RABIDUS FAMILIA

By Mikhaely04

21K 2K 196

Bersaing dengan orang lain ❌ Bersaing dengan sepupu sendiri βœ… Dalam bahasa latin, RABIDUS FAMILIA berarti KEL... More

0.0 Prolog
0.1 Razelle Roula
0.2 Sabrina Belva
0.3 Fikri Khaizuran
0.5 Aleen Alnaira
1.1 Simbiosis mutualisme
1.2 Cahaya kutub
1.3 Tetrodotoxin
1.4 Zat capsaicin
1.5 Hukum newton 3
2.1 Nol mutlak
2.2 Organel plastida
2.3 Histatin
2.4 Kutub selatan
2.5 Kalkulus
3.1 Besaran vektor
3.2 Senyawa hidrida
3.3 Ekstra 0,2564
3.4 Gerak parabola
3.5 700 pon
4.1 Elektron
4.2 Singularitas gravitasi
4.3 Metamfetamina
4.4 Mekanika kuantum
4.5 Besaran skalar
5.1 Konflik destruktif
5.2 Fenotip dan genotip
5.3 Sistem tanam paksa
5.4 Penginderaan jauh
5.5 Energi baru dan terbarukan
6.1 Konservasi
6.2 Pasar monopolistik
6.3 Imperialisme Jepang 1944
6.4 The History of Java
6.5 Gold, glory, dan gospel
7.1 Cincin api pasifik
7.2 Revolusi
7.3 Mitigasi bencana alam
7.4 Zaman praaksara
7.5 Ekstrusi magma

0.4 Aleo

558 44 0
By Mikhaely04

Namanya Aleen Alnaira. Gadis rambut panjang yang berjalan di koridor sayap kiri pagi tadi, gadis yang berani menjambak rambut Aleo di taman belakang sekolah, gadis yang berjinjit di perpustakaan karena kesulitan meraih sebuah buku, juga gadis yang beberapa saat lalu hadir makan malam dengan rambut yang dicepol asal. Fikri telentang di atas kasur sambil memejamkan matanya. Dalam satu hari, dia sudah melihat anaknya Om Wismana sebanyak 4 kali.

Jujur kali pertama melihat gadis itu, Fikri merasa ucapan Razel ada benarnya—anaknya Om Wisma benar-benar kelihatan biasa aja.

Ketika hendak berangkat ke sekolah pagi tadi, sebenarnya Fikri sempat melirik gadis itu saat dia berjalan sendirian di koridor sayap kiri. Seragamnya rapi menggunakan almamater dan atribut lengkap, rambutnya yang panjang terurai tanpa aksesori tambahan, sepatunya putih dengan kaos kaki dua centi di bawah lutut, serta ransel abu-abu yang tersampir di kedua bahunya. Sudah, begitu saja.

Penampilannya benar-benar netral layaknya seorang pelajar pada umumnya. Tidak terlalu stylist seperti cara berpakaian Razel, tidak juga berantakan seperti gayanya Sabrina. Intinya, gadis itu sama sekali tidak memancarkan aura seorang ADHINATHA. Karenanya Fikri merasa tidak memiliki kewajiban untuk menyapa atau memberi salam sambutan pada gadis itu, sehingga opsi terakhir yang Fikri pilih adalah ... pura-pura tidak menyadari kehadiran sepupu barunya.

AAAARGH!

Shit! Lepasin tangan lo.

Nggak!

GUE BILANG LEPASIN!

Namun begitu melihatnya untuk yang ke-2 kalinya, penilaian Fikri terhadap gadis itu berubah. Ternyata dia cukup menarik.

Yang ke-2 ini Fikri lihat saat di sekolah, ketika jam pergantian pembelajaran ia mendapat tugas dari Mr. Lutman untuk mengembalikan bola ke gudang olahraga yang letaknya di sekitar taman belakang, tempat di mana gadis itu menjambak rambut Aleo. Fikri mungkin menyaksikan hampir keseluruhan adegan yang terjadi di sana. Mulai dari si siswa kacamata yang mendapat serangan tiba-tiba dari Aleo, sampai ketika gadis itu dengan tegas mengatakan—siapa pun dia, gue nggak peduli. Kalau dia emang salah, berarti harus dilawan.

