LEORA ZARIN [END]

By Hamidaaa_11

646K 23.7K 604

PART MASIH LENGKAP!!!! HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! "Ayas lo udah mati!" "Kamu gak pernah mati Ayas, kamu... More

Prolog
1
2
3
5
6
7
8
9
Cast
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
Epilog
Ada yang mau cek?
Extra Part

4

8.3K 393 5
By Hamidaaa_11


Seorang gadis duduk disebuah ayunan dengan seorang lelaki seumuran dengannya mendorong ayunan dari belakang. Wajah keduanya nampak bahagia. Sesekali sang gadis tersipu kala sang lelaki melemparkan rayuan.

Lelaki itu berhenti mendorong ayunan lalu berjongkok dihadapan gadis itu. Ia mendongkak guna menatap wajah cantik gadis-nya.

"Kamu tambah cantik kalo senyum kayak gini" ujarnya sambil membelai lembut pipi gadis itu.

Gadis itu menaikkan sebelah alisnya "Jadi kalo gak senyum gak cantik nih?"

Lelaki itu terkekeh "kamu slalu cantik dalam ekspresi apapun, tapi aku lebih suka kamu senyum kayak gini."

"Janji sama aku buat terus senyum kayak gini oke?"

"Iya aku janji. Selama kamu selalu ada disampingku, aku pasti akan selalu tersenyum."

"Good girl," lelaki itu menatap kedua manik mata indah itu, membelai pipinya lembut, beralih menarik dagunya, lalu mengecup bibir manis milik gadis-nya singkat.

"I love you, Eora."

"I love you too, Ayas."

☁️☁️☁️☁️☁️

Zarin berjalan jalan ditrotoar. Ia berniat pergi kesupermarket yang berada didekat rumahnya. Zarin ingin membeli beberapa camilan. Padahal ia sudah makan malam satu jam yang lalu. Tapi entah mengapa ia kembali merasa lapar.

Setelah mendapat izin dari Bunda Hana, Zarin langsung keluar sebelum Bunda Hana berubah pikiran. Sangat susah bagi Zarin keluar malam, Bunda nya selalu melarang dengan alasan takut anak gadis nya kenapa napa.

Yaa begitulah orangtua, Namun Zarin mengerti mengapa Bunda nya bersikap seperti itu. Hanya dia yang yang Bunda Hana miliki. Sedangkan Ayah Zarin sudah meninggal sejak Zarin duduk dibangku SD karna sakit. Bunda nya hanya takut kehilangan nya terlebih kondisinya akhir akhir ini.

Mata Zarin berbinar melihat banyak camilan berjejer dirak. Ia sangat suka makan. Apapun tentang makanan ia sangat suka. Namun yang menjadi kebanyakan orang iri adalah sebanyak apapun Zarin makan, badannya tetap terlihat ramping. Ah, impian semua orang bukan?

Zarin berhasil mendapatkan camilan yang dia inginkan. Senyumnya merekah sambil berjalan dengan tangan kiri menenteng kantong belanjaannya. Ia akan segera pulang sebelum Hana khawatir padanya.

"Panjang umur" batin Zarin.

Baru saja ia memikirkan Bunda-nya, tiba tiba saja handphone nya bergetar. Zarin merogoh sakunya mengeluarkan handphone dari sana. Senyumnya merekah, ia sudah menduga bunda-nya yang menelpon.

"Halo Bunda?"

"Halo Arin? Kamu dimana? Udah belom belanjanya? Kok lama banget?"

"Yaampun Bundaaa, kalo nanya pelan pelan dong! Arin bingung mau jawab yang mana dulu" Gerutu Zarin ketika Bunda-nya langsung menyerbu dengan beberapa pertanyaan.

Bunda Hana terkekeh dibalik telepon "hehe iya maaf maaf, bunda cuma khawatir sama kamu."

Zarin tersenyum "Iyaa, Arin udah selesai kok, ini lagi jalan pulang."

"Syukurlah, cepatlah pulang dan hati hati dijalan oke?"

"Oke Bun, Arin tutup dulu yaa telepon nya. Love you"

"Love you too sayang"

See? Baru satu jam Zarin keluar dari rumah Bundanya sudah mengkhawatirkan anak gadisnya itu. Zarin menghela nafas lalu memasukkan handphone nya kedalam saku celananya sambil melangkah menyebrangi jalan.

