ALIF

By Sastra_Lara

6.3M 444K 51.9K

Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang... More

00
Saya Figur Utama dan Maaf
01. Kesaksian
02. Patah
03. Tangis
04. Introgasi
05. Gus Polisi
07. Jatuh Cinta
08. Raden Parama
09. Datang
10. Maaf
11. Beringin Tikungan
12. Apel Mama
13. Disegani
14. Cemburu
15. Hukuman
16. Kubu mana?
17. Pelet Abah
18. Qobiltu Ijazah
19. Halo Dek!
20. Kalung Anak Kecil
21. Restu
22. Tingkahnya atau Anaknya?
23. Tidak Setuju
24. Pesan Baper
25. Pengen Pulang
26. Hilang Wibawa
27. Menantang
28. Kalah Jauh
29. Saingan
30. Perjuangan
31. Aku Disini
32. Pertimbangan
33. Angsa Putih
34. Lamaran
35. Cinta Parama?
36. Manipulatif
37. Tujuan Hidup
38. Terulang
39. Diusir atau Diterima?
40. Saksi SAH
41. Bertunangan?
42. Cinta Segitiga
43. Kesempatan
44. Didikan
45. Label Halal
46. Delusi
47. Romantisasi
48. Harmoni Hujan
49. Janji Liya
50. Satu dan Setia
51. Ibu dan Kari
52. Wes Angel
53. Kehilangan kedua kali?
54. Giandra Pangestu
55. ATM Gian
56. Masih Ada Rasa?

06. Mas Ganteng

133K 8.7K 103
By Sastra_Lara

Sebelum mulai membaca, penulis ingatkan untuk vote setiap chapter dari cerita Gus polisi kita ini.

Budayakan untuk memvote setelah membaca, dengan begitu penulis akan lebih semangat untuk up tiap minggunya. Terima kasih sebelumnya penulis berikan untuk kalian.

Ghani dan Joni yang tengah berdiskusi di depan komputer beralih fokus pada komandannya yang baru saja masuk ruang dektektif mereka.

"Introgasinya sudah selesai, Ndan?" tanya Joni beranjak dariduduknya beralih pada meja yang terdapat tumpukan berkas-berkas.

"Belum."

"Ndan, saya tidak menemukan adanya sidik jari pelaku pada barang bukti yang telah kita kumpulkan," ujar Ghani.

"Bagaimana dengan hasil visum?" tanya Alif membuka laci mejanya mencari sesuatu di sana.

"Hasil visum forensik belum keluar, Ndan."

"Ha?" Alif menoleh ke arah Ghani.

"Bener, Ndan. Saya baru saja menghubungi dokter di forensik, janjinya akan segera keluar setelah memastikan jika Liya dicekoki minum yang mengandung kacang."

"Bukan racun?" Ghani dan Joni saling melempar tatap.

"Bukan, Ndan. Ghani tadi sudah meminta penjelasan dari orang tua korban dan dikonfirmasi jika Liya elergi dengan kacang tanah."

Alif mengeluarkan satu persatu barang yang ada dalam lacinya. Ia mencari pulpen yang ia akan berikan pada Lahya sebagai penyadap obrolan mereka di ruang kunjungan nanti.

"Bagaimana dengan bekas cekikan di leher korban? Apa tidak ada sidik jari pelaku di sana juga?"

"Benar Komandan."

Alif berhenti sejenak mencari pulpennya. Ia tertunduk memejamkan matanya, apa benar yang dikatakan Lahya bahwa Nadine bukan pelakunya?

"Komandan cari apa?" tanya Ghani membuat Alif menoleh ke arahnya.

"Astagfirullah!" kata Alif menutup lacinya dengan perasaan kesal. "Pulpen saya sejak kapan di situ?"

Ghani meraba telinganya yang tersemat pulpen yang dimaksud komandannya.

"Ini pulpen punya Komandan? Tadi saya pinjem bentar, Ndan. Pulpen saya hilang gak tau kemana, terus liat pulpen Komandan di atas meja situ." Ghani menunjuk meja kerja Alif.

Joni mengambil pulpen dari atas daun telinga Ghani, lalu menyerahkannya pada komandannya. "Ini pulpun penyadap punya komandan. Dasar lo!"

"Iyekeh?" tanya Ghani dengan nada meremehkan rekannya.

"Gue kepret lu!" kata Ghani.

"Sudah, sudah. Ghani, hubungi forensik sekarang, hasil visum harus keluar sore ini juga. Jika memang pelaku sementara yang ditahan ini tidak bersalah, kita harus turun tangan mencari pelaku sebenarnya," jelas Alif dengan cepat dan tegas mengambil tindakan.

"Siap Komandan!" kata Ghani tegas sebelum komandannya keluar ruang detektif.

Joni berlari kecil ke meja Ghani setelah komandannya menutup ruang detektif.

"Siap-siap nyamar lagi kita Ghan."

"Ogah gue! Terakhir kali gue nyamar jadi orang gila demi bisa nangkep tuh pedopil," keluh Ghani masih sibuk dengan komputernya.

