Hujan Bulan Desember

By sebaitrasa

43.9K 6.5K 3.7K

Desember di tahun-tahun sebelumnya, setiap hujan turun bersama angin, akan selalu ada dua gelas teh dan susu... More

Pembuka
Bab 1; Desember, Hujan, dan Jalanan yang Basah
Bab 3; Musim Tempat Luka Itu Tumbuh Kembali
Bab 4; Katanya, Setiap Luka Akan Tiada Setelah Terbiasa
Bab 5; Saat Awan-awan Hitam Terbelah dan Hujan Turun Kembali
Bab 6; Jejak-jejak Luka dan Legenda Para Bunga
Bab 7; Di antara Garis-garis Senja yang Lenyap dari Langit
Bab 8; Cara Hujan Menggerus Tiap Rasa Sakit
Bab 9; Ketika Kita Bicara Tentang Siapa yang Mencintai Lebih Besar
Bab 10; Setelah Mentari Pergi dan Hujan Turun Mendahului Mendung
Bab 11; Kepada Langit Malam yang Menenggelamkan Bintang-bintang
Bab 12; Senja Akan Selalu Indah Selama Kita Tidak Sedang Patah Hati
Bab 13; Dalam Malam yang Tenang, Beberapa Hati Kembali Patah
Bab 14; Cinta Tidak Diciptakan untuk Membuat Seseorang Menyakiti yang Lainnya
Bab 15; Bahkan Setelah Musim Berganti, Bintang Tidak Pernah Meninggalkan Langit
Bab 16; Hujan adalah Bahasa Isyarat Paling Jujur di Bumi

Bab 2; Sudut-sudut Rumah yang Kehilangan Hangatnya

2.6K 427 328
By sebaitrasa

Bab 2;
Sudut-sudut Rumah yang Kehilangan Hangatnya

__________________________________


Denta sudah banyak berubah. Seperti yang Kala khawatirkan hingga tidak bisa tidur semalaman, lima tahun yang berlalu telah mengubah banyak hal di masing-masing hidup mereka. Termasuk orang yang paling Kala takuti akan berubah lebih banyak daripada saat terakhir mereka bertemu; Denta.

Sudah puluhan menit berjalan terhitung sejak Papa meninggalkan mereka semua untuk mengejar penerbangan balik ke Manado, tetapi pemuda yang kini sudah menanggalkan jaket basahnya itu masih belum mengatakan apa-apa. Bungkamnya Denta sepanjang pembicaraan di ruang tamu rumah itu seolah menekankan bahwa kedatangan Kala yang tiba-tiba bukanlah hal yang ia harapkan. Sebab, sejak detik di mana tatap keduanya bertemu, Kala sama sekali tidak mendengar sambutan. Tidak ada euforia pertemuan yang tumpah setelah akhirnya mereka kembali berdiri berhadapan.

Dan dari bagaimana mata Denta terus berusaha menghindar, Kala akhirnya paham bahwa di sini, di antara dinding-dinding rumah yang terasa sesak ini, rindunya hanya bergaung sendirian. Sepertinya, lima tahun yang berlalu telah berhasil menghapus jejak-jejak keberadaan Kala di hidup Denta, hingga pemuda itu terbiasa, dan kemudian lupa bahwa dulu mereka bahkan pernah saling berbagi susu dari botol yang sama. Pernah saling berbagi selimut tiap malam, dan berbagi satu pakaian untuk dipakai bergantian.

Keberadaan Papa di rumah itu bahkan seperti tidak berarti apa-apa. Tidak ada pelukan rindu, atau setidaknya pertukaran kabar setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Sepanjang Papa duduk di hadapan mereka, yang Kala lihat, Denta tidak melakukan apa-apa selain hanya mendengarkan bagaimana lelaki itu memberi pengertian tentang alasan kedatangan mereka ke Jakarta. Lalu saat Papa pamit pergi, yang bisa Kala lihat hanya bagaimana Denta mengepalkan tangan, dengan decih sinis yang samar-samar terdengar.

Anak itu tidak lagi mengantar Papa sampai ke depan seperti lima tahun lalu. Juga tidak lagi berusaha menahan kepergiannya seperti saat itu. Denta yang Kala lihat sekarang benar-benar bukan lagi Denta yang dulu.

"Aku mau ganti baju." Pemuda itu akhirnya bangkit dari sofa, meraih jaket yang tadi ia tinggalkan dan bergegas meninggalkan ruang tengah begitu saja.

"Denta, sebentar—" Merasa pembicaraan di ruangan itu belum sepenuhnya selesai, Mama mencoba menahan, tetapi sepertinya percuma. Langkah pemuda itu sudah lebih dulu menggema di sepanjang tangga dan bantingan pelan pintu kamar menutup segalanya.

