Seketika Sera mengerutkan keningnya. Seraya membuka matanya secara perlahan. Saat telinganya mendengar suara yang sangat bising di sekitarnya. Namun, saat ia membuka matanya.
Seketika pandangannya di sambut oleh kegelapan yang terasa hampa. Dalam detik berikutnya, tubuhnya menegang. Sera merasa jika kakinya menginjak sesuatu yang keras dan tidak wajar. Sontak dengan perlahan Sera menundukkan kepalanya.
Lalu betapa terkejutnya ia saat melihat kakinya menginjak salah satu tangan mayat yang memakai baju kesatria. Seketika Sera bergerak sedikit menjauhi mayat tersebut. Sayangnya, Sera tak bisa memperhatikan jelas baju yang dikenakan kesatria tersebut.
Karena baju tersebut sudah berlumur darah. Hingga membuatnya tak bisa mengenalinya. Namun, kebingungannya memuncak. Ketika pandangannya menangkap pemandangan yang tak asing. Di depannya terhampar kehancuran yang sama persis seperti yang terakhir kali ia saksikan dalam mimpi sebelumnya.
Lalu bagaimana mungkin kini ia kembali berdiri di tempat yang tak ia kenali? Padahal sebelumnya ia tertidur di dalam kamarnya. Di tambah lagi kenapa pemandangan di depannya terasa sangat nyata baginya?
Seketika Sera memicingkan matanya. Mata terbelalak ketika menatap satu sosok berjubah hitam dengan sebuah pedang bersinar dan sesuatu yang sangat bersinar di dalam genggamannya. Sosok itu berdiri di tengah-tengah kehancuran tersebut.
Sontak Sera terhenyak. Saat menyadari jika Pedang yang di pegang sosok itu adalah Wrath of the Ancients. Kenapa pedangnya bisa berada di sana.
Namun, saat Sera hendak berjalan menghampiri sosok itu. Tiba-tiba Sera terhenti saat matanya tak sengaja melihat Lucian sedang berlutut dalam keadaan yang mengenaskan. Sesaat Sera mengerutkan keningnya dengan bingung.
Lantas ia memutuskan mendekatinya secara perlahan. Namun, seketika Sera terkejut melihat wajah pucat Lucian yang di hiasi penuh luka. Bahkan tubuh pria itu pun terdapat beberapa terluka yang cukup parah.
Lalu matanya turun pada pakaian yang dikenakan oleh Lucian. Sesaat Sera bergeming saat memandang pakaian tersebut. Kenapa jubah yang dipakai oleh Lucian tampak seperti jubah seorang kaisar. Sayangnya, jubah tersebut sudah terkoyak dan tercampur dengan darah-darah dari tubuhnya.
Sontak Sera mengerutkan keningnya dengan bingung. Sera bisa melihat Lucian yang menatap pemandangan kehancuran tersebut. Dengan sorot kepedihan serta kilatan penyesalan dalam mata kelam Lucian.
"Lucian, kena—"
"Maafkan aku, Sera." Ucap Lucian dengan parau. Membuat Sera yang berdiri di samping Lucian seketika menegang.
"Tak seharusnya aku membunuhmu saat itu." Sambung Lucian dengan penuh penyesalan.
Seketika Sera hanya bergeming. Dengan kedua mata yang sedikit membelak. Saat mendengar perkataan yang mengejutkan keluar dari mulut Lucian.
"Kekaisaran ini semakin hancur setelah kau tiada." Sontak hal itu membuat Sera mengerutkan keningnya dengan bingung.
"Apa?" Sela Sera dengan kebingungan yang mendalam.
Ia tak salah dengarkan. Kekaisaran ini hancur setelah ia tiada?
"Ini semua salahku. Seharusnya aku percaya perkataanmu saat itu."
Sera yang semakin di landa kebingungan pun. Sontak kembali berjalan mendekati Lucian seraya membungkukkan tubuhnya. Namun, saat Sera hendak menyentuh pundak Lucian. Tiba-tiba tangannya tak bisa menyentuhnya. Setiap kali ia mencoba menyentuh Lucian. Tangannya seolah menembus pada tubuh pria tersebut.
"Kenapa aku tak bisa menyentuhmu." Ujar Sera dengan kening yang berkerut.
"Maafkan aku, Sera." Gumam Lucian dengan pelan. "Seharusnya tempat itu menjadi milikmu sejak awal."
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu?! Tempat apa yang kau maksud? Lalu apa yang terjadi pada kekaisaran ini?" Cecar Sera seraya menatap pemandangan tersebut.
"Luc—"
Sayangnya, panggilan Sera terputus. Saat tiba-tiba Lucian mengeluarkan darah segar dari dalam mulutnya. Sontak Sera membulatkan kedua matanya dengan sempurna. Saat sebilah pedang entah dari mana tiba-tiba menusuk tubuh Lucian dari belakang.
Sera yang melihat darah segar tersebut keluar dari mulut Lucian. Seketika kembali bergeming. Sembari menggelengkan kepalannya pelan.
"Ti-tidak."
Dengan tangan yang gemetar Sera terus berusaha menggapai Lucian. Namun hasilnya nihil. Darah tersebut semakin keluar tanpa henti. Saat pedang yang menusuk tubuh Lucian tiba-tiba di tarik dengan cepat.
"S-sera, maaf." Ucap Lucian sebelum akhirnya tubuh Lucian terjatuh.
"Tidak!"
Sontak Sera tiba-tiba membuka matanya dengan cepat. Seraya segera bangkit dari tidurnya. Dengan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat. Serta nafasnya yang sedikit terengah-engah.
Rambutnya yang terurai lantas berjatuhan saat ia menundukkan kepalanya. Sesaat Sera terdiam sembari mengatur pernapasannya. Lalu dengan perlahan matanya kemudian menatap ke seluruh penjuru kamarnya.
