Hujan Bulan Desember

By sebaitrasa

49.5K 6.9K 3.7K

Desember di tahun-tahun sebelumnya, setiap hujan turun bersama angin, akan selalu ada dua gelas teh dan susu... More

Pembuka
Bab 1; Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah
Bab 2; Sudut-sudut Rumah yang Kehilangan Hangatnya
Bab 4; Katanya, Setiap Luka Akan Tiada Setelah Terbiasa
Bab 5; Saat Awan-awan Hitam Terbelah dan Hujan Turun Kembali
Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga
Bab 7; Di antara Garis-garis Senja yang Lenyap dari Langit
Bab 8; Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit
Bab 9; Ketika Kita Bicara Tentang Siapa yang Mencintai Lebih Besar
Bab 10; Setelah Mentari Pergi dan Hujan Turun Mendahului Mendung
Bab 11; Kepada Langit Malam yang Menenggelamkan Bintang-bintang
Bab 12; Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati
Bab 13; Dalam Malam yang Tenang, Beberapa Hati Kembali Patah
Bab 14; Cinta Tidak Diciptakan untuk Membuat Seseorang Menyakiti yang Lainnya
Bab 15; Bahkan Setelah Musim Berganti, Bintang Tidak Pernah Meninggalkan Langit
Bab 16; Hujan adalah Bahasa Isyarat Paling Jujur di Bumi

Bab 3; Musim Tempat Luka Itu Tumbuh Kembali

2.4K 439 241
By sebaitrasa

Bab 3;
Musim Tempat Luka Itu Tumbuh Kembali

_________________________________

Kala pikir, setibanya di Jakarta, ia akan menjumpai malam yang lebih tenang. Malam yang lebih singkat, juga malam yang lebih hangat. Ia kira, di bawah langit Jakarta yang setengah mati dia rindukan itu, semua akan terasa jauh lebih mudah.

Namun, ternyata malam-malamnya yang panjang dan dingin selama lima tahun masih terus berlanjut. Ternyata langit Jakarta yang dia pikir hangat itu sudah tidak lagi sehangat dulu. Ternyata dinding-dinding rumah yang dia pikir mampu meredam seluruh rasa kesepiannya selama bertahun-tahun juga masih belum mampu mengantarkannya tidur dengan nyenyak, tanpa mengkhawatirkan apa pun. Ternyata, meski sudah di Jakarta, di rumahnya, dan bahkan di kamarnya, Kala masih harus merasakan dinginnya malam yang panjang sendirian.

Ia tidak tahu kapan tepatnya dirinya jatuh tertidur. Yang ia tahu, itu sudah lewat tengah malam. Sebab, ia ingat saat itu suara detikan jarum jam terdengar lebih lantang daripada gemerisik angin di luar. Hawa dingin yang datang menusuk lebih tajam daripada saat beberapa jam sebelumnya Kala berdiri di sisi jendela, sambil memandangi tanaman-tanaman Mama yang basah, juga pohon di halaman samping rumah yang daunnya kian rindang. Hal-hal sederhana yang menandakan bahwa malam sudah sepenuhnya berganti, dan Kala sudah hafal sekali.

"Ada banyak hal terjadi dalam lima tahun dan lo nggak tau itu. Termasuk gimana gue survive di sini tanpa kalian, sampai gue terbiasa, dan bahkan lupa ... kalau gue pernah punya saudara."

Kalimat itu mengusik Kala semalaman. Berganti-gantian dengan kalimat Denta yang lainnya. Dan gara-gara itu juga, Kala tidak tidur di ranjang. Sebagai seseorang yang kembali ke rumah itu layaknya orang asing, Kala cukup tahu diri untuk tidak menempati kasur Denta sembarangan setelah anak itu sempat bilang keberatan. Harapannya, setelah meninggalkan kamar selama berjam-jam, dan setelah perasaannya jauh lebih tenang, malam itu, entah pukul berapa, Denta akan kembali ke kamar. Membersihkan diri, lalu tidur.

