Zahin to Robin

By fsna_17

62.8K 5.4K 6.3K

Bagaimana jika cowok berumur 17 tahun memiliki baby sitter? Dan baby sitter itu ternyata seusia majikannya? A... More

PROLOG
ROBIN BRATABARA
ZAHIN
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31
BAGIAN 32
BAGIAN 33
BAGIAN 34
BAGIAN 35
BAGIAN 36
BAGIAN 37
BAGIAN 38
BAGIAN 40
BAGIAN 41

BAGIAN 39

270 23 18
By fsna_17

÷÷÷

Robin menghampiri kamar Mamanya dengan perasaan lega setelah mendengarkan suara kekasihnya. Senyumnya terbit begitu saja jika mengingat gadis polos itu.

"Ma ... "

Tangannya terhenti membuka kenop pintu sebab ia mendengarkan perbincangan Mamanya dengan seseorang.

Bibirnya sedikit naik ke atas, sepertinya telinganya harus dibersihkan. Keliatan sekali jika Mamanya tak memanggilnya, tau gitu ia malanjutakan obrolannya dengan Zahin.

Belum juga berbalik badan, kakinya terhenti dengan sendirinya saat perbincangan mereka menyebut namanya.

"Lo serius nerima hubungan Robin sama cewek itu? Seriously? Like not you."

Dia mendengar perbincangan mereka, namun ia ingin lebih memastikan jika yang di dengarnya adalah salah. Robin tak mau salah paham karena tidak mendangar secara keseluruhan.

"Ck, kalaupun gue mati juga nggak akan nerima cewek itu. Sekali nggak ya nggak."

Matanya meredup, ulu hatinya terasa nyeri. Sebegitu benci kah Hazel dengan Zahin. Ia bahkan tak tau bagaimana sifat, kelakuan, dan perasaan Zahin. Mamanya hanya menilai orang dari kekayaan yang dipunya.

"Terus lo bohongin anak lo sendiri?"

"Eum... Yep, tapi ini untuk kebaikannya. Demi kebahagiannya."

Matanya memanas secara tiba-tiba, amarah, kecewa terkelubung menjadi satu. Dadanya sesak sesaat mendengarkan kata demi kata yang terlontar di bibir Mamanya.

Kebaikannya, jika benar untuk kebaikannya kenapa detik ini juga ia merasa sakit, saat ini Robin sedang tidak baik-baik saja.

Jika memang untuk kebahagiannya, kenapa ia tak bahagia. Justru kecewa yang didapatanya, sebenarnya ini untuk kebahagiannya atau kebahagiannya Mamanya.

Ada rasa dimana ia merasa bodoh mempercayai Hazel, padahal dia sering di tipu dengan hal yang hampir serupa namun tetap saja Robin percaya. Apakah salah mempercayai seorang ibu?

Punggung tangannya secara bergantian bergerak menghapus jejak air di wajahnya. Berbarengan dengan langkah kaki yang bergerak cepat walaupun tak tau akan tempat tujuannya. Ia hanya ingin menjauh dari Hazel, ibu kandungnya.

Dari yang tadinya berjalan, hingga akhirnya berlari. Sekelebat detik ia teringat Zahin, detik itu pula ia tau tujuannya terus bergerak.

Robin bergegas mengutak-atik ponselnya. Padahal biasanya ia mudah menggunakan benda elektronik ini, tapi entah kenapa sekarang untuk mencari nomor Zahin saja seperti mencari nomor yang tidak dinamai.

"Za... hin a-ku ma-u pu-lang," katanya dengan ponsel ditelinga, dengan suara tersendat-sendat layaknya orang yang habis berlari.

"Hah? suara kamu nggak jelas? kamu bilang pulang? beneran pu-lang? pulang ke sini?" tanya balik gadis itu.

Memang wajar jika ia tak dengar, banyak mobil berlalu lalang tak tentu arah. Belum lagi hiruk pikuk kehidupan manusia yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Di tambah suara Robin yang pelan.

"Tungguin aku," katanya dengan suara yang sama.

"Love you... " tutur Robin lirih.

Zahin tak mendengar perkataan Robin, kata terakhir ini lebih pelan lagi.

"Halo?"

"Robin?"

Sekarang Zahin benar-benar tak mendengarakan suara Robin. Kini, suara yang jelas adalah langkah kaki, juga kebisingan kota.

"Robin? kamu dengar suara aku nggak? Robin!"