Di detik itu juga, Fikri merasa harus menarik kembali ucapannya yang mengatakan bahwa gadis itu tidak memancarkan aura seorang ADHINATHA. Ternyata lebih dari sekadar aura, dia bahkan memiliki jiwa ADHINATHA. Jiwa pemberani. Siapa sangka gadis yang terlihat lugu itu berani menjambak rambut Aleo, padahal selama ini tidak ada orang yang berani menyentuh pemuda berandalan itu, bahkan Avia sekalipun. Membuat Aleo sampai mengeluarkan suara teriakan kesakitan, itu terlalu luar biasa.

Fikri hampir tidak percaya, karena gadis yang awalnya ia anggap biasa saja, ternyata mampu membuat Sang Raja Rimba—ALeo—mengaum dengan suara keras.

Lo anaknya Om Wisma?

Ha? I-iya.

Fikri. Fikri Khaizuran.

Dan untuk alasan itu lah, Fikri memutuskan untuk menyapa gadis itu duluan saat melihatnya di perpustakaan. Dia bilang namanya Aleen Alnaira, Fikri juga sempat memberikan ucapan selamat datang pada gadis itu sebelum akhirnya memilih keluar dari perpustakaan.

Kejadian pertama, ke-2, dan ke-3 mungkin memang tidak disengaja. Tapi untuk kejadian yang ke-4—melihat Aleen di meja makan—yang satu ini Fikri akui memang disengaja. Karena tau kalau Aleen pasti akan hadir makan malam, Fikri jadi memutuskan untuk ikut hadir ke sana. Padahal kalau jujur, sebenarnya Fikri sangat malas bergabung di meja makan super besar milik keluarga ADHINATHA. Awalnya Fikri juga bingung kenapa dirinya tiba-tiba ingin hadir makan malam hanya karena keberadaan Aleen, tapi akhirnya Fikri menyadarinya.

Menyadari bahwa ada sesuatu yang mengusiknya setelah bertatapan dengan netra hitam pekat milik gadis itu.

-

Bab 4 “Tetangga sebelah

•••

Keluar dari pintu utama magna domus, Razel berjalan menyusuri koridor sayap kanan sambil mengekor di belakang Mama. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam dan hendak kembali ke parva domus 1, meninggalkan Papa yang sepertinya punya urusan lain di dalam sana. Begitu sampai di depan pintu parva domus 1, Razel tersentak saat Mama tiba-tiba berhenti lalu berbalik ke arahnya.

“Apa yang terjadi?”

Gadis itu mengernyit, jelas kebingungan Mama sedang menanyakan tentang apa, “Maksudnya?”

“Fikri. Kenapa dia tiba-tiba ikut makan malam? Apa karena anaknya Wismana?”

Oooh~ yang itu. Razel menggeleng, “Aku mana tau, Ma.”

Mama menatapnya serius. Tatapan yang seperti ini, Razel tau apa artinya. “Yakin kamu benar-benar nggak tau?” Yap! Mama sedang meragukannya.

“Iya, Razel nggak tau.” Bahunya mengendik, “Mungkin dugaan Mama benar, bisa aja Fikri sengaja ikut makan malam karena pengen ngeliat Aleen.”

“Terus kalau Leo, dia juga udah tau keberadaan gadis itu?”

Aaa~! Sekarang Razel tau ke mana arah pembicaraan Mama. Rupanya bukan hanya ia yang terusik dengan kehadiran Aleen, ternyata Mama juga sama gelisahnya. “Kalau Leo kayaknya belum tau, dia kan nggak pernah pulang.”

“Razel, kamu tau kan maksud Mama? Leo nggak boleh tertarik sama—”

Ssstt!

Razel tiba-tiba mengangkat tangannya, mengisyaratkan pada Mama bahwa seseorang sedang mendekat ke arah mereka. Keduanya sama-sama menoleh, mendapati seorang remaja perempuan yang mengenakan hoodie lilac dipadukan dengan celana jins hitam sepaha sedang berjalan mendekat.

Sekitar 3 meter dari posisi Razel dan Mama, gadis itu tiba-tiba berhenti melangkah, menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya dia memperbaiki posisi topinya, memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong hoodie-nya, lalu kembali melangkah dengan wajah yang dibuat secuek mungkin. Tanpa suara dia berjalan melewati Razel dan Mama dengan begitu santai, seolah-olah menganggap bahwa tidak ada orang di sana.