Jadi, Kala tidak ingin kembali merusak segalanya dengan membuat Denta tidak nyaman karena harus berbagi ranjang. Maka tempat itu pun sengaja ia biarkan kosong, setidaknya sampai Denta pulang.

Sayangnya, sampai kantuk Kala datang, sampai ia terlelap di atas lantai yang ia beri dua lapis selimut sebagai alas, dan bahkan sampai ia terbangun di pagi harinya, ranjang itu masih tetap dingin. Bantal di atasnya tidak berubah posisi sama sekali sejak Denta tinggal pergi. Dan saat itu Kala sadar, bahwa semalaman, Denta benar-benar tidak pernah kembali. Hingga saat ini.

"Hey ... pagi, Kala!"

Hal pertama yang Kala dengar setibanya ia di ujung paling bawah anak tangga adalah sambutan dari Mama. Wanita itu sepertinya baru kembali dari luar, terlihat dari beratnya dua kantung plastik berisi sayuran segar yang sebagian daun-daunnya mencuat keluar.

Kala sendiri akhirnya turun ke lantai bawah setelah cukup lama tinggal di kamar, memandangi tiap sisi kamar Denta, memeriksa barang-barang di dalamnya, hanya untuk menemukan bahwa memang tidak ada lagi satu pun hal tentangnya tersisa di sana.

"Mama kira kamu masih tidur, jadi niatnya Mama mau masak dulu baru bangunin kamu nanti pas masakannya beres. Taunya udah seger aja kamu, nih."

Saat itu Mama berjalan ke arah dapur, meletakkan belanjaannya ke meja dan langsung menggulung lengan bajunya ke atas. Mengeluarkan sayur-mayur, lalu mencucinya di wastafel. Satu hal yang setidaknya membuat Kala merasa kedatangannya ke Jakarta tidak sia-sia. Sebab, di kota tempat Papa membawanya pergi, paginya tidak pernah terasa seperti ini. Ia biasanya bangun sendiri. Menyiapkan sarapan sendiri. Lalu makan sendiri. Kalau sudah bekerja, Papa biasanya jarang sekali ada di rumah. Kadang-kadang Papa pergi di pagi buta sebelum matahari naik, dan baru pulang lagi di pagi yang lainnya.

Setelah bertahun-tahun, akhirnya Kala bertemu dengan pagi yang berbeda. Ada Mama yang menyambutnya, ada suara gaduh dari arah dapur, dan yang paling Kala suka dari semuanya ... ada obrolan sederhana yang terjadi di sana.

"Gimana semalam tidurnya? Kamar kamu masih senyaman dulu?"

Sama sekali tidak. Kamar Kala yang nyaman itu sudah berubah banyak sekali. Dulu, ia punya ranjang yang hangat, dengan foto-foto dirinya dan Denta memenuhi hampir seluruh dinding, juga mainan yang menumpuk di sudut ruangan. Tetapi sekarang ia harus tidur di lantai, yang bahkan tebalnya dua lapis selimut tidak mampu menghalau dingin ke tulang-tulangnya.

Saat itu Kala hanya tersenyum dan berjalan menyusul Mama ke dapur.

"Udah banyak berubah, sih, Ma. Dulu kamar selalu penuh sama mainan, konsol game yang nggak ditaruh di tempatnya, juga snack yang sebelum sempet habis udah aku tambah lagi yang baru. Sekarang di sana bersih banget. Dan di situ aku sadar, we're not kids anymore."

Sebenarnya, Kala cuma ingin bilang bahwa ia belum terbiasa dengan perubahannya. Dengan suasana kamar yang kaku, dengan dinding-dinding yang dingin di malam hari, juga dengan Denta yang tiba-tiba menjaga jarak sejauh ini. Namun, yang Kala bisa lakukan saat itu hanya menutup semuanya dengan tawa, dan dari sudut lain, Mama ternyata melakukan hal yang sama.

"Ya, kalian memang udah bukan anak-anak lagi, yang harus Mama bangunin dengan penuh effort tiap pagi buat sekolah. Yang bakal teriak-teriak manggilin Mama dari kamar cuma buat minta tolong dicariin kaos kaki."

