ALIF

By Sastra_Lara

6.3M 445K 51.9K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

21. Restu

105K 7.1K 371
By Sastra_Lara


Ayasya menatap perempuan yang seumuran kakaknya ini sibuk menyuguhi mainan baru untuk Alya, adik bungsunya. Tumben sekali Ning Farah main ke ndalem lagi. Bukan seharusnya sibuk menyiapkan acara pernikahan yang seminggu lagi?

"Aku jangan diliatin segitunya Ning Ayasya. Susah payah aku nahan gak salting diliatin kamu terus," ucapnya tahu Ayasya tengah memperhatikannya.

"Kenapa Ning Farah menerima lamaran mas Azzam?" tanya Ayasya tanpa basa-basi. Ia hampir dibuat mati penasaran dengan pilihan Farah yang menerima lamaran Azzam.

Farah tersenyum menoleh dengar pertanyaan itu. "Karena Azzam melamar aku dan mas Azzam masuk ke dalam kriteria suami yang aku cari selama ini."

"Bagaimana dengan mas Alif? Bukannya Ning Farah sering cerita ke Aya kalau sebenarnya juga punya perasaan yang sama dengan mas Alif?"

Farah memandangi wajah Alya yang sibuk bergelut dengan stiker-stiker barbie pemberiannya. "Aku masih punya perasaan itu, Ay."

"Terus kenapa Ning Farah menerima lamaran dari mas Azzam? Bukannya Aya sudah pernah memberi tahu Ning Farah kalau mas Alif sedang menyiapkan lamarannya?" tanya Ayasya seperti tidak terima dengan keputusan Farah.

"Aku gak mau dalam rumah tanggaku ada nama perempuan lain yang sering suamiku sebut-sebut nantinya," jawab Farah membalas tatapan Ayasya.

Ayasya menggeleng tidak mengerti. "Maksud Ning Farah, Lahya? Tapi, kan, Lahya hanya anak kecil, Ning."

Farah menggeleng kecil ketika Alya ingin menempelkan stiker barbie ke wajahnya. Ia malah mengambil stiker barbie dari tangan Alya dan menempelkannya diwajah anak berusia 3 tahun itu, sampai si anak tertawa karena merasa lucu.

"Aku percaya gus Alif cinta aku, Aya. Tapi aku nggak percaya kalau cuma aku satu-satunya yang dia cintai. Aku lebih percaya cinta Gus Alif untuk anak kecil itu lebih besar. Sejak jaman sekolah agama bareng, tiap kelas selasai, gus Alif selalu cerita soal Lahya. Gus Alif selalu pamer kalung cantik punya Lahya di depan aku, susah payah aku buat gak cemburu. Tapi aku gak bisa, Ay," tutur Farah lemah, masih setia tersenyum mengajak Alya bercanda.

"Ning-" Ayasya menyesal sempat membuat Farah tersudut.

"Setelah lulus menjadi sarjana kriminologi, aku pikir gus Alif akan segera meminang aku. Ternyata aku salah, gus Alif malah melanjutkan pendidikannya di kepolisian. Dan alasan yang buat aku mundur untuk terus menunggu adalah..." ucap Farah terhenti hanya untuk menghela nafas berat.

"Gus Alif masuk kepolisian untuk memudahkannya mencari keberadaan Lahya," lanjut Farah.

Ayasya tertegun mendengar penjelasan Farah. Semua penjelasan Ning Farah, ia benarkan. Ia pun bisa merasakan jika kakaknya itu memang lebih cinta pada Lahya. Bahkan sampai sekarang, besar usaha kakaknya itu untuk bisa bersama Lahya lebih lama lagi, yaitu dengan cara menikahi si anak gadis.

"Jatah hati setiap orang itu cuma satu, Aya. Lalu, bagaimana bisa gus Alif menyimpan dua orang sekaligus di dalamnya? Aku gak mau dijadikan pilihan saat pilihan utama gak ada ditempat."

"Tapi, kan, umur Lahya beda jauh dari mas Alif, Ning."