Karena tak mendengar suara Robin lagi, Zahin memutuskan untuk berdiri dan melompat di kasurnya. Berpikir jika sinyalnya jelek maka harus mencari tempat yang lebih tinggi, Ben sering berkata jika di daerah ini memang sinyalnya tidak kuat.

"Robin! Robinnn!" teriaknya.

Ponselnya sedang mode loadspeaker jadi walaupun ponselnya jauh dari telinga. Ia tetap mendengar kebisingan di tempat Robin.

Tin! tin! tin! tin!

Klakson mobil kini mendominasi. Entah berapa kali berbunyi, hingga akhirnya terhenti dan digantikan dengan suara banyak benturan. Seperti benturan mobil...

Zahin berhenti melompat, perasaan aneh menghampirinya. Dia terdiam, mematung. Mencoba melempar jauh-jauh imajinasi liar di otaknya.

Robin baik-baik aja, batin Zahin.

Hingga akhirnya tersadar saat ada suara benda jatuh, lalu smartphone yang tadinya terhubung dengan Robin terputus.

Belum genap satu menit, ponselnya kembali menyala. Tentu saja Zahin berharap Robin menghubunginya lagi. Namun nihil, ternyata Ben yang menelepon. Dengan bibir yang ditekuk ke bawah Zahin menjawab panggilannya.

"Halo?"

"Tunggu di situ. Jangan matiin telponnya. Jangan pikir macem-macem. Robin nggak papa."

Jantungnya berpacu lebih cepat. Kenapa Ben tiba-tiba membahas Robin, padahal ia tak mengatakan apa-apa. Kenapa dia menyuruhnya untuk tidak berpikir macam-macam, apa pikiran negatifnya benar?

Ponselnya terjatuh, meluncur begitu saja dari samping telinga ke lantai. Matanya melamun menatap layar benda persegi panjang itu. Tadinya ia sedang bertukar cerita dengan Robin, namun sekarang berganti dengan ucapan khawatir Ben.

"Robin baik-baik aja," katanya bagai mantra, diucapkan berkali-kali bagaikan panjatan doa.

Tubuhnya diam, membeku. Namun otaknya berkeliaran ke arah yang tak seharusnya, sekeras apapun ia mencoba untuk berpikir positif nyatanya itu hanya sebagai bualan lidah saja.

Bibirnya berkata Robin baik-baik saja. Namun otak dan hatinya berbeda.

"Kamu beneran pulang kan?" tanya nya entah pada siapa.

~|•|~

Sekarang Ben sedang bersama Zahin di mobil. Ia ingin pergi ke rumah Zina untuk memastikan sendiri jika Robin tidak kenapa-kenapa.

Menurut Zahin jika terjadi sesuatu pada Robin, Hazel pasti akan mengabari Zina. Bahkan jika ia tidak mengabari teman Robin itu, setidaknya Zahin bisa meminta nomornya.

Ben dengan senang hati menemani Zahin. Justru akan menjadi masalah jika Ben tidak menemani temannya itu. Apalagi dia berurusan dengan Zina.

Saat ini, Zahin hanya menatap ponsel yang ada di pangkuannya. Menunggu panggilan dari seseorang. Sebelum menunggu ia juga berharap Robin mengangkat panggilannya.

Jadi seperti ini rasanya menelepon berkai-kali namun seseorang yang di ingin didengar suaranya mematikan ponselnya. Pantas saja Robin ngomel, ia merindukan omelan panjang itu.

"Apa jangan-jangan Robin juga mau ponselnya banyak pesan kaya aku?"

Tiba-tiba saja otaknya memiliki celah untuk berpikir positif, namun opini itu tak bertahan lama. Dia segera menggeleng-gelengkan kepala.

"Tapi nggak mungkin Robin mau buat aku khawatir berjam-jam."

Ponsel Ben tiba-tiba saja mengeluarkan notifikasi telepon dari Rivan. Ben melihat Zahin sebentar, gadis itu masih menatap gadget-nya setelah tadi mengoceh sendiri.

Ben menaruh earpiece di telinganya. Lalu menjawab panggilan itu.

"Lu lagi sama Zahin?" katanya terburu-buru. Sebenarnya Rivan ingin mengabari Zahin, namun ia takut salah bicara. Alhasil dia memutuskan untuk memberi tau Ben dulu. Toh mereka sering bersama.

"Iya."

"Nggak di loadspeaker kan?"

"Ga."

Helaan nafas Rivan terdengar jelas. Dia seperti sedang meredakan tangisannya, tak lupa menghela nafas untuk merileksasikan diri. Sedangkan Ben hanya menunggu Rivan mengutarakan apa yang ingin disampaikannya.

