The Last Saver

By asabelliaa

346K 28.9K 3.4K

Ognelion : Dihuni oleh Peri dan beberapa Manusia Istimewa. Pencinta kedaiaman. Voldent : Tempat berkumpulnya... More

Bagian 1 (The Secret)
Bagian 2 (Meeting Julian)
Bagian 3 (Elena's Memories)
Bagian 4 (Now I Understand)
Bagian 5 (Sorry)
Bagian 6 (The Wedding Day)
Bagian 7 (Finding Power)
Bagian 9 (I Surrender Myself To You)
Bagian 10 (Love)
Bagian 11(Pregnant)
Bagian 12 (Unwanted Memories)
Bagian 13 (Meets Elena)
Bagian 14 (The Crown)
Bagian 15 (Bad News)
Pemberitahuan (PRIVATE)
Bagian 17 (New Feelings)
Bagian 18 (Worse)
Bagian 19 (Covenant)
20 (The War -1)
Bagian 21 (The War II)
Bagian 22 - Recovery
Bagian 23 (Stranger)

Bagian 8 (Out of Control)

15K 1.2K 153
By asabelliaa

 "Berhentilah menuntut, berhentilah mendominasi, kalian berdua harusnya saling melengkapi." -Jarvis

*****

Aku lalu memaksaan diri bangkit dari tempat tidur, dan baru sadar bahwa pakaianku sudah terganti dengan pakaian kering yang cukup hangat. Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku dan mengampiri Julian untuk dapat melihatnya lebih dekat.

Ternyata dia tidak tidur, hanya berbaring dan melirikku tanpa berkata apapun.

"Julian apa yang terjadi?" tanyaku yang berdiri di sampingnya.

Julian mendesah pelan dan membuang wajahnya. "Bisakah kau diam saja? Aku baru saja melakukan teleportasi saat membawamu kesini, jadi tenagaku nyaris habis." Suaranya terdengar serak, seperti orang yang sedang terkena radang tenggorokan.

Jadi? Dia melakukan teleportasi saat membawaku kembali. "Kenapa kau melakukan itu?" tanyaku dengan mata yang menyipit, perlahan aku duduk di lantai hingga aku bisa semakin jelas mendengar suaranya. Kini posisi kami sejajar. Rasa penasaranku membuatku mengabaikan permintaannya.

Julian masih enggan menatapku, dia sempat menimbang untuk menjawab pertanyaanku sebelum akhirnya dia mau membuka mulut. "Jika aku tidak melakukan itu, kau bisa mati kedinginan," jawabnya dengan nada datar. Aku tak menyalahkan jika dia kesal padaku.

Caranya bersikap seolah menandakan betapa ia sebenarnya kecewa padaku namun dia berusaha menutupinya. Itu justru membuatku semakin merasa bersalah. "Maaf, aku tidak tahu akan berakhir seperti ini," ucapku seperti anak kecil yang tidak sengaja memecahkan vas bunga. Terkadang aku meninju diri sendiri atas segala kebodohan yang ku lakukan.

Ucapanku berhasil menarik perhatiannya. Kali ini Julian mau menatapku. Dan entah mengapa dia langsung berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya ke posisi duduk dengan perlahan sambil meringis samar seolah dia menahan sakit. Aku mendongak saat dia menarik tanganku, memaksaku untuk duduk di sebelahnya. Dan bagaikan sebuah boneka yang digerakan oleh pemiliknya, aku sama sekali tidak melawan.

Kini kami berdua duduk bersampingan sementara aku masih enggan mengangkat kepalaku. Aku masih takut. Takut jika Julian akan membentakku.

"Katakan padaku, kenapa kau pergi dari istana tanpa ijin? Apa karena bosan atau kau ingin mencariku?" tanya dengan penuh selidik. Aku senang Julian mulai mau bertanya.

Aku menarik nafas pelan. "Keduanya bisa jadi benar," jawabku jujur. Aku lalu meliriknya yang hanya memakai pakaian dalam mirip singlet. "Dan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku? Apa kau memang sibuk dengan urusanmu atau kau menghindariku?" kini aku yang penasaran.

Julian mendesah. "Keduanya bisa jadi benar," jawabnya dengan santai. Dia menjiplak jawabanku rupanya.

Aku mengigit bibir bawahku. "Tapi kenapa? Kenapa menghindariku?" tanyaku lebih terdengar seperti mendesak. Kini aku semakin berani menatap sepasang iris mata emasnya yang memabukkan.

Julian juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan seolah dia masih berfikir untuk menjawabku. "Aku hanya tak mau melukai perasaanmu...." Lalu ia berdehem samar. "... setiap kali kita bersama, akan selalu berakhir dengan air mata atau ketakutanmu. Aku benci itu." Perkataannya mengalir lembut seperti hembusan angin musim dingin yang menusuk tulang.

Kalimatnya menghantam salah satu bagian penting dalam diriku, aku menarik nafas, mencerna ucapnnya dengan baik. Merenung untuk beberapa detik. Spontan aku membasahi bibir bawahku, mulai menyadari bahwa apa yang dikatakan Julian memang benar. "Aku..." aku meremas tanganku sendiri, bingung harus melanjutkan kalimat. "... aku tidak bermaskud begitu." Aku gelisah seperti seorang gadis yang kedapatan mencuri.

Awalnya ku kira Julian akan menertawakanku, tapi aku salah, pria itu malah mengangguk, berusaha memahami. "Aku tahu. Aku tidak menyalahkanmu." Dan aku tak mendunga apa yang terjadi setelahnya. Perlahan dia meraih sebelah tanganku yang dipenuhi keringat dingin, menggamnya erat. "Aku benci mengatakan ini, tapi entah mengapa....." Julian memberi jeda sejenak, lalu dia menatapku lebih dalam. "....aku tidak ingin kehilanganmu."

Dan jantungku seolah berhenti berdetak. Aku merasakan perutku mendadak begitu geli, seperti ada ratusan sayap kupu-kupu yang menggelitikku di dalam sana. Julian sukses mengalirkan sensasi aneh pada tubuhku. Tubuhku terasa begitu ringan dan bahkan seperti melayang di atas awan. Sempat aku mengira bahwa ini hanyalah mimpi. Namun usapan hangat ibu jari Julian di punggung tanganku seolah menyadarkan bahwa ini sepenuhnya kenyataan.