Sisa-sisa gerimis masih membekas di luar, tertinggal di atas daun-daun hijau dan rerumputan, lalu dinginnya udara yang masuk melalui celah-celah pintu saat itu terasa berkali-kali lipat lebih dingin setelah kepergian Denta. Di ruangan itu tersisa Kala dan Mama, tetapi jeda lima tahun dan jarak ratusan kilometer yang memisahkan mereka selama ini sepertinya telah berhasil membuat Kala merasa asing di hadapan ibunya sendiri. Hingga ia tidak berani menatap Mama. Hingga ia takut untuk sekadar melihat mata Mama yang siang itu memerah dengan jejak-jejak basah di sekitarnya.

"Kala ...."

Lalu seperti ada sesuatu yang merobek kabut tebal di dadanya, Kala merasa lega saat akhirnya Mama lebih dulu memanggil namanya. Suara wanita itu terdengar di antara gemerisik angin dari daun-daun yang bergesek perlahan. Lirih dan menyakitkan.

"Nanti, Mama bicara sama Denta pelan-pelan, ya. Dia mungkin masih butuh waktu untuk nerima semua penjelasan yang dikasih sama papa kalian barusan. Dia ... mungkin masih kaget sama kedatangan kalian yang tiba-tiba."

Nyatanya, kalimat Mama tidak cukup mampu menenangkan Kala. Ketakutan-ketakutan yang sedari awal ia simpan kini justru seperti terpatik lebih besar. Bahkan jika kehadiran Papa saja tidak mampu sedikit pun mengetuk hati Denta, lalu bagaimana dengannya?

Untuk beberapa saat pemuda itu membiarkan kalimat Mama lebur bersama angin, sementara ia sibuk memainkan jemarinya sendiri. Sembari memandangi jejak-jejak air hujan di lantai yang membekas dari alas sepatu Denta, dan menghirup samar-samar wangi parfumnya yang masih tertinggal.

Sampai kemudian ia mendongak, mencoba menatap mata Mama yang siang itu lebih redup dari langit di luar.

"Aku ... sekarang jadi orang asing buat kalian, ya?"

Mama dengan cepat menggelengkan kepala. Bibir ranumnya yang bergetar seolah ingin menyampaikan bantahan, tetapi entah mengapa Kala justru semakin merasa bahwa kembalinya ia ke rumah ini adalah sebuah kesalahan.

"Maaf, ya, Ma. Aku tadinya mikir kalian mungkin bakal seneng ketemu aku lagi, tapi harusnya aku tau kalau semuanya udah nggak sama lagi dan—"

"Mama seneng, Kala."

Kala tidak tahu sejak kapan mata Mama kembali basah. Yang ia tahu, saat wanita itu menggeser duduknya mendekat dan menyentuh pundaknya, hujan di luar seperti berpindah ke mata Mama.

"Selama apa pun kamu pergi, kamu tetap anak Mama. Mama akan selalu senang menyambut kedatangan kamu, kapan pun itu. Dan kamu akan selalu punya tempat di rumah ini."

Kalimat Mama terdengar begitu sempurna sampai Kala ingin sekali mempercayai segalanya. Ia ingin percaya bahwa memang masih ada tempat di rumah ini untuknya dan Mama masih mencintainya sama besar seperti dulu. Namun, ketika ia melihat lagi sudut-sudut rumah ini, rasanya jadi sulit sekali. Mama memintanya percaya bahwa ia masih akan selalu diterima di sini, di saat rumah itu bahkan tidak memiliki kenangannya sama sekali.

Kalau memang mereka tidak berniat melupakannya, seharusnya foto ia dan Denta masih ada di meja. Seharusnya Mama tidak pernah menggantinya dengan yang baru, dan mengisi kekosongan di sana hanya dengan foto kelulusan Denta.

"Kalau gitu ... aku boleh peluk Mama?"

Karena hanya dengan itu, Kala mungkin akan merasa sedikit lebih tenang. Hanya dengan itu, ia mungkin akan percaya bahwa kehadirannya di sana masih diharapkan. Dan di detik setelah itu Mama pun maju lebih dulu untuk memeluknya. Mengusap-usap punggungnya, lalu menangis di sana.

Sementara Kala diam dan memejam. Ia biarkan detik habis dalam rengkuhan Mama, juga dalam tiap desir-desir hangat di jantungnya saat tangan wanita itu mengusap kepalanya dengan lembut.

Setelah lima tahun, Kala akhirnya kembali ke tempat yang paling ia rindukan. Ke pelukan yang sama, yang dulu selalu menenangkannya setiap kali ia menangis. Pelukan yang akan menemaninya tidur saat ia sedang sakit.

Di bulan Desember ke-lima semenjak perpisahan hari itu, di musim hujan yang entah sudah datang ke berapa kali, Kala akhirnya bisa memeluk Mama lagi. Setelah lima tahun sebelumnya tidak ada yang memeluknya saat ia menangis. Tidak ada yang memeluknya saat ia sakit.