Kali ini Kala benar-benar menarik penuh ujung bibirnya. Menyadari berapa banyak waktu yang telah berlalu sampai kebiasaan-kebiasaan yang Mama sebutkan itu berganti menjadi kebiasaan-kebiasaan baru. Dulu, ia dan Denta hanya akan bertengkar karena mainan. Sekarang, mereka bertengkar karena rasa sakit.

"Kadang-kadang Mama kangen dimintain tolong untuk hal-hal sederhana yang nggak bisa kalian lakuin sendiri. Kayak ngikat tali sepatu, masang dasi, ngancingin baju, ngupas buah, atau sekedar gantiin sprei di kamar. Sekarang kalian udah besar, udah bisa lakuin semuanya sendiri tanpa bantuan Mama."

Kalimat itu ternyata menyentuh hati Kala lumayan dalam. Seketika lembar-lembar ingatannya seperti dibuka per halaman, dan kepalanya memutar lagi hari-hari yang sudah lama berlalu. Di hari-hari yang Mama sebutkan itu, ia adalah anak kecil yang selalu merasa punya hidup lebih bahagia dari semua orang. Di hari-hari itu, ia punya Papa yang begitu mencintai keluarganya. Punya Mama yang selalu ada untuk membantunya melakukan apa pun. Dan punya kakak, yang hampir tidak pernah menolak apa pun keinginannya.

Sama seperti Mama yang terkadang merindukan hari-hari itu, Kala pun demikian.

"Untuk beberapa alasan, ada saat di mana seorang anak juga sebenernya nggak pengen tumbuh dewasa secepat itu," gumam Kala kemudian.

Karena ternyata tumbuh dewasa tidak pernah semenyenangkan yang ia bayangkan. Ada banyak hal yang menyakitkan terjadi setelah dewasa, dan Kala tidak bisa menghindar. Tumbuh dewasa berarti hatinya harus seribu kali lebih lapang. Tulang-tulangnya harus lebih kuat. Punggungnya harus jauh lebih tangguh. Dewasa adalah waktu di mana setiap hati yang hidup harus siap dengan segala patah dan runtuh.

Kala baru menyadari itu setelah hidup terpisah dari Mama dan Denta. Saat ia harus melewati tahun demi tahun sendirian. Saat itu, beberapa kali, ia mengadu kepada langit malam yang temaram, bahwa jika bisa ... ia akan lebih memilih untuk tidak pernah menjadi dewasa.

"Nggak semua anak bahagia sama kehidupannya setelah dewasa." Lagi, kalimat itu Kala gumamkan terlampau pelan, hingga pendengaran Mama mungkin tidak menangkapnya dengan benar.

"Kamu ngomong sesuatu? Maaf, Mama kurang jelas dengernya."

Di detik itu, Kala menarik senyuman, kemudian berjalan ke sisi Mama untuk membantunya memotong sayuran.

"Nggak ada, kok. Mama mau masak apa?"

Topik sebelumnya pun menguap oleh pertanyaan Kala. Perhatian Mama kini tertuju pada sayuran segar yang baru dicucinya.

"Sup telur puyuh dulu buat pagi ini. Mau, kan?"

Kala mengangguk tanpa keberatan. "Aku bantuin, ya."

"Emang kamu bisa? Ngerti gitu urusan potong-potong sayur? Biasanya anak cowok paling nggak suka lama-lama di dapur."

Suara Mama yang memelan di akhir sejenak membuat Kala terdiam. Ia tidak tahu ini hanya perasaannya saja, atau cara Mama bicara padanya memang sudah lebih cair daripada semalam. Mama terlihat sudah jauh lebih nyaman. Saat ia memangkas jarak dan bergeser ke sisinya pun, Mama tidak keberatan. Dia tidak menjauh, juga tidak berusaha menghindar. Kala jadi mulai percaya kalau apa yang Mama sampaikan kemarin benar. Setelah berpisah selama bertahun-tahun, mungkin, mereka memang hanya butuh waktu untuk kembali merasa nyaman berada di antara satu sama lain.