Jika aku adalah es, mungkin aku sudah memeleh sangking panasnya sensasi yang mengalir dalam tubuhku. Butuh beberapa menit bagiku untuk bereaksi dan merangkai kata agar dapat merespon pertanyaan itu.

Sampai akhirnya aku menghembuskan nafas pelan dan dengan sedikit gugup aku menjawab, "aku tidak akan," ucapku begitu saja. Sebenarnya, aku terkejut dengan jawabanku sendiri. Jawabanku terdengar begitu meyakinkan dan tulus, seperti sebuah janji. Ingin rasanya aku memaki seluruh sistem gerak tubuhku yang seolah lepas kendali. Julian pasti alasan dibalik semua ini, setiap ucapannya selalu menyerang hati dan berujung pada respon tubuh yang mendadak membangkang pada otak dan akal sehat.

Julian tersenyum samar namun sudah mampu membuat hatiku menghangat, dia menarik kepalaku akan bersandar di bahunya, dan seperti yang sudah kuduga, tubuhku sama sekali tidak menolak. Mungkin aku memang benar merindukannya, ku harap rindu yang ku ciptakan sendiri, bukan rindu dari Elena. Ku harap perasaan ini sepenuhnya berasal dari Sychelles bukan dari orang lain.

Malam itu kami hanya saling diam, menikmati keheningan malam. Bahkan kedua telingaku seakan kebal dengan suara samar petir yang menyambar di luar. Julian selalu berhasil membuatku nyaman dan merasa begitu dilindungi, sentuhannya, bau tubuhnya seperti narkotika bagiku. Dan untuk kesekian kalianya aku berbisik dalam hati, memohon agar waktu ini berhenti. Entah berapa lama kami saling membisu, sampai pada akhirnya aku kembali merasakan kantuk, dan aku tak pernah menyangka akan tidur di pelukan Julian, lagi.

*****

Aku terbangun dan mendapati diriku sudah berada di atas ranjang, lagi-lagi aku terbangun sendiri, membuatku bertanya-tanya apakah kejadian semalam hanya mimpi?

Entalah, tapi aku akan sangat kecewa jika semalam hanyalah imajinasiku saja. Aku bangkit dari ranjang dan hidungku langsung mencium sebuah harum yang benar-benar khas. Seperti bau tubuh maskulin yang Julian miliki. Saat aku menoleh ke samping kanan, aku melihat seprai kasur dan selimut kusut seperti tempat itu baru saja ditiduri. Dan detik itu juga tanpa sadar aku menarik senyum tipis saat otakku menyimpulkan sesuatu. Julian semalam tidur disampingku.

Apa itu artinya, dia sudah tidak marah padaku?

Ku harap demikian.

Mungkin hari ini aku terbangun sedikit kesiangan. Setelah mandi aku sedikit ragu untuk keluar karena mengingat kebodohan yang ku lakukan kemarin, aku pasti akan diintrogasi oleh Ratu Lavina atas perbuatanku, sampai pada akhirnya seorang pengawal memanggilku untuk sarapan pagi.

Jadi aku bersiap-siap untuk menuju kesana. Apapun yang akan terjadi nantinya, aku harus siap menerima akibat perbuatanku. Saat aku berjalan selesai menuruni tangga, aku berbelok ke kanan dan tak sengaja telingaku menangkap sebuah percakapan yang membuat langkah kakiku spontan berhenti.

"Astaga! Yang Benar saja, Pangeran Julian! Kau pasti bercanda!" Saat pertama kali mendengarnya aku langsung tahu bahwa suara lantang itu milik Jarvis.

Sontak aku mundur tiga langkah dan mengikuti arah suara itu, yang ternyata berasal dari sebuah kamar. Sepertinya ini kamar Jarvis, entahlah aku lupa dan sedikit bingung karena istana ini begitu luas dan semua ruangan hampir mirip.

"Jangan mengejekku, Sepupu! Aku kesini tidak untuk mendengarkan ejekkanmu." Suara itu terdengar saat aku berdiri tepat di depan dinding penyangga pintu kamar yang sedikit terbuka. Suara itu milik Julian!

Diiringi rasa penasaran yang sudah memuncak, dengan sedikit keraguan, aku berusaha memberanikan diri untuk mengintip dari balik celah kecil pintu yang memang tidak tertutup sempurna.

Aku sudah berhasil menginitip apa yang ada dalam ruangan. Jarvis duduk di kursi kayu dengan Julian yang bersandar di salah satu dinding dengan kedua tangan yang terlipat. Sial, dia terlihat sangat keren!

Jarvis tertawa di sana, ia menertawakan Julian seolah dia menertawakan seorang badut. Semakin kesini, aku semakin sadar bahwa meskipun mereka terlihat tidak akrab namun mereka memiliki ikatan emosional yang erat, itu terbukti dari sikap Jarvis yang seolah begitu santai menghadapi sikap kaku Julian. Bahkan saat setiap kali Jarvis menyebut embel-embel 'Pangeran' pada Julian, lebih terdengar seperti mengejek.

"Bisakah kau berhenti menutup tutup sialanmu dan berhenti menertawakanku? Kau harus ingat siapa yang kau tertawakan!" Julian terlihat tidak suka atau mungkin dia sedang kesal karena Jarvis menertawakannya terus menerus.

Jarvis justru menaikan sebelah alis lalu terkekeh lagi. "Ya. Ya, kau Pangeran. Ingatkan aku jika aku lupa," sambungnya dengan kedua bahu yang terangkat samar. Sepertinya Jarvis juga sama denganku yang kesal melihat kesombongan Julian.

Jarvis menyandarkan punggungnya di kursi dan mengangkat kedua kakinya ke atas meja. "Baiklah. Kita mulai serius...." Dan aku mulai terbawa suasana.

