"Mungkinkah itu caranya meminta maaf?"
Aida belum sempat bicara apapun setelah Reiko tadi mengutarakan satu buah kalimat. Dia tak sempat menjawabnya karena pria itu bicara sambil ngeloyor pergi meninggalkan dapur. Dia sudah memunggungi Aida dan tak lagi menengok menunggu jawaban darinya.
Makanya Aida hanya sempat berbisik dalam hatinya macam ini sambil geleng-geleng kepala.
Super sekali! Sungguh cara minta maaf yang sangat bagus. Langsung membawakan juga solusinya dari semua kesalahan yang sudah dia perbuat Rapi tanpa kompensasi.
Aida tak mau menanggapi lebih sindirannya.
Matanya pun sudah kembali mengarah pada tablet yang kini layarnya menjadi hitam karena biasalah, mati otomatis. Aida harus menyentuh dan memasukkan PIN-nya lagi untuk membuat kembali menyala
Tak perlu dipikirkan berlebihan Aida. Dia hanya tidak enak padamu saja. Makanya dia berbaik hati tadi dengan meminjamkan salepnya. Jangan ge-er.
Aida mencoba menetralkan pikirannya lagi yang sempat kepikiran juga dengan jawaban Reiko tadi yang memperhatikannya.
Sedikit perbuatan tak terduga itu menggoncangkan hati Aida ditambah lagi dengan rasa malu yang ada dalam dirinya, membuat Aida sebetulnya kesal.
Harusnya aku memang mengganti dulu sendoknya. Apa yang dia bilang benar sih. Kenapa aku malah makan menggunakan alat makan yang sudah dia gunakan? Aida gemas sendiri.
Kau ini Aida. Kenapa sih kau bodoh sekali? Hal sesederhana itu harusnya kau ingat!
Aida tadi memang tak fokus ke sana. Entahlah, kenapa juga dia bisa lupa? Ini benar-benar tidak direncanakan olehnya sampai kebodohan itu muncul dan membuatnya tidak bisa konsentrasi untuk memilih bahan makanan.
Tunggu sebentarlah, aku ambil kertas dan pulpen dulu.
Tadi Aida hanya berdiri di depan tablet tanpa tahu harus melakukan apa.
Sehingga segera mungkin dia berlari kecil menuju kamarnya mengambil pulpen dan buku tulis. Aida menulis apa saja yang memang diperlukan olehnya.
Aida sudah terbiasa dengan catatan ini karena memang dia sering melihat ibunya melakukan pencatatan begini dan mereka mulai berhati-hati sekali mencari bahan makanan juga membelinya ketika kakak Aida dan ayahnya sakit.
Jadi ini bukan hal baru baginya sehingga dengan cepat Aida pun sudah punya menu untuk seminggu. Dia tak lagi memikirkan tentang salep di kotak P3K untuk sementara.
"Aku harap mereka suka dengan menuku. Tapi kalau mereka tidak suka juga mereka punya uang untuk beli di luar dan aku hanya perlu memasak apa yang aku mau, bukan tadi katanya begitu?"
Aida senyum-senyum sambil berjalan menuju ke arah tablet dan saat ini dirinya tidak ngeblank seperti tadi! Aida sudah tahu berapa takaran yang harus dia beli. Sehingga dengan cepat Aida memilih dan mengorder apa saja yang dibutuhkannya.
"Wah harga belanjaan di sini mahal juga ya? Aku membeli itu semua masa aku harus membayar enam ratus delapan puluh ribu?"
Aida geleng-geleng kepala ditambah lagi dia melihat satu lagi bon bawahnya
"Storage box ini juga harganya lumayan padahal aku udah mencari yang paling hemat," bisik Aida dengan suaranya yang lirih dan lagi-lagi memang hanya telinganya yang bisa mendengar sebab di sana hanya ada dirinya sendiri.
Aida sedikit berat karena memang tidak mau menggunakan uang yang berlebihan. Tapi apakah ada pilihan lain sedangkan di sana dia sudah memilih yang paling murah?
