Sweet Chaos | NamJin

By christalalice

24.4K 3.4K 502

Bagi Seokjin, Namjoon adalah orang yang menyebalkan. Bahkan sejak pertemuan pertama mereka. More

Part 1: Don't You Dare
Part 2: I Knew You Were Trouble
Part 3: Cruel Summer
Part 4: Fearless
Part 5: Stay
Part 6: Stuck With U
Part 7: Tolerate it
Part 8: Going Crazy
Part 9: Don't Fight the Feeling
Part 10: He Could Be
Part 12: Bad Vibrations
Part 13: What If
Part 14: Need to Calm Down
Part 15: Trick or Treat
Part 16: Take it Futher
Part 17: Faded
Part 18: Get It
Part 19: Diggity
Part 20: Connected
Part 21: Time Out

Part 11: Sour Grapes

966 168 46
By christalalice


Namjoon masih tidak menurunkan senjatanya, "Kau menghilang begitu saja."

"Ya begitulah." Hoseok menggedikkan bahu. "Aku hanya sedang me time. Mungkin kau mengerti apa yang kumaksud. Taehyung berulang kali membuatku kepayahan dan terus menekanku untuk mengambil tugas lain. Aku bahkan tidak yakin ingin bertahan lebih lama dalam pekerjaan ini dan─"

"Bagaimana bisa mereka mengetahui tentang Seokjin? Dan mