gitar eletrik Ivan dan keyboardnya Rey, tapi drum milik Sabrina serta gitar akuistik milik Dipta juga ikut rusak. Beberapa injek/kabel yang menghubungkan ke sound system juga putus berantakan. Intinya, keadaan ruang musik yang biasa mereka gunakan untuk latihan kini benar-benar kacau.

“Gimana ini? Padahal siang nanti kita harus tampil.”

“Ya nggak jadi, lah. Emang lo mau tampil pake apa?”

“Siapa?” Gumam Dipta, pemuda yang biasanya selalu tenang itu akhirnya angkat suara. “Siapa yang udah berani nyusup ke tempat kita?”

Sabrina diam-diam mengepalkan tangannya, dia tau ini kerjaan siapa. Namun, dibanding memberitahu teman-temannya, gadis itu justru memilih pergi dari sana. Langkahnya cepat seolah dikejar sesuatu, napasnya memburu lantaran menahan emosi di dalam dirinya. Untuk kali ini, Sabrina sungguh tidak habis pikir dengan kelakuan si gadis rese.

Membuka pintu ruang teater, hal pertama yang Sabrina dapati adalah tepuk tangan meriah dari seluruh penonton yang mengisi habis tribune yang tersedia, menandakan bahwa pertunjukan anak-anak club teater lancar dan sukses. Di atas panggung sana, Razel kelihatan tersenyum lebar ketika memberikan salam penutup bersama rekan-rekannya.

Brengsek!

Tanpa pikir panjang, Sabrina langsung melangkahkan kakinya menghampiri gadis rese itu. Persetan dengan banyaknya pasang mata yang akan melihat, Razel harus dilabrak saat ini juga. Tidak peduli dengan konsekuensinya, itu urusan belakangan, yang penting Sabrina harus melampiaskan emosinya pada gadis itu.

“Heh! Ini kerjaan lo, kan?” Begitu Sabrina naik ke atas panggung dan menarik tangan Razel dengan kasar, detik itu juga suasana riuh seketika berubah jadi sunyi. Sabrina juga bisa merasakan semua pasang mata kini tertuju padanya.

Razel yang ditarik awalnya kelihatan terkejut, namun saat mengetahui siapa yang menariknya, gadis itu lantas tersenyum miring sambil menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Sabrina. “Eiii ... kayaknya ada orang nyasar, guys.

Gigi Sabrina menggertak. “Urusan kita berdua, itu hanya antara lo dan gue. Nggak seharusnya lo bikin orang lain ikut terlibat.”

“Apa? Emangnya kapan gue libatin orang lain dalam rencana gue? Asal lo tau ya, selama ini gue ngelakuin semuanya sendirian tanpa bantuan dari siapa-siapa.”

Sabrina mengangguk. “Lo emang selalu bertindak sendiri, tapi kali ini hasil dari tindakan lo, imbasnya bukan cuma ke gue, teman-teman gue juga ikut kena.”

Razel tiba-tiba memutar bola matanya. “Hadeeeh ... lo cuma buat-buat alasan gara-gara nggak terima kali ini gue yang menang, kan?”

Tidak. Sabrina melakukan ini memang karena teman-temannya. Bayangkan saja, pertunjukan untuk Aha-day sudah mereka rancang dari tahun lalu, 2 minggu terakhir mereka juga latihan mati-matian, lalu semua kerja keras itu hancur dalam 1 malam. Sabrina benar-benar merasa bersalah pada 3 pemuda itu.

Sabrina melangkah 1 kali mengikis jarak dengan Razel. “Ini bukan tentang menang atau kalah, masalahnya lo udah ngancurin semuanya.” Bisiknya pada si gadis rese.

“Tenang aja, gue bakal ganti semua alat yang gue rusak. Lo tinggal hitung nominalnya.” Kata Razel balas berbisik.

Sabrina menghela napas sambil memejamkan matanya. Razel ini pura-pura bodoh, atau bodoh sungguhan? Tidak ada yang membicarakan tentang ganti rugi, Sabrina tidak sedang membahas masalah itu. Kalau cuma tentang alat dan perlengkapan yang rusak, Sabrina dan teman-temannya juga bisa membelinya sendiri.

Tapi ini masalah kerja keras mereka yang sia-sia karena gagal tampil di event nanti. Harusnya Razel sadar kalau dia juga ikut merusak itu. “Pantas aja lo nggak pernah unggul dari gue, Zel.” Sabrina menggeleng miris. “Ternyata otak lo jauh lebih dangkal dari yang gue kira.”

