RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21K 2K 195

Bersaing dengan orang lain ❌ Bersaing dengan sepupu sendiri ✅ Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.4 Aleo
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.3 Ekstra 0,2564
3.4 Gerak parabola
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.2 Singularitas gravitasi
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.1 Konservasi
6.2 Pasar monopolistik
6.3 Imperialisme Jepang 1944
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

3.2 Senyawa hidrida

484 46 0
By Mikhaely04

Satu hal yang Sabrina syukuri dari keluarga ADHINATHA, yaitu kediamannya yang terletak di tengah-tengah danau. Sebab, danau belakang rumah merupakan tempat paling nyaman bagi gadis itu bila sedang mersa stres. Stres dalam hal apa pun, baik stres karena pelajaran maupun stres karena mendapat gangguan dari Razel dan Mamanya.

Malam ini Sabrina bolos bimbel hanya untuk datang ke danau itu. Langkahnya diam-diam keluar lewat pintu belakang parva domus 2, memanjat pohon yang bisa membantunya untuk sampai ke puncak dinding tembok setinggi 5 meter yang mengelilingi kediaman keluarga ADHINATHA, lalu untuk keluar dari sana dia turun menggunakan tangga besi yang memang sudah lama ada di situ.

Satu meter dari bibir danau, Sabrina langsung mendudukkan dirinya di atas rumput tanpa repot-repot menyiapkan alas apa pun. Dengan kedua telinga yang disumbat earphone, gadis itu terus memandang pantulan bintang yang tampak di permukaan danau yang tenang. Hingga lama-kelamaan Sabrina jadi melamun.

“Fikri, Aleo, dan Aleen. Jelas kisah lama bakal terulang kembali. Fikri yang jadi pemenangnya, Leo yang jadi sadboy-nya. Tapi dibanding Leo, kita berdua sama-sama tau kan, Sab? Kalau di kisah cinta klise itu, justru lo yang bakal jadi pihak paling tersakiti.”

Mata Sabrina lantas terpejam.

“Punggung lo nggak pa-pa, kan?”
“Nggak. Gue baik-baik aja.”
“Syukurlah lo baik-baik aja. Tapi Fikri, belajarnya tetap dilanjut, kan?”

Tanpa sadar gadis itu menggigit bibir bawahnya.

“... Belajar dari Aleen, buat dekatin Fikri lo harus jadi cewek nggak tau malu kayak dia.”

Lalu kedua tangannya mulai terkepal.

“Kenapa? Lo udah lama suka sama Fikri, kan?”

BANGSAT!

Sabrina melampiaskan emosinya dengan melempar kerikil ke tengah danau. Wajah gadis itu penuh raut kekesalan. Apa yang Razel tuduhkan itu sama sekali tidak benar. Sabrina tidak menyukai Fikri. Iya, dia tidak menyukai Fikri, itu tidak mungkin terjadi, dan tidak akan pernah terjadi, Sabrina yakin itu.

Kepala gadis itu kemudian menunduk, tenggelam di antara lututnya. Jujur, 2 tahun terakhir Sabrina berusaha meyakinkan dirinya dan menekankan bahwa perasaan yang ia miliki pada Fikri bukanlah rasa suka, melainkan hanya sebatas rasa tersentuh karena Fikri satu-satunya anggota keluarga ADHINATHA yang tidak menatapnya sebagai seorang anomali.

Meski Fikri memang hanya selalu menatapnya dengan tatapan datar, namun itu jauh lebih baik dibanding tatapan sinis sekaligus menghina yang selalu Sabrina dapatkan dari Razel dan Mamanya.

Itulah sebabnya Sabrina kadang tanpa sadar melayangkan tatapan penuh harap pada Fikri, karena tatapan datar Fikri setidaknya bisa membuatnya merasa normal. Jadi intinya, Sabrina hanya tersentuh pada pemuda itu bukan suka, iya kan?

Tapi Razel malah dengan gamblang menyalahartikan tatapan penuh harap Sabrina sebagai perasaan suka. Hell! Gadis rese itu memang benar-benar, dia jadi membuat Sabrina kembali bimbang pada perasaannya.