"Lihat dari apa yang Mama beli, Mama kayaknya mau pakai wortel, buncis, sama jamur kancing buat sayuran di supnya. Ditambah bihun. Sama telur puyuhnya lima belas butir aja. Bener nggak?"

Saat itu, hal pertama yang Kala tangkap dari reaksi Mama adalah bagaimana mata wanita itu membola, seperti tidak percaya. "Dari sekian banyak sayuran yang Mama beli, kok bisa pas gitu kamu nebaknya?"

"Aku biasa masak sendiri di sana." Namun, menyadari Mama yang tiba-tiba diam, buru-buru Kala menambahkan. "Buat dimakan berdua sama Papa."

"Ah ... okay."

Tetapi sepertinya topik tentang Papa adalah hal yang tidak Mama suka. Kala bisa melihat bagaimana raut muka Mama berubah dalam sekejap, lalu setelahnya wanita itu buru-buru beralih menyalakan kompor untuk merebus telur.

Dari dua reaksi itu, Kala akhirnya paham, bahwa membawa nama Papa ke dalam obrolan mereka ternyata masih menjadi luka sebesar itu untuk Mama. Kala tidak ingin semakin menyakiti Mama, untuk itu ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Sembari mengupas wortel dan memotongnya kecil-kecil.

"Ngomong-ngomong, Denta ke mana, ya, Ma? Dia semalam pergi, dan kayaknya enggak balik ke kamar lagi."

"Oh, iya. Kamu nggak perlu khawatir. Semalam dia ngabarin Mama, katanya nginep di tempat Nares."

Nama asing itu membuat Kala berhenti dari kegiatannya. Tanda tanya besar seketika muncul di kepala Kala, terlebih saat Mama justru tersenyum ketika mata keduanya berjumpa.

"Nares ... siapa?"

"Temennya Denta. Namanya Nareska. Mereka ketemu di tahun pertama SMA. Belum lama, sih, sebenarnya. Tapi Nares anaknya baik banget, seru juga. Mungkin Denta ngerasa cocok berteman sama dia. Karena kayaknya dari segelintir temennya Denta yang Mama tau, Nares ini yang bener-bener paling dekat sama dia. Untuk ukuran anak yang susah banget terbuka sama orang lain, dan berteman sama orang baru, Mama juga cukup kaget pas hari itu tiba-tiba dia bawa Nares ke rumah."

Kala tidak tahu dari mana datangnya perasaan-perasaan asing yang mengusiknya sekarang. Dari yang Mama ceritakan, anak bernama Nares itu adalah teman yang baik untuk Denta. Dia orang yang sangat bisa dipercaya, hingga Mama bahkan terlihat tenang sekali saat mengatakan bahwa semalaman, selama Kala terjaga menunggunya pulang, Denta justru menginap di rumahnya. Seharusnya, Kala tidak perlu mempermasalahkan apa-apa.

Namun, kenyataan bahwa Denta bahkan lebih nyaman menginap di tempat orang lain daripada tinggal dalam satu kamar dengan saudara kembarnya sendiri cukup melukai perasaan Kala. Kenapa orang lain bisa membuat Denta nyaman sementara dirinya tidak?

"Setelah bertahun-tahun sebelumnya dia hampir nggak pernah nyoba interaksi sama siapa pun, Mama lega banget karena hari itu akhirnya dia mau berteman lagi sama seseorang. Seenggaknya, ada orang lain yang bisa dia ajak bicara selain Mama."

Kalimat Mama selanjutnya saat itu seperti menyatu dengan suara keran air yang kembali menyala. Tetapi Kala masih bisa merekam semua dengan cukup jelas, bagaimana Mama menghela napas lega, juga betapa ringannya nada bicara Mama ketika ia mendeskripsikan Nareska.

Kala mencoba menggenggam lagi pisaunya dengan benar dan melanjutkan apa yang sebelumnya dia kerjakan. Tetapi ternyata nama Nareska yang muncul secara tiba-tiba itu terlanjur menempel kuat di kepalanya. Kala tidak bisa langsung menyisihkannya begitu saja.