"....Julian, dengar. Kita tidak bisa menunda ini lebih lama. Degion akan segera tahu tentang Sychelles..." Seketika jantungku berhenti berdetak saat Jarvis menyebut namaku. Dan itu semua membuatku tidak menyesal untuk menguping karena ternyata mereka sedang membahas tenganku.

"....Tapi, bagaimana bisa kau belum melakukan 'itu' dengannya? Jika aku jadi kau, aku bahkan sudah melakukannya sebelum menikah. Ya, kau tahu, Sychelles begitu menggemaskan. Siapa yang bisa menahan diri?" Mendengar ucapan itu aku langsung terbakar entah karena malu atau marah. Sialan, Jarvis! Ternyata ucapan Anna benar, dia memang penjahat wanita!

"Jadi selama ini kau berfantasi dengan Sychelles?" Julian bernyata dengan tatapan dinginnya, seolah dia marah, tubuhnya menengang seolah menuntut penjelasan.

Jarvis tertawa pelan, dan dia spontan berdiri dari kursinya dan mendekati Julian. Kedua tangan Jarvis terulur menyentuh bahu Julian dan menepukknya pelan.

"Astaga, kau tidak perlu emosi, Pangeran. Aku pria normal dan aku bukan satu-satunya pria yang gemar berfantasi dengan tubuh wanita. Tapi, percayalah, aku hanya sekali melakukannya pada Sychelles, waktu kau menyuruhku untuk mengawasinya saat kau sedang menjalani hukuman di Dark Pierson." Jarvis mengangkat kedua bahunya. "Dan aku bersumpah, aku tidak menyentuhnya. Lagi pula, Anna sudah berhasil menarik perhatianku belakangan ini. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan." Sebelah mata Jarvis berkedip seolah mengejek sikap tegang Julian.

Aku tak yakin, namun sepertinya emosi Julian mulai lenyap. "Jangan berani berfantasi lagi dengan Sychelles, atau aku akan membunuhmu," ancam Julian dengan begitu sinis.

"Huh, Julian! Sebaiknya kau mengatakan itu pada pria lain yang diam-diam menyukai istrimu. Bagaimana dengan Noland? Tidakkah kau curiga dengan sahabat lamamu itu?" Apa? Sahabat lama? Apakah itu benar? Noland merupakan sahabat lama Julian? Aku semakin tertarik untuk menguping percakapan penting ini. Terkutuklah aku yang tidak sopan, tapi siapa yang peduli.

Sayangnya Julian terlihat tak ingin membahas itu, jadi dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Bisakah kita kembali ke topik awal saja?" ucap Julian datar.

Jarvis menyerah dan melangkah mundur, sampai akhirnya dia kembali duduk dan sempat meraih sebuah apel atas meja yang tepat berada di samping Julian. Ah, Jarvis sang penyuka apel.

"Baiklah. Soal Sychelles dan kepayahanmu karena tak bisa menyentuhnya padahal kita tidak boleh membuang waktu untuk mengulur kelahiran tujuh orang bayi," ucap Jarvis lalu mengigit apelnya dengan keras.

Julian menghembuskan nafas pelan. "Aku tidak payah. Hanya saja. Aku tidak ingin terlalu memaksanya, kau tahu. Pernikahan ini, bukan pernikahan impian." Aku membenarkan ucapan Julian sepenuhnya, namun aku merasa aneh karena semakin kesini, percakapan ini semakin intim dan aku seharusnya tak mendengarnya, tapi telingaku seolah tak ingin berpisah suara-suara itu.

Jarvis tersenyum tipis. "Apa kau sudah mencoba untuk mendekatinya? Apakah dia merespon?" tanyanya Jarvis mulai serius.

Julian mengusap dagunya perlahan. "Entahlah. Aku mencoba. Menciumnya, dua kali tapi dia tidak pernah merespon. Malah saat pernikahan dia menangis, aku benci itu." Aku meruntuk dalam hati sekaligus malu juga kecewa mengapa Julian harus menceritakan hal semacam ini pada Jarvis. Apakah dia memang begitu kaku dalam hal mendekati wanita!?

"Aku benci saat dia menatapku dengan ketakutan, seolah aku adalah monster yang akan membunuhnya," sambungnya membuatku membulatkan mata. Apakah aku memang terlihat seperti itu di depannya? Tapi itu benar. Aku takut.

Jarvis menelan kunyahan apelnya sejenak lalu menghembuskan nafas panjang. "Itu masalahnya." Jarvis secepat kilat berdiri dan menyentuh bahu Julian dengan jari telunjuknya. "Masalahnya adalah kau selalu membuatnya takut."

Keheningan berlangsung saat Julian sempat berfikir. Dengan kening berkerut dia menatap Jarvis. "Benarkah? Apa aku menakutkan?" tanyanya lebih terlihat seperti menantang.

"Tidak bagiku. Tapi itu tentu berlaku bagi gadis yang baru saja mengenal Bixon," ucapan Jarvis mengalir bak angin yang menghipnotis Julian, membuat kerutan di kening Julian mulai memudar. "Berhentilah menuntut, berhentilah mendominasi, kalian berdua harusnya saling melengkapi."

"Tapi bagaimana caranya?" tanya Julian lirih.

Senyuman manis dipamerkan Jarvis. "Lupakan statusmu sebagai seorang Pangeran saat kau bersamanya. Aku mengenal Sychelles cukup baik, dan menurutku kepatuhannya padamu kebanyakan didasarkan atas ketakutan, bukan ketulusan hati."

Julian mendunduk samar, merenungi ucapan Jarvis. Lalu ia menarik nafas berat. "Kau benar."

Ya. Jarvis benar. Aku menunduk malu pada diriku sendiri, dan mulai berniat untuk menghentikan kegiatan menguping ini. Aku lantas berbalik dan aku sempat mendengar Jarvis bekata, "buat dia berani padamu. Buat dia percaya bahwa dirinya tidak lemah. Dengan begitu, dia takkan pernah takut untuk mendekatimu terlebih untuk mencintaimu."

Aku berhenti menguping! Sudah cukup! Ini memalukan. Dan pada akhirnya aku menyesal karena telah menguping, dan aku yakin Julian juga pasti akan malu dan marah jika dia tahu aku mendengarkan semuanya.

