ALIF

By Sastra_Lara

6.2M 439K 51K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
06. Mas Ganteng
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian

11. Beringin Tikungan

110K 8.1K 151
By Sastra_Lara

Pria paruh baya yang bertubuh sedikit gemuk itu mondar-mandir di depan rumah. Rasa khawatir semakin menyelimuti saat putri kesayangannya tak bisa ia hubungi melalui telepon seluler.

"Tau begini nggak bapak izinin kamu, Ndok," sesal pak Yasin mengipas wajahnya dengan kopiah. Ia sudah bersiap untuk menunaikan shalat maghrib di masjid, sarung kesayangannya pun sudah bertengger di bahu.

"Loh-" heran pak Yasin menunjuk sebuah mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di halaman rumahnya.

Pri paruh baya yang tengah bingung itu bergerak mendekat. Pasalnya belum pernah ia menerima tamu yang datang berkendarakan mobil. Mana mobilnya terlihat sangat mewah dan elegan.

"Assalamu'alaikum Bapak!" Suara putri kesayangannya yang ia tunggu sedaritadi membuyarkan keheranannya
.
"Wa'alaikumussalam. Kamu itu loh, Ndok!"

Lahya yang baru saja turun dari mobil langsung memeluk gemas bapaknya. Sengaja ia memeluk agar rasa khawatir yang tergambar di wajah bapaknya itu memudar. Sebenarnya ia juga takut diomeli sang bapak karena ponselnya mati.

Plak

"Aw!" pekik Lahya. Bapaknya itu memukulkan kopiah ke lengannya. Tidak sakit. Hanya saja ia kaget dengan pukulan yang didapatnya sebagai teguran barusan.

"Ke mana saja kamu? Bapak telpon gak aktif-aktif."

"Orang hape Lahya lowbet. Gimana mau aktif, toh, Pak?" jawab Lahya masih memeluk bapaknya.

"Lain kali gak bapak izinin lagi. Bikin orang tua khawatir saja kamu," omel Yasin.

"Ya, kan, Lahya udah pulang toh Pak," rengek Lahya seperti anak kecil.

Kemesraan bapak dan anak itu cukup menghangatkan hati sepasang adik-kakak yang sedaritadi iri melihatnya. Ayasya bahkan memeras lengan kemeja kakaknya dengan gemas, tidak tahan melihat adegan itu.

"Ekhm!" dehem Alif tidak bermaksud menganggu, ia hanya ingin meminta maaf.

Bapak dan anak itu langsung melepas pelukan mereka menyadari ada orang selain mereka. Buru-buru Yasin menggunakan kopiahnya dan bingung melihat dua orang yang baru saja mengantar anaknya pulang.

"Assalamu'alaikum pak!" salam Alif langsung menyalami tangan Yasin. Sedangkan Ayasya menyatukan tangannya di depan dada sebagai bentuk sopan santunnya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Loh... kamu bukannya pemuda hari itu, kan?"

Alif tersenyum hangat. "Iya, Pak. Saya pemuda di tempat lomba pencak silat minggu lalu. Maaf Pak karena saya, Lahya jadi telat pulang."

"Bukannya anak saya mau ketemu pak polisi karena pengen ngembaliin sesuatu?"

"Saya polisinya, pak," jawab Alif menahan senyumnya.

"Sepertinya Bapak nggak asing sama wajah kamu, tapi ketemu di mana ya?"

Lahya meletakkan kedua tangannya di telinga kiri bapaknya. "Bapak ini mas ganteng yang selama ini Lahya tunggu!" bisik Lahya cukup geli ditelinga kiri Yasin.

"Apa toh, Ndok? Bapak malah geli," ucap Yasin mengusap telinganya.

Alif menahan rasa gemasnya melihat Lahya yang cemberut. Astagfirullah. Jika begini terus bisa-bisa, besok pun jadi Alif melamar anak SMA ini. Ia semakin takut hawa nafsu mengendalikannya dan ia tak bisa mengalahkannya.

"Bapak memang pernah bertemu dengan saya sebelumnya, tapi sudah sepuluh tahun yang lalu. Saya anak Kiyai Ali, anak laki-laki yang pernah menolong anak Bapak di pasar malam sepuluh tahun lalu," jelas Alif.