TIIINNNN!!!!!

Zarin terkejut, melepaskan tautan tangannya pada belanjaan. Lalu ia berjongkok memeluk kedua kakinya. Tubuh Zarin bergetar hebat. Ia menutup telinganya, menggelengkan kepalanya berulang kali. Zarin memejamkan matanya yang mulai memanas.

"Lo gapapa?"

Zarin membeku. Ia mendengar suara yang familiar yang kini sangat ia rindukan.

"Sorry, gue tadi kaget karna lo tiba tiba aja nyebrang."

Zarin membuka matanya. Lalu ia berdiri dengan kepalanya yang masih menunduk. Sebagian rambutnya menutupi wajahnya.

"Sekali lagi ma-"

Zarin mendongkak karna lelaki dihadapannya ini lebih tinggi darinya.

"LO!"

Ekspresi terkejut Zevan mendapati orang yang hampir ia tabrak ternyata Zarin.
Zevan merubah ekspresinya menjadi datar dan menatap Zarin dingin.

Sedang Zarin membalas tatapan itu dengan senyum manisnya. Ia hendak berbicara namun Zevan terlebih dahulu menyela.

"Nyesel banget gue."

"Hah?"

Zarin menatap heran Zevan, apakah Zevan menyesal karna sikapnya slama ini. Zarin semakin tersenyum manis, jika iya Zevan menyesal mungkin hubungan nya dengan Zevan akan membaik setelah ini. Namun detik berikutnya Zevan tersenyum miring.

"Nyesel gak nabrak lo aja sampe lo mati."

Deg!

Pikiran Zarin yang semula positif tiba tiba saja hancur. Lagi, hatinya terasa diremas kuat kuat oleh perkatan Zevan. Ia menutup matanya sebentar lalu menghembuskan nafas pelan guna agar ia tak menangis.

"Segitunya yaa kamu pengen aku mati?" Tanya Zarin dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Iya."

Zarin meremas bajunya. Menatap Zevan dengan mata berkaca kaca. "Kenapa kamu pengen aku mati?"

"Karna pengkhianat sampah kayak lo gak ada guna nya buat hidup." Ucap Zevan dengan santai.

Zarin menghapus air matanya kasar. Lalu tersenyum manis. "Oke, kalo itu emang bikin kamu bahagia. Lambat laun....aku juga bakal mati ko."

"Baguslah." Jawab Zevan acuh tanpa memikirkan perasaan Zarin yang sudah hancur berkeping keping.

Zevan berjalan menuju motor sport nya. Memakai helm lalu melajukan motor itu meninggalkan Zarin yang tak melepaskan tatapannya pada Zevan.

"Ayas semoga sebelum aku mati, kamu udah tau kebenarannya." Lirih Zarin menatap kepergian Zevan dengan luka baru yang kembali lelaki itu torehkan.

☁️☁️☁️☁️☁️

"BNGSAT!!"

"ANJ-"

"GBL*K"

Terdengar umpatan dari para lelaki yang tengah berkumpul dirung tengah, bahkan Delon sampai melemparkan stik playstation yang sedang ia pegang. Bagaimana tidak, Zevan tiba tiba saja datang lalu membanting pintu apartemen milik Gerry. Terlihat wajahnya yang memerah menahan amarah.

Zevan mengacuhkan tatapan kesal para sahabatnya. Ia beralih duduk sambil tangannya terus mengepal kuat. Kejadian ia bertemu dengan Zarin tadi membuat Zevan emosi sekaligus khawatir.

Bagaimanapun, Zevan masih memiliki rasa pada Zarin. Dan tadi itu apa? Zarin bersedia mati demi dirinya? Tidak. Zevan tau bahwa Zarin hanya membual. Zarin bukan gadis bodoh yang akan berbuat hal yang menyakiti dirinya apalagi sampai menyakiti dirinya.

"Kenapa lo?" Tanya Arka dengan tangan tak berhenti memainkan stik playstation ditangannya. Sesekali ia melirik Zevan karna tak kunjung mendapat jawaban.

"Tau! Kek orang kerasukan aja lo!" Ucap Delon kesal kalah bertarung dengan Arka karna ia melemparkan stik playstation nya tadi. Semua ini gara gara Zevan.

"Kerasukan simanis jembatan ancol kali nih anak," Alden berucap asal mengambil alih bermain game menggantikan Delon.