Farah tersenyum getir menatap mata Ayasya. "Yang kamu sebut anak kecil itu, sudah sepuluh tahun yang lalu. Pasti umur anak kecil itu sekarang sudah menginjak dewasa. Kamu tau Aya? Bagaimana jadinya jika suatu hari nanti Lahya berhasil ditemukan gus Alif? Bagaimana nasib aku?"

Ayasya terdiam. Ternyata Farah belum tahu jika kakaknya itu sudah berhasil menemukan pujaan hati yang dicarinya selama ini. Bagaimana jadinya Farah nanti, jika tahu kakaknya itu sedang berusaha untuk meminang Lahya? Kenapa jadi Ayasya yang keteteran, bingung sendiri?

"Kok, malah kamu yang sedih?" tanya Farah terkekeh melihat mata Ayasya berkaca-kaca menatapnya.

Ayasya menggeleng. "Maaf, ya Ning Farah. Tadi aku udah nyudutin Ning Farah tanpa alasan yang jelas."

"Gak apa-apa, aku ngerti, kok. Lagian sekarang ada mas Azzam yang buat aku ngerti apa itu arti dicintai dan dijadikan satu-satunya. Doain ya, Ning Ayasya, semoga pernikahan aku lancar nantinya."

"Aamiin ya Robbal 'alamin. Selamat, ya, Ning. Ning Farah sudah berhasil dapat pengganti yang lebih baik dari mas Alif. Dan maafin mas Alif juga, ya? Selama ini sudah membuat Ning Farah sakit hati tanpa dia sadari."

"Gak apa-apa. Memang takdir kami tidak untuk berjodoh, tapi saling memberi pelajaran," jawab Farah dengan hati yang berat kembali menyibukkan diri bermain bersama Alya.

Tanpa mereka sadari ternyata percakapan sedih itu didengar oleh Ummi yang baru saja pulang dari Madrasah setelah selesai mengajar fiqih wanita di kelas. Ternyata mereka masih saling mencintai, bahkan sampai sekarang pun Farah masih mencintai anak sulungnya itu.

Jika seperti ini, Intan ragu untuk mengizinkan Alif yang akan segera meminang Lahya. Ia takut anak laki-lakinya itu masih memiliki perasaan yang sama seperti Farah. Ia tidak ingin cinta yang masih dimiliki keduanya akan menjadi awal mula kehancuran dalam rumah tangga masing-masing nantinya.

'-'-'-'

Alif berjalan mengikut di belakang pak Yasin saat masuk area TMPK (Taman Makam Polisi Kehormatan). Pak Yasin berjalan sangat cepat, seperti tahu dan hafal makam mana yang akan ia ziarahi sekarang.

Alif yang tidak berani menanyakan banyak hal, hanya diam mengikut di belakang. Ia tidak tahu makam polisi siapa yang gugur dalam tugasnya menjaga negara yang akan mereka ziarahi sekarang. Biasanya TMPK hanya dikhususkan untuk polri purnawirawan atau polri yang dianggap gugur, tewas dalam tugas dan meninggal dunia yang berjasa memiliki Bintang Bhayangkara Nararya serta salah satu Satya Lencana selain Satya Lencana Pengabdian.

"Celana kamu sudah kayak anak SMA saja," tegur pak Yasin memperhatikan warna celana Alif.

"Iya, Pak." jawab Alif apa adanya.

"Ini makam ibu Lahya," ucap pak Yasin berjongkok di samping nisan istri tercintanya.

Alif sedikit terkejut pak Yasin membawanya kemakam almarhumah ibu Lahya. Baru saja, ia meninggalkan gadis itu setelah merasa tenang dari mengingat sang ibu. Hampir setengah jam ia menemani Lahya di UKS sampai gadis itu lelah dan tertidur lemas sendirian di sana.

Alif harus tega meninggalkan Lahya sendirian di sekolah. Selain karena agama melarang laki-laki dan perempuan satu ruangan tanpa ditemani mahram, ia harus menjeput pak Yasin. Alif jadi merasa bersalah dengan anak dan bapak ini.