"MasyaAllah. Allahuakbar. Ya Allah, kamu toh, Le?!" seru Yasin tiba-tiba memeluk Alif dengan erat. Pria paruh baya itu meneteskan air mata harunya bertemu dengan Alif.

Tidak banyak yang bisa Alif lakukan, hanya membalas pelukannya dan mengusap punggung bapak Lahya sebagai penenang. Alif bisa melihat senyum Lahya yang begitu teduh pada bapaknya yang tengah terharu. Senyum anak itu benar-benar membuat jantung Alif tidak aman sekarang.

"Kamu sudah sesukses ini sekarang, Le? MasyaAllah. Allahuakbar." Yasin menepuk lengan Alif dengan bangga seperti melihat anaknya sendiri yang sudah sukses.

"Alhamdulillah, Pak. Ini semua karena ridho Allah. Alif bukan apa-apa tanpa Allah," ujar Alif. "Pak! Perkenalkan ini adik perempuan saya yang sering saya ceritakan di rumah sakit dulu."

"Nama saya Ayasya Kanisya, pak Yasin."

"MasyaAllah cantik seperti Masnya yang ganteng."

Ayasya yang mendapat pujian itu hanya tersipu malu.

"ALLAHUAKBAR! ALLAHUAKBAR!"

Adzan berkumandang di tengah-tengah harunya pertemuan mereka setelah sekian lama. Yasin yang mendengarnya buru-buru menurunkan sarung yang tersampir di bahunya.

"Sudah maghrib, sebaiknya kita sholat dulu," ucap Yasin mengingatkan.

Alif mengangguk. "Saya tadi ada lewatin mesjid dekat sini, Pak. Kita sholatnya di sana, Pak?"

"Iya. Bapak sering sholat di mesjid sana. Ayok!" ajak Yasin buru-buru mengejar waktu sholat.

"Pak Yasin. Aya boleh numpang sholat di rumah pak Yasin, nggak?"

"Oh_ kirain mau ikut sholat dimesjid, itu ada Lahya. Lahya itu mbaknya ajak masuk, ya. Pinjemin mukenah punya ibumu."

"Nggeh, Bapaknya Lahya yang pualing ganteng," puji Lahya, mengangguk menurut.

'-'-'-'

Ayasya yang telah selesai menunaikan sholat maghrib lebih dulu, tak lepas memandangi tiap sudut kamar Lahya yang sungguh sangat sederhana. Tak ada meja belajar di sini. Hanya lemari berukuran sedang dengan kasur yang juga berukuran muat untuk satu orang.

Ayasya kagum. Meski kamar Lahya sangat sederhana, tapi kerapiannya mengalahkan kamar berukuran besar di ndalemnya. Ayasya memiringkan sedikit kepalanya melihat Lahya sedang khuysuk bertasbih. Anak jaman sekarang susah sekali untuk diajak sholat, tapi melihat Lahya yang sholat tanpa diperintah lebih dulu oleh orang tuanya, Ayasya kagum.

Tadinya Ayasya ingin marah pada kakaknya yang dengan cepat memutuskan ingin melamar perempuan lain setelah gagal lamaran. Namun, pertemuannya dengan Lahya, anak gadis yang akan kakaknya segera lamar itu membuat Ayasya yakin. Yakin akan menjadi orang yang berdiri paling depan mendukung kakaknya.

Lahya anak sholehah, cantik, lucu. Ayasya tidak sabar seseru apa hidupnya akan menjadi adik ipar Lahya. Ayasya yang berharap segera memiliki teman yang bisa diajak curhat dan main. Selama ini ia kesepian karena santriwati di ponpes abahnya tidak ada yang dekat dengannya. Dengan Ning Farah juga, mereka tidak sedekat itu, hanya beberapa kali bertukar cerita.

"Mba Aya mau minum apa, biar Lahya buatin."

"Ha?" Ayasya tersadar dari lamunannya.

Lahya terkekeh. "Mbanya ngelamunin apa, sih. Sampe kaget padahal Lahya cuma nawarin mau minum apa?"

Ayasya tertawa. "Mba cuma ngelamunin seandainya punya temen selucu kamu. Pasti seru."

Lahya memundurkan wajahnya. "Bukannya sejak kenalan tadi kita udah temanan Mba?"