Akupun melangkah pergi dan tanpa terduga kakiku menginjak ujung gaunku sendiri, sehingga membuatku terjatuh ke lantai dengan posisi duduk. Aku terlalu sibuk dengan kepanikanku akan ketahuan ketimbang sakit di pada lututku yang membentur lantai.

Dan benar saja, suara jatuhku membuat mereka berdua keluar dari kamar, tiba-tiba mereka sudah berdiri di dekatku sambil menatapku dengan ekspresi terkejut.

"Sejak kapan kau di sini!?" Lihat. Julian bahkan tak menanyakan apakah aku baik-baik saja. Dia menatapku dengan tatapan tajamnya seolah aku adalah buruannya.

Justru Jarvis yang membantuku berdiri, "kau baik-baik saja?" tanyanya saat aku berdiri sempurna.

Aku mengangguk. Melirik mereka secara bergantian dengan perasaan canggung. Aku tak tahu harus bagaimana lagi selanjutnya.

"Sychelles! Jawab aku! Sejak kapan kau di sini? Apa kau menguping!?" tuduhnya dengan nada mendesak. Pertanyaannya menyudutkanku dan tatapannya membutku merasa tertekan.

Aku mengigit bibir bawahku panik, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bukanlah pembohong yang baik. Jadi aku memilih untuk diam, ku rasa sikapku ini sudah cukup untuk menjawab pertanyan sebelumnya.

Julian tidak lagi bertanya, tetapi tanpa diduga dia langsung meraih pergelangan tanganku dengan kasar, membuatku terkejut dan sempat menjerit pendek.

Jarvis menatap kami dengan khawatir. "Julian, kau tak perlu emosi." Dia berusaha menggeleng. Tapi Julian justru mengeratkan genggamanya dipergelangan tanganku hingga aku merasa sakit.

Aku berusaha meronta, berharap aku memiliki kekuatan lebih saat dimana aku berhasil mendorong Julian jatuh, tapi aku gagal. Aku lemah. Jadi aku hanya bisa memohon."Julian lepas..."

"TIDAK!" bentaknya membuatku langsung terdiam. Suaranya yang menggema membuat tiba-tiba orang-orang mengerumuni kami. Mereka begitu cepat, muncul seperti angin dan kepulan asap hitam, berdiri mengelili kami.

Ratu Lavina menatap kami dengan penuh pertanyaan dan juga kekhawatiran, ada juga Merine yang tidak berani bicara namun aku tahu dia begitu cemas dengan keadaan ini. Aku menatap bola mata Julian yang mendadak semakin terang, menyala dan itu membuatku gemetar.

Jarvis menggeleng. "Tidak Julian. Tidak sekarang. Jangan lakukan ini!" Mungkin suara Jarvis lebih terdengar seperti memperingatkan daripada membentak.

Tapi Julian mengabaikan itu. Dia tak menghiraukan orang-orang disekitarnya yang seolah memohon untuknya berhenti.

"Sychelles! Kau harus ikut denganku!" Julian menegaskan setiap kata dari kalimatnya. Dan aku belum sepat bereaksi saat ku rasakan dia menarikku pergi, jauh dari orang-orang.

Awalnya berlari, namun lama kelamaan semakin cepat, dan sebelum menembus sebuah jendela raksasa yang terbuka. Dengan gerakan secepat kilat Julian menyelipkan kedua tangannya di bawah lututku dan menahan punggungku spontan aku mengalungkan tanganku di lehernya agar aku tidak jatuh.

Dan rasanya seperti berlari menembus pusaran angin topan saat diriku pergi begitu cepat. Sangat cepat. Aku memejamkan mataku karena ketakutan, ketakutan yang sama saat dimana Julian pertama kali memabawaku ke Ognelion.

Untungnya ini tidak berlangsung lama sampai Julian menurunkanku dengan kasar hingga tubuhku terjatuh di tanah. Saat ini aku berada di hutan yang tak asing. Ini masih di wilayah Voldent, jenis tanamannya membuatku mengenali hutan ini.

Aku meringis dan mencoba untuk bangkit sambil mendongak ke atas karena Julian tiba-tiba sudah berdiri di salah satu ranting pohon dan menatapku rendah. Aku bersumpah, aku benci tatapannya yang itu.

"Sejak awal aku sudah mengira bahwa manusia seperti kalian tidak pernah memiliki etika." Dia mengangkat dagunya ke atas dan menatapku jijik.

Saat aku sudah berhasil berdiri, seketika rasa sakit di tubuhku lenyap karena keterkejutanku atas ucapannya. "Apa? Apa kau baru saja menghinaku?" tanyaku ragu, khawatir jika aku salah dengar.

Julian menyunggingkan senyuman dinginnya. "Seharusnya kau sudah tahu jawabannya." Kemudian dia melompat turun, hingga kami berhadapan dengan jarak sekitar lima meter. Lalu aku melihat tangan Julian terangkat, dan jari-jarinya bergerak, memunculkan garis cahaya yang mirip seperti benang kusut. Lalu awan mendadak mulai menggelap.

Aku mengedarkan pandangan ke atas langit dan melihat awan yang menggelap dari balik celah-celah kecil dedaunan. Tubuhku bergetar samar saat menyadari bahwa Julian baru saja mendatangkan mendung.

Aku menggeleng, lebih terlihat seperti memohon. "Tidak, Julian. Jangan lakukan itu," pintaku saat awan gelap semakin menyelimuti langit.

Namun Julian menyipitkan matanya dan jari-jarinya yang terangkat setinggi bahu digerakkan lagi, dan detik itu pula suara petir terdengar.

Aku menjerit dan spontan menutup telingaku saat mendengar suara mengerikan itu. Angin berhembus kencang dan aku berjalan mundur, ingin berlari atau sekedar membuang muka agar Julian tak melihatku yang sebentar lagi akan menangis ketakutan.

"Julian, hentikan..." desahku kala ketakutan hebat menyemuti seluruh diriku. Aku berjalan mundur hingga kakiku tanpa sengaja menginjak sesuatu yang membuatku terjatuh.