[•••••]

Kala masih ingat sekali bagaimana dinginnya sudut-sudut rumah ini di hari ketika Papa hendak membawanya pergi. Ia ingat bagaimana obrolan menghilang dari meja makan dan bahkan masakan Mama yang biasanya selalu habis termakan pun hari itu menjadi terasa hambar. Ia ingat bagaimana Mama memasukkan barang-barang ke kopernya sambil menangis. Ia juga ingat bagaimana diam-diam wanita itu menyelipkan sekotak bekal ke dalam ranselnya untuk ia makan di perjalanan. Namun, yang paling Kala ingat dari segalanya adalah cara Denta menatapnya hari itu.

Anak itu terlihat sangat terluka saat harus merelakan Kala mengambil semua sepatunya dari rak, menyisakan kekosongan besar di mana milik Denta hanya tinggal sendirian. Lalu saat ia akhirnya meninggalkan rumah itu dengan taksi yang Papa pesan, air mata Denta dari balik rintik hujan saat itu menjadi hal yang paling menyakitkan. Kala sepenuhnya sadar bahwa kepergiannya hari itu telah menyakiti Denta. Tetapi ia tidak pernah mengira bahwa setelah melewati bertahun-tahun yang menyakitkan, setelah menghadapi puluhan musim dan ratusan kali hujan, ia dan Denta benar-benar menjadi sejauh ini sekarang.

Sudah setengah jam lamanya sejak Mama pergi untuk menemui Denta di kamar. Tetapi sampai sekarang pintu kamar itu masih tertutup rapat, Mama belum keluar, dan lagi-lagi Kala ditinggal sendirian.

Awalnya ia hanya diminta menunggu di bawah, berteman satu gelas teh hangat buatan Mama yang belum sama sekali ia sentuh, tetapi setelah setengah jam, pemuda itu akhirnya beranjak. Meninggalkan ruang tengah untuk kemudian menyusul ke atas.

Kala cuma ingin tahu apa yang mereka bicarakan hingga membutuhkan waktu selama itu, dan dari depan pintu kamar Denta-yang dahulu juga menjadi kamarnya, Kala benar-benar mendengar perdebatan.

"Aku nggak suka Papa kayak gini. Ngambil keputusan seenaknya, datang dan pergi semau dia seolah dia berhak."

Kala tahu betul, dinding-dinding rumah itu tidak cukup tebal untuk meredam keributan. Sama seperti bagaimana dulu suara pertengkaran Mama dan Papa di ruang tengah terdengar sampai ke kamar, kali ini pun demikian. Nada kecewa dalam suara Denta saat itu seperti merambat bersama angin, lalu lebur di antara dingin.

"Iya, Mama paham. Dalam hal ini, Papa kamu memang salah. Tapi, setelah Mama pikir lagi, alasan Papa tiba-tiba datang juga cukup masuk akal. Melihat gimana dia menghilang dari hidup kita selama ini, Mama yakin kalau kembali ke sini sebenarnya juga bukan hal yang dia mau. Tapi mungkin dia bener-bener nggak punya pilihan lain lagi selain bawa Kala ke sini, karena memang Kala nggak punya siapa-siapa selain kita." Suara Mama dari dalam mengalun lebih pelan, terdengar menenangkan. Untuk sesaat Kala merasa dibela.

Akan tetapi, kalimat selanjutnya dari Denta kembali menyadarkannya dari mana semua carut-marut ini bermula.

"Apa pun alasannya, dia tetap nggak berhak kayak gini, Ma. Papa harus tahu kalau hidup kita sekarang bukan lagi hal yang bisa seenaknya dia kendaliin. Di hari Papa mutusin buat bawa anak itu pergi, aku anggap mereka udah nggak mau berhubungan sama kita lagi."

"Denta ...."

"Aku cuma ngomong apa yang sebenarnya terjadi, Ma! Kenyataannya emang gitu, kan? Waktu aku mohon-mohon ke Papa untuk nggak ninggalin Mama, Mama tahu apa jawabannya? Katanya Mama bukan lagi perempuan baik yang mau dia hidupi seumur hidupnya. Waktu aku minta Papa untuk nggak misahin aku sama Kala, dia dengerin aku nggak? Waktu mereka pergi dan aku berusaha untuk tetap bisa contact sama mereka, apa mereka berusaha lakuin hal yang sama? Enggak, Ma. Papa yang ngebuang kita. Papa yang mutus semua kontak dan di antara kita bertiga cuma aku sendirian yang berjuang mati-matian buat dapat kabar tentang mereka!"

Kala tidak tahu sejak kapan dingin udara siang itu berubah menjadi api yang membakar dadanya. Tiba-tiba ia merasa sesak sekali di sana. Dalam tarikan suara Denta yang meninggi saat itu, seluruh penyesalan dan rasa bersalah Kala seperti dikuras habis-habisan.