“Razel, kamu beruntung punya Mama yang selalu mengawasi pergaulanmu. Seperti kata Mama, gadis yang pergaulannya terlalu bebas itu nggak baik, sayang.” Mama tiba-tiba bersuara.

Sabrina yang hampir sampai di depan pintu parva domus 2, sontak kembali menghentikan langkahnya.

Vibes luar seseorang itu penting bagi penilaian orang lain. Kalau seorang gadis pergaulannya terlalu bebas, orang-orang pasti akan merasa ragu, gadis itu barang yang masih bagus ... atau justru udah rusak.

Walau di sana Sabrina tidak membalik badannya sama sekali, Razel tau betul kalau gadis itu sedang menahan emosi mendengar ucapan Mama. Terbukti dengan kedua tangannya yang terkepal kuat. Melihat itu Mama pasti merasa puas, karena memang itu lah tujuannya, membuat Sabrina merasa tersindir. Mama bahkan sengaja meninggikan suaranya agar gadis itu dapat mendengarnya.

“Orang yang nggak dididik langsung sama Mamanya—”

“CUKUP!” Razel terkesiap, lantaran Sabrina tiba-tiba membalik badannya sambil berteriak keras. Matanya yang beberapa saat lalu masih terlihat tenang kini berubah tajam dan sinis. “Saya tau Anda nggak suka sama saya, selama ini saya diam karena menghargai Anda sebagai orang yang lebih tua, tapi hari ini saya nggak bisa diam lagi.”

Apa ini? Sabrina speak up? Razel melirik Mama, sepertinya wanita itu juga ikut terkejut.

“Anda pikir apa yang sudah Anda lakukan selama ini?” Di sana Sabrina maju 1 langkah. “Berusaha menghancurkan mental anak yang usianya di bawah delapan belas tahun?”

“DIAM KAMU!” Kali ini Mama yang berteriak.

“Padahal Anda orang dewasa, harusnya Anda bisa berpikir lebih terbuka.” Namun seakan menulikan pendengarannya, Sabrina tetap bersuara sambil melangkah sedikit demi sedikit mendekati Mama.

“SAYA BILANG DIAM!”

“Kalau saya nggak mau diam, memangnya Anda mau apa?” Tepat di hadapan Mama, Sabrina mengangkat dagunya menantang.

PLAK!

“MA!” Razel melotot menatap Mama tidak percaya, “Mama pikir apa yang sudah Mama lakukan? Kalau Avia sampai tau,—”

“Wow!” Sabrina mendesis, meski pipi kirinya memerah bekas tamparan Mama, gadis itu sama sekali tidak terlihat kesakitan. “Sekarang Anda bahkan sudah berani main tangan. Tapi nggak pa-pa, karena apa pun yang Anda dan putri Anda lakukan, itu nggak akan ada pengaruhnya buat saya. Dan satu lagi, Anda harus ingat ini baik-baik, tidak peduli seburuk apa pun vibes luar saya, sampai kapanpun saya tetap akan selalu punya hak yang sama seperti putri Anda.”

-

Di AHS, Fikri terkenal sebagai siswa berprestasi kesayangan para guru. Cerdas, rajin, dan selalu berpenampilan rapi membuatnya terlihat begitu sempurna. Namun satu hal yang disayangkan, pemuda itu juga terkenal sebagai pemilik wajah datar yang sifatnya dingin bak es, hingga tidak ada siswa yang berani mendekatinya.

Beda cerita dengan Aleo, pemuda yang satu itu memiliki kepribadian lebih easy going, atau lebih tepatnya sok kenal karena suka cari gara-gara pada orang lain. Dia adalah berandal nomor satu di AHS. Memukul siswa lain, merokok, bolos jam pelajaran, dan berpenampilan berantakan merupakan hal lumrah yang sering dia lakukan. Kebanyakan orang memilih menghindar darinya, karena memang lebih baik begitu—tidak terlibat dalam masalah apa pun dengan orang yang bernama Aleo.