Suara petir itu terdengar lagi, menyakiti telingaku, rasanya kepalaku berputar dan tubuhku semakin gemetar ketika detak jantung ini saling berdetak seribu kali lebih cepat.

Julian maju dengan langkah tegapnya, mendekatiku yang terjatuh. "Lihat. Bahkan selain tak memiliki etika, kalian bisa lebih buruk." Dia memiringkan kepalanya sedikit sambil mengejek, "kalian lemah."

Detik itu juga aku berkedip bersamaan dengan air mataku yang turun menjelajahi pipi. Ucapan Julian seperti sebuah pedang tajam yang ditancapkan tepat di jantungku. Rasanya begitu sakit, hingga aku berharap bahwa nyawaku hilang detik ini juga.

"Kadang aku bertanya-tanya apakah kalian yang hidup di dunia memang diciptakan sebagai mahluk yang terlemah?" Julian menghinaku lagi. "Kalian tidak lebih dari budak-budak teknologi yang haus akan kekuasahan, terlahir untuk lemah dan saling menjatuhkan." Perkataan Julian menggelar seiring dengan hembusan angin yang kencang. "Betapa malangnya nasib kalian, mahluk lemah!" Dia menekankan dua kata terakhir, dia menatapku seolah meludahi perasaanku.

Dan detik itu rasa sakitku langsung terganti dengan emosi yang sudah bertumpuk di ubun-ubun. Tanganku mengepal kuat mengcengkram dedaunan kering yang ada di tanah dan membalas tatapan Julian dengan tajam.

Julian menyipitkan mata. "Oh, apakah kau marah? Apakah kau ingin melawanku? Memangnya apa yang bisa dilakukan mahluk lemah sepertimu?" Dan detik itu juga aku berdiri membawa seluruh amarah yang bertumpuk di bahuku.

Seluruh diriku bangkit dan mentang Julian dengan melayangkan tatapan murka bagaikan iblis yang bangkit dari dari neraka. Aku tak lagi mempedulikan suara petir yang kembali terdengar di atas sana. Emosiku mengusai, mengalahkan rasa apapun yang ada dalam diriku. Tak ada yang lain yang kurasakan selain diriku yang terbakar karena hianaan Julian.

Aku merasakan darahku mengalir semakin cepat dan seluruh urat nadiku mengeras. "Sebaiknya, kau tarik lagi ucapanmu atau kau akan menyesal!" ancamku bersamaan dengan seluruh tumbuhan yang mulai bergerak, membentuk sebuah barisan sempurna tepat di belakangku. Tumbuhan itu melengkung, batang-batang pohon membentuk tombak dengan ujung tajam mereka yang mengarah ke Julian.

Julian membulatkan matanya dan dia terkejut tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tidak akan, istriku ..." dia menyunggikan senyuman dingin dan mulai berjalan mundur, seolah menantangku dengan begitu berani, tatapannya bagaikan elang yang tengah mengincar mangsanya. Telapak tangannya kini dipenuhi cahaya mirip garis-garis petir dan matanya menyala terang seperti ada lampu yang bersembunyi di balik bola matanya.

Oh, dia benar-benar menantangku.

"Jangan lari!" Aku membentak saat dia berbalik.

Namun dia tidak mengindahkan ucapanku. Dia justru membalik badan dan berlari, sambil tangannya diarahkan ke depan dan dia membelah tamanan apapun yang menghalanginya dengan kekuatan yang keluar dari tangannya. Pohon-pohon yang ada di depannya tumbang seperti baru saja di tebang oleh gergaji. Aku marah, semakin marah. Kakiku tak bisa menahan diri untuk tidak mengejarnya. Hasrat liar dalam diriku semakin menyelimuti pikiranku.

Aku berlari menembus hutan, melewati tumpukan batang bohon yang berhasil dia robohkan, membuatku tak bisa mengendalikan pohon itu karena mereka sudah terpisah dari akarnya. Dan saat ku pikir punggungnya semakin jauh, aku mutuskan untuk mengarahkan tanganku ke depan dan menggerakkan tumbuhan liar yang ada di disana untuk menjerat kakiknya.

Berhasil!

Julian terjerat, kakinya terlilit dengan rerumputan liar yang tumbuh di bawah kakinya, dia tidak bisa berlari lagi.

Aku tersenyum puas dan menghampirinya. Masih mengarahkan tanganku ke depan dan dengan sekali gerakan tangan ke kiri, aku menghempaskan tubuh Julian tanpa menyentuhnya hingga punggungnya menghatam keras sebuah pohon raksasa, nemibulkan bunyi kuat seperti dua buah batang pohon raksasa yang dibenturkan kuat.

Tak kubiarkan tubuh Julian merosot ke bawah. Aku menarikan tanganku yang satunya dan mengikat tangannya di bohon dengan tanaman menjalar yang melilit dan menekan pergelangan tanganya, membungkus jari-jarinya dengan dedaunan tebal yang kini membentuk sarung tinju agar dia tidak bisa menggukanakan kekuatanya untuk melarikan diri. Aku tahu sumber kekuatannya berasal dari tangan dan jari-jari sialannya.

Cahaya di matanya mulai padam dan aku berjalan melangkah mendekatinya. Dia terlihat seperti tawanan sekarang, Julian meringis kesakitan akibat punggungnnya menghantam pohon.

Dia terlihat begitu pucat saat aku semakin mencengkram pergelangan dengan tanaman yang ku gerakan.

Kini aku berdiri di depannya, hanya berkisar satu meter, angin masih berhembus dan menerbangkan dedaunan kering membuat suasana semakin dramatis. Tapi aku senang saat melihat Julian tidak berdaya.

"Mahluk lemah."

Ucapannya masih menggema di telinga, melayang-layang di atas pikiranku. Dan sesuatu aneh dalam diriku berbisik untuk segera mengakhiri semua ini dengan membunuhnya. Kemarahan dan sakit hatiku menggebu, menuntut agar segela direalisasikan dalam tindakan.

Seulas senyum beku terukir dari bibirku. "Sekarang apa kau masih bisa mengatakan bahwa aku lemah, suamiku yang sempurna?" tanyaku dengan sebelah alis yang meninggi.

