Malaikat Ayah [REVISI]

By Cicipang_

57.4K 5.4K 384

Seorang singel parent yang merawat ke empat anak-anaknya sendirian. Akankah dirinya berhasil menjadi orang tu... More

1 : awal yang baru
2 : Tentang Papa dan Ayah
3 : soal asmara
4 : kesayangan Ayah
5 : Nana?
6 : rasa yang terbagi
7 : baik dan buruk
8 : egois
9 : jenguk
10 : Ungkap perasaan
11 : rasa yang terpendam
12 : sidang tertunda
13 : kelopak yang rapuh
14 : malam yang menyakitkan
15 : bunga yang layu
16 : penawar hati
18: ego yang terkalahkan
19 : seperti mimpi

17 : kata hati

1.4K 189 7
By Cicipang_









🍃🍃 MALAIKAT AYAH🍃🍃









Disaat saudaranya yang lain tengah menikmati waktu berduanya dengan pasangan. Berbeda dengan Jaemin, dengan kondisi belum pulih ia nekat kabur dari rumah dengan melewati jendela.

Karena posisi jendela lumayan tinggi dari jalan, membuat Jaemin membuat tali dari pakaian-pakaiannya yang ia ikat kuat.

"Gue ga bakal tenang kalo belum liat sendiri, salah siapa larang-larang gue. Gue bakal nekat demi adek." Gumam Jaemin sambil mengikat satu baju dengan baju yang lain.

Tok tok tok

Ketukan pintu membuat Jaemin terkesiap, ia takut rencananya akan gagal. Ia menanggalkan pakaian-pakaian itu, lalu beranjak untuk mengunci pintu. Sembari mendekati pintu, Jaemin mencoba menerka-nerka siapa yang ada dibaliknya. Jika itu Renjun, tidak mungkin. Karena kembarannya itu akan langsung masuk tanpa mengetuk lebih dulu. Dan kemungkinan dibaliknya adalah Xiaojun, karena yang hanya mengetuk kamarnya itu Xiaojun, Ayah Yuta dan Shotaro.

Jaemin sudah berada tepat di depan pintu. Tangannya telah memegang kunci itu, hendak memutarkan kunci itu, namun tangannya tiba-tiba terhenti kala mendengar suara tak asing itu.

"Nana? Lo di dalem?"

Rasa rindunya dengan pemilik suara itu langsung membuat Jaemin berdebar, dan dengan terpaksa harus membukakan pintu itu, untuk melihat wajah orang tersebut. Terlihat wajah lusuh dengan rambut yang apek dan berantakan, peluh membasahi wajah dan tubuh orang itu.

"Jeno? Ngapain disini?" Tanya Jaemin sembari memperhatikan keringat Jeno yang mengalir.

"Gapapa, cuma mau liat keadaan Lo aja." Jawabnya dengan nafas tersengal.

Jaemin mengerutkan keningnya, "gue baik-baik aja kok. Dari mana sih sampe Lo kayak gini?"

Jeno menyeka keringatnya, lalu tersenyum. "Dari sekolah, gue denger kabar kalo Shotaro masuk rumah sakit. Dan gue khawatir sama Lo."

Lelaki berwajah manis itu menambah kerutan di keningnya. "Gue gapapa kok. cuma agak syok dikit. harusnya yang Lo khawatirin itu Renjun bukan gue."

"Kenapa bisa gitu?" Tanya Jeno yang tak mengerti maksud dari ucapan Jaemin.

Ada kata yang tak sanggup Jaemin keluarkan, rasanya begitu berat. "Ga tau. mending Lo balik, gue mau istirahat."

Rasa rindunya telah terbayarkan, kini dengan terpaksa harus disudahi sebelum hatinya jatuh lebih dalam dan menanggung rasa sakit yang berlebih. Jaemin hendak menutup pintu itu, namun di tahan oleh Jeno.

"Bilang dulu maksud dari perkataan Lo tadi."

Jaemin mendengus kasar, "gue yakin Lo ngerti, cuma ga mau salah tanggap aja kan? Apa yang Lo pikirin sekarang tentang omongan gue, itu benar."