Selama ini, setiap malam, setiap musim berganti dan setiap hujan turun ke bumi, Kala selalu berpikir bahwa di kota ini, hidup Denta sudah pasti akan jauh lebih baik dari miliknya. Anak itu punya Mama di sampingnya, yang tidak akan membiarkannya kesepian, yang tidak akan membiarkannya merindukan mereka terlalu dalam.

Tetapi Kala lupa satu hal, bahwa selama itu, hidup Denta selalu berputar di sekitar Papa. Kepergian lelaki itu tentu menjadi kehancuran besar untuknya. Dan mendengar bagaimana dia meluapkan segalanya hari ini, Kala akhirnya mengerti bahwa setelah kepergian mereka, Denta tidak baik-baik saja. Anak itu terluka parah, dan mungkin, Kala terlambat datang untuk membebas tiap tetes darah di hatinya.

Belum selesai, suara Denta dari dalam kamar kembali merayap sampai keluar, dan diantaranya dapat Kala dengar bagaimana Mama terisak pelan.

"Kita dulu pernah hidup dengan sangat bergantung ke Papa, sampai rasanya hidupku bakal berantakan banget kalau nggak ada dia. Terus Papa pergi, bikin segala hal di hidupku kacau. Bikin aku ngerasa nggak ada artinya sama sekali buat dia. Aku sempat kehilangan arah setelah perginya mereka dan Mama tahu itu. Butuh waktu lama untuk aku bisa terbiasa sama semuanya dan setelah bertahun-tahun, aku akhirnya bisa nata hidupku lagi. Mama akhirnya juga bisa berdiri tegak di atas kaki Mama sendiri. Dan dengan Papa yang tiba-tiba datang kayak gini itu bikin semuanya jadi kayak balik ke nol lagi, Ma."

"Mama ngerti, Sayang. Mama ngerti. Soal gimana hancurnya kamu saat itu, Mama orang yang paling paham. Dan Mama juga orang yang paling sakit lihat kamu kayak gitu. Tapi Mama nggak mungkin bilang enggak untuk saat ini, Denta. Kala itu anak Mama. Adik kamu. Walaupun setelah ini dia bakal pergi lagi dan itu artinya Mama juga harus menata hati Mama dari awal lagi, Mama tetap nggak bisa bilang enggak. Mama nggak mungkin tega biarin dia ditinggal sendirian selama Papa pergi. Seenggaknya di sini dia aman, karena dia sama kita."

Di ujung kalimat Mama, Kala menunduk. Lalu untuk beberapa saat, telinganya tak merekam apa pun. Obrolan intens di dalam seperti terjeda oleh detik-detik panjang yang melamban, sampai kemudian suara Mama kembali terdengar.

"Tapi Mama nggak akan maksain perasaan kamu, Denta. Kalau memang semua ini masih berat buat kamu, kamu boleh ambil waktu untuk nenangin diri dulu. Kamu bisa atur hatimu sendiri, dan bersikap sesuai apa yang memang kamu mau. Mama cuma minta tolong, biarin Kala tinggal sama kita lagi, ya. Seenggaknya sampai papanya pulang."

Lalu setelahnya tidak ada lagi obrolan. Topik di dalam telah usai, atau mungkin telinga Kala yang tidak lagi merekam. Karena setelah itu kepalanya sibuk mencerna banyak hal. Sampai ia tidak sadar saat pintu di depannya terbuka, dan raut terkejut Mama membuat Kala sadar kalau ia mungkin sudah lancang menyusul ke sana tanpa persetujuan.

"Kala ... kamu sejak kapan di situ?"

Dari bola mata Mama yang bergerak panik serta bagaimana wanita itu tergesa-gesa mengusap jejak basah di sekitar wajahnya, Kala paham bahwa Mama mungkin takut Kala mendengar semua pembicaraan mereka di dalam. Untuk itu ia mencoba menarik senyuman dan bersikap seolah pendengarnya tidak cukup tajam untuk merekam suara Denta yang meninggi, juga kalimat-kalimatnya yang menyakitkan.

"Baru aja, kok. Aku ... laper, Ma. Mama ada makanan?" ucapnya kemudian, yang seketika membuat wajah tegang Mama terurai.

"Temenin Mama masak dulu, mau?"

Tanpa pertimbangan, Kala mengiyakan. Sayangnya, saat Mama mendekat dengan senyuman dan menuntunnya meninggalkan pintu kamar Denta yang sudah kembali tertutup rapat, kalimat-kalimat yang ia dengar tadi seperti bergema di tiap langkahnya. Bersahut-sahutan, tanpa jeda. Dan menambah penuh isi kepala Kala.

[•••••]

Dulu, Kala selalu suka melihat meja makan di rumahnya terisi penuh. Saat masakan Mama berjajar di sana dan kemudian piring-piring di atas meja terbuka bersamaan dengan Mama yang menuangkan nasi silih berganti ke piring mereka.