Sebenarnya selama di sana Alif lebih banyak menunduk beristigfar karena sudah berani-beraninya berduaan dengan anak gadis yang bukan mahramnya. Setelah ini, Alif harus memastikan hafalannya tidak banyak yang berantakan. Ia takut hafalannya lagi-lagi tenggelam dalam mata teduh Lahya.

"Almarhumah ibu Lahya adalah seorang penyidik seperti kamu. Tapi, pangkatnya lebih tinggi dari kamu," jelas pak Yasin menyingkirkan daun kering dari makam istrinya.

Alif ikut duduk di samping pak Yasin. Tangan Alif bergerak menaruh sekantong kecil bunga makam dan sebotol air yang mereka beli dijalan tadi. Cuaca siang ini sedikit mendung jadi matahari siang tidak terlalu panas saat di TMPK.

"Kamu tau kenapa Bapak tidak setuju saat kamu minta izin ke Bapak untuk meminang Lahya?" tanya pak Yasin menepuk paha Alif.

"Apa karena Lahya masih SMA, Pak?" tanya Alif sedikit ragu.

Pak Yasin menggeleng. "Bukan. Bapak takut Lahya merasakan sakit untuk kedua kalinya jika harus kehilangan orang yang dicintainya dan disayanginya, gugur dalam bertugas."

Alif menoleh melihat pak Yasin yang terseyum menatap nisan istrinya. Ia tidak pernah menyangka jika ibu Lahya adalah seorang polisi reserse, seperti dirinya. Pantas saja anaknya tahan banting selama ini, meski mentalnya dibantai habis-habisan oleh keadaan.

"Ibu Lahya gugur dalam bertugas saat menyelidiki kasus yang bersangkutan dengan para politikus. Saat itu Lahya berumur delapan tahun dan sudah harus kehilangan sosok ibunya. Ibu Lahya meninggal satu tahun sebelum Lahya dilecehkan di pasar malam sepuluh tahun lalu."

Pantas saja trauma anak gadis itu terlihat jelas dalam tangsinya tadi. Alif tidak tahu seberat itu beban batin yang Lahya tanggung selama ini. Luka kehilangan ibunya belum sembuh, sudah dihadapkan oleh pedofil keparat itu.

"Pak, izinkan saya meminang Lahya. Saya akan berusaha untuk tidak pernah meninggalkan Lahya sendirian, Pak." kata Alif spontan.

Plak!

Terdengar sangat renyah saat pak Yasin menampar paha Alif. Sampai polisi muda itu memejamkan matanya dan mengeraskan rahangnya menahan sakit.

"Loh, bapak belum selesai cerita, kamu ini tidak sabaran ternyata orangnya," sergah pak Yasin.

"Maafkan saya, Pak." Alif mengusap pahanya yang terasa panas akibat gamparan tadi.

"Kamu ini punya janji abdi pada negara, bagaimana mungkin akan terus bisa bersama Lahya?"

Pertanyaan pak Yasin membungkam Alif.

"Kenapa harus anak saya?"

"Saya punya banyak alasan, Pak, tapi semua itu bisa dibantahkan dengan alasan lain juga. Mungkin terdengar aneh, tapi banyak yang berkata bahwa saya sudah jatuh cinta dengan Lahya sejak sepuluh tahun lalu."

"Kamu tahu Lahya sudah tidak suci lagi, bukan?"

Alif menegakkan tubuhnya mendengar pertanyaan yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

"Tidak pernah terbesit dipikiran saya akan hal itu, Pak. Lagi pula kejadian itu adalah musibah. Saya tidak mempermasalahkannya sama sekali," jawab Alif terlihat polos menatap pak Yasin dan dibalas anggukan ringan.

"Kamu anak Kiyai, dipondok pasti dipanggil Gus. Lahya pernah cerita katanya kamu baru saja batal lamaran, apa benar?"

Alif mengangguk. "Sahabat saya sudah lebih dulu melamar perempuan yang akan saya lamar, Pak."

"Kenapa bisa dengan cepat ingin meminang anak saya?"