Masalahnya Jeno benar-benar tak mengerti, dan semakin tak mengerti dengan ucapan Jaemin. Jeno sempat berfikir bahwa Jaemin cemburu, karena pasalnya Renjun adalah mantan kekasihnya. Jaemin mengira Jeno masih menyimpan rasa pada Renjun.

Melihat Jeno yang terdiam, Jaemin menjauh dari pintu tanpa menutupnya seperti rencananya di awal. Ia kembali melanjutkan kembali mengikatkan baju-bajunya.

Jaemin mengukur panjang baju yang telah menjadi tali. Merasa masih kurang panjang, Jaemin kembali membongkar isi lemari dan mengambil beberapa pakaian lagi, namun sebelum itu kakinya terkatuk oleh kaki ranjang.

"Anjing sakit banget!"

Jeno menggeleng-geleng, ia menyadari sedari tadi ia ternyata menghayal sampai suara Jaemin menyadarkan dirinya. Jeno melihat Jaemin yang mengambil beberapa lembar pakaian dari lemari sambil menggerutu kesal.

Dan baru Jeno sadari ternyata kamar Jaemin sangat berantakan, pakaian yang berserakan dimana-mana, tas-tas, sepatu, dan beberapa pecahan kaca dari vas bunga. Firasat Jeno tidak enak.

"Na? Lo lagi ngapain?" Tanya Jeno sambil berjalan perlahan ke arah sang pemilik kamar yang tengah duduk di ranjang sambil mengikat baju-baju yang ia ambil dari lemari tadi.

"Diem. Gue lagi sibuk." Jawab Jaemin tanpa melihat ke arah Jeno.

"Nana gue–"

"Jangan manggil dengan sebutan itu, nama gue Jaemin!" Jaemin melirik tajam.

"J-jaemin, semua ini untuk apa?"

"Kalo Lo masih nanya, sebaiknya keluar dari kamar gue!" Jaemin muak di tanya-tanya terus.

Tak bisa! Jeno tidak akan tenang sebelum Jaemin menjawab pertanyaannya, karena sesungguhnya jiwanya tak tenang sekarang. Iaa takut jaemin membahayakan dirinya sendiri. "Jaem, Lo ga nyoba bunuh diri kan?"

"Mungkin" jawabnya asal.

Bola mata Jeno terbelalak mendengarnya. Dengan gerakan cepat ia menahan lengan Jaemin yang telah selesai mengikat baju yang terakhir.

"Apa sih lo!" Protes Jaemin, selain terkejut ia juga merasa sakit di genggam seperti ini.

"Gue ga akan biarin!"

"Kenapa sih Lo, selalu ikut campur! Lepasin gak?!"

"Gak! Gue ga mau Lo buat yang enggak-enggak." Jeno telah membayangkan apa yang tidak seharusnya di bayangkan. Dan dia tidak akan siap jika apa yang ia bayangkan terjadi di depan matanya.

"Lepasin! Lagian kenapa sih? Gue bukan Renjun yang bakal nyakitin diri dulu. Gue bakal langsung pergi selamanya tanpa buat drama."

Jeno menatap tajam ke kornea mata Jaemin. Matanya memerah menahan lelehan air mata yang ingin segera jatuh. "Lo ngomong apa sih, Na?"

"Udah dibilangin jangan sebut nama itu!"

Jeno menarik paksa tali yang terbuat dari baju yang terikat itu dari tangan Jaemin. Membuangnya jauh-jauh, dan menarik Jaemin ke pojokan kamarnya, mengukungnya dengan ke dua lengannya.

Jaemin menjadi takut, terlebih lagi melihat tatapan marah dari Jeno. Itu sangat menusuk hatinya. Ia tak bermaksud berkata seperti itu, ada hal yang ia tunggu dari bibir Jeno.

"Jeno jangan gini, gue takut." Jaemin menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Gue lebih takut!" Suara Jeno bergetar menahan diri untuk tidak menangis.

Rasanya waktu berhenti sejenak, Jaemin memberanikan diri untuk menatap wajah orang yang ada di hadapannya ini.

Jeno marah, kesal, sedih. Terlihat bagaimana alisnya yang menukik tajam, namun sorot matanya yang membendung sebuah kesedihan di sana. Tidak terlewatkan juga bibir Jeno yang gemetar.