"Mereka ... sedekat itu?"

Suara air mendidih di dalam panci seperti menjerit dan saat itu perhatian Mama kembali teralih. Wanita itu kini sibuk memasukkan butir-butir telur ke dalam panci, sementara Kala berusaha tetap menggerakkan pisaunya dengan hati-hati. Sampai kemudian Mama berbalik, berjalan ke sisi lain dapur untuk mengerjakan yang lain. Dan saat itu, suaranya terdengar kembali di antara suara kompor yang menyala, juga suara barang-barang yang dipindahkan Mama dari tempatnya.

"Tentu enggak sedekat dia sama kamu. Nggak ada orang yang bisa bener-bener bikin Denta nyaman lakuin apa pun, dalam hal apa pun, selain saudara kembarnya sendiri," katanya.

Kala cukup terkejut karena ternyata Mama bisa menangkap apa yang ia khawatirkan. Mungkin ia membuatnya terlihat terlalu jelas melalui caranya bertanya, atau dari beberapa kali dirinya terdiam saat Mama menyebut nama Nareska. Tetapi kemudian pemuda itu mengambil satu tarikan napas dalam dan bergumam pelan.

"Tapi sekarang udah enggak."

"Kala ...."

Namun, sebelum Mama melanjutkan kalimatnya, Kala lebih dulu mendongak menatap Mama. Tersenyum, untuk kemudian mengulang kata-kata Mama semalam, seusai mereka menghabiskan sisa makan malam tanpa Denta.

"Iya, aku tau, Ma. Dia cuma butuh waktu. Sama kayak gimana dulu dia perlu waktu lama untuk terbiasa nggak ada aku sama Papa, sekarang dia juga perlu waktu buat nerima lagi kedatangan aku setelah lima tahun aku nggak ada di hidupnya. Aku ... cuma perlu nunggu, kan?"

Sebelumnya, Kala sudah pernah melewati lima tahun untuk menunggu waktu mempertemukannya kembali dengan Mama dan Denta. Jadi, seandainya setelah ini ia masih harus menunggu lagi, melewati hari-hari yang lainnya, atau bahkan tahun-tahun yang lainnya, Kala mungkin sudah benar-benar terbiasa.

Saat itu, suara Mama menghilang di antara hening. Dan yang wanita itu lakukan selanjutnya hanya memandangi Kala, tanpa mengatakan apa-apa.

[•••••]

Jakarta, lima tahun yang lalu.

Sudah satu minggu, kamar itu terasa dingin. Buku-buku pelajaran yang sebelumnya selalu rapi, belakangan jadi tercecer di meja. Selimut yang setiap malam Denta gunakan juga dibiarkan tetap menjuntai ke lantai, menyisakan ranjang yang kusut, juga bantal-bantal yang berantakan.

Di dekat meja belajar, konsol game yang sebelumnya Denta sukai setengah mati itu dibiarkan tergeletak begitu saja. Sementara di sudut ruangan, keping-keping lego masih tetap berserakan. Tidak ada satu pun yang berubah dari posisi terakhir saat Denta menyusunnya bersama Kala. Denta ingat hari itu Kala bilang ingin membuat gedung yang besar, tetapi baru dapat separuh, suara berat Papa memanggilnya keluar. Lalu sampai satu minggu berlalu, gedung itu masih tetap berdiri separuh, tidak pernah menjadi utuh.

Dan selama enam hari kemarin, setiap hari, Denta selalu melewati malam panjangnya dengan menangis diam-diam. Di kamarnya yang dingin, saat lampu-lampu bahkan sudah dipadamkan. Di depan ponselnya yang dia cek berkali-kali, berharap semua pesan yang dia kirimkan untuk Papa dan Kala akan segera mendapatkan balasan. Kalaupun tidak bisa semuanya, setidaknya satu baris pesan berisi kabar sudah cukup untuk membuat Denta tidur dengan nyenyak di malam-malam selanjutnya. Namun, dari pagi buta sampai lewat tengah malam, dari hari satu ke hari berikutnya, hingga ponsel itu akhirnya mati kehabisan baterai, tidak pernah ada satu pun pesan dari Papa ... maupun Kala.