“Berapa kali gue bilang, kalo datang ke sini seenggaknya pakai pakaian yang lebih tebal.”

Seseorang tiba-tiba mengambil earphone yang terpasang di kedua telinga Sabrina. Tanpa ada niat untuk protes, gadis itu hanya menoleh memperhatikan orang yang datang tanpa diundang itu duduk di sampingnya, membuka jaket yang ia kenakan, lalu memasangnya di pundak Sabrina.

“Kenapa? Tugas sekolah lagi banyak-banyaknya?” Tanyanya seolah-olah memang tau alasan apa yang selalu membuat Sabrina datang ke sini.

Sabrina menggeleng.

“Razel sama nyokapnya gangguin lagi?”

Sabrina menggeleng lagi.

“Terus?”

“Razel ngatain gue suka sama Fikri.”

“Loh, emang masalahnya apa? Atau ... lo beneran suka sama Fikri?”

“Itu dia. Gue ngerasa enggak, tapi ...”

“Tapi?”

“Gue juga nggak bisa nyangkal kalo gue emang punya perasaan sesuatu ke Fikri. Selama ini gue selalu percaya kalau itu cuma rasa tersentuh, tapi dari sudut pandangnya Razel, dia bilang gue suka sama Fikri.” Dengan raut wajah kacau, Sabrina menyisir rambutnya ke belakang. “Intinya, gue nggak tau itu perasaan apa, gue bingung, gue—”

“Suka.” Orang itu menyela. “Lo suka sama Fikri, Sabrina.”

“Apa? Gimana bisa—”

“Karena kalau dari awal lo emang nggak suka sama dia, lo nggak bakal jadi sebingung ini.”

Sabrina terdiam. Benar juga, kalau dia tidak menyukai Fikri, dia tidak akan terganggu dengan kata-kata Razel. Gadis itu mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan merebahkan badannya di atas rumput.

Lalu suasana sunyi tercipta, Sabrina tidak bersuara, orang yang duduk di sampingnya juga tidak bersuara. Mereka berdua sama-sama diam. Mungkin 10 menit sebelum Sabrina memutuskan menghela napas. “Albert,” panggilnya kemudian.

Tanpa menoleh, Albert—orang yang dari tadi duduk di sampingnya, hanya berdehem. “Hm?”

“Kenapa akhir-akhir ini Avia jadi baik ke gue?”

“Karena gue ngadu soal nyokapnya Razel yang berani nampar lo.”

“Apa?!” Dengan secepat kilat Sabrina berubah posisi jadi duduk kembali. “Jadi, lo tau tentang itu?”

“Jelas.” Jawab pemuda itu dengan wajah sombong. “Gue ini Albert Hernandez, tangan kanannya Avia, semua hal yang terjadi di kediaman keluarga ADHINATHA pasti gue tau.”

Sabrina bengong tidak percaya, bahkan ketika Albert beranjak dari posisinya dia tetap merasa tidak bisa mengatakan apa-apa. Kenapa Albert bisa tau tentang itu?

“Daripada galau nggak jelas di sini, mending lo pulang ngerjain catatan kinematika lo yang dikumpul besok pagi” Albert mulai melangkah menjauh. “Gue bakal lapor ke Avia kalau malam ini lo bolos bimbel gara-gara sibuk kerja tugas.”

Sabrina semakin tidak percaya, Albert bahkan tau tentang tugas sekolahnya. Iya, gadis itu memang punya catatan kinematika tentang besaran vektor yang harus dikumpulkan besok pagi.

-

Bab 17 “Senyawa hidrida”

•••

Aleo setengah berlari menuruni tangga rumahnya. Pemuda itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek warna hitam. Kaos putihnya tersampir di pundak, tidak sempat ia kenakan karena terlalu exited ingin melihat masakan apa yang Aleen buat setelah mengobrak-abrik dapurnya.