Fikri dan Aleo, dua pemuda IPA yang famous-nya bahkan sampai ke gedung IPS, meski dengan alasan yang berbeda namun keduanya sama-sama disegani oleh hampir seluruh murid AHS. Selain karena cerita lama, memiliki kepribadian yang kontras juga membuat mereka mustahil dilihat dalam satu frame. Namun ajaibnya, tahun ini, di kelasnya Mrs. Laura, mereka dipertemukan.

Terkhusus hari ini. Pada jam pelajaran pertama sekaligus pertemuan pertama kelas biologi sejak mereka naik ke grade 11, Fikri dan Aleo untuk pertama kalinya dalam sejarah duduk di bangku yang sama. Bangku paling belakang persis di pojok kiri. Meski keduanya duduk diam sambil mengikuti proses pembelajaran dengan serius, namun atmosfer yang ada di sekitar mereka pengaruhnya sungguh luar biasa.

Seakan-akan ada cahaya biru yang terpancar dari Fikri bercampur dengan cahaya merah yang terpancar dari Aleo, membuat keduanya tampak bersinar layaknya tokoh utama, sedangkan 33 murid lainnya yang juga ada di dalam kelas itu, hanya terlihat seperti para cameo.

“Baiklah, pembelajaran kita untuk hari ini berakhir sampai di sini. Silakan naikkan kertas selembar serta pulpen, selain kedua benda tersebut, harap singkirkan semua benda yang ada di atas meja kalian.” Mrs. Laura kemudian mendikte tiga soal yang harus dijawab lalu dikumpulkan oleh para murid sebelum akhirnya mereka diperbolehkan untuk meninggalkan kelas.

Sama seperti sebelumnya, di belakang sana Fikri dan Aleo tetap diam mengerjakan tugas mereka dengan tenang. Fikri bersikap tenang mungkin adalah hal biasa yang sering disaksikan, karena memang begitulah watak pemuda itu. Tapi Aleo? Pemuda jahil, pecicilan, pembuat onar, dan sumber keributan, tiba-tiba bersikap tenang? Jelas ada yang tidak beres padanya.

Dan sepertinya Fikri juga menyadarinya, menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sepupunya yang satu ini. Terbukti saat Fikri beberapa kali melirik ke arah Aleo, ia jadi menduga-duga jika perubahan sikap Aleo hari ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Fikri menghela napas, lantas kembali menulis pada lembaran kertasnya.

“1 bulan,” kemudian ia mendesis dengan suara pelan, sangat pelan hingga dapat dipastikan jika hanya Aleo yang dapat mendengarnya. “1 bulan lo nggak balik ke rumah.” Pemuda itu berbicara sambil tetap menulis, sama halnya dengan Aleo yang mendengarnya juga tetap fokus pada pekerjaannya.

“Kabar baiknya, sama sekali nggak ada yang nyariin lo. Cuma sayangnya, absen selama 1 bulan bikin lo jadi ketinggalan info baru tentang keluarga ADHINATHA.”

Kursi Aleo tiba-tiba berdecit, pemuda itu bangkit bersiap mengumpul pekerjaannya. Fikri buru-buru mendongak begitu menyadari Aleo akan segera pergi. “Dan gue rasa info kali ini kayaknya penting buat lo.” Namun sepertinya kalimat yang Fikri lempar belum cukup untuk menarik perhatian Aleo, terbukti ketika Aleo dengan tampang cueknya malah memasukkan pena hitamnya ke dalam saku seragamnya, menarik lembar jawabannya lalu berjalan ke depan untuk mengumpulnya, setelahnya dia langsung pergi meninggalkan kelas dengan langkah yang sangat santai.

Melihat itu, Fikri segera menulis jawaban terakhirnya. Setelah selesai ia langsung menarik ransel beserta kertasnya, buru-buru mengumpulnya, lalu kemudian berjalan cepat untuk menyusul kepergian Aleo. Tepat di ambang pintu, Fikri menoleh ke arah kanan dan mendapati Aleo yang ternyata posisinya belum terlalu jauh. Pas sekali koridor kelas biologi masih sepi karena bel pergantian pembelajaran memang belum berbunyi. Fikri melangkah keluar, menutup kembali pintu kelas, lalu berteriak pada Aleo.