Sera kemudian mengerutkan keningnya. Pikirannya masih terhantui oleh mimpi yang baru saja dialaminya. Sebenarnya apa yang baru saja ia mimpikan.
Kenapa dalam mimpi tersebut, Lucian terus mengatakan sesuatu yang membuatnya bingung. Seketika Sera memijit pelipisnya. Kepalanya seakan pusing saat memikirkan arti mimpi tersebut.
*****
Di tempat lain, di dalam ruang kerjanya yang tenang. Lucian berdiri di depan jendela. Dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya. Tubuhnya terbungkus dalam pakaian tidur yang longgar. Matanya menatap datar pemandangan pegunungan yang berada di sekitar istananya.
Sesaat Lucian menghela nafasnya panjang. Sebelum dia menolehkan kepalanya. Begitu mendengar suara ketukan dari luar pintu ruangannya.
"Masuklah."
Sontak pintu ruangan itu terbuka. Hingga menampilkan sosok Kaelen yang mengenakan pakaian kesatrianya. Tak lupa Kaelen menutup kembali pintu tersebut. Lalu membungkukkan badannya begitu berhadapan dengan Lucian.
"Ada apa?" Tanya Lucian dengan datar.
"Mohon maaf menganggu waktu anda, Yang Mulia. Saya mendapatkan laporan dari para rakyat. Jika di jalan Delyn terjadi penculikan anak-anak di bawah umur serta perempuan di sekitar sana."
Sontak Lucian menghembuskan nafasnya dengan pelan. Begitu mendengar masalah tersebut. "Pasti mereka Eclipse Syndicate. Aku akan memantau sendiri kesana nanti."
Lantas Kaelen menganggukkan kepalanya mengerti. "Oh iya, Kau sudah menyuruh Jose untuk tetap menjaga Lady Ravenscorft secara diam-diam?" Lanjut Lucian.
"Sudah, Yang Mulia." Jawab Kaelen dengan cepat.
Sontak Lucian menganggukkan kepalanya seraya menghembuskan nafasnya dengan lega. Kaelen yang melihat itu seketika memicingkan kedua matanya.
"Apa anda mengkhawatirkannya, Yang Mulia?"
Lantas Lucian melirik pada Kaelen yang memicingkan kedua matanya. "Apa ada yang salah?"
Seketika Kaelen menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, hanya saja. Anda tidak pernah seperti ini sebelumnya."
"Keluarlah jika kau sudah tidak memiliki kepentingan lagi di sini." Ucap Lucian seraya berjalan menuju meja kerjanya.
Kaelen yang mendapatkan pengusiran tersebut. Hanya sedikit mencibirkan bibirnya. Lalu seraya menundukkan kepalanya dengan pelan. Kemudian berlalu keluar dari ruangan tersebut. Begitu Kaelen menutup pintung ruang kerja Lucian. Kaelen sedikit melirik sinis pintu ruang kerja Lucian.
"Dia yang khawatir. Kenapa kami yang repot." Cibir Kaelen dengan pelan.
Sedangkan di dalam sana, Lucian menyadarkan punggungnya dengan lelah. Lalu mengadahkan kepalanya ke atas. Menatap langit-langit ruang kerjanya. Diangkatnya sebelah tangan kanannya. Lantas matanya melirik pada tangan tersebut.
"Kenapa rasanya sangat nyata sekali."
*****
Siang itu di sebuah lapangan latihan di mansion keluarga Ravenscorft. Sera terus berdecak dengan kesal. Sebelum akhirnya dengan gerakan cepat ia melempar sebuah belati yang dipegangnya menuju pohon yang berdiri kokoh di depannya.
Begitu belati tersebut menancap kuat pada batang pohon. Sera menatap belati tersebut dengan datar seraya menghembuskan nafasnya dengan gusar.
Pikirannya terus teringat dengan mimpi yang ia alami semalam. Karena hal itu ia jadi tidak bisa fokus sama sekali. Sontak salah satu tangannya menyugar rambutnya. Dengan sebelah tangannya yang lain berkacak pinggang.
"Sebenarnya apa yang aku mimpikan itu. Kenapa aku terus bermimpi hal itu." Gumam Sera dengan pelan.
Seketika Sera kembali berdecak pelan. Pikirannya sudah terlalu pusing memikirkan hal itu. Sontak Sera berjalan menuju pohon untuk mengambil belatinya yang tadi ia lemparkan. Lantas berjalan menghampiri Aria yang selalu setia menunggunya di sisi lapangan latihan.
"Aria, tolong siapkan pakaian yang nyaman. Kita akan pergi keluar."
"Ya?" Ucap Aria terkejut.
"Ah, iya. Pakaiannya jangan terlalu mencolok." Sambung Sera. Sebelum akhirnya Sera berjalan terlebih dahulu meninggalkan Aria.
*****
Di dalam kamar, Sera membiarkan Aria yang membantunya mengenakan sebuah gaun yang sangat sederhana. Begitu gaun itu terpasang di tubuhnya. Sera kemudian membalikan badannya.
Memandang pantulan dirinya pada sebuah cermin besar yang terletak di depannya. Seketika senyum tipis muncul pada wajah Sera saat melihat pantulan dirinya. Sepertinya penampilannya saat ini sudah cukup.
"Ayo, kita pergi." Ujar Sera seraya melangkah menuju pintu kamarnya.
Aria kemudian menganggukkan kepalanya. Lalu mengikuti langkah majikannya. "Nona, memangnya kita akan pergi kemana?"
Sontak Sera menolehkan kepalanya seraya tersenyum manis. "Bermain."
*****
Namratsr | Na