Nomor mereka tidak bisa dihubungi, dan bahkan satu-satunya akun media sosial milik Kala yang menjadi harapan terakhir Denta tidak bisa ia temukan lagi. Anak itu seperti menghilang, dari rumah ini, juga dari hidup Denta. Dan selama satu minggu, hari-hari Denta rasanya jadi berat sekali.

Selama itu, ia tidak pergi ke mana pun. Mama bilang, ia sakit. Demamnya tak kunjung turun dalam dua hari. Sampai Mama membawanya menemui dokter sambil menangis di sepanjang perjalanan. Lalu sepulang dari sana, Mama menyuruhnya lebih banyak istirahat, tidur yang nyenyak, makan yang banyak. Katanya, Mama tidak ingin melihatnya semakin sakit. Tetapi Denta tidak tahu di bagian mana sakit yang Mama maksud. Karena yang ia rasa paling sakit hari itu hanya satu; di hatinya. Tepat di hatinya.

Sakit sekali di sana.

"Denta ... udah tidur belum, Nak?"

Menjelang pukul sepuluh malam, lagi-lagi Mama mengetuk pintu kamarnya dari luar. Suara wanita itu menyatu bersama hujan, juga samar-samar gemuruh petir yang menyambar pelan.

Lampu kamar itu sengaja sudah ia padamkan. Pintunya ia kunci dari dalam. Ia masih mendengar jelas panggilan-panggilan Mama dari sudut ruangan yang dingin, tetapi tidak ada yang ingin ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin bicara dengan Mama. Ia juga tidak ingin membuka pintu hanya untuk melihat tatapan khawatir wanita itu terhadapnya.

"Kalau belum tidur, cepat tidur, ya. Kamu belum sehat seratus persen. Jangan tidur malam-malam. Kalau butuh apa-apa, bangunin Mama di kamar."

Lalu setelah itu suara Mama menghilang, menyisakan derap langkah kakinya yang terdengar semakin jauh dari kamar Denta. Sementara anak itu menyandarkan punggungnya ke dinding, sembari memeluk lututnya sendiri.

Ini sudah malam ke-tujuh, dan malam ini Denta tidak lagi menangis. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, kali ini ia hanya duduk di ranjangnya yang berantakan, ditemani suara air hujan yang belum reda sejak sore tadi. Ponsel yang hari-hari sebelumnya tidak pernah ia tinggalkan jauh pun sekarang ia biarkan mati. Tergeletak di meja belajar, bersama tumpukan buku-buku komik milik Kala yang tidak sempat ikut dibawa pergi.

Arah pandang anak itu kemudian bergeser pada rak sepatu di sisi pintu yang separuhnya sudah kosong. Tas sekolah yang kini tinggal satu. Baju tidur di lemari yang tinggal sepasang. Lalu berhenti pada susunan lego yang masih tersisa di sudut ruangan.

"Kala, kalau kamu pulang, aku janji nggak akan marah walaupun kamu naruh sepatu sembarangan. Aku janji bakal izinin kamu pakai baju tidurku, sesuka kamu. Aku juga nggak akan keberatan beresin semua lego yang berantakan sendirian. Apa pun, asalkan kamu pulang. Aku nggak bisa sendirian, Kal. Aku nggak bisa bayangin bakal lewatin musim-musim hujan ke depannya ... tanpa kamu."

Malam itu, Denta memang tidak menangis. Tetapi justru dengan begitu hatinya terasa jauh lebih sakit.

[•••••]

Menjelang pukul sebelas malam, Denta baru kembali lagi ke rumah. Saat pintu sudah dikunci, dan bahkan lampu-lampu ruangan sudah mati. Mama pasti sudah tidur, setelah sejak pagi menghubunginya sampai berkali-kali, memintanya untuk segera pulang. Yang semuanya hanya Denta jawab dengan satu alasan. "Nanti."