“ALEEN ALNAIRA.” Aleo yang mendengar nama asing diteriakkan sontak menghentikan langkahnya. Membuat Fikri segera menghampiri pemuda itu, “Cewek yang kemarin, yang berani narik rambut lo di taman belakang sekolah, namanya Aleen Alnaira.” Fikri tidak kaget sama sekali ketika detik berikutnya Aleo tiba-tiba menoleh padanya.

“Kalau alasan lo jadi pendiam hari ini gara-gara cewek itu, lebih baik lo pulang. Karena dia ... ada hubungannya dengan keluarga ADHINATHA.” Fikri mengendikkan bahunya, “Itu pun kalau lo emang penasaran.”

-

“Gila! Aritcers angkatan kita skill-nya emang pada bagus-bagus ya?” Gadis berambut sebahu yang duduk di sebelah Aleen menatap binar ke arah lapangan, Anggia namanya.

Selain Anggia, Aleen juga bersama dengan Maira, Haniva, dan Safira. Mereka adalah empat teman baru yang Aleen kenal di kelas bahasa kemarin.

“Hm em, apalagi Vero. Udah ganteng, gawangnya jarang kebobolan pula.” Haniva ikut komentar, sebelum akhirnya gadis berpipi chubby itu lanjut menggigit burger-nya yang tinggal sedikit.

“Bryan juga keren. Sebagai bek tengah, dia berjasa banget ngebantuin Vero,” sahut Maira tidak mau kalah.

Aleen diam saja, toh dia sama sekali tidak tau siapa orang-orang yang sedang teman-temannya bahas. Yang Aleen tau, teman-temannya sedang membicarakan para anggota tim sepak bola AHS yang saat ini tengah latihan di lapangan, tim sepak bola yang diberi nama sebagai Aritcers.

Sejujurnya Aleen tidak memiliki cukup minat pada bidang sepak bola hingga membuatnya harus berakhir duduk di tribun penonton seperti sekarang. Hanya saja sehabis dari kafetaria, keempat teman barunya tiba-tiba menariknya ke sini, maka di sinilah Aleen berada, di lapangan sepak bola yang luasnya satu hektare, persis seperti stadion sungguhan karena dikelilingi ribuan tribun penonton. Menurut informasi dari Anggia, lapangan ini merupakan pemisah antara gedung IPA dan IPS.

“Vero sama Bryan emang jago, gue mungkin bisa nge-crush-in mereka kalau aja mereka bukan kacung-kacungnya Leo. Kan sayang, mereka ngikutin Leo sama aja kayak mereka penganut aliran sesat.”

“Dih, banyak gaya lo.” Anggia menoyor kepala Safira, membuat sang empu mengadu kesakitan. “Tapi iya juga ya, gue baru sadar masa. Semua inti Aritcer yang skill-nya bagus tuh pasti antek-antekannya Leo.”

“Ih iya, mulai dari Vero, Bryan, Laskar, Tian, sampai Ibra, semua anak buahnya Aleo, anjir!”

Untuk satu kali ini, Aleen merasa tertarik dengan pembahasan teman-temannya. Aleo? Dia kan anaknya Tante Ayunindiya, sepupu Aleen yang satu-satunya belum pernah ia lihat tampangnya.

“Nah, panjang umur. Tuh orangnya datang.”

Aleen lantas menoleh mengikuti gerakan dagu Maira yang mengendik ke arah jam dua. Matanya memicing melihat seorang pemuda yang berlari kecil memasuki lapangan, tidak lama kemudian pupil mata Aleen membesar—Dia?!

“Cowok yang nggak pake almamater itu?” 4 gadis lainnya menoleh pada Aleen.

Haniva memukul keningnya sendiri, “Oh iya, lo belum kenal Leo ya? Sini gue kasih tau.” Kemudian gadis itu mendekat dengan heboh, “Namanya Aleo, murid paling nakal di AHS. Kalo lo ngeliat ada siswa yang berani berkeliaran di area sekolah tanpa almamater, berarti yang lo liat itu dia—Aleo.”

“Nakal?”

Sekarang giliran Safira yang mengangguk keras, “Iya Leen, kemarin aja Evan sampai masuk hospital gara-gara dipukulin sama Leo.”

Aleen meringis, yang satu itu tidak perlu diceritakan padanya, karena ia bahkan menyaksikan kejadian itu secara live di depan matanya.