Namun, setelah lima tahun, entah bagaimana, Kala jadi tidak menyukai suasana di depan meja makannya sendiri. Ia yakin itu masih meja yang sama, yang dulu selalu menjadi tempat mereka semua berkumpul untuk sarapan dan makan malam. Kursi-kursi di sana juga masih kursi yang sama, dengan jumlah yang sama, dan tertata di tempat yang sama. Bahkan piring yang Mama gunakan untuk meletakkan tumis brokoli ke hadapan Kala saat itu juga tampaknya masih piring yang sama.

Tidak ada yang berubah dari meja makan itu, selain jarak yang kini membentang juga hangat obrolan yang sepenuhnya menghilang. Kala membenci denting piring yang terdengar lebih nyaring daripada perputaran jarum jam di dinding. Ia juga benci waktu yang membeku saat beberapa kali matanya beradu dengan Denta, tetapi secepat angin anak itu berpaling.

Padahal, ada banyak sekali hal yang ingin Kala bicarakan. Selama lima tahun, diam-diam ia selalu membuat daftar pertanyaan apa saja yang akan ia tanyakan jika ia akhirnya kembali bertemu Denta. Ia ingin tahu apakah Denta masih suka susu stroberi yang baru keluar dari kulkas. Apakah dia masih suka bermain musik, dan menghitung bintang-bintang di bawah langit malam seperti dulu setiap kali mereka tidak bisa tidur. Kala ingin bertanya ke mana perginya Chloe, kucing yang dulu dia adopsi dari tetangga dekat rumah. Kala ingin tahu dengan siapa dia duduk di kelas dan ke mana biasanya dia pergi sepulang sekolah. Hal-hal kecil tentang Denta yang dulu hampir semuanya ia tahu tanpa perlu bertanya, Kala ingin mengetahuinya juga sekarang.

Namun, semenjak datang ke meja makan, bungkamnya Denta membuat Kala harus membiarkan segalanya tetap rapi tersimpan. Dari caranya berjalan memutar dan dengan sengaja memilih kursi berseberangan yang jauh dari Kala, ia sadar bahwa memang ada jarak yang Denta ciptakan.

Lalu sepanjang mereka duduk berhadapan, meja yang lebarnya bahkan tidak lebih dari lima jengkal tangan itu seperti berjarak lautan. Kala merasa Denta jauh sekali sampai ia takut keberadaannya di sini tidak kelihatan.

"Kala, mau tambah lagi nggak sayurnya?"

Sampai kemudian suara Mama memecah hening yang rasanya hampir membekukan meja makan sore itu. Kala tersentak, kemudian memperhatikan isi piringnya sendiri, yang ternyata memang tinggal tersisa laut dan nasi. Terlalu merindukan masakan Mama membuatnya tanpa sadar hanya memakan sayurnya sedari tadi.

"Nggak, Ma. Udah banyak juga tadi ambilnya. Mau habisin yang ini aja."

"Mama liat dari tadi kamu cuma makan sayurnya aja. Lauknya kamu nggak suka, ya? "

"Bukan gitu, Ma. Aku suka, kok." Lalu pemuda itu terdiam, lagi-lagi memandangi potongan dada ayam yang bahkan belum ia makan. "Aku cuma... suka sayur buatan Mama," katanya kemudian.

Sebab, masakan mama tidak ada di mana pun. Cuma di sini. Di rumah ini. Dan selama bertahun-tahun, Kala selalu merindukan masakan Mama setiap hari.

Pemuda itu kemudian membelah lauknya menjadi dua bagian, sembari diam-diam membandingkannya dengan milik Denta. Selanjutnya, senyumnya muncul, samar dan menyakitkan. Menyadari bahwa Mama meletakkan paha ayam di piring Denta sementara ia diberi dada. Padahal, ia tidak pernah suka dada. Mama pasti sudah lupa.

"Maaf ya, Mama cuma bisa siapin ini. Mama nggak tahu kalau bakal ada tamu."

Mengambil potongan pertama, Kala mencoba tetap memakan ayamnya. Bagus sekali. Sekarang anak itu harus menelan makanan yang tidak ia suka, sekaligus kenyataan bahwa ternyata ia tak lebih dari sekadar tamu di sana.

"Aku sebenarnya bukan tamu, Ma," ucapnya kemudian.

"Ah, maksud Mama, Mama minta maaf karena nggak bisa masak banyak. Tadi pagi Mama emang belum sempat belanja karena Mama lihat masih ada sayur untuk dimasak, dan cukup untuk berdua. Kalau tahu akan ada orang lain yang makan bareng sama kita, Mama pasti belanja lebih banyak dan siapin makanan yang lebih enak. "

Nyatanya, niat Mama untuk memperbaiki kata-kata sebelumnya justru semakin memperjelas semua di mata kala.

"Aku juga bukan orang lain, Ma."

