Romansa Patah Hati

Por tulisanmanda

3.1K 1.1K 73

"Cewek sama cowok gak ada yang bisa temenan murni." Hengki setuju. Perasaannya pada Mentari, sahabat sekaligu... Mais

Prolog
1. Ceroboh!
2. Kesepakatan Sepihak
3. Nasi Goreng
4. Tawuran
5. Ketertarikan Yang Sama
6. Sebuah Pelukan
7. Taman Kompleks dan Meteor Jatuh
8. Warkop
9. Perpustakaan
10. Tentang Tatapan Mengasihi
11. Tempat dan Ruang
12. Terserah yang Rumit
13. Secarik Kertas Kusut
14. Surabaya Jahat, Tari.
15. Rumah Yang Bukan Lagi Tempat Pulang
16. Berdatangan Masalah
17. Salah Sangka
18. Siuman
19. Pengharapan Paling Tulus
20. Kilas Balik
21. Dunia Serasa Milik Berdua
22. Berbaikan
23. Senandung Malam Hari
24. Hubungan Tanpa Status
25. Sebuah Kejelasan
26. Polemik Hati
27. Konsep Jatuh Cinta
28. Bertepuk Sebelah Tangan
29. Bajingan Yang Pengecut
30. Canggung
32. Toko Buku Bekas
33. Pacaran
34. Kalah Sebelum Memulai

31. Di Antara

39 6 2
Por tulisanmanda

Bangku taman panti dan langit berwarna jingga suasana yang seperti pernah Mentari lalui sebelum hari ini dan masih dengan orang yang sama tapi dalam situasi yang berbeda. De Javu memang tidak enak ya rasanya? Seakan dipaksa memutar memori lama yang kemudian hanya akan menguak sesuatu yang menyesakkan.

Pada detik selanjutnya Mentari ingin kabur saja rasanya, ternyata kembali duduk bersisian dengan Rakha adalah ide buruk. Menyetujui permintaan Rakha untuk mengobrol adalah sesuatu yang mestinya ditolak saja di awal.

"Saya mau minta maaf untuk hal-hal yang terjadi belakangan ini di antara kita."

Mentari menoleh sekilas lalu meluruskan kembali pandangannya, jujur saja hari ini Mentari banyak menemukan kejutan-kejutan luar biasa, padahal bukan dia yang sedang berulang tahun dan juga ini baru beberapa jam saja, tapi kejutannya sudah luar biasa.

"Saya akui kesalahan itu berasal dari saya. Semuanya bermula karena sikap kekanak-kanakan saya," ucap Rakha tapi laki-laki itu tidak menatap pada lawan bicaranya, padahal Mentari tahu Rakha tipikal yang selalu menatap lawan bicaranya saat berkomunikasi. Tapi Mentari juga tahu Rakha akan melakukan kebalikannya ketika sedang merasa bersalah.

"Sekali lagi saya minta maaf."

Ada banyak kekesalan yang bersarang di hati Mentari pada laki-laki itu. Sampai rasanya Mentari sudah tidak punya kosa kata lagi untuk mengeluarkan seluruh amarahnya.

"Saya juga minta maaf, Kak."

Tapi pada akhirnya, permintaan maaf Rakha merobohkan semua amarahnya. Sebab ternyata dia juga turut merasa bersalah setelah itu, maka permintaan maaf juga lolos dari mulut Mentari.

"Itu kesalahan kita berdua, Kak. Kita yang kekanak-kanakan. Aku gak tahu hari itu, Kakak mungkin melewati hal-hal yang sulit tapi aku malah mempersulit semuanya."

Rakha menggeleng, sebelum sempat dia membuka mulutnya lagi, seseorang menghampiri mereka dan menyapa. Mentari sontak terkejut, melihat Ana ada di sini. Dia tidak tahu persisnya Ana ini memiliki hubungan apa dengan Rakha, tapi sepertinya hubungan mereka jauh lebih dalam dari hanya sekadar yang terlihat. Buktinya, Ana ada di sini—di panti arumi.