"Haduh, terpaksa!" membelanjakan uang sebanyak itu saja sudah membuat dirinya meringis
"Sejuta kembali cuman dua ribu rupiah? Ya ampun mahal sekali! Buahnya juga cuman dapat apel doang dua kilo."
Segitu Aida juga sudah menurunkan jumlah takaran berasnya dari yang tadinya dipilih oleh Reiko dua puluh lima kilo dia hanya mengambil yang lima kilo saja. Semuanya sudah disesuaikan untuk kebutuhan seminggu dan apa saja yang bisa dia gunakan dengan barang-barang itu selama seminggu. Tapi rasa bersalah juga tak hilang dari hatinya
Sambil menunggu kurir yang mengantarnya datang, Aida yang masih tak enak hati memilih tetap duduk di dapur. Namun kini matanya mengarah ke sesuatu yang tadi disarankan digunakan oleh Reiko
"Tak ada salahnya juga aku pakai ini. Lagi pula aku juga memang harus menutupi wajahku supaya tidak dilihat kurir dan disangka aku kena KDRT padahal emang bener KDRT."
Akhirnya Aida pun membuka kotak itu. Dia mengaplikasikan sesuatu di wajahnya yang masih terasa perih karena pengaruh lebamnya itu.
Aida memang sudah sembuh dari kankernya. Tapi kondisi tubuhnya memang tidak sebaik orang normal yang tidak memiliki penyakit apapun. Luka sedikit saja seperti itu untuknya agak sedikit lama sembuhnya.
Ting tong
Bahkan sebelum membukakan pintu untuk kurir pun Aida yang sudah sadar kalau pipinya memang lebam dia berusaha untuk menutupinya dengan menarik kerudungnya sedikit ke depan dan menutupi memarnya.
"Ini semua belanjaanku? Boleh aku cek dulu tidak?"
Seorang pria berdiri di depan pintu apartemen karena memang tadi Aida juga sudah memberikan pesan untuk diantar ke depan pintu.
Supermarketnya juga itu dibelinya di bawah, di lantai dasar apartemen itu.
Kurir yang mau masuk ke hunian, mereka akan diminta memberikan KTP-nya oleh security dan mereka nanti akan diberikan kartu pass untuk naik lift dan bisa mengantar tepat ke depan kamar kostumer.
"Iya silakan."
"Tunggu sebentar ya, aku cek, nanti majikanku bisa marah kalau ada belanjaan yang kurang dan disangkanya aku nguntit uang belanja."
"Tapi biar fair ngeceknya saya juga lihat ya Mbak. Karena kan saya nggak tahu Mbak nanti nilep barang belanjaannya atau enggak dan bilang belum ada. Sama-sama berjaga-jaga aja Mbak."
Orang itu pun juga jujur terhadap Aida sehingga membuat Aida memikirkan dari sisi sang kurir.
"Oke oke!" Ini juga dianggap oleh wanita itu fair.
"Kalau gitu aku lihat di sini aja. Kamu diri di situ ya!"
Aida sengaja membuka pintunya. Dia pun mengecek sambil memegang list belanjaan yang tadi sudah dicatatnya.
"Ya semuanya sudah lengkap. Maaf ya, aku merepotkanmu dan aku juga tidak punya tipping untukmu, majikanku nggak ngasih."
"Iya gapapa, sama-sama Mbak!"
Pria berjaket hijau itu pun pergi setelah pekerjaannya sudah selesai.
"Hihi, ternyata orang kota itu memang sangat jujur. Aku tadi bicara begitu sudah tak enak hati padanya tapi dia juga responnya bagus. Senyumnya juga manis. Hahaha."
Aida yang sudah menutup pintu, dia merespon dengan gumaman kecilnya macam tadi. Sambil menenteng dua kantong belanjaan ditambah satu kardus berisi storage box yang dipesannya, Aida menuju ke arah dapur.
"Kayaknya dia seumuran denganku? Dan anak-anak di kota itu apa di usia seumuran aku mereka juga sudah cari-cari part time job ya?"
Aida tak tahu tapi memang itu menarik untuknya. Bagaimana seseorang yang berusia sepertinya berusaha untuk struggling hidup dengan jerih payahnya sendiri.