Gadis itu sudah tidak ada di sini, mungkin dia sudah pergi ke magna domus untuk makan malam bersama anggota keluarga lain. Tapi justru karena Aleen sudah tidak ada makanya Aleo turun, karena sebenarnya dia masih marah pada gadis itu. Seharian ini Aleo memang sengaja mengabaikan Aleen, Aleo bahkan tidak menampakkan diri sewaktu Aleen datang ke sini untuk memasak.

Dengan bulir-bulir air yang sesekali menetes dari rambutnya, Aleo membuka tudung saji yang ada di atas meja makan. Pemuda yang memang baru saja selesai membersihkan diri itu langsung tersenyum senang melihat makanan yang tersaji. Namun senyum itu memudar begitu menyadari menu makanan yang Aleen buat malam ini. Ayam goreng, sambal terasi, kerupuk, serta tumis kangkung dan nasi putih yang uapnya masih mengepul di udara.

Itu menu makana favorit Aleo, sekaligus menu makanan paling wah yang hanya sesekali bisa ia santap bersama Ibu ketika dirinya masih tinggal di pinggiran kota dulu. Aleo jadi merindukan perempuan itu, mengingat bagaimana wajah bangganya ketika mampu menyajikan menu makanan tumis kangkung dan ayam goreng benar-benar membuat Aleo rindu.

Tapi untuk makanan ini, Aleo tidak mau berharap banyak. Siapa tau hanya tampilannya yang sama, tidak dengan rasanya. Bisa saja rasa masakan Aleen ternyata hambar dan menjatuhkan ekspektasi Aleo.

Pemuda itu mengambil piring sebelum akhirnya duduk di kursi meja makan. Dengan telaten dia mengisi piringnya dengan makanan. Kali ini Aleo akan makan hanya menggunakan tangan, tanpa menggunakan sendok. Dan begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, pemuda itu dibuat bergeming.

Rasanya benar-benar sama, 100% mirip. Saking miripnya, pemuda itu sampai bisa melihat bayangan Aleo kecil menyantap makanannya dengan lahap, ditemani Ibu yang tersenyum senang di sampingnya sambil bertanya, “Enak, Al?”

“Enak, Bu.” Tanpa sadar Aleo menjawabnya. Bibir pemuda tersenyum, namun matanya justru meneteskan bulir air.

Payah! Padahal dia tidak pernah lagi meneteskan air mata setelah kepergian Ibu. Bahkan, hari dimana wanita itu pergi juga Aleo tidak menangis sama sekali. Tapi hari ini, dia malah meneteskan air mata hanya karena masakan sederhana yang Aleen buat lengkap dengan secarik kertas yang bertuliskan ... Leo, maaf :(

Setelah acara makan malamnya yang penuh haru itu selesai, Aleo memakai bajunya lalu berjalan menuju pintu keluar rumahnya. Seperti orang bodoh, pemuda itu terus berdiri di ambang pintu, bersandar di kusen sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sengaja hanya untuk menunggu Aleen lewat setelah gadis itu pulang dari acara makan malamnya.

Kalau diingat-ingat, tadi sore Aleo juga bertingkah seperti orang bodoh karena diam-diam mengintip Aleen yang bermain basket sendirian, dari jendela rumahnya. Iya, sore tadi Aleo dengan teganya membiarkan Aleen latihan sendiri hanya karena alasan dia masih marah pada gadis itu.

30 menit menunggu, Aleen tidak kunjung muncul. Aleo berdecak, jangan bilang gadis itu pergi ke perpustakaan bersama Fikri. Untuk memastikan tebakannya benar atau salah, pemuda itu benar-benar melangkahkan kakinya menuju perpustakaan keluarga.

Dan sialnya, tebakan Aleo ternyata benar. Aleen ada di sana, sibuk mempelajari buku antariksa bersama Fikri. Sama seperti kemarin, malam ini mereka berdua juga duduk berhadapan.

“Leo?” Aleen jadi yang pertama menyadari keberadaannya, lalu ucapan gadis itu membuat si paling suci ikut menoleh ke arah Aleo. Aleen tiba-tiba berdiri dengan raut wajah panik. “Leo, jangan ganggu.”