Ayasya mengangguk segera. "Temenan. Tapi, sayang kalo nggak bisa ketemu tiap hari."

Lahya mengaggantungkan mukenahnya di belakang pintu, lalu duduk berhadapan dengan Ayasya.

"Kenapa nggak bisa Mba?"

"Aku kuliah di luar kota, pulangnya akhir pekan. Minggu malam aku berangkat lagi ke kost-an."

"Bagus dong, Mba. Pasti banyak temennya di sana, iya kan?"

Ayasya tersenyum getir. "Aku nggak punya temen banyak. Aku nggak pinter bersosialisasi."

Lahya menyesal sudah terlihat antusias saat berbicara tadi. "Ya udah, kalo gitu kita temanan lewat medsos. Nanti kalo mba Aya butuh temen, langsung hubungin atau telpon Lahya aja. Atau kalo mba Aya lagi pulang ke Semarang, kita jalan-jalan. Lahya ajak mba Aya jalan-jalan ke semua... tempat kesukaan Lahya. Tapi jalan kaki, ya. Soalnya Lahya nggak punya motor, apalagi mobil seperti punya Gus polisi. Ada sih motor punya bapak tapi jelek, buntut, mana suka mogok-an lagi," cerita Lahya panjang lebar berhasil membuat Ayasya tertawa bersamanya.

Tubuh Lahya tiba-tiba membeku saat Ayasya memeluknya dengan erat.

"Aku harap mas Alif bisa cepet-cepet bawa kamu pulang biar aku punya temen ketawa seperti sekarang."

'-'-'-'

"Alif, Pak!" kata Alif mengingatkan namanya berulang kali pada pria paruh baya yang berjalan di sampingnya.

"Oh iya, Alif. Jadi, kamu selama ini mencari Lahya?"

Alif mengangguk. "Iya, Pak. Saya sempat datang ke rumah lama pak Yasin, tapi kata tetangga Pak Yasin sudah menjual rumah lama itu dan pindah."

Mereka berdua tengah berjalan kembali dari mesjid. Remang-remang lampu jalan menerangi perjalanan mereka. Udara sekitar komplek tempat tinggal pak Yasin begitu sejuk setelah terbenamnya matahari.

"Rumah megah nan mewah itu, sengaja bapak jual untuk operasi Lahya. Bapak kira keadaan Lahya mulai membaik waktu itu, ternyata kekerasan yang didapat anak itu membuatnya sakit sampai ke organ hati. Lahya mengalami kerusakan hati. Bapak tidak punya pilihan selain menjual rumah dan segera membawa Lahya berobat ke luar negeri untuk mendapatkan donor hati secepatnya. Maaf telah membuatmu mencari selama ini, Le."

Hati Alif mengilu sakit mendengar penderitaan yang Lahya alami selama ini. "Tidak apa-apa, Pak. Waktu itu pasti pak Yasin bingung menghadapinya sendirian. Banyak hal yang pak Yasin persiapkan saat itu, jadi wajar pak Yasin tidak memiliki waktu untuk memberi tau saya. Sekarang saya senang bisa bertemu Lahya kembali."

"Alhamduillah. Kamu sudah sedewasa ini sekarang. Padahal, Bapak ingat betul bagaimana dulu kamu membuat wajah jelek untuk menghibur Lahya."

Alif terkekeh mengingat kekonyolannya dulu. Ia sengaja membuat wajah jelek demi menghibur Lahya melalui jendela ruang rawat. "Iya, Pak."

"Pertama kali Bapak ketemu kamu di tempat Lahya lomba pencak silat, Bapak kira anak kecil yang Lahya gendong itu anak kamu. Ternyata adik kamu, ya?"

"Anak kecil itu, adik bungsu saya, Pak. Namanya Alya Kanisya."

"Oh iya, iya, iya. Umur kamu sudah cukup mapan, pekerjaanmu juga, pasti sudah berumah tangga dan punya anak sendiri."

Alif tersenyum dan menggeleng. Sebenarnya ia cukup tersindir dengan perkataan pak Yasin. Andai Pak Yasin tau, Alif tengah menunggu anak kesayangannya itu untuk menjadi calonnya.

"Loh?! Belom, tah? Maaf, maaf. Bapak pikir udah berumah tangga."