"Aku mau pamitan pulang, supir aku udah di depan, makasih ya buat hari ini," ucap Ana lalu memeluk Rakha erat, seakan tidak ada manusia lain lagi selain mereka berdua.

"Makasih juga udah nyempetin datang hari ini," sahut Rakha setelah mereka selesai berpelukan. "Aku antar ke depan."

"Gak perlu." Ana tersenyum sembari menepuk pelan bahu Rakha. "See you tomorrow."

Setelah itu Ana benar-benar hilang dari jarak pandang Mentari, tapi tiba-tiba saja sesak menjejak di hatinya. Kemesraan dua insan itu benar-benar menyurut api cemburu milik Mentari. Dia tidak pernah merasa lebih patah hati dari sebelum hari ini.

Mentari memaksa senyumnya untuk tetap terbit, mengatur getar suaranya agar terlihat baik-baik saja. Lagipula dia siapa? Kenapa harus cemburu? Bukannya dari awal hubungannya dan Rakha memang tidak pernah ada. Jadi sepertinya hak untuk cemburu pun tak layak hadir di hati Mentari. Lagi pula semuanya memang sudah jelas bukan, Mentari bukan siapa-siapa di hidup Rakha.

***

Sejak kejadian tempo hari di mana Hengki tiba-tiba pergi selepas mencium Mentari, setidaknya ada dua hari lamanya Hengki tidak pernah muncul lagi di hadapan Mentari. Sejujurnya Mentari sudah melupakan ciuman singkat itu, walaupun dia sempat terkejut bukan kepalang tapi setelah itu rasanya sudah biasa saja sampai tiba-tiba Hengki menemuinya di depan gerbang sekolah dan meminta maaf atas kejadian hari itu.

"Gue udah lupa padahal, pake diingetin lagi," ujar Mentari.

"I-iya udah, lupain lagi aja. Gue cuman mau minta maaf doang."

Mentari tertawa melihat seberapa gugup Hengki kini di hadapannya. Seperti anak kecil yang kepergok memakan permen tanpa izin.

"Ngapain ketawa? Emang ada yang lucu?"

"Lo yang lucu," kata Mentari. "Gak usah salting gitu kali."

"Kenapa juga harus salting sama lo?" Hengki mencebik.

"Ya siapa tau lo beneran tiba-tiba naksir gue, tapi kalo sampai iya awas aja gue musuhin lo beneran!"

Deg.

Ada sesuatu yang memukul dada Hengki telak, rasanya sakit dan sesak. Kalimat yang dilontarkan Mentari itu menghunus tepat ke ulu hati. Meski dibalut candaan tapi itu berhasil memporak-porandakan segalanya.

Bagi Mentari mungkin Hengki hanya sebatas sahabat kecil yang bertumbuh bersama, bagi Mentari ciuman malam itu memang tak berarti apa-apa sebab begitu cepatnya gadis itu melupakan sesuatu yang seharusnya itu menjadi buah pikiran yang lama bersarang diingatan. Tapi lagi-lagi, bagi Mentari semua tentang Hengki tidak pernah ada yang istimewa.

Dan Hengki menyadari itu semua dari awal, dia terlampau jauh melangkah di hubungannya dengan Mentari, sedangkan gadis itu tidak melangkah kemana-mana untuk mengembangkan perasaan satu sama lain.

Gerbang SMA Mutiara saat ini masih sesak dengan lalu-lalang orang keluar, Hengki dan Mentari berdiri di samping gerbang agar tak menghalangi laju keluar kendaraan dan orang-orang.

Dari sibuk dan sesaknya orang-orang, Hengki membisu dengan kaku di hadapan Mentari. Pasang mata dari banyak orang yang menyadari keberadaan Hengki dengan seragam sekolah yang berlogokan SMK Permata mencuri perhatian banyak orang. Mulanya Hengki tak menyadari sampai Mentari lebih dulu sadar akan tatapan kebencian orang-orang disekitar menghunus tajam kearah mereka berdua—tepatnya pada Hengki dan seragam sekolahnya.

"Anak Permata masih punya nyali datang kesini."