Aleo langsung melengos. “Siapa juga yang mau ganggu?” Dengan tangan yang masuk ke dalam saku celananya, pemuda itu berjalan melewati meja Aleen dan Fikri. Sampai di meja yang letaknya persis di samping rak buku, Aleo menarik satu buku secara asal lalu duduk di sana sambil pura-pura membaca.

-

Tidak bohong, Aleen panik luar biasa begitu melihat keberadaan Aleo di dalam perpustakaan. Dia sungguh takut kejadian kemarin malam sampai terulang lagi. Namun ternyata kekhawatiran Aleen rupanya hanya sia-sia, buktinya Aleo benar-benar tidak mengganggu. Pemuda itu hanya duduk diam sambil membaca bukunya. Tapi ada yang aneh, soalnya buku yang Aleo baca—

“Aleen.”

Mendengar namanya dipanggil, Aleen lantas menoleh pada Fikri. “Iya?”

“Nggak usah buang-buang waktu buat merhatiin hal yang nggak penting. Fokus aja sama bukunya.”

Gadis itu mengangguk dua kali, sebelum akhirnya benar-benar fokus pada buku bacaan yang ada di hadapannya.

“Kalau lo udah selesai sama buku itu, gue bakal rekomendasiin buku astronomi lain.” Fikri melanjutkan.

Tapi Aleen tidak merespons, sebab gadis itu menemukan kelainan pada buku yang ia baca. “Fikri, kayaknya halaman buku ini hilang beberapa lembar, deh.”

“Masa? Coba gue liat?”

Aleen kira Fikri akan mengambil buku itu lalu memeriksanya, namun di luar dugaan, pemuda itu malah menyondongkan badannya ke arah Aleen. Tidak, ini terlalu dekat. Bahkan lebih dekat dibanding ketika pemuda itu melakukan hal yang sama kemarin malam. Ubun-ubun bagian atas mereka bahkan nyaris bersentuhan.

Fikri kelihatan biasa-biasa saja, pemuda itu tetap fokus memeriksa buku yang Aleen maksud. Sedangkan Aleen, gadis itu jadi sibuk sendiri. Dia sampai menahan napas saking gugupnya berada di posisi itu. Ditambah lagi, bulu mata Fikri yang panjang membuat netra Aleen tidak bisa beralih dari sana, mungkin gadis itu akan terus melihatnya sampai melamun kalau saja—

“EKHEM! Khem!”

—suara keras itu tidak merusak suasana.

Aleen refleks menoleh ke sumber suara alias Aleo. Namun begitu dilihat, pemuda itu justru tetap damai dengan kegiatannya membaca buku seolah-olah tidak terjadi apa-apa, seolah-olah suara keras tadi bukan miliknya.

“Halaman buku ini beneran hilang 3 lembar.” Suara Fikri kembali menyita perhatian Aleen. “Gue punya versi lengkapnya di rumah, besok gue bawain.”

“Terus ini? Nggak usah dilanjut?”

Fikri menggeleng, “Nggak usah, ntar lo jadi bingung. Tapi kalau lo masih mau baca buku, gue saranin baca yang tentang galaksi, mungkin lo bakal suka.”

Aleen mengangguk, matanya kemudian menyapu puluhan buku yang berhamburan di atas meja, begitu menemukan buku yang dirasa cocok, tangan gadis itu langsung bergerak meraihnya. Dan secara kebetulan, tangan Fikri juga meraih buku itu. Alhasil tangan mereka jadi bersentuhan.

Secara spontan Aleen dan Fikri jadi saling tatap-tatapan. Fikri kelihatan terkejut, tampaknya pemuda itu juga tidak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi. Dari tangan, naik ke mata, lalu dari mata kemungkinan besar akan turun ke hat—

Duk!
Duk!
Buk!
Brak!

Lagi, Aleo kembali berulah. Beberapa buku yang ada di lemari dekat pemuda itu tiba-tiba jatuh berhamburan ke lantai. Aleen memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya melempar tatapan jengah ke arah Aleo.

Aleo yang mendapat tatapan seperti itu, malah mengendikkan bahunya santai. “Gue nggak tau, itu jatuh sendiri.”