Saat itu, hening di meja makan seolah menjerit menjadi lebih panjang. Mama seketika diam, menyisakan hela napas pendek sebelum ia beralih menggigit bibirnya sendiri. Kala bisa menangkap rasa bersalah yang muncul dari cara Mama menatapnya, ia juga bisa merasakan betapa wanita itu menyesali semua kalimatnya.

"Nggak gitu maksud Mama, Kala ...."

Namun, sebelum Mama sempat berbicara lebih jauh, suara sendok yang jatuh membentur piring lebih dulu mengambil alih seluruh perhatian di meja makan. Denta yang sedari tadi diam pun sudah bangkit setelah mendorong kursi yang ia duduki ke belakang.

"Aku udah selesai, Ma," katanya.

"Itu belum habis, Nak. Habisin dulu, ya."

"Udah kenyang, Ma. Maaf."

Penegasan itu adalah akhir dari kalimat Denta, karena selanjutnya pemuda itu meninggalkan meja makan begitu saja, bergegas menaiki tangga dan suara langkahnya pun hilang bersama dentum pintu kamar yang lagi-lagi ditutup lebih kasar. Meja makan itu kembali hening, udara kembali terasa dingin, dan dari sudut ini Kala hanya bisa memandangi kursi yang ditinggalkan Denta juga piring yang bahkan masih menyisakan separuh isinya.

Perasaan bersalah seketika menumpuk di dada Kala. Sesuatu yang jelas tidak ia suka. Pertama, ia membuat suasana meja makan yang seharusnya hangat menjadi asing dan sekarang ia merusak suasana hati saudaranya sendiri.

"Kala, Mama minta maaf, ya. Soal yang tadi—"

"Aku di sini ngerusak semuanya, ya, Ma?"

Seingat Kala, terakhir kali ia menangis adalah di hari ia harus meninggalkan Jakarta. Saat malam harinya ia harus tidur sendirian di kamar yang dingin, saat ia harus melewati malam panjang tanpa Denta di sisi lain ranjangnya. Setelah hari itu berlalu, ia tidak pernah menangis. Bahkan saat Papa memarahinya, atau menamparnya, atau mengatakan bahwa ia tidak pernah becus melakukan apa-apa.

Kala bisa menahan segala bentuk rasa sakit. Namun, hari ini, melihat betapa asingnya rumah ini, dan betapa jauhnya Denta, rasanya Kala ingin menangis. Ia tidak tahu kenapa hatinya sakit. Berkali-kali lebih sakit daripada saat ia melihat bagaimana jarak memisahkan ia dan Denta, dari balik kaca mobil taksi yang basah, di hari itu.

Mama yang semula duduk di ujung meja seketika mendekat, memangkas jaraknya dengan Kala. Mata wanita itu kembali berkaca-kaca dan dengan suara bergetar ia bicara pada Kala.

"Enggak, Kala. Apa pun yang kamu pikirin sekarang, itu semua nggak benar. Kamu nggak pernah merusak apa pun, atau menghancurkan apa pun."

"Tapi aku bisa lihat, Ma. Kalian kelihatan nggak nyaman aku ada di sini."

"Itu nggak benar. Sama sekali enggak. Mama seneng, Kala. Terlalu seneng sampai Mama nggak tahu gimana cara Mama hidup setelah ini. Gimana cara Mama menata hati Mama saat nanti kamu pergi lagi."

Di detik itu, tangan Mama yang gemetar menyentuh jemari Kala dan menggenggamnya erat sekali. Tangan Mama terasa dingin, tetapi Kala tidak keberatan sama sekali. Setelah bertahun-tahun, akhirnya ada yang menggenggam tangannya seperti ini lagi.

"Mama minta maaf, kalau sikap Mama mungkin bikin kamu nggak nyaman. Mama karena kamu jadi mikir macam-macam. Mama cuma ... nggak tahu harus bersikap seperti apa. Setelah bertahun-tahun, anak mama akhirnya pulang. Mama akhirnya bisa lihat kamu lagi, denger suara kamu, pegang tangan kamu kayak gini, dan masak buat kamu lagi. Tapi di saat yang sama Mama juga sadar kalau sekarang kamu udah punya rumah yang lain. Mama sejujurnya takut, Kala. Mama takut menghadapi kenyataan kalau pada akhirnya Mama bakal pisah sama kamu lagi."

Entah bagaimana, jeda di antara kalimat-kalimat Mama terasa begitu menyakitkan. Kala mencoba menghindar, tetapi nama Denta yang Mama bawa setelahnya seperti menjebak ia untuk diam. Untuk tidak ke mana-mana, dan untuk menerima tiap rasa sakit yang datang setelahnya.

"Dan soal Denta ... tolong ngerti, ya, Nak. Setelah kalian pergi, ada banyak hal yang berubah di hidup kita. Ada banyak waktu-waktu sulit yang dia lewati. Jadi, Mama mohon, tolong mengerti kalau setelah semua yang dia lewati itu sekarang dia jadi seperti ini."