Skakmat. Alif tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Pertanyaan yang datang dari orang sekitarnya dan tak pernah ia jawab secara pasti, kini juga datang dari bapak Lahya sendiri. Apa ia harus menjawab kalau hafalannya hilang karena tidak sengaja memandangi paras ayu miliki Lahya? Makanya Alif ingin cepat menikahi gadis itu karena takut hafalannya tambah berantakan. Tidak mungkin, bukan?

Pak Yasin menggeleng melihat Alif kebingungan.

"Yang kamu akan pinang kemarin pasti juga keturunan Kiyai?" tebak pak Yasin.

Alif mengangguk. "Iya, Pak."

"Terus kenapa selera kamu berubah jadi anak SMA, yang keluarganya bukan dari kalangan paham agama, apalagi keturunan Kiyai."

"Saya tulus mencintai Lahya, Pak. Dalam islam ada empat perkara yang harus dilihat sebelum menikahi seorang perempuan, karena hartanya, kedudukannya, parasnya, dan agamanya. Saya belum bisa memastikan dari ketiga hal tersebut dalam diri Lahya, kecuali parasnya.

Hal yang paling utama dilihat adalah agamanya, tapi bagi saya yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga, saya sendiri yang akan mendidik dan mengajari ilmu agama pada Lahya. Itu sudah menjadi kewajiban saya nantinya. Lahya mungkin bukan lahir dari keluarga yang paham agama, namun saya mampu membawa keturunan Lahya menjadi ahli agama. Jika bapak merestui saya menikah dengan Lahya."

Pak Yasin tertawa mendengar keseriusan dan ketulusan dalam penuturan Alif. Sedangkan Alif yang sudah serius malah bingung sendiri.

"Kamu dengar sayang? Sombong sekali polisi dan anak Kiyai satu ini," ucap pak Yasin dibarengi tawa.

Alif akhirnya mengerti candaan pak Yasin hanya tersenyum melihat pria paruh baya itu tulus mengusap nisan istirnya. Apakah Alif bisa setulus pak Yasin dalam mencintai istrinya nanti? Alif malah ragu dengan dirinya sendiri. Haruskah ia belajar setia dari pak Yasin? Meski, telah belasan tahun ditinggal sang istri, namun masih setia sendiri.

"Saya takut nantinya bukan Lahya yang mengurus kamu, tapi malah kamu yang harus mengurus Lahya."

"Saya siap, Pak."

Wajah pak Yasin terlihat meremehkan jawab Alif. "Eleh, kamu main siap saja. Belum pernah liat trauma Lahya kambuh, kan?"

Sudah, pak. Baru saja saya yang membantu menenangkannya. Batin Alif tersenyum dan menggeleng, bohong.

"Kamu sudah melihatnya di polres, tapi itu belum apa-apa. Bapak saja kuwalahan ngadepin Lahya kalau traumanya sudah kambuh. Saya tidak ingin anak saya dianggap gila sama orang yang tidak paham psikologi, apalagi diremehkan sama keluarga barunya nanti."

"Saya paham psikologi, Pak. Saya sarjana lulusan kriminologi, Pak. Psikologi sudah saya pelajari beberapa tahun lalu dalam penyelidikan. Adik saya juga kebetulan anak psikologi di Univ luar semarang. Orang tua saya, InsyaAllah saya akan memahamkan mereka tentang kondisi psikologi Lahya sekarang, Pak.

Pak Yasin menggeleng. "Kamu keliatan ngebet banget sama anak saya."

"Saya jujur, Pak."

"Saya juga tidak bilang kamu bohong. Kapan kamu ada waktu luang?" tanya pak Yasin membalikkan pertanyaan Alif minggu lalu.

Alif tersenyum mendengarnya. "Saya tunggu waktu luang Bapak."

Pak Yasin mengangguk. "Monggo anak Kiayi dipimpin doanya," ujar pak Yasin dengan candaan meminta Alif secara langsung memimpin doa untuk almarhumah istrinya.