"Gue takut kehilangan, terlebih lagi Lo orangnya,  orang spesial di hati gue." Lirih Jeno. Kepalanya ia sandarkan di bahu Jaemin. Badan Jeno melemas karena menahan emosinya.

Jaemin syok, "J,Jen?"

Pundak Jeno bergetar, lelaki itu menangis untuk pertama kalinya di hadapan orang. Kedua tangannya ia bawa memeluk pinggang ramping milik Jaemin. "Gue sayang banget sama Lo, Na."

Hati Jaemin berdebar kencang. Perasaannya campur aduk saat ini. Jaemin rasanya tak kuat menopang tubuh nya.

Namun, Jaemin menepis semua itu dari kepalanya. Bisa saja Jeno hanya menyayangi nya sebagai sahabat. Jaemin tak bisa berbesar hati dulu. Ungkapan sayang itu ada banyak maknanya. Jeno hanya mengungkapkan kata sayang bukan cinta.

Jaemin menegakkan badannya. "Jen, bisa lepas gak?" Tanya Jaemin seraya melihat sekeliling kamarnya. Sangat berantakan.

Jeno menggeleng-geleng sambil terus memeluk tubuh Jaemin dengan erat. Dengan Jeno yang seperti ini bisa saja membuat pertahanan hati Jaemin runtuh. Oh ayolah! Jaemin tidak ingin sakit hati.

"Gue gak mau bunuh diri kok. Gue cuma asal ngomong tadi." Jaemin berusaha membujuk Jeno. Jaemin merencanakan kabur dari rumah, jika seperti ini terus maka bisa-bisa ia menggagalkan rencananya.

Jeno menjauhkan tubuhnya dari Jaemin, dengan tetap mempertahankan tangannya di pinggang ramping itu. Wajah Jeno memerah karena menangis. "Apa yang dapat menjamin kalo Lo gue lepasin bakal ga macem-macem?"

Jaemin bingung memikirkan jaminan apa yang ia harus kasih agar Jeno mau percaya padanya. Terpikir dua cara yaitu, pilihan pertama, mencium Jeno dan berjanji pada lelaki itu atau pilihan kedua, memberitahu Jeno akan rencananya dan mengajaknya ikut serta.

Memikirkan jika ia memilih pilihan pertama saja sudah membuat Jaemin merinding dan malu. Apalagi ketika ia benar-benar melakukannya, sepertinya kakinya akan sudah tidak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya.

"Na, Lo denger gue?"

Terlalu lama berfikir membuat lelaki di hadapan Jaemin menjadi bingung dan resah. Jaemin menghembuskan nafasnya pasrah, ia beranikan menatap tepat di kedua mata sipit itu. Tak terlupakan bagaimana saat ini degup jantungnya berdebar-debar. "Jeno, gue punya rencana."

Tanpa menyahuti perkataan, raut wajah Jeno telah menunjukkan kata 'apa' Secara tidak langsung. Alis menukik, sorot mata yang bingung.

"Rencana kabur dari rumah," katanya lirih.

Seketika alis Jeno terangkat, bola matanya sedikit terbuka karena terkejut. "Na?"

"Gue mau jenguk taro. Tapi, Renjun larang gue."

"Karena Lo masih sakit?"

"Gue dah ngomong kalo gue dah sembuh, gue ga sakit, Jen. Dianya aja yang alay. Gue ga suka di anggap lemah."

Jeno tidak ingin memperpanjang masalahnya, ia pun mengusap punggung Jaemin. Sambil berharap lelaki manis itu tenang. "Oke, sekarang apa rencananya?"

Jaemin menunjuk jendela dan tali itu. "Lewat dari sana, gunain kain itu."

"Lo yakin kain itu bakal kuat?"

"Yakin," Jaemin mengangguk mantap.

"Oke."

Setelah mengucapkan itu, pikir Jaemin dirinya akan di lepas. Namun, ternyata tangan itu masih nangkring di pinggangnya. "Ekhm! Tangan Lo?"

Jeno langsung menarik tangannya, "astaga! Maaf."

Jaemin melancarkan aksinya, hal pertama yang ia lakukan adalah mengunci pintu. Mendekati pintu dan memutar kuncinya hingga pintu itu terkunci rapat. Setelahnya ia mengikatkan kain itu ke kaki kasur, mengikat dengan pola asal-asalan. Selanjutnya, memakai Hoodie dan mengambil ponselnya dan masker.