"Mau cari ribut lagi kayaknya?"

"Kok, bisa sama anak sekolah kita!"

Pendengarna Mentari menangkap kurang lebih seperti itu, gunjingan dan bisik-bisik beberapa orang yang melintas melewatinya.

"Hengki! Cabut sekarang!"

Mendengar seruan Mentari, Hengki kontan tergugah. Lalu kebingungan dengan nada bicara Mentari yang terdengar sedikit panik.

"Kenapa?"

"Seragam lo!"

Mentari menunjuk logo SMK permata di lengan baju seragam Hengki. Detik selanjutnya Hengki menelan ludahnya susah payah, bukan karena dia takut. Tapi karena dia sedang tidak berniat mencari gara-gara.

Masalah dengan SMA Mutiara meski sudah berlalu berbulan-bulan lamanya, Hengki paham betul akan ketakutan mereka—jika hal serupa kembali terulang. Juga akibat kasus besar hari itu, banyak korban salah sasaran yang menimpa murid SMA Mutiara. Jadi kebencian dari tatapan yang mereka berikan adalah bentuk kehati-hatian.

"Gue kesini bukan mau nye—"

"Mentari ..."

Jantung Mentari hampir mencelos saat Rakha tiba-tiba menepuk bahunya pelan.

Suasana berubah canggung seketika, Hengki terlihat menajamkan tatapannya dan menguliti dari atas kepala hingga ujung kaki Rakha. Tangannya mengepal erat, bersiap untuk menghajar si brengsek di hadapannya itu kalo saja dia tidak ingat di mana sekarang posisinya. Saat dengan memori yang jelas Hengki mendapatkan sahabatnya menangis sesenggukan untuk laki-laki brengsek itu.

"Ngapain lo?!" Itu bukan bentuk pertanyaan biasa, itu bentuk sarkasme yang dilakukan Hengki.

Mentari melihat kepalan tangan Hengki yang dibumbui dengan amarah menggebu, lalu dengan pelan digenggamnya tangan itu agar luluh dalam genggaman hangat Mentari. Hengki sontak mengerjap lalu berganti menatap sahabatnya.

"Gue gak apa-apa." Begitulah tatapan Mentari menjelaskan pada Hengki.

Rakha menyaksikan interaksi dua sahabat baik itu, senyumannya masih mengembang tapi perasaannya menangkap signal lain dari interaksi dua sahabat yang semestinya sewajarnya.

"Kenapa, Kak?" tanya Mentari.

Rakha tergugah, lalu berkata, "Ada titipan, tadi saya ke kelas kamu tapi udah pada bubar."

"Titipan apa, Kak?"

"Dari Bunda," sahut Rakha yang terlihat sibuk mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitamnya.

Mentari mengangguk meski kebingungan, lalu kembali menoleh pada Hengki yang wajahnya kini ditekuk. Sangat kentara dan tidak bisa lagi ditutup-tutupi bagaimana respon tidak suka dari Hengki.

"Nih." Rakha menyodorkan sebuah paperbag berwarna merah mudah yang segera disambut hangat oleh Mentari.

Mentari lalu mengintip isi paperbag nya tak sungkan. "Donat?"

"Bunda sekarang lagi coba buka usaha kue. Donat itu paling best seller."

"Oh ya? Selamat buat Bunda, nanti aku cobain donatnya."

Rakha tersenyum, melihat respon hangat dari Mentari. "Kalo mau pesan kue nanti bisa hubungi saya."

Mentari mencibir, "Itu namanya modus!"

"Saya, kan, anak Bunda. Jadi kalo kamu pesan ke saya nanti dapat diskon gratis ongkir. Di antar sampai depan rumah."

"Sekarang jago banget kayaknya ngegombal."

Rakha tertawa. "Emang bisanya gimana?"

"Biasanya, tuh, Kak Rakha ka—"

"Tar, ayo cabut," sela Hengki. Membuat suasana lagi-lagi kembali canggung.

"Hengki, ya?" tanya Rakha tiba-tiba seraya menatap Hengki.