Oke, Aleen tidak bisa menahannya lagi. “Leo ayo ngaku! Sebenarnya lo datang ke sini emang cuma mau bikin gaduh, kan?”

“Enggak, tuh.” Aleo menyangkal. “Emang lo nggak liat, gue dari tadi baca buku?”

“Gue tau kalo dari tadi lo cuma pura-pura baca buku. Buku yang ada di tangan lo aja, posisinya kebalik.” Iya, hal aneh yang dari awal mengganjal di benak Aleen sejak pemuda itu mulai membaca buku di sana adalah posisi bukunya yang terbalik.

Diberitahu begitu, Aleo langsung memeriksa sampul buku yang ada di tangannya. Namun setelah mengetahui bahwa bukunya terbalik, bukannya mengakui, pemuda itu dengan entengnya malah berkata, “Dari 8 miliar lebih populasi manusia yang hidup di bumi, beberapa diantaranya punya kemampuan khusus, misalnya bisa membaca tulisan terbalik, dan gue salah satunya.”

Aleen kehabisan kata-kata. Sebenarnya dia tidak percaya dengan ucapan Aleo, tapi mendebat pemuda itu juga hanya percuma. Karena otak cerdasnya selalu bisa menyangkal dengan gaya, dan di situasi apa pun, Aleo selalu menolak kelihatan bodoh, jadi sulit untuk melawannya.

“Lo cuma buang-buang waktu kalau negur orang jenius kayak gue.” mendengar itu Aleen langsung memutar bola matanya. Dasar! Si paling narsis.

Memutuskan untuk mengabaikan keberadaan pemuda itu, Aleen mengambil buku yang sempat membuat tangannya dan tangan Fikri bersentuhan. Aleen lalu membacanya dengan tenang. Fikri juga kelihatan tidak peduli dengan Aleo dan segala macam tingkah anehnya, seakan-akan Fikri memang sudah terbiasa melihat itu.

Kegiatan mereka selesai pukul 9 malam. Aleen membatu Fikri membereskan buku-buku yang berhamburan di atas meja. Mata gadis itu sempat melirik Aleo begitu pemuda itu menyimpan bukunya lalu berjalan keluar dari perpustakaan.

“Fikri, makasih buat malam ini.”

“Hm.”

“Terus tentang Leo ... sumpah, bukan gue yang manggil dia ke sini.”

“Gue tau. Gue juga paham dia orang yang kayak gimana.”

Aleen menghela napas lega, untung lah Fikri mengerti. “Kalo gitu, gue duluan, ya.”

Setelah pamit, Aleen benar-benar pergi dari sana. Gadis itu keluar dari perpustakaan, begitu selesai menutup kembali pintu perpustakaan, Aleen dikejutkan dengan keberadaan seseorang yang berdiri bersandar di dinding, tepat di samping pintu. “Leo?”

“Gimana bisa?”

Aleen spontan mengernyit. “Hah? Apanya yang gimana bisa?”

“Masakan lo.”

“Aah~ masakan itu? Jadi lo udah makan? Gimana? Enak, nggak?”

“Gue yang nanya. Kenapa lo bisa bikin makanan kayak gitu?”

“Sebenarnya gue nggak sengaja nemu buku resep di laci dapur lo. Terus di situ ada tulisannya ‘makanan kesukaan Aleo’ makanya gue coba bikin itu.” Jawab Aleen mengakui. Dia sudah siap kalau-kalau Aleo akan memarahinya, pasalnya buku resep itu sepertinya milik Ibu Aleo.

“Besok lagi.” Aleo mendesis.

Dan Aleen tidak mendengarnya dengan jelas. “Apa?”

“Besok buat sarapan, bikinin itu lagi.”

Aleen memperhatikannya, mata Aleo bergerak tidak tenang saat mengatakan itu. Pemuda itu juga jelas sekali sengaja menghindari tatapan Aleen. Gelagatnya seperti orang yang menginginkan sesuatu tapi malu-malu mengatakannya.