Shut up your fucking mouth!” Wajah Razel yang tadinya masih kelihatan angkuh, kini berubah serius. Tampaknya gadis itu mulai terusik. “Nggak usah banyak omong dan sok berlagak, terima kenyataan aja, hari ini gue yang menang. Buktinya, semua penonton yang ada di dalam ruangan ini tepuk tangan buat gue.”

“Dan lo ngerasa bangga?”

“Jelas.”

Sabrina tertawa sarkas. “Itulah bedanya gue dan lo. Gue sih bakal malu kalau ngelakuin hal rendahan kayak gitu, sedangkan lo, sebaliknya justru malah ngerasa bangga. Ckckck ... level kita emang beda, Zel.” Wajah Razel mulai memerah, Sabrina tau gadis itu siap meledak, tapi tujuannya memang untuk itu. “Berapa kali gue bilang, gue selalu unggul dari lo dalam hal apapun. Oh enggak, lo punya satu keunggulan yang nggak bakal bisa gue kalahkan ... sifat antagonis lo. Gue akuin lo nggak tertandingi soal itu.”

-

Aleen akhirnya bisa bernapas setelah Safira berhasil menariknya keluar dari ruang pameran seni lukis yang penuh dan sesak karena ramai dikunjungi oleh para murid. Tapi meskipun begitu, bukannya merasa senang Aleen justru merasa sangat kesal. Pasalnya gadis itu sebenarnya belum selesai melihat semua lukisan yang terpajang, namun Safira beserta 3 temannya yang lain malah memaksanya keluar.

“Parah, seni lukis peminatnya banyak juga, ya?”

“Dih, dari tahun lalu kali.”

Mendengar percakapan Maira dan Anggia, Aleen lantas menoleh pada bangunan yang baru saja mereka tinggalkan. Bila dilihat lagi, di sana memang sangat ramai. Apalagi kata Haniva, hari ini AHS kedatangan banyak murid dari sekolah lain sebagai tamu undangan dalam rangka perayaan Aha-day, event ulang tahun sekolah. Makanya hari ini sekolah lagi ramai-ramainya.

“Kayaknya perayaan tahun ini lebih meriah dari tahun lalu, deh.”

Tanpa melepaskan tangan Aleen, Safira mengangguk merespons ucapan Haniva. “He em. Tapi sayang, tahun ini Pillar-band nggak tampil.”

“Eh iya, harusnya tadi siang giliran seni musik yang tampil, kan? Kok nggak ada?”

“Nggak ada yang tau alasannya. Malahan semua orang makin dibuat penasaran gara-gara Sabrina debat sama Razel di panggung teater pagi tadi.”

“Intinya, nggak asik banget. Gue jadi gagal liat Dipta perform, deh.”

“Yeuuu ... cowok mulu otak lo.” Aleen diam saja, ikut tersenyum begitu Safira mendapat perundungan dari Maira, Haniva, dan Anggia.

Baru-baru ini Aleen mengetahui fakta kalau Sabrina salah satu member dari grup band yang sedang teman-temannya bicarakan itu, tadi pagi pun Aleen sempat berpapasan dengan mereka. Sepertinya tadi pagi mereka berjalan ke arah ruang musik, tampaknya saat itu juga mereka kelihatan baik-baik saja, lalu kenapa tidak jadi tampil?

Melanjutkan perjalanan menuju kafetaria, Aleen dan teman-temannya malah dibuat heran begitu melihat beberapa murid yang lari secara terburu-buru. “Mereka pada kenapa?” Aleen langsung menanyakan.

Anggia mengendikkan bahunya. “Ada orang berantem kali, biasanya sih gitu.”

“Tapi kayaknya mereka lari ke arah lapangan sepak bola, deh. Eh tunggu, lapangan sepak bola?”

Aleen mengerutkan keningnya menatap Maira yang berbicara seperti itu. Jujur saja Aleen betulan bingung mengartikan apa maksudnya. Namun berbeda dengan Safira, Anggia, dan Haniva yang justru saling tatap dengan Maira seolah pikiran mereka terhubung satu sama lain. Dan sepertinya memang begitu, karena detik berikutnya 4 gadis itu kompak menyeru ...

“Pertandingannya Aritcers!”