Sedetik setelah itu, Mentari mendadak membeku di tempat. Diliriknya Hengki yang semakin menajamkan tatapannya pada Rakha kemudian tangannya kembali mengepal meski masih dalam genggaman Mentari, setidaknya itu semakin membuat jantung Mentari semakin gugup. Sedangkan di samping kanannya Rakha nampak lebih tenang, membuat Mentari menghela napas panjang. Sifat tenang Rakha kadang-kadang perlu diwaspadai kalo tiba-tiba meledak di waktu yang tidak tepat. Itu lebih berbahaya.

"Akhirnya kita bisa ketemu kayak gini," katanya. "Terima kasih untuk biaya pengobatan yang kamu bayar untuk saya, saya anggap sebagai hutang. Nanti saya bayar."

"Gak perlu, lagian itu udah kapan tau."

Rakha tersenyum, bentuk senyum yang tiba-tiba saja membuat Mentari bergidik ngeri.

"Terima kasih, tapi saya gak suka berhutang budi."

"Ya udah terserah, mau bayar pakai duit juga boleh atau mau pakai ini bapak budi ini ibu budi juga boleh. Bebaslah, terserah!"

Ditengah ketegangan yang dirasakan Mentari, Hengki bisa-bisanya menyeletuk sesuka hatinya. Kalo Mentari yang jadi lawan bicaranya sudah gadis itu gampar, tonjok dan tendang Hengki dari hadapannya. Syukur Rakha masih bisa terlihat sabar dan tak terusik dengan tingkah selengean Hengki.

"Asal jangan sekali-kali lagi lo deketin sahabat gue!" ujar Hengki sembari menunjuk kearah wajah Rakha.

"Sori?" kata Rakha terdengar tenang. "Kayaknya seorang sahabat gak punya hak sejauh itu untuk melarang sahabatnya bergaul dengan siapapun."

"Gue gak perlu hak itu, dan kayaknya, yang perlu sadar diri di sini itu lo ..." Hengki kembali melayangkan jari telunjuknya kearah Rakha penuh penekanan. "...orang asing yang gak punya hak apapun buat ngomongin soal hak!"

Mentari mencengkeram genggamannya dengan Hengki, memberi isyarat. Namun Hengki seolah membutakan dirinya dari itu.

"Cukup, Heng!" gumam Mentari pelan sekali, dia tidak ingin ada keributan yang terjadi di sini.

"Apaan, sih, Tar!" Hengki menepis tangan Mentari di udara. Alih-alih Mentari yang terkejut, justru Rakha yang refleks akan menyela namun lebih dulu di hentikan Mentari.

Melihat interaksi kecil itu membuat Hengki semakin tersulut amarah.

"Belanin aja terus, belain! Dia itu brengsek, Tari!" bentak Hengki. Sontak seluruh atensi orang-orang tersedot habis kearah mereka bertiga sebab suara Hengki yang meninggi.

"Lo lupa apa pura-pura lupa, hah! Malam-malam nangisin cowok brengsek kayak dia! Bego apa gimana lo, hah?!"

"Hengki, cukup!"

"Dan lo." Tatapan Hengki kini beralih pada Rakha. "Gue peringatin sekali lagi, berani lo deketin sahabat gue lagi gue abisin lo!"

Satu tamparan mendarat keras di pipi Hengki. Membisukan laki-laki itu dari amarahnya. Suasana kemudian hening, kerumunan yang menonton pertengkaran ketiganya mulai berangsur pergi, namun beberapa orang masih ada yang penasaran kelanjutannya akan seperti apa dan beberapa orang lainnya terlihat memotret bahkan sampai merekam kejadian barusan—entah untuk apa?

Bersambung ...

________________

gimme a good feedback guys please! love u:>

Continuar a ler

Também vai Gostar

3.2M 267K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
322K 587 28
Putri harus melanjutkan kuliahnya di kota, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sepupunya. awalnya berjalan baik hingga saat setelah Putri menitipkan...
HERIDA Por Siswanti Putri

Ficção Adolescente

279K 9.3K 23
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
3.9M 304K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...