Dan itu terlihat lucu di mata Aleen. Gadis itu bahkan tidak bisa menahan suara tawanya agar tidak keluar, Aleen benar-benar tidak menyangka kalau Aleo juga bisa kelihatan menggemaskan.

“Apa yang lo ketawain? Emang ada yang lucu?”

Aleen menggeleng cepat, “Enggak.” Jangan sampai Aleo tersinggung lebih jauh.

Aleo kemudian beranjak dari sana. Aleen mengejar. “Tapi Leo, lo udah maafin gue, kan? Lo udah nggak marah lagi, kan?”

“Hm.” Respons Aleo tidak menghentikan langkahnya.

Sedangkan Aleen setia mengikuti. “Bilang ‘iya’ gitu.” Tuntutnya sambil menggoyang-goyangkan lengan Aleo.

“Iya.” Di luar dugaan, Aleo menuruti. Aleen tersenyum senang mendengarnya.

“Tadi sore lo tega biarin gue latihan sendiri. Gue tungguin sampai magrib lo nggak datang-datang. Jahat banget.”

Aleen dan Aleo kemudian terus berjalan dengan keadaan si gadis yang terus berceloteh. Sampai-sampai keduanya tampak tidak menyadari bahwa seseorang yang baru keluar dari perpustakaan terus memperhatikan interaksi mereka.

Atau tidak, hanya Aleen yang tidak menyadarinya. Karena begitu mereka berbelok di ujung koridor, mata Aleo langsung melirik orang itu, menandakan bahwa pemuda itu menyadarinya sejak awal. Aleo bahkan dengan sengaja menyeringai, entah apa maksudnya.

-

Melihat seringaian Aleo yang seolah-olah mengejeknya, membuat tangan Fikri lantas mengepal.

“... Sesuatu yang kelihatan dingin di luar, belum tentu nggak punya bara di dalamnya. Sama kayak orang yang ada di depan lo. Jangan sampai tertipu.”

Iya, Fikri akui dirinya memang sama dengan bongkahan es antartika yang pernah Aleo jelaskan. Dingin di luar tapi sebenarnya mengandung bara di dalamnya.

Memang benar, di balik sikapnya yang selalu kelihatan tenang, sejujurnya Fikri mempunyai hati yang kotor. Dia menyimpan dendam, dendam tidak berdasar yang tertuju pada Aleo. Semenjak Papa mulai membandingkan dirinya dengan Aleo, Fikri jadi sangat membenci si berandal itu.

Fikri bahkan sampai bertindak jahat dengan merebut semua hal yang Aleo miliki. Terutama sesuatu yang terdeteksi mampu menjadi sumber kebahagiaan Aleo, Fikri suka merampas itu.

Dan orang sejenius Aleo jelas pasti menyadari tindakan Fikri selama ini. Fikri pun paham maksud seringaian yang Aleo lempar barusan, pemuda itu mengibarkan bendera perang, mengode bahwa sesuatu yang selanjutnya harus Fikri rebut adalah ... Aleen.

Fine. Selama ini, ada 3 hal yang tidak pernah bisa, dan sudah pasti tidak akan pernah bisa Fikri rebut dari Aleo. Keberanian, kebebasan, dan otak jenius milik pemuda itu. Tapi selain 3 hal itu, sisanya Fikri bersumpah akan berusaha merebutnya, apapun itu.

Namun untuk sekarang, Fikri tau kalau Aleo hanya ingin bermain-main dengannya. Merebut Aleen? Tidak. Aleen belum seberharga itu bagi si berandal. Fikri cukup tau, dia bisa melihatnya, bahwa di mata Aleo, Aleen masih belum bisa menggantikan posisi dia.

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

900K 49.4K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
6.2M 266K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
112K 8.1K 41
Entah apa ini kau seperti selalu mengirim sinyal kepadaku disaat kau membutuhkanku ~jeon jungkook Kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu, seperti ak...
31.2K 6.4K 21
Story khusus Ardi & Bima♥️ Hubungan Ardi dan Bima terancam rusak! Sejak Ardi memiliki rival, dia bertekad untuk menjadi feminim tanpa membuang 'Pange...