Maka di sinilah Aleen berakhir, duduk di tribune terdepan bersama Anggia dan Maira, menjaga 2 kursi kosong yang sengaja mereka simpan untuk Safira dan Haniva karena 2 gadis itu sedang bertugas untuk membeli snacks di minimarket.

“Leen, dari tadi cowok yang pake jersey putih nomor punggung 6 itu ngeliatin lo mulu tau.” Bisikan Maira lantas membuat Aleen melihat ke arah segerombolan pemuda yang dipastikan akan menjadi lawan Aritcers di lapangan nanti.

“Itu bukan ngeliatin gue, Mai. Tapi orang yang ada di belakang gue mungkin.”

“Masa?”

Aleen mengangguk mencoba meyakinkan Maira, “Iya.” Padahal sebenarnya dia sendiri juga merasa kalau pemuda itu memang sedari tadi melihat ke arahnya.

“Mana ganteng lagi.” Desis Maira tiba-tiba.

“Lo berdua ngomongin apa, sih? Pake bisik-bisikan segala lagi.” Anggia bertanya dengan raut wajah yang kentara penasaran.

Namun bukannya menjawab jujur, Maira malah berkata, “Kepo.” Hingga berakhir membuat Anggia berdecak kesal. Aleen terkikik saja melihat tingkah mereka.

“Aleen, geser! Gue mau duduk di pinggir.” Datang-datang Safira langsung mengatur.

Aleen yang malas berdebat akhirnya mengalah. Gadis itu berdiri bersiap pindah tempat duduk, namun begitu hendak melangkah, Maira tiba-tiba meremas tangan Aleen kuat. “Aaaa~ dia nyamperin, Leen. Gue bilang juga apa, cowok itu dari tadi ngincar lo.”

Aleen seketika merasa aneh begitu melihat pemuda yang tadi ia bicarakan bersama Maira, ternyata benar-benar berjalan ke arahnya. Kaget, gugup, tidak menyangka ... semua bercampur jadi satu. Tatapan matanya yang serius membuat Aleen sampai tidak sadar bahwa pemuda itu sudah berdiri di hadapannya. “Omg! Cogan.” Kalau saja suara cempreng Safira tidak menusuk indera pendengarannya, mungkin sampai sekarang Aleen masih tidak sadar.

Can I save your number?” Pemuda itu mengulurkan ponselnya, suaranya terdengar sangat jelas di antara bisingnya suara para murid yang berkomentar menyaksikan kejadian ini.

“Kasih aja, Leen.” Saran Safira membuat Aleen tanpa sadar mengangkat tangannya hendak meraih ponsel itu, namun tak jadi lantaran tangan lain lebih dulu merampasnya.

Sorry bro ... ini punya gue. Lo bisa cari cewek lain.” Entah datang dari mana, Aleo tiba-tiba ada di sana. Dia kemudian mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya, meraih tangan Aleen lalu menariknya menjauh dari sana. Sudah berbuat seperti itu, Aleo juga sempat-sempatnya menubruk keras bahu pemuda itu saat melewatinya.

Sulit dipercaya, tapi sejak Aleo muncul, suara bising yang sebelumnya bersumber dari para murid benar-benar lenyap hingga mengubah suasana di lapangan sepak bola saat itu menjadi sunyi. Saking sunyinya, Aleen sampai bisa mendengar Anggia berbisik, “Jadi Aleen beneran pacaran sama Leo? Berarti selama ini yang tertipu itu bukan murid-murid lain, tapi kita?”

Mampus! Teman-temannya jadi salah paham. Kenapa juga Aleo harus mengatakan kalimat ambigu seperti itu? Sekarang satu sekolah pasti benar-benar akan percaya kalau mereka berdua betulan pacaran. Lagipula Aleo ini datang dari mana, sih? Padahal semenjak insiden pulang jam 2, minggu lalu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Soalnya Avia melarang dan Albert selalu mengawasi. Selain itu, Aleen juga sadar kalau 1 minggu ini Aleo sengaja menghindar, tapi hari ini justru pemuda itu yang datang dengan sendirinya.

Continue Reading

You'll Also Like

203K 2.4K 16
Tienes : Memilikimu adalah sebuah tantangan. Kisah seorang Heinnatha Allea, Gadis yang begitu cantik jika moodnya sedang indah. Namun menyeramkan j...
47.5K 3K 48
Kalung mereka memang terhubung antara satu dan lainnya. Kalung pemberian seorang nenek tua saat awal awal mereka jadian dulu, tepatnya lima tahun lal...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

934K 50.8K 51
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.7M 272K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...