Julian menatapku tak berdaya, seperti orang sekarat, bibirnya terlihat seperti ingin berucap tapi aku tak membiarkannya karena perlahan puluhan akar yang muncul dari balik pohon telah melilit dadanya hingga dia terlihat sulit untuk bernafas.

Hidungnya mulai mengeluarkan darah, dan kalimat hinaannya masih terus berputar di kepalaku. Sebentar lagi, tinggal sedikit lagi. Aku harus membuatnya menyesal dengan apa yang sudah ia ucapkan.

"SYCHELESS. TIDAK! HENTIKAN!"

Sebuah terikan membuatku menoleh, dan suara itu berasal dari samping kanan. Jarvis berdiri di sana, tetapi kedatangannya tidak membuatku senang, dia berusaha mendekat namun dengan sekali ayunan tangan aku juga menghempaskannya di pohon dan juga melilit tangannya dengan akar tanaman.

Jarvis sempat meringis kesakitan, namun kondisinya tidak separah Julian yang mungkin sebentar lagi jantungnya akan remuk.

"Sychelles! Dengar aku!" Jarvis berteriak seolah dia melombai suara angin dan petir. "Julian tidak berniat menyakitimu! Dia hanya membuatmu emosi agar kau bisa melawannya! Dia sengaja memancing emosikmu agar kau berani padanya! Tidakkah kau sadar!?" teriaknya berusaha meyakinkanku.

Aku mendengar ucapan Jarvis dengan jelas dan menoleh padanya meminta penjelasan lebih. Jarvis menatapku sedih. "Dia melakukan itu agar kau tak takut lagi dengannya seperti yang kusarankan padanya tadi, bukankah kau juga mendengar percakapan kami?" Ingatanku langsung menyadarkanku. Jarvis menatapku seolah dengan iba. "Ku mohon, lepaskan Julian."

Rasanya seperti dihempaskan dengan keras ke tanah. Hatiku yang semula mengeras karena emosi tiba-tiba saja melunak. Aku langsung berkedip beberapa kali saat kesadaran menamparku dari pribadi yang mengerikan.

Sekitika duniaku mendadak runtuh saat menyadari semuanya. Dan nafasku mulai tersengal-sengal dan tubuhku yang tadinya kaku mulai melah, disusul dengan meredannya angin yang berhembus dan akar-akar tananman yang mulai melonggar, melepaskan tubuh Julian maupun Jarvis.

Aku sontak mengalihkan pandanganku pada Julian yang merosot di bawah pohon dengan hidung yang berlumuran darah. Buru-buru aku menghampirinya yang saat ini justru terbatuk-batuk dan detik berikutnya mulutnya mengelurakan darah kental.

Brengsek!

Apa yang telah kulakukan!?

Aku telah menyakiti Julian.

Aku mengangkat tubuh Julian dan mendudukannya, menyadarkan punggunya di pohon. Aku menatapnya dengan penuh ke khawatiran sambil tak henti-hetinya menyalahkan diriku sendiri atas semua ini. "Julian, kenapa kau melakukan ini?" aku menangis sambil mengusap darah yang ada di wajahnya dengan tanganku. Mengapa dia sengaja membuatku emosi?

Julian masih sadar dan menatapku dengan tatapan teduhnya. "Kau berhasil.... Sychelles," ucapnya dengan susah payah. "Ja..jangan... takut....pa...padaku.... lagi," ucapnya sebelum akhirnya dia kehilangan kesadarannya.

Matanya terpejam dan aku spontan menggeleng frustasi.

"Julian! Bangun!" Aku menjerit sambil menepuk pipinya, berharap dia membuka matanya lagi. Air mataku mengalir semakin deras bersamaan dengan rasa bersalah yang menyesakki dadaku.

Jarvis datang dan mengusap bahuku. "Dia masih bisa bertahan Sychelles. Dia kuat. Julian hanya pingsan dan sebaiknya kita membawanya ke Recovery Room." Ucapan Jarvis sedikit membuatku lega.

Detik itu juga aku langsung memeluk Julian, menangis kuat-kuat, membiarkan darahnya mengotori gaunku, merasakan kesakitannya akibat seranganku. Sungguh aku menyesali seluruh perbuatanku. Aku sungguh tak bisa memaafkan diriku jika terjadi sesuatu pada Julian.

Aku benci padanya, juga pada diriku sendiri. Benci padanya karena dia sengaja melakukan ini, sekali lagi, hanya demi diriku, agar aku bisa menghilangkan rasa takut. Dan aku juga benci pada diriku sendiri yang terkalahkan oleh emosi juga tak bisa mengendalikan kekuatanku sendiri. Terkadang aku menyesal menjadi kuat, terkadang kekuatan yang kau miliki ternyata juga bisa menghancurkan dirimu sendiri.

*****

Semuanya terjadi begitu cepat dan tidak terasa sudah hampir dua puluh empat jam Julian tidak juga keluar dari Recovery Room. Dan mereka menyuruhku untuk menunggu di kamar, awalnya Ratu Lavina marah padaku.

Dia menuntutku untuk menjelaskan semuanya, namun Jarvis membantu untuk menjelaskan saat aku hanya bisa menangis siang itu sambil menatapi tubuhku yang berlumuran darah. Aku beruntung Ratu Lavina adalah pribadi yang bijaksana jadi dia mau berusaha memaafkanku.

Tapi kemarahan yang paling besar terpancar jelas di wajah Lexa. Dialah yang membuatku harus berada di kamar, dia mengancam tak ingin melakukan proses penyembuhan jika aku berada di Recovery Room untuk menemani Julian. Aku takkan bisa melupakan tatapan kebenciannya padaku, dia menyalahkanku sepenuhnya, mengabaikan seluruh penjelasan yang ada.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di kamar sambil memeluk lututku sendiri, terkadang menangis menyesali perbuatanku. Meskipun Jarvis sempat nememuiku dan berkata bahwa Julian akan cepat membaik. Tapi tetap saja, aku telah membuatnya kesakitan.