"Lu masih mending. Lah, gue?"

"Gak mau adu nasib gue sama lo," potong Ghani cepat.

"Terserah! Masa gue jadi banci biar bisa nangkep psikopat yang gila seks itu. Aku sudah ternodai!" rengek Joni dengan dramanya mengingat nasib kelam.

"Aku sudah tidak suci lagi, Mas!" goda Joni menoel-noel pipi Ghani sampai pemuda itu geli dan berakhir menendang pantat Joni.

"Aduh! Mas, kamu jahat banget!" Bukannya kapok hampir tersungkur, Joni malah semakin menggoda-goda Ghani sampai pemuda itu risih dan kesal.

"Mau sampai kapan lo berdua begitu, hah?" tanya Hana yang ternyata sedari tadi mengawasi mereka dari ambang pintu.

"Lihat kawan-kawan betapa ganteng mba polwan kita satu ini," sambut Joni membuat Ghani bernafas lega akhirnya bebas dari kejahilannya.

Jika kalian pikir selama ini polisi itu terkenal tegas dan kaku, kalian salah. Lihatlah tingkah mereka sekarang ini bikin geleng-geleng kepala. Apalagi kalau sudah bercanda satu sama lain.

"Oh, iya. Lo masih ingat, gak, Jon? Dia, kan, pernah di goda cewe-cewe di bar karena ganteng," gelak Ghani mengingat kejadian malam itu Hana dikerumuni wanita-wanita bar. Mereka harus masuk ke bar untuk menangkap mafia kelas bawah yang mainnya masih berantakan dalam berkriminal.

"Bwahahaha....asli Ghan. Itu lebih parah, sih. Lima puluh...!" Joni dan Ghani tertawa terbahak-bahak, hingga suara mereka memenuhi ruangan.

Hana mengambil sepatunya tidak bisa menahan amarah. "Awas kalian, yak!"

Bugh!

Tepat sasaran! Lemparan Hana tidak pernah meleset sekalipun lawannya bergerak menghindar.

"Bwahaha...gak salah sih. Bapaknya TNI, anaknya polisi, emaknya matan atlet."

Joni ngakak seketika melihat Ghani memegang kepalanya yang sudah dijamin benjol karena sepatu boots Hana.

'-'-'-'

Alif melambatkan langkahnya melihat punggung Lahya yang berdiri di depan ruang kunjungan tengah menunggunya. Alif memegang dada kirinya, kenapa rasanya sakit sekali?

Melihat kenyataan bahwa gadis kecil yang ia hibur selama di rumah sakit pasca kejadian mengenaskan sepuluh tahun itu tak mampu mengenalinya. Apakah wajah Alif cukup berbeda dari sepuluh tahun lalu?

"Lahya!"

"Gus polisi, apa sekarang Lahya sudah bisa masuk ke ruang kunjungan?"

"Bawa ini," ucap Alif memberikan pulpen penyadap miliknya. "Ini penyadap yang saya rancang sendiri. Letakkan di tengah meja, arahkan ujungnya ke wajah Nadine."

Lahya menerima pulpen milik Alif dengan sangat penasaran memperhatikan setiap desainnya. Terlihat seperti pulpen biasa, hanya saja ada ukiran huruf HAF di bagian tengahnya.

"Ini earphone kamu pasang. Ini akan terhubung dengan suara saya dari ruang detektif. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan yang menjanggal nantinya, tolong kamu sampaikan pada Nadine. Mungkin melalui kamu, Nadine bisa menjawab pertanyaan kami semalam."

"Ouh..." Lahya mengangguk paham. "Gus polisi. Barang-barang Lahya amankan, di sini?" tanya Lahya yang menitipkan jaket beserta ponsel dan dompetnya di tempat penitipan. Sebab, untuk masuk ke ruang kunjungan tidak boleh membawa masuk barang.

"Biar saya yang menjamin keamanannya," jawab Alif dengan senyumnya.

Lahya mengangguk percaya. "Lahya sudah boleh masuk?"

"Silahkan!" Alif mempersilahkan Lahya.

"Kalau gitu Lahya permisi masuk dulu Gus polisi."

"Tunggu sebentar, Lahya!" ucap Alif membatalkan Lahya masuk ruang kunjungan.

"Iya, Gus, kenapa? Ada lagi yang Lahya harus lakukan di ruang kunjungan nanti?"

"Saya boleh bertanya di luar kasus ini?" izin Alif dengan ragu, sedangkan Lahya diam sejenak mempertimbangkan.

"Boleh, kok. Selama pertanyaan itu bisa Lahya jawab, Gus boleh bertanya."

Alif mengusap belakang lehernya ragu-ragu menanyakan,"Jaket biru tua itu punya kamu?"

Lahya terkekeh. "Ouh jaket biru tua yang Lahya pakai itu, ya, Gus polisi?"

Alif mengangguk.