"Tidak apa-apa, Pak. Bagaimana kabar Lahya selama ini, Pak? Saya sempat mendapati trauma Lahya kambuh di kantor polisi minggu lalu."

"Lahya sudah menceritakannya pada Bapak. Anak itu tidak bisa berada diruang sempit, dengan lampu remang-remang. Apalagi saat akan diintrogasi kemarin. ia hanya berdua dengan polisi yang akan mengintrogasinya. Terima kasih ya, Le. Untung ada kamu yang tau betul kondisinya Lahya. Padahal selama ini kamu tidak pernah bertemu dan tau tentang anak itu."

"Sama-sama, Pak."

Hening menyelimuti perjalanan mereka. Alif sudah bisa melihat rumah sederhana yang terparkir mobilnya di halaman sana. Alif salut dengan perjuangan pak Yasin yang rela kehilangan harta dan pekerjaannya, demi kesembuhan anak perempuan satu-satunya.

"Pak Yasin!"

"Hm?"

"Boleh saya tahu kapan pak Yasin punya waktu luang?"

"Hm? Kenapa tiba-tiba bertanya waktu, Le?" tanya Yasin curiga. "Bapak ini kuli bangunan, kadang kerja pagi sampai sore. Kadang juga kerja sore sampe subuh."

"Kalau pak Yasin kerja malam, berarti Lahya sendiri di rumah, Pak?" tanya Alif cukup terkejut.

"Iya, Le. Kalo bapak kerja malam, kadang suka kasihan liat Lahya sendiri dirumah, tapi mau gimana lagi namanya juga kerja. Kalo gak gitu, nanti makannya pake uang dari mana?"

Alif mengangguk lagi. Rasanya Alif ingin segera menjaga anak itu. Tidak ingin membiarkan anak itu sendirian saat malam-malam dimana ia ditinggal kerja oleh bapaknya.

"Tadi kamu tanya waktu luang Bapak, kenapa?"

"Saya ingin menyampaikan niat baik saya pada putri Bapak. Apa boleh, Pak?"

"Waduh, niat baik apa itu, Le?" tanya Yasin menganggap Alif tengah bercanda.

"Saya ingin melamar Lahya, Pak," kata Alif berhasil menghentikan langkah mereka.

Diam. Hening. Apa perkataan Alif ada yang salah?

Bugh!

"Argh!" erang Alif mendapat gamparan keras di punggungnya
.
Yasin menatap Alif yang kesusahan mengusap punggung akibat gamparan keras darinya. Pemuda ini cukup membuatnya berpikir bahwa dirinya sedang bermimpi.

"Pak!"

"Kamu ini baru bertemu dengan putri saya beberapa kali, sudah berani ingin melamarnya?" tanya Yasin menunjuk Alif dengan kopiahnya.

"Saya serius, Pak. Saya serius ingin menjadikannya istri saya."

"Loh..loh...istri kamu bilang? Kamu habis sholat bukannya sadar, kesambet setan di mana kamu? Di pohon beringin tikungan tadi, yo?"

Alif menggeleng tidak paham. Kenapa pria paruh baya ini malah mengiranya kesambet dedemit.

"Bapak!" panggilan Lahya dari teras rumah. Gadis itu melambaikan tangan melihatnya pulang bersama Alif.

Bisa-bisanya ada pemuda yang baru bertemu anaknya beberapa kali setelah sekian lama. Sekarang sudah ingin merebut anak kesayangannya? Tidak semudah itu anak muda, ada bapaknya yang harus kamu hadapi lebih dulu.

'__'__'__'

Assalamu'alaikum readers...

Gimana malmingnya ditemenin Gus Alif? Serukan? Bisa ngakak bareng.

Jangan lupa vote dan komen ya....

Next chapter siap liat Gus polisi jadi siswa?

Continue Reading

You'll Also Like

390K 33.4K 37
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
2.3K 1.8K 19
Pria 23 tahun ini memutar bola mata malas, Almendo Abraham, lagi-lagi jatuh hati dengan perempuan Muslim. Lelaki dengan tinggi 175 cm ini bertemu gad...
1.7K 266 3
Siapa yang pernah menyangka jika gadis urakan seperti Dina harus dengan terpaksa menyetujui wasiat kakeknya, sang pemilik pesantren. Menjadi santri b...
482K 59K 17
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...