"Yee lo mah! Mana ada simanis jembatan ancol keliatan sangar gitu." Arka melirik Zevan lagi. Lelaki itu hanya diam.

"Iya! Mana ada lagian kan dari rumah Zevan kesini gak ngelewatin jembatan simanis bro," sambung Delon menyetujui ucapan Arka.

"Lagian nih ya, kalo kerasukan simanis yang ada itu bukan sangar tapi malah jadi kayak gini" ujar Arka sambil memperagakan tangannya layaknya seorang waria.

Alden tergelak begitupun dengan Delon dan Arka. Sedangkan Gerry yang sedang membaringkan tubuhnya di sofa hanya menyimak dan menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.

"Berisik!" Zevan berucap dengan nada dingin membuat Alden, Arka dan Delon menelan salivanya. Mereka tau jika nada bicara Zevan seperti itu maka bisa dipastikan Zevan sedang marah.

Tak ada lagi yang berani berucap setelah Zevan menghujami tatapan mematikan pada sahabat sahabatnya itu. Lalu ia beranjak menuju toilet.

Zevan membasuh wajahnya lalu menatap dirinya dicermin.

"Apa tadi gue keterlaluan?"

Zevan menggeleng. "Tidak! Buat apa gue peduli? Inget Zev, dia udah ngekhianatin lo. Stop mikirin dia."

Tatapannya menajam. Tanpa ia tahu bahwa segala ucapan nya mungkin saja akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.

☁️☁️☁️☁️☁️

Tak ada yang tidak mungkin didunia ini. Jika saja keajaiban memang benar adanya lantas mengapa kita tidak yakin saja? Keajaiban tuhan yang sering kita lupakan. Tanpa kita sadari keajaiban dari tuhan lah yang membuat kita merasakan hidup didunia ini. Indah maupun tidak itu berada dalam rencana-Nya. Tugas kita hanyalah bersabar, berserah diri, yakin atas ketetapan-Nya. Percaya bahwa rencana Tuhan lebih indah dari yang kita kira.

Menangislah, ketika itu diperlukan. Kita hanya manusia lemah dihadapan Tuhan. Tidak akan menjadi pengecut hanya karna menangis. Tidak ada pula manusia yang sempurna. Manusia diciptakan dengan masing masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Selebihnya bagaimana hidup yang kita jalani itu mengikuti garis takdir yang sudah Tuhan rencanakan jauh sebelum kita terlahir didunia ini.

Tangisan nya tak kunjung reda. Beberapa kali ia berusaha menahan agar air matanya tidak keluar lagi. Sulit baginya. Menerima takdir yang digariskan untuknya. Terlebih orang yang dicintainya memilih pergi dan tidak percaya padanya. Alasan nya bertahan berkurang. Semangatnya menipis.

"Nyesel gue gak nabrak lo sampe mati."

"Segitunya yaa kamu pengen aku mati?" Tanya Zarin dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Iya."

Zarin meremas bajunya. Menatap Zevan dengan mata berkaca kaca. "Kenapa kamu pengen aku mati?"

"Karna pengkhianat sampah kayak lo gak ada guna nya buat hidup." Ucap Zevan dengan santai.

Zarin menghapus air matanya kasar. Lalu tersenyum manis. "Oke, kalo itu emang bikin kamu bahagia. Lambat laun....aku juga bakal mati ko."

Tiba tiba saja Zarin teringat kejadian tadi dimana ia hampir tertabrak oleh Zevan. Hatinya hancur mengingat pada nyatanya Zevan sudah tak lagi menginginkannya. Zevan yang selalu lembut, hangat, perhatian, peduli terhadanya kini sudah tidak ada. Bahkan sekarang tidak ada lagi senyuman manis lelaki itu untuk Zarin.

"Kamu bener bener pengen aku gak ada didunia ini Yas?" Zarin bermonolog. "Andai Ayas tau kalo Eora bentar lagi juga bakal mati." Air mata kembali membasahi pipi Zarin.

Zarin menatap membosankan pada obat dihadapannya. Setiap hari. Sebut saja hidupnya bergantung pada obat. Ia muak. Ia benci hidupnya.

"Sayang, kok belum dimakan obatnya?"