Lalu setelah lebih dari 24 jam meninggalkan rumah, setelah ia merasa cukup memberi ruang kepada dirinya sendiri, dan setelah membuat Mama lumayan khawatir, ia akhirnya memutuskan untuk kembali. Tanpa ingin membangunkan Mama yang pasti sudah ada di kamar, Denta membuka pintu menggunakan kunci cadangan. Tetapi sampai di ruang tengah, langkahnya terhenti. Mama yang ia pikir sudah tidur ternyata masih duduk di sana, di antara remang-remang penerangan yang hanya datang dari arah kamar yang pintunya dibiarkan terbuka.

"Mama belum tidur?" Denta membuka suara saat melihat Mama bangkit dari sofa yang didudukinya.

"Mama tau kamu bakal pulang malam ini, makanya Mama tungguin," jawab Mama saat itu. Malam yang sudah larut dan sunyi membuat Denta bahkan bisa mendengar suara helaan napas Mama di sela-sela detik lantang jarum jam di dinding ruangan.

"Kamu udah makan? Mau Mama panasin makanan dulu nggak?"

"Nggak usah, Ma. Udah, kok, tadi."

Diamnya Mama saat itu seperti memberi tanda bahwa ada hal yang ingin wanita itu bicarakan. Dan sepertinya Denta bisa menebak ke mana arah obrolan itu akan berjalan. Maka sebelum Mama sempat memulai, ia lebih dulu mengambil langkah untuk menghindar.

"Aku mau langsung tidur aja," katanya.

"Denta—"

"Ma, aku mau tidur. Mama juga harus tidur."

Penegasan itu pada akhirnya berhasil membuat Mama tidak lagi meneruskan apa yang ingin dia sampaikan. Dalam gelapnya ruangan malam itu, Denta hanya bisa mendengar Mama sekali lagi menghela napas panjang. Seolah paham bahwa ia memang sedang tidak ingin membicarakan apa-apa sekarang.

Kemudian, samar-samar Denta melihat wanita itu mengangguk, dan setelahnya semua berakhir di sana. Denta pamit pergi ke kamar, meninggalkan Mama sendirian. Lampu kamar masih menyala ketika ia tiba, tetapi saat pintunya ia buka, hal pertama yang Denta temukan adalah Kala yang sudah tertidur di bawah, beralaskan selimut yang ia ingat betul sebelumnya ia simpan di lemari.

Untuk beberapa saat, langkah Denta tertahan. Ia tidak beranjak dari depan pintu sampai dua menit lamanya. Hingga di menit ke-tiga, ia akhirnya melangkah pelan-pelan ke ranjang. Melepas jaketnya untuk diletakkan di kursi, lalu duduk di atas kasurnya yang baru ia sadari tidak berubah sama sekali sejak ia tinggal pergi.

Dan setelah itu, Denta tidak langsung tidur. Ia hanya duduk diam di ranjangnya, membiarkan jarum jam berputar membawa malam menuju dini hari. Tanpa ia sadari, sejak kembali ke kamar ini, ia menghabiskan lumayan banyak waktu hanya untuk memperhatikan Kala yang malam itu tampak tidak nyaman dalam tidurnya sendiri.

Waktu mau publish cerita ini, sebenarnya ada banyak banget hal yang aku pertimbangin. Dan aku khawatirin.

Seperti yang kalian tau, dari semua cerita yang pernah kutulis, aku baru sekali ambil tokoh kembar (beberapa tahun yang lalu), dan kayaknya gagal. Jadi kayak agak takut buat nulis begini lagi.

Tapi, di sini, di judul ini, gak tau kenapa aku ngerasa jauh lebih nyaman. Dan respons kalian di dua bab awal juga cukup bikin aku yakin sama apa yang kutulis.

Jadi, thank youuuu, yaa... 💜

Anw, gimana part ini?

______

16.09.2023

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 98.5K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
2.4M 132K 29
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
126K 13.8K 18
Bukan BL Arkanna dan Arkansa itu kembar. Tapi mereka sudah terpisah semenjak masih bayi. Dulu, orangtua mereka menyerahkan Arkanna kepada saudara yan...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.3M 72.7K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...