"Apa nanti yang akan aku lakukan untuk menghidupi diriku sendiri lima tahun lagi ya?"
Aida pun mulai berpikir membayangkan masa depannya sambil dia merapikan barang belanjaannya, memasukkan beras ke dalam tempat penyimpanan beras dan bahan makanan lainnya ke dalam storage box yang sudah dicuci olehnya..
Tak ada yang bisa diajak bicara sehingga dia memilih untuk bicara sendiri saja seperti ini daripada bosan juga kan?
"Akan kupikirkan nantilah yang penting sekarang sku berjuang dulu untuk adik-adikku."
Dan sambil memasukkan storage box yang sudah terisi itu ke dalam lemari pendingin:
"Hoaaam ... selesai juga. Ngantuk deh, aku mau tidur dulu lah."
Setelah Aida merapikan semuanya termasuk sampah-sampahnya dan juga menyapu di area dapur itu, dirinya juga sudah mulai merasa kelelahan.
Saat ini jam juga sudah menunjukkan hampir setengah dua belas.
Makanya tak heran jika Aida sudah sangat mengantuk. Dia memilih langsung kembali ke kamar dan mencuci kakinya dulu karena dia memang tidak menggunakan sendal rumah. Dingin lantai itu pun juga menusuk kakinya.
"Bismillah,"
Dan setelah melanjutkan dengan doa tidur, Aida tak butuh waktu lama untuk memejamkan matanya. Lelah sudah. Perjuangan hari ini memang cukup berat untuknya. Jadi tubuhnya memang sudah minta beristirahat
"Ya ampun sudah jam empat! Biasanya aku bangun jam tiga, kesiangan deh."
Sebetulnya masih jam empat kurang lima belas menit. Tapi ini sudah membuat Aida panik. Dia pun buru-buru menuju ke kamar mandi untuk menunaikan salah satu kewajiban sunnah yang memang tak pernah dia tinggalkan selama ini.
"Allahu Akbar,"
Dirinya pun sudah kembali khusyuk setelah melakukan takbiratul ihram.
Tak ada keinginannya untuk memikirkan hal lain sampai dirinya selesai berdoa dan kembali sujud syukur.
"Aku harus menyiapkan sarapan pagi!"
Dan ini adalah masalah baru. Aida pun melihat ke arah jam, mau bersiap.
Tapi
"Allahu akbar Allahu akbar."
Itu bertepatan dengan suara adzan Subuh yang membuat Aida mengerucutkan bibirnya.
"Rasanya aku baru akan menyiapkan itu nanti setelah salat Subuh dulu."
Dia mengurungkan niatnya. Aida lebih memilih menyelesaikan kewajibannya dulu sebelum melakukan perintah Reiko untuk menyiapkan makan.
"Selesai! Sekarang waktunya berkutit di dapur."
Aida bicara seperti itu sambil dia melipat mukenanya dan buru-buru menuju ke arah dapur.
Tapi apa yang akan dia buat untuk sarapannya sekarang?
"Hmm, ini menu hari ini!"
Aida menempelkan catatan menu yang dia buat itu sengaja di pintu kulkas. Dengan begitu, Aida tahu apa saja yang harus dia buat untuk pagi itu.
Tak tunggu lama, Aida segera menyiapkan bahan-bahan untuk membuatnya.
Namun sebelum dia sempat berbuat apapun
"Kamu bangun pagi juga!"
(Bersambung)
Baca cepat: karyakarsa @richirich
✅AUDIOBOOK youtube di link adalah novel bidadari versi KARYAKARSA.
✅Novel ini dengan versi berbeda dengan versi di www.karyakarsa.com
Note:
untuk up selanjutnya, agak sedikit lama ya. Tunggu part-nya sampai. Karena ini di skip sekitar 150 episode dari karyakarsa 🙏🙏🙏
Dan untuk yang mau baca versi lengkap di karyakarsa, silakan pilih paket bidadari dengan pembelian melalui web WWW.KARYAKARSA.COM. Harga lebih murah dari satuan dan dari aplikasi. Silakan cek tutorial di Rich Author youtube atau DM instagram @ri.chi_rich