"Ben, Robin... Ro-bin, Robin udah..."

Perasaan buruk yang mengacu pada Robin ternyata seburuk itu. Ia tak menduga akan ini semua, lebih buruknya lagi dia tak bisa memberi tau Robin untuk lebih hati-hati, rasa penyesalan memang selalu datang di akhir. Sekarang Ben tak tau bagaimana menghadapi Zahin.

Ben menatap Zahin, posisi gadis itu masih sama. Diam, menunduk-menunggu kabar. Sedangkan Rivan masih berkata banyak hal, bahkan isak tangisannya sekarang terdengar.

Ben meminggirkan mobilnya, di luar dugaan Zahin langsung tersadar dari lamunan panjangnya. Dia menatap Ben penuh tanda tanya.

"Kenapa berhenti? buruan jalan kita mau tau kabar Robin kan? entar kalo Zina udah keluar kita susah carinya."

Ben terdiam tak tau harus berkata apa. Secepat apapun mereka jalan, kabar dari Robin tak akan berubah. Justru jika diprcepat, Zahin yang akan terluka.

Ben tak tau cara menyampaikannya mulai darimana, ia tak bisa berbasa-basi. Tapi tak mungkin juga dia langsung to the point. Zahin tak akan siap, baik fisik maupun mental. Saat ini ia hanya menatap Zahin dengan tatapan sendu.

Zahin memperhatikan tatapan Ben. Entah kenapa matanya ingin menangis, sudut bibirnya turun, begitu pula dengan pundaknya.

Ben memejamkan matanya cukup lama, air matanya jatuh. Detik itu pula Zahin cukup tau dengan kondisi Robin saat ini.

"Ben kenapa nangis?... Ben kenapa diam aja?! JALAN!" teriaknya tak mau percaya dengan otak liarnya. Dia bahkan mencoba memegang kemudi mobil, namun dengan sigap Ben memeluknya.

"BEN AYO JALAN! ROBIN NUNGGUIN AKU!!" ucapnya sambil memukul dada Ben berkali-kali, dari keras hingga pukulannya melemah begitu pula dengan kicauan suaranya. Sedangkan Ben mencoba memeluknya lebih erat, tak mau tangan Zahin terluka karena memukulnya.

Ben baru pertama kali melihat Zahin berteriak seperti ini. Dari sini ia tau seberapa pentingnya Robin di hidup Zahin, padahal bisa dikatakan Zahin belum lama mengenal Robin.

Isak tangisnya memang tak terdengar karena dia hanya mengatakan kalimat itu tanpa henti, bagaikan radio rusak.

"Dia bilang mau pulang..." katanya pelan. Tubuhnya bahkan melemah, jika Ben tak memeluknya mungkin dia akan jatuh.

"Iya dia udah pulang," tutur Ben dengan berat hati.

"NGGAK! ROBIN NGGAK AKAN TINGGALIN AKU!" Zahin mencoba memberontak lagi, namun pelukan Ben lebih kuat.

Hingga akhirnya hanya tangisan yang terdengar. Tangisan itu bercampur dengan kata-kata tak jelas. Zahin memegang Dadanya yang mulai sesak.

Ben melonggarkan dekapannya, selain untuk mengurangi rasa sesak dia juga tau Zahin tak akan memberontak lagi. Gadis itu sudah tidak memiliki tenaga lebih.

Tepat di hari ini, adalah hari dimana Zahin paling jatuh, sejatuh-jatuhnya. Entah dia bisa bangkit atau tidak, entah dia punya tenaga Lagi untuk hidup seperti sebelumnya atau tidak.

"Ro-bin... Ro... bin ng-gak akan ting-ga...lin aku..."

"Nggak, Ro-bin... nggak..."

"Robin... "

Tangan yang tadinya ada di dadanya terjatuh begitu saja. Matanya terpejam, kepalanya meringkuk di dada Ben.

"Zahin?"

****
Akhirnya update wkwkw
Ada yang kuliah?
Gimana nilainya

Aku usahain updatenya ga lama
Soalnya part ini agak-agak nyesek
Tandain typo nya ya,

Gomawo yeorobun
Udah mau baca cerita ini
💕🙈

Continue Reading

You'll Also Like

160K 4.2K 30
Orion berada di perjalanan, berjuang demi mengharumkan nama jurusan Bahasa yang dianggap sebelah mata di SMA Nusa Cendekia. Namun, di tengah itu semu...