Ingin rasanya aku membenturkan kepala ke dinding berkali-kali hingga aku kehilangan seluruh ingatanku, melupakan bagaimana caraku menyakiti orang yang selama ini selalu berusaha untuk melindungiku.

Nampan makanan yang ada di meja makan masih utuh tak sedikitpun ku sentuh. Pelayan membawakanku makan ke kamar dan mereka juga sempat memaksaku untuk segera makan, tapi aku tidak lapar sama sekali, atau lebih tepatnya aku sedang tidak ingin makan, padahal jika di ingat-ingat sudah lebih dari dua puluh empat jam aku tidak makan. Akhirnya pelayan itu menyerah dan meninggalkan makanan itu di atas meja, berharap aku akan memakannya jika aku sudah ingin makan.

Aku berdiri dari tempat tidur, berjalan menuju cermin raksasa dan melihat bayangan diriku di sana. Seorang gadis dengan wajah menyedihkan berdiri tepat di depanku, dia terlihat sedikit pucat dan di bawah matanya terdapat gadis hitam yang kentara karena kurang tidur juga terlalu banyak menangis. Rambut panjangnya tergerai sedikit berantakan.

Lihat, betapa kacaunya diriku.

Aku menarik nafas pelan dan saat ingin menghembuskannya suara pintu yang terbuka mengejutkanku. Aku tidak perlu berbalik dan terpaku saat melihat sosok Julian dari pantulan cermin. Pria itu baru saja selesai menutup pintu lalu melangkah pelan sambil memegangi dadanya yang nyaris ku remukkan itu dengan tangan kanan.

Spontan aku berbalik berlari menghampirinya yang baru akan sampai ke ranjang.

"Julian...."

Entah apa yang merasukiku, namun tanpa sadar aku langsung memeluknya untuk memastikan bahwa dia benar-benar nyata, dia benar-benar Julian yang sempat ku sakiti. Sekuat mungkin aku menghirup aroma tubuhnya yang begitu khas, dan detik itu juga aku yakin bahwa pria ini memang Julian, suamiku.

"Sychelles... Kau memelukku terlalu erat, dadaku masih sakit..." Ia mengeluh pelan sambil sesekali mengiringis.

Aku membulatkan mata dan spontan menjauhkan diri, saat mataku bertemu dengannya, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menangis lagi. Aku tidak percaya bahwa dia sudah bisa berdiri di depanku lagi seperti ini, mengingat dua puluh empat jam yang lalu kondisinya begitu mengerikan. Mungkin aku harus mengakui bahwa Recovery Room memang Tempat Penyembuh terbaik yang pernah ada, atau mungkin Jarvis benar, Julian adalah pria yang kuat.

"Sial, Sychelles. Jangan menangis." Protesnya saat melihatku menangis seperti anak kecil.

Aku spontan menutup mulutku dengan satu tangan lalu memejam mata untuk meredam tangisku. Perasaan lega bercampur dengan ingatan dimana aku membuatnya sekarat dua puluh empat jam yang lalu.

Julian mendesah pelan dan mungkin dengan sedikit malas dia menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya. Dia menatapku tak suka saat air mataku justru mengalir semakin deras, bagaikan anak kecil yang baru saja kehilangan mainannya. Aku merasakan nafasnya berhembus di puncak kepalaku, "aku tidak apa-apa. Jadi berhentilah menangis atau aku akan...."

Aku langsung menyela,"tapi aku sudah mencelakaimu, kenapa memancing emosiku? Kau membuatku membenci diriku sendiri." Kepalaku masih bersandar di dadanya yang terasa begitu hangat. Aku marah tapi tubuhku seolah tak ingin berpisah jauh dengannya. Aku mendongakkan kepalaku sedikit ke atas hingga aku bisa melihat dagu lancipnya. Satu detik setelahnya Julian juga menoleh ke bawah menatapku dengan intens. "Jangan lakukan itu lagi, kau hampir membuatku menjadi seorang pembunuh. Bahkan jika suatu hari aku harus membunuh, aku bersumpah itu bukan dirimu." Aku berkedip satu kali saat air mataku di bagian bawah mata terlalu penuh. Dan tetesan itu mengalir turun meluncur melewati hidungku.

"Maafkan aku, Julian," bisikku dengan dada yang terasa sesak, setiap kali aku menatap wajahnya, aku selalu teringat bagaimana ekspresinya ketika menahan kesakitan akibat diriku yang lepas kendali. Aku selalu ingat bagaimana darah segar dan kental itu keluar deras lewat hidung dan mulutnya.

Julian mengembuskan nafas pelan, kemudian dia menggerakan satu tangannya mengusap pipiku lembut. Nafasnya begitu terasa berhembus hangat di atas kepalaku. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku membuatku harus sedikit mengangkat kepala jika ingin menatap wajahnya dari jarak dekat.

"Sebenarnya ada dua hal yang perlu kau tahu...." Dia menyentuh daguku, mengarahkannya sedikit ke atas hingga kini aku menatapnya dengan sempurna. "Yang pertama, aku sama sekali tidak marah padamu. Jadi berhentilah untuk meminta maaf, karena itu tidak ada yang salah di sini." Aku mengedipkan mataku satu kali saat dia memperdalam tatapannya, dan aku hanya bisa melihat bayangan kecil diriku yang terpantul di iris mata emasnya. "Dan yang kedua..."

Julian mengembuskan nafas, memiringkan sedikit kepalanya dengan kedua mata yang mulai menyipit. "Aku tidak suka saat orang lain menyela ketika aku berbicara. Jadi ku peringatkan untuk tidak melakukannya lagi sebelum aku....,"

"Sebelum apa?" tanyaku tanpa sadar menyela untuk yang kedua kalinya, dan detik itu juga Julian semakin menunduk, hingga hembusan nafasnya semakin terasa dan aku baru ingin menjauh namun sebelah tangan Julian menarik pinggangku mendekat aku hampir menjerit jika saja bibir Julian tidak cepat membuangkam bibirku.