Suara nan lembut itu masuk keindra pendengarannya. Ia menoleh mendapati wanita yang paling ia cintai tengah menatapnya penuh kasih sayang. Ah, ia lupa hanya ini satu satunya alasan kenapa ia masih mempunyai semangat.

"Ayo diminum dulu obatnya,"

"Bunda?" Panggilnya terdengar sangat lirih.

"Iya sayang?" Tangan itu beralih mengelus rambut panjang sepunggung milik anak nya.

"Apa Arin bisa sembuh?"

Pertanyaan itu selalu berulang kali putrinya tanyakan. "Bisa sayang, kamu pasti sembuh." Jawab Hana dengan tenang, tak ingin menangis dihadapan Zarin.

"Arin cape Bunda." Ucap Zarin menyandarkan kepalanya dibahu sang Bunda.

"Bunda ngerti, tapi kamu harus tetep semangat ya," Mata Hana mulai berkaca kaca.

"Arin pengen berhenti minum obat bun, " Tanya Arin memegang tangan Hana yang sedari tadi mengelus rambutnya.

"Gak boleh sayang, inget kata Uncle Evan hm?" Hana membalas genggaman Arin. Menengadahkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh. Bagaimanapun, ia harus terlihat kuat dihadapan Zarin. Putri semata wayangnya.

"Maafin Arin ya bun, Arin udah jadi beban buat Bunda. Bikin Bunda repot harus anterin Arin bulak balik rumah sakit." Tangisnya tertahan. Zarin tidak ingin Hana melihat air matanya atau akan berakhir dengan Hana ikut menangis dengannya. Zarin benci melihat Bunda-nya menangis.

"Hush, kamu gak boleh ngomong gitu sayang. Kamu bukan beban Bunda, justru Bunda bersyukur karna mempunyai anak yang kuat seperti kamu. Dengerin Bunda-," Hana menangkup wajah Zarin menatap dalam dua manik indah itu.

"Jika kamu merasa kamu adalah orang yang paling menderita didunia ini, maka kamu salah sayang. Justru Tuhan begitu baik karna ingin menguji seberapa kuat kamu menghadapi ini semua. Tuhan sayang sama kamu, begitupun dengan Bunda dan Ayah. Kamu bukan sama sekali beban, Bunda ngerasa sakit waktu kamu bilang gitu."

"Tetap semangat ya sayang, jangan pernah menyerah. Tetap bertahan yaa, Bunda cuma punya kamu. Bunda gak mau kehilangan kamu." Tutur Hana memaksakan kedua sudut bibirnya terangkat.

Ada ketakutan besar bagi keduanya. Ketakutan dengan apa yang akan ia hadapi kedepannya. Hana takut kehilangan, Zarin takut meninggalkan.

Tidak ada yang tau soal ini. Hanya mereka berdua. Zarin tak pernah bercerita pada siapapun termasuk Zevan  ataupun Elea.  Zarin takut jika mereka tahu, maka mereka akan berbelas kasihan padanya. Zarin tidak mau itu terjadi.

Setelah Hana membujuk Zarin untuk meminum obat, sekarang Zarin tertidur dengan kepala dipangkuan Hana.

Hana menatap sendu anak tercintanya. Ingatannya kembali pada 6 bulan lalu, dimana itu pertama kali Hana mengetahui penyakit Zarin. Hatinya hancur saat itu. Bohong jika Hana tidak takut. Hana sangat ketakutan saat itu.

Ia berjuang sendirian. Mencari pengobatan terbaik bagi putrinya. Ia takut. Ia hancur. Sama halnya saat ia kehilangan suaminya. Zarin putri semata wayang yang sangat ia cintai harus bertahan dan harus bisa sembuh dan harus selalu ada disisinya selamanya.

Dengan hati hati Hana memindahkan Zarin pada bantal lalu menyelimuti anaknya. Hana menatap lekat Zarin yang sudah tertidur lalu mengecup dahi sang putri dengan penuh cinta.

Hana menutup pintu kamar Zarin dengan pelan. Lalu ia bersandar pada pintu itu. Pertahanan nya luruh, tangis Hana pecah tanpa suara. Ia memukul mukul dadanya yang terasa sesak.

☁☁☁☁☁
.
.
.
.
.

Vote dan comment jangan lupa!
Lovyu badag 💋

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.9M 228K 28
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
2.4M 132K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
3.7M 295K 49
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
618K 65K 39
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...