"Kirain mau tanya sesuatu apa, ternyata perihal jaket, toh? Jaket itu bukan punya Lahya, melainkan dari orang yang paling berjasa dalam hidup Lahya. Karena Gus polisi tau latar belakang trauma Lahya, pasti Gus polisi tau mengenai kejadian yang memalukan yang menimpa Lahya sepuluh tahun lalu. Dari kejadian itu ada remaja yang menolong Lahya saat sekarat, dialah pemilik jaket itu. Cuman jaket itu yang bisa membantu Lahya meredakan rasa trauma Lahya saat kambuh."

Alif mengangguk, pantas saja gadis ini langsung melepas jaket yang tadinya sudah dipakai, lalu beralih memeluk dan bahkan memeras dengan erat jaket miliknya yang hilang 10 tahun lalu. Alif tersenyum seketika mengingat kejadian tadi.

"Gus polisi kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Lahya mengerutkan alisnya bingung.

"Tidak apa-apa. Ada hal lucu yang terlintas dibenak saya. Hm..., kamu tahu siapa nama pemilik jaket biru tua itu?" tanya Alif.

"Sayangnya Lahya gak kenal sama yang punya jaket. Bapak Lahya manggilnya mas ganteng. Jadi, Lahya juga ikut-ikutan manggil mas ganteng."

"Oh iya! Gus polisi tadi katanya bisa cari data orang, kan? Gus bisa bantu Lahya cari orang yang punya jaket itu, gak?"

"Tugas saya banyak. Jika kamu sudah bertemu dengan pemilik jaket itu, memangnya kamu mau apa?" alibi Alif.

"Banyak dan rahasia. Tapi satu, Lahya mau meminta ke orang yang sudah nolong Lahya untuk memberikan jaketnya kepada Lahya."

"Tapi jaket itu sudah ada ditangan kamu," ujar Alif.

"Meski sudah bertahun-tahun, tetap saja Lahya membawa jaket itu tanpa izin dari pemiliknya. Gus polisi mau bantu Lahya, ya?"

"Tugas saya banyak, Lahya."

Lahya mendecak kecil. "Aneh sekali. Kenapa Gus polisi tiba-tiba bertanya soal jaket punya Lahya?" tanya Lahya dengan tatapan curiga.

"Silahkan masuk ke ruang kunjungan Lahya!"

"Tapi_"

"Silahkan!" kata Alif menggerakkan tangannya ke arah ruang kunjungan.

Dengan langkah yang berat Lahya berjalan masuk ruang kunjungan dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan, kenapa polisi muda ini tiba-tiba menanyakan jaket miliknya?

'-'-'-'

Dengan cepat Alif berjalan masuk kembali ke ruang detektif, sebelum Lahya memulai percakapannya dengan tersangka pelaku sementara. Namun saat masuk Alif dibuat terkejut melihat Ghani yang kepalanya tengah dikompres es batu oleh Joni. Sedangkan Hana tengah beristirahat. Polwan itu tengah tidur dalam keadaan duduk.

"Eh...komandan Alif!"

"Buka cctv ruang kunjungan sekarang Joni!" perintah Alif tidak mempunyai waktu untuk menanyakan perihal kepala Ghani yang dikompres es batu.

"Baik Komandan!" Joni melepas es batu dari Ghani yang berakhir jatuh mengenai paha Ghani.

Bugh!

"A!" pekik Ghani memegang pahanya yang ditimpa batu es yang cukup berat.

Ghani berputar-putar di atas kursinya menahan sakit. Ingin sekali ia berkata kasar pada Joni sekarang, tapi ia ingat ada komandannya yang keturunan Kiai. Nihil ia lakukan. Yang ada komandannya akan menasehatinya sampai besok malam.

Disisi lain Joni dan Alif sudah sibuk melihat gerak-gerik Lahya dan Nadine dari cctv ruang kunjungan. Selain itu, Joni memperhatikan mimik wajah Nadine dari kamera yang dipasang komandannya dalam pulpen penyadap.

Alif dan Joni melakukan tugas masing-masing. Joni bertugas membaca mimik wajah Nadine untuk mengetahui apakah penuturan gadis SMA itu benar atau bohong. Sedangkan Alif menunggu konfimasi dari Joni mengenai penuturan gadis itu. Jika Joni meragukan pernyataan Nadine, maka Alif akan mengirim pertanyaan kepada Lahya untuk ditanyakan kepada Nadine.

Continue Reading

You'll Also Like

6.3M 444K 58
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
2.3K 1.8K 19
Pria 23 tahun ini memutar bola mata malas, Almendo Abraham, lagi-lagi jatuh hati dengan perempuan Muslim. Lelaki dengan tinggi 175 cm ini bertemu gad...
472 202 4
Siapa sangka gadis kecil berusia 5 tahun dan anak kecil laki-laki berusia 5 tahun, dipertemukan setelah 12 tahun berpisah lamanya. Takdir menepati j...
1.4K 184 14
Gak semua orang baik bisa dipercaya. Persahabatan yang awalnya biasa saja berubah ketika satu persatu misteri disekitar mereka terpecahkan. percint...