Saat itu, Kala bisa merasakan bagaimana genggaman tangan Mama menguat dan getar menyakitkan dalam kalimat bernada permohonan itu membuat Kala tidak bisa mengatakan apa-apa. Perkara banyak hal berubah, Kala paham benar, lebih dari siapa pun.

Mungkin Mama lupa, bahwa dalam perpisahan hari itu, ia juga sama seperti Denta. Bahwa ia juga menjadi orang yang dipisahkan. Bahwa ia dipaksa meninggalkan ibu dan kakaknya, juga kota yang telah membesarkannya. Mungkin Mama lupa, bahwa jika setelah perpisahan itu Denta punya hari-hari yang sulit, maka ia juga sama.

"Untuk sekarang, Denta cuma butuh waktu. Kamu mau, kan, kasih itu untuk dia?"

Kemudian kalimat itu seperti bergema di telinga Kala, menjadi satu dengan isi kepalanya yang berisik sekali sejak semalam.

Denta cuma butuh waktu. Kali ini, Kala mencoba mempercayai itu. Bahkan sekalipun Mama hanya mengatakan kebohongan untuk menenangkannya, Kala masih tetap ingin percaya. Ia akan selalu percaya kata-kata Mama. Sama seperti bagaimana dulu ia percaya ketika Mama bilang akan ada peri yang turun ke bumi setiap hujan datang untuk mencatat doa-doa manusia dan menyampaikannya kepada Tuhan. Satu cerita yang baru benar-benar ia mengerti setelah tumbuh dewasa, bahwa itu hanya kebohongan Mama untuk membuat Denta berhenti mengeluh saat mereka tidak bisa bermain di luar gara-gara hujan. Dari dulu, anak itu memang tidak pernah suka hujan.

Atau saat Mama bilang bahwa setiap malam, jika ia tidak lupa membaca doa, bintang-bintang akan berubah wujud menjadi prajurit langit dan datang ke kamar dengan menembus jendela, untuk menjaganya dari semua mimpi buruk. Cerita lain yang lagi-lagi ia sadari hanya karangan Mama, agar ia dan Denta tidak melupakan doa sebelum tidur.

Kala sudah sering sekali mempercayai kebohongan Mama. Jadi, kali ini, untuk yang satu ini, ia ingin mempercayai wanita itu sekali lagi.

Untuk itu ia membalas genggaman tangan Mama dan mengangguk pelan. Berusaha sekuat tenaga menelan seluruh ketakutan, juga kalimat-kalimat yang tidak bisa ia sampaikan. Kemudian saat Mama bangkit untuk memberinya pelukan, pemuda itu memejam, mencoba meredam segalanya dalam tiap belai lembut yang Mama berikan.

Tanpa pernah mengatakan, bahwa setiap malam sejak perpisahan mereka, selama lima tahun, tidak ada satu malam pun yang dapat benar-benar Kala lewati dengan mudah.

[•••••]

Di kamar yang dibangun tidak seberapa luas itu, dulu, Kala betah menghabiskan seharian penuh hanya dengan membaca komik atau menyusun lego menjadi rumah-rumahan. Dengan catatan, ada Denta di sana. Selama kakak lima menitnya itu bersamanya, menemaninya bermain, bahkan ajakan Papa untuk pergi ke Dufan di akhir pekan pun tidak akan ia iyakan.

Tetapi sekarang rasanya berbeda. Waktu yang berlalu telah mengubah tiap sisi kamar itu menjadi asing untuk Kala. Tidak ada lagi tumpukan lego yang dulu selalu mereka mainkan. Tidak ada buku-buku pelajaran yang berserakan, tidak ada barang-barang miliknya yang tertinggal, dan bahkan berada dalam suatu ruangan dengan Denta rasanya sudah tidak lagi senyaman dulu.

Sekitar 15 menit yang lalu, Mama mengantar Kala ke kamar. Meminta izin pelan-pelan kepada Denta untuk berbagi ruangan. Alasannya sederhana, kamar lain di bawah masih berantakan karena tidak pernah digunakan. Alasan kedua, menurut Mama, Kala pasti akan lebih nyaman tinggal di kamar yang dulu memang menjadi miliknya.

Namun, sampai belasan menit berlalu, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Kala tidak tahu harus melakukan apa. Setelah kejadian di meja makan tadi, ia jadi takut memulai lebih dulu. Selain takut salah bicara, Kala juga takut jika apa yang ia lakukan, atau katakan, akan berakhir menyakiti Denta, seperti sebelumnya. Seperti lima tahun yang lalu, juga hari-hari setelahnya.