Sepasang mataku membulat dan detak jantungku terasa berhenti saat menyadari kenyataan bahwa dia menciumku. Rasa panas di dalam tubuhku tiba-tiba muncul saat Julian mulai menyapu bibir bawahku, menglumnya dengan lembut, berirama, sangat berhati-hati seolah bibirku adalah permen terlangka yang ada di dunia, hal itu memicu sensasi aneh yang kembali terasa dalam perutku. Hingga pada akhirnya mataku yang membulat kini berubah sayu saat ibu jari Julian mengusap bagian bawah mataku berkali-kali.

Cengkramannya dipinggangku semakin erat membuat tak sengaja mendesah hingga celah bibirku terbuka, membuat Julian leluasa untuk menjulurkan lidahnya nenembus milikku.

Awalnya aku terkejut karena aku sama sekali tidak pernah diperlakukan seperti ini. Tapi diriku sepenuhnya justru semakin merespon saat satu tangan Julian yang ada di pinggangku meremas kulitku yang terbalut gaun dengan gemas, seolah dia menuntut balasan dariku.

Akhirnya pertahanku hancur, entah mengapa tanganku yang semula mengantung bebas ke bawah kini bergerak menuju leher Julian, menyetuh kedua sisi lehernya, hingga pada akhinya tanganku terkalung di sana.

Entah apa yang mendorong diriku untuk berani melakukan ini, jika sebelumnya aku selalu dikepung oleh dinding ketakutan padanya, kini aku bertanya-tanya kemana lenyapnya dinding itu? Dinding yang dulunya selalu membatasi diriku untuk tidak menyentuh Julian lebih jauh.

Rasanya aku seperti sedang berada di atas air, merasakan diriku sudah hanyut terbawa arus, aku sedikit berjinjit dan mulai membalas ciumannya. Aku tidak tahu pasti apa yang harus kulakukan, karena ini pertama kalinya bagiku melangkah melewati bekas 'dinding pembatas' dengan cara merespon setiap sentuhan yang Julian yang ku rasakan. Sepenuhnya aku masih sangat kikuk namun suasana dan usapan lembut Julian di leherku seolah mengajariku bagaimana aku harus membalas semua ini.

Aku memejamkan mata menikmati semua ini. Kini diriku terasa begitu ringan, seolah puluhan sayap kupu-kupu yang menggelitik perutku telah berhasil mengangkatku dari tanah. Julian membuatku merasakan sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, dia mulai sadar aku membalasnya, aku sempat membuka mata dan melihatnya tersenyum di sela-sela ciuman kami.

Waktu berlalu selama beberapa menit dan saat kami mulai sama-sama kehabisan nafas, kami berdua menjauh beberapa senti untuk menghidirup kembali udara agar dapat bernafas seperti biasa.

"You did well," ucapnya sambil mengusap permukaan bibirnya yang basah dan menatapku dengan sedikit menggoda. "Menikmatinya, huh?" sebelah alisnya terangkat saat kurasakan pipiku memanas. "Itu karena kau menyela ucapanku."

Aku hanya bisa berkedip berkali-kali dan spontan mundur satu langkah sambil membuang muka, menyapu bibirku dengan punggung tangan. Mengatur nafas pelan dan sekuat mungkin menahan rasa malu. Aku menatap Julian untuk beberapa detik sebelum akhirnya mataku melirik nampan yang ada di atas meja.

"Aku lapar," ucapku mencoba untuk mengalihkan pembicaran. Aku tak menunggu ia menjawab dan langsung segera menghampiri nampan berisikan makanan itu. Menenguk gelas air yang ada hingga airnya nyaris habis.

Aku bisa merasakan Julian menertawakanku saat dia duduk di bibir ranjang. "Ya, makanlah yang banyak karena aku tidak ingin memiliki istri seorang tengkorak," ucapnya dengan begitu ringan, tanpa beban.

Aku langsung cemberut mendengar ucapannya, hanya sempat menatap kesal satu kali sebelum akhirnya aku fokus kembali ke menu makanan lezat yang ada di depanku. Entahlah, aku sedang tidak ingin berdebat. Pria itu memang tidak romantis dan selalu bisa bersikap seolah barusan tidak terjadi apa-apa.

Perutku mulai terasa sedikit nyeri, mungkin cacing di perutku sudah mulai meronta ingin di beri makan. Oh astaga, kenapa rasa laparnya baru terasa sekarang? Huh, ternyata mogok makan itu tidak enak.


_______________________________

_______________________________


Hellooo, maaf 13 hari baru update soalnya sibuk bulan puasa dan kemaren juga fokus buat namatin fanfict di FB :)

Buat yang masih pada bingung dengan karakter yang ada di cerita ini, mungkin soal Noland atau Lexa, Merine, sama mungkin ada yang penasaran sama Ayahnya Julian yang gak pernah muncul? Gue jawab di part berikutnya ya :)

Sebenernya gue pengen notice username satu-satu lagi buat yang udah komen, tp koneksi lagi lemot parah :( 

Sempet bingung juga, ada beberapa readers yang komplain katanya part 5 hilang, padahal pas gue cek ada kok, entahlah ada dengan wattpad smpe gue ngepost part 7nya, daftar jadinya malah part 7 di atas part 6 T_T ada yang bisa bantu gimana ngerapiin ini?

Gue harap kalian tetep masih mau ninggalin gue supaya semangat, dan buat silent readers, ayodong muncul, kalo emang kalian suka apresiasi dikitlah biar gue makin smangat nulisnya di sela-sela kesibukan, soalnya puasa ini gue udah mulai kerja, belajar ngurus bisnis orang tua :(

Jadi gimana part ini? Maaf kalo semakin gak feel atau gak jelas tp tetep komen  ya buat part yang banyak scene Julles (Julian-Sychelles)-nya :)


Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 101K 25
❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022
2.2M 123K 72
❝Diam menjadi misterius, bergerak menjadi serius.❞ -Liona Hazel Elnara Genre: 1. Drama Psikologis 2. Thriller / Suspense 3. Action 4. Romance 5. Crim...
106K 659 19
cerita seorang anak laki laki sulung yang memiliki hubungan terlarang bersama sosok mama kandung nya warning!! sering menggunakan kata vulgar !TYPO B...
1M 67K 44
Daddyyyyyy😡 "el mau daddy🥺"