'-'-'-'

Kepala Lahya berdenyut hebat. Matanya yang terbuka perlahan, disambut plafon putih dalam ruang UKS. Tangan Lahya menurunkan selimut UKS yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya.

Lahya mengecek suhu badannya sendiri dengan punggung tangan yang ia tempelkan ke dahi. Demam. Lahya Deemah demam karena lelah menangis menghadapi traumanya yang datang tiba-tiba.

"Gus Alif?" panggil Lahya tidak mendapati Gus polisi yang tadi menemaninya sampai tertidur. Bahkan, ia bisa tertidur pulas karena polisi muda itu yang menyuruhnya.

"Raden, bukan Gus," ucap seseorang yang Lahya kenal suaranya.

Lahya menoleh melihat ada orang lain di bangsal sebelahnya. Hanya saja ia tidak bisa jelas melihat Raden Parama yang berbaring di atas sana, sampai mahasiswa itu sendiri menyikap gorden putih yang menjadi sekat antara mereka.

"Kak Rama!? Kak Rama ngapain di sini?" tanya Lahya saat senyum Rama menyambutnya.

"Kebanyakan baca wattpad, yak? Sampe ngehalu cari Gus? Padahal disini ada keturunan Raden," ucap Rama terdengar sombong memang.

Rama turun dari bangsalnya dan mendekat ke bangsal Lahya. "Aku tadi cari kamu dek, tapi temen kelasmu bilang kamu masuk UKS. Kamu sakit, tah?" tanya Rama menyelinap lembut masuk ke telinga Lahya.

"Di UKS gak ada orang selain kita, Kak?" tanya Lahya khawatir jadi bahan omongan teman-temannya karena akhir-akhir ini Rama seperti mendekatinya.

"Tenang. Tadi ada Nadine, tapi aku suruh beli makanan dan minuman buat kamu. Bentar lagi juga balik dari kantin. Memangnya kalau berdua kenapa? Takut tak gigit, iya?"

Lahya menggeleng lesu. Ia sudah bisa menanggapi lebih ucapan Rama. Kemana perginya Gus polisi? Kenapa sekarang malah Raden Parama yang menemaninya? Nadine juga, tumben sekali anak itu mau disuruh sama seniornya ini?

"Itu kalung atau gelang?" tanya Rama melihat tangan Lahya.

Ternyata kalungnya masih Lahya pegang. "Ini kalung, Kak."

"Memangnya muat dileher kamu?"

Lahya menggeleng sekali lagi. "Ini kalung Lahya waktu kecil, jadi udah nggak muat."

Rama berjongkok di samping bangsal Lahya agar bisa melihat dengan detail kalung itu. Sepertinya kursi di UKS tidak berguna bagi Rama.

Rama mendongak menatap wajah pucat Lahya. "Wajah kamu pucet banget. Aku boleh ambil kalungnya?" tanya Rama sudah bersiap ingin mengambil kalung di tangan Lahya.

"Buat apa?"

Rama mengambil kalung Lahya tanpa persetujuan dari gadis itu lebih dulu. Ia memperbaiki kalung itu hingga terjulur panjang.

"Sini tangan kamu. Mau kanan atau kiri?"

"Ha?" bingung Lahya menjauhkan tangannya.

"Gak. Gak bakal kesentuh, tenang aja," kata Rama menggerakkan tangannya meminta tangan Lahya.

Suara pintu UKS yang tertutup membuat keduanya menoleh mendapati Nadine yang baru saja kembali dengan membawa air mineral dan roti coklat kesukaan Lahya. Nadine yang melihat dirinya sedang diperhatikan itu nampak cuek saja.

"Ini kembaliannya, Kak." Nadine memberikan uang kembalian pada Rama.

"Suwon Nad."

"Sama-sama." Nadine mengangguk dan menempati bangsal bekas Rama tadi untuk berbaring disana.

Sebenarnya Nadine tadi sedang tidur di kelas, namun seniornya ini membangunkannya dan meminta untuk ditemani ke UKS melihat Lahya. Ingat yah, Nadine bukan sepupu yang jahat, tapi benar-benar tidak tahu jika Lahya masuk UKS.