Semuanya terpantau oleh Jeno, melihat Jaemin kesan kemari, begitu sibuk dengan rencana itu. Tapi, Jeno meragukan kain itu. Jeno membawa dirinya mendekati Jaemin.

"Na?"

Jaemin menoleh, "apa?"

"Lo yakin?"

"Yakin. bisa bantuin gue gak? Pegangin kain itu pas gue turun nanti."

Jeno mengigit pipi dalamnya. Menyentuh kain itu dengan ragu. Jaemin bersiap, ia segera naik ke jendela. Di sisi lain Jeno sudah berfirasat buruk tentang ide gila ini.

"Tunggu! Gue bisa bawa Lo kabur dari sini."

"Ga ada waktu, Jen."

"Nana, please! Kita lewat pintu, lebih aman buat Lo. Gue janji ga ada yang tau Lo keluar."

Melihat keyakinan dari wajah Jeno membuat Jaemin mempertimbangkan lagi. Lagi pula ia juga sebenarnya takut turun lewat jendela dengan kain terikat itu.

"Ayo, kalo gitu!"








🍃🍃 MALAIKAT AYAH🍃🍃







Syukurlah sekolah memulangkan siswanya lebih awal dari biasanya. Jadi, kedua bocah ini tidak harus meminta izin pada sekolah untuk menjenguk sahabatnya.

Beomgyu dan Sungchan menunggu sang supir. Beomgyu daritadi tidak tenang, yang dari tadi ia lakukan hanya berjalan kesana kemari sambil mengigit jempolnya.

"Ihh lama banget! Abang! Coba call lagi!" Titahnya pada Sungchan. Yang lebih tua hanya memutar bola matanya malas, sudah sepuluh kali Beomgyu mengatakan hal yang sama. Padahal Beomgyu baru menelfon sang supir lima menit yang lalu.

"Sabar, pak Kim masih di jalan. Bentar lagi sampe kok."

Beomgyu tambah kesal, "aku bakal ngomong sama papa!" Sungutnya.

Sungchan melirik ke saudaranya, "ngomong apa?" Tanya Sungchan.

"Pak Kim harus di sekolah sebelum bel pulang! Aku udah ga suka nunggu! Males!"

Yang lebih tua hanya menggelengkan kepalanya,  ia sudah capek sama saudaranya. Dulu, Beomgyu lah yang tidak ingin di jemput cepat, karena masih ingin berbincang dengan teman-temannya dan mengatakan kalau menunggu itu adalah hal yang paling menyenangkan. Tapi sekarang, merubahnya lagi.

"Sabar, Gyu!"

"Ihh Abang! Aku bilangin Bubu, ya!" Ancam Beomgyu.

Sungchan melupakan sopan santun yang telah di ajarkan oleh kedua orang tuanya. Di keluarganya harus menggunakan embel-embel 'abang-adek' agar saling menghargai satu sama lain. Dan jika melanggar akan di tegur bahkan sampai di hukum.

Terlebih lagi Sungchan dan Beomgyu, saudara kembar tapi wajahnya sedikit berbeda. Taeyong selalu membiasakan Sungchan dan Beomgyu untuk menggunakan kata 'abang-adek' di rumah maupun di luar rumah. Memanggil dengan nama sebenarnya tidak masalah, hanya saja kurang sopan, kalau kata Taeyong.

"Ish! Iya-iya maaf."

"Pulang nanti aku cepuin! Wleee.." Beomgyu menjulurkan lidahnya.

"Eh- pak Kim datang!" Sungchan beranjak dan berlari meninggalkan Beomgyu.

Beomgyu menggerutu. Lalu selanjutnya merengek. "ABANG!!"

•••

Sesuai dengan rencana, Beomgyu dan Sungchan turun di rumah sakit. Banyak orang berlalu lalang disini, membuat keduanya takut. Apalagi ada mobil ambulans yang baru saja datang dan mengeluarkan pasien dari sana.

Dengan cepat Sungchan menutupi mata Beomgyu. Sejak tadi Beomgyu sudah menutup kedua telinganya dengan tangannya sendiri, Beomgyu punya rasa takut dengan sirine.  Jika mendengarnya bisa membuat dirinya takut bahkan sampai menangis.