By the way guys, katanya kemarin pas Leo gebukin Evan, ada murid baru yang berusaha misahin,” kata Maira tiba-tiba.

Haniva mengangguk, “Hm em, tadi di kelas MM gue juga sempat dengar gosipnya. Anak baru itu ngejambak rambut Leo kan? Gila sih, gede banget nyalinya.”

“Tunggu! Lo berdua bilang apa? Anak baru?” Tanya Safira seakan menyadari sesuatu.

Butuh waktu tiga detik sebelum akhirnya ketiga gadis lainnya juga ikut sadar, dan detik itu juga semua pandangan langsung mengarah pada Aleen.

Anggia menatap tidak percaya, “Leen, jangan bilang anak baru itu ...”

Tidak perlu berkata apa-apa, karena ekspresi Aleen saat ini pasti sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

-

Bel pulang berbunyi lima menit yang lalu, Aleen bergegas menuju loker untuk mengambil seragamnya. Kebetulan hari ini ia mendapat kelas PJOK pada jadwal pelajarannya yang terakhir, lumayan menguntungkan karena ia bisa langsung pulang tanpa perlu repot-repot untuk mengganti kembali pakaiannya.

Selesai mengambil seragam, Aleen segera berjalan menuju gerbang depan, berbanding terbalik dengan murid lain yang justru berjalan ke arah gerbang belakang. Gadis itu baru saja akan berbelok ke koridor berikutnya begitu matanya tiba-tiba melihat bangunan terpisah berwarna putih dengan pintu kaca, letaknya persis di samping kafetaria. Aleen masih ingat, Evan bilang kalau itu minimarket.

Tidak perlu waktu lama bagi gadis itu untuk memutuskan mengubah arah langkahnya. Aleen hanya penasaran, mungkin saja di dalam sana ada beberapa makanan ringan yang bisa ia beli untuk menemaninya begadang mengerjakan tugas kimianya nanti malam.

Mendorong pelan pintu kaca minimarket, Aleen lantas berlalu menuju jajaran rak paling belakang tempat di mana berbagi macam snacks tersedia. Namun langkah gadis itu tiba-tiba terhenti, kira-kira tujuh meter dari posisinya saat ini ia melihat seorang bocah laki-laki yang sedang berjinjit kesusahan meraih sebuah snack, mungkin dia anak dari salah satu guru yang mengajar di AHS. Tapi sejujurnya, yang membuat langkah Aleen spontan terhenti bukanlah bocah itu, melainkan karena pemuda yang berdiri persis di belakang sang bocah.

Pemuda berseragam acak-acakan tanpa almamater yang mengulurkan tangannya untuk mengambil sebungkus snack, lalu menekuk sebelah kakinya dan berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan bocah di depannya, kemudian tersenyum tipis sambil memberikan snack itu pada si bocah.

Dia masih berada di posisi yang sama ketika bocah itu mengambil snack-nya lalu berlari dari sana melewati Aleen yang terdiam di tempat. Menyadari kehadiran Aleen, wajah hangat yang sebelumnya pemuda itu pasang, tiba-tiba berubah datar. Dia bangkit dari posisinya, berjalan mendekati Aleen, lalu berhenti 30 centi di depan gadis itu, tangannya menarik sebungkus snack, dan tanpa suara kemudian dia pergi begitu saja.

Lagi-lagi Aleen melihat wajah itu dari dekat. Potongan rambut undercut, alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, kumis tipis, dan yang membuat Aleen tidak mengerti ... bibirnya tetap berwarna peach meski aroma nikotin jelas tercium dari tubuhnya.

Aleen akhirnya mengerjap sadar setelah beberapa saat bengong di tempat. Perlu ia garis bawahi bahwa pemuda tadi, yang katanya paling nakal di AHS, anaknya Tante Ayunindiya, dia adalah sepupu Aleen. Aleo namanya.

Bad genius and trouble maker number oneAleo.

Continue Reading

You'll Also Like

795K 57.8K 34
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
1.4M 63.9K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
25.7K 2.2K 25
❝ Ini cerpen ala-ala. ❞ BXG area γƒΌsandenim
47.5K 3K 48
Kalung mereka memang terhubung antara satu dan lainnya. Kalung pemberian seorang nenek tua saat awal awal mereka jadian dulu, tepatnya lima tahun lal...