"Aku pasangin dulu. Mau tangan kanan atau kiri?" tanya Rama kembali pada Lahya.

Lahya masih memegang tangannya, menjauhkan dari Rama. Seperti tak mengizinkan Rama untuk melakukannya.

"Aku pasangnya diluar lengan seragammu, jadi gak bakal kesentuh. Percaya sama Raden Parama. Aku mau jadiin gelang," bujuk Rama dengan wajah meyakinkan.

"Memangnya bisa Kak?"

"Bisalah." kata Rama menaik turunkan alisnya. "Sini!"

Lahya menyerahkan tangannya turun pada Rama yang masih setia berjongkok di samping bangsalnya. Ia memperhatikan Rama yang benar-benar memasangkan kalung pemberian ibu di tangannya. Ia bisa melihat Rama begitu serius mengaitkan ujung kalung yang kecil itu ke tangan kanannya.

"Udah! Baguskan? Jadi bisa dipake terus," ujar Rama berdiri setelah selesai memasangkannya di tangan Lahya.

Lahya tersenyum saat kalung dari ibunya kini terpakai lagi, setelah hampir sepuluh tahun menghilang. Ternyata Rama melilitkan kalung kecil itu dua kali ke tangannya. Ada saja ide Rama.

"Dari pagi di UKS sudah minum obat belum?" tanya Rama mengambil botol mineral yang baru saja dibeli Nadine dengan uangnya. Rama membuka segel air mineral, lalu memberikannya pada Lahya.

Gadis berwajah pucat itu menggeleng seraya menerima sebotol air dari Rama. Lahya menenggak setengah botol air itu sendirian sangking dehidrasinya. Pasti efek habis menangis tadi.

"Haus banget, ya?"

Lahya menyerahkan sisanya kembali pada Rama agar mahasiswa ini menutup kembali botolnya. "Kak Rama ada perlu apa cari Lahya?"

"Surat untuk medical check up udah keluar."

Wajah Lahya langsung semangat mendengarnya.

"Tapi gak akan aku kasih sekarang."

Lahya kembali lesu. "Loh, kok, gak dikasih? Kan, itu syarat Lahya untuk lanjut ke perlombaan pencak silat tingkat provinsi."

"Kalau aku kasih sekarang, memangnya kamu kuat ke RS? Kondisi kamu sekarang saja gak memungkinkan ikut foto ijazah SMA. Gimana mau ke RS? Kamu mau hasilnya kacau? Yang ada gak bakal masuk kualifikasi," jelas Rama.

'-'-'-'

Assalamu'alaikum......
Happy malming bareng Gus polisi para jomsfi (Jomblo Fisabilillah)

Gimana-gimana bab ini?

Ini antara pengen seneng atau kecewa sama Gus Alif. Disatu sisi Gus Alif udah dapet restu dari pak Yasin, tapi disisi lain tanpa disadari udah nyakitin ning Farah🤧.

Btw.....

Angkat kepala kalo kalian baper sama Rama?
Ngaku aja dah, author aja baper😭

Spam nexttt >>

Spam Gus Polisi❤❤❤>>

Spam mas Rama🤍🤍🤍>>

Budayakan Vot+men ya guys.....
Mba author tuh suka baca komenan kalian, kadang tuh suka ketawa² sendiri karena lucu. Jadi spam komen aja!!!!!

Silent reader gak diajak baca bab selanjutnya🤭

Continue Reading

You'll Also Like

17.6K 772 38
Nb: Cerita ini hanya cerita fiksi yang diambil dari Imajinasi yang terlintas dalam benak pikiran dan bisa kalian ambil pelajaran baik nya dan buang y...
491K 60.3K 17
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
1.8K 269 3
Siapa yang pernah menyangka jika gadis urakan seperti Dina harus dengan terpaksa menyetujui wasiat kakeknya, sang pemilik pesantren. Menjadi santri b...
4.7M 285K 60
[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Hana di deskripsikan sebagai gadis nakal pembuat onar dan memiliki pergaulan bebas, menikah dengan seorang pria yang kerap...