"Abang takut"

"Kita masuk ke dalam mobil lagi aja, yuk. Lagi pula kita ga tau letak kamar taro dimana."

Beomgyu memilih diam sambil mengangguk. Suara bising sirine dan suara orang-orang panik menggema di telinga, hingga membuatnya cemas.

Sungchan membuka pintu mobil dan menaikkan Beomgyu lebih dulu. saat hendak dirinya yang naik, tiba-tiba ia melihat bayangan seseorang yang ia kenali.

"Jeno, ayo cepat!" Sayup-sayup terdengar pembicaraan itu.

"Bang Jeno?" Gumam Sungchan kala melihat lelaki remaja yang baru sampai di parkiran rumah sakit dengan menggunakan sepeda.

Beomgyu melihat Sungchan yang masih berdiri di pintu mobil. "Abang?"

"BANG JENO!"

Teriakan Sungchan membuat Beomgyu dan supir terkejut. Beomgyu menggeser diri untuk lebih dekat dengan Sungchan.

"Adek! Abang liat bang Jeno! Cepet kita kejar!" Sungchan menarik lengan Beomgyu dan membawanya berlari ke dalam.

Beomgyu tengah mencoba menenangkan dirinya karena sayup-sayup mendengar suara tangisan, suara langkah kaki, suara sirine yang datang bersamaan memenuhi pendengaran Beomgyu. Terlebih lagi ia harus melihat orang-orang sakit di sekitarnya. Apalagi mencium aroma obat, yang membuatnya sedikit pening.

"Adek tatap kedepan, jangan liat apapun." Ucap Sungchan yang terus berlari mengejar Jeno.

Tibalah mereka, Jeno duduk di depan ruangan dimana Shotaro dirawat, sedang Jaemin memilih masuk ke dalam. "Abang!" Nafas Sungchan tersengal-sengal.

Jeno tidak bisa untuk tidak terkejut melihat kedua adik bungsunya berada di rumah sakit. "Kalian ngapain disini? Pergi sama siapa? Ga sekolah kalian?"

Jeno merendahkan sedikit tubuhnya untuk mengusap kepala Beomgyu dan juga Sungchan. Terlihat begitu lelah, Jeno pun membawa keduanya duduk di bangku.

"Adek pengen jenguk sahabat adek." Ucap Beomgyu.

Jeno tersenyum sendu, "iya, nanti ya? Tunggu kak Jaemin keluar dulu, baru minta izin buat jenguk."

Beomgyu mengangguk. Sungchan menundukkan kepalanya, karena belum boleh melihat keadaan Shotaro. Ia begitu cemas dari tadi, ingin cepat-cepat melihat kondisi Shotaro.

"Abang kenapa? Kok sedih gitu?" Tanya Beomgyu pada Sungchan yang duduk di sebelah kanannya.

Sungchan menoleh, lalu tersenyum tipis. "Gapapa kok."

"Kalian sama siapa kemari?" Tanya Jeno.

"Sama supir, bang." Jawab Sungchan

"Terus sekolah? Kalian bolos?"

Kali ini Beomgyu menggeleng, "enggak! Tadi disekolah guru rapat, jadi di pulangin deh."

Jeno menghela nafasnya lega, "kirain kalian bolos, ya ampun hampir aja kalian di marahin bubu."

"Bang Jeno sendiri kenapa ga sekolah?" Tanya Sungchan.

"Hayoloh.. Abang bolos ya? Adek cepuin ke Bubu ntar!"

"Heh bocil! Gausah banyak bacot, ntar Abang beliin es krim."

"Yeay!"

🍃🍃 MALAIKAT AYAH🍃🍃












Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 443K 52
-jangan lupa follow sebelum membaca- Aster tidak menyangka bahwa pacar yang dulu hanya memanfaatkannya, kini berubah obsesif padanya. Jika resikonya...
1.1M 8.4K 40
hanya cerita random berbau kotor KK.
475K 43.4K 95
Takdir kita Tuhan yang tulis, jadi mari jalani hidup seperti seharusnya.
193K 15.8K 19
๐Ÿ‡๐Ÿ‡๐Ÿ‡