Tetapi terjebak dalam situasi seperti sekarang benar-benar sangat tidak nyaman. Untuk itu Kala mencoba membunuh detik yang mengurungnya saat itu dengan membawa ransel besarnya ke depan lemari, berniat meletakkan pakaiannya di sana, untuk sementara. Namun, melihat isi lemari Denta yang ternyata sudah penuh, Kala terdiam.

"Lo nggak punya ruang kosong lagi di lemari?" Setelah melewati menit-menit panjang hanya untuk saling mendiamkan, Kala akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara lebih dulu.

Pertanyaan itu terdengar bersama bunyi notifikasi ponsel Denta, yang entah datang dari siapa. Sedari tadi perhatian pemuda itu hanya tertuju ke sana dan kali ini pun masih sama.

"Gue nggak pernah kepikiran nyisain tempat buat naruh barang orang lain di kamar yang cuma gue tinggalin sendiri."

Sayangnya, Kala tidak bisa pura-pura tidak mendengar kalimat itu karena di ruang yang sunyi ini, di mana hanya ada mereka berdua, suara Denta terdengar lebih jelas dari sebelum-sebelumnya. Di detik itu juga Kala diam, tidak menyangkal. Kepergiannya dari rumah ini lima tahun lalu berarti juga menghapus jejak-jejak kepemilikan atas apa pun yang menjadi miliknya dulu. Termasuk kamar ini, juga hati orang-orang yang ia tinggalkan di sini.

Kala kalah dari segala sisi. Untuk itu ia menarik langkahnya kembali, berniat untuk menyimpan tasnya di sudut lain ruangan, di tempat yang tidak Denta gunakan. Tetapi suara anak itu membuat pergerakannya tertahan.

"Lemari sebelahnya, isinya cuma baju-baju yang udah nggak kepakai. Di situ satu-satunya ruang yang gue sisain. Buat barang-barang yang emang udah nggak penting."

Saat itu, sesuatu seperti menancap di dada Kala, dingin dan menyakitkan setelahnya. Fakta bahwa Denta berusaha mengatakan kalau sekarang posisinya setara dengan barang-barang tidak penting milik pemuda itu ternyata cukup melukai Kala.

Ia kemudian berbalik, mencoba mengikis jarak yang membuatnya begitu jauh dari Denta.

"Den—"

"Gue udah terbiasa sendirian, jadi rasanya aneh kalau tiba-tiba ada orang lain di sini. Gue nggak bisa ada orang lain di ranjang yang biasanya cuma gue tempatin sendiri. Itu bikin gue ngerasa nggak nyaman, btw. Gue rasa sampai sini lo udah ngerti maksud gue."

"Kita kayaknya perlu bicara serius, deh. Ada banyak hal yang terjadi selama lima tahun dan gue nggak bisa kita kayak gini."

Namun, cara Denta mendecih pelan dan melempar tatapan tajam saat itu membuat Kala mengerti bahwa sepertinya memang terlalu banyak yang harus diperbaiki. Bahwa kepergiannya hari itu telah meninggalkan luka mendalam untuk Denta dan kembalinya ia secara tiba-tiba justru seperti menambah rasa sakitnya menjadi lebih parah lagi.

Lalu saat anak itu membuka suara, rasa bersalah yang coba Kala kubur selama bertahun-tahun kini terbuka lebih lebar dari sebelumnya.

"Bener. Ada banyak hal yang terjadi selama lima tahun, dan lo nggak tau itu. Termasuk gimana gue survive di sini tanpa kalian, sampai gue terbiasa, dan bahkan lupa ... kalau gue pernah punya saudara."

Dan kalimat itu berhasil membungkam Kala sepenuhnya. Hingga ia bahkan tidak bisa melakukan apa-apa saat Denta bangkit dengan tangan terkepal, menyambar jaket dari lemari, lalu melewatinya begitu saja. Meninggalkan bantingan pintu yang ke sekian untuk hari ini, kamar yang kembali dingin, juga Kala yang kembali sendirian.

Lalu, yang ia tahu, malam itu, Denta tidak pernah kembali ke kamar.

Selamat menikmati 4500+ kata yang isinya 80% narasi semua ✌️😅

Sampai part ini, coba kasih satu alasan kenapa kamu masih pengin lanjut baca lebih jauh lagi?

10.09.2023

Continue Reading

You'll Also Like

Scheme [✓] By xeva's here!

Mystery / Thriller

4.9K 706 31
Tiga bersaudara ini hidup dalam kegelapan. Meski tinggal seatap, tidak satu pun saling menaruh peduli. Masing-masing punya pesakitan dan penderitaan...
587K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
2.8K 430 23
Seperti badai yang menghempaskan seluruh ruang di hadapannya, kedatangan seorang remaja yang mengaku anak dari bundanya membuat keluarga Gama yang du...
1.1K 520 6
Angkasa mendapatkan tugas untuk menjaga saudara angkatnya. Bukannya menolak, ia malah menerimanya dengan senang hati. Padahal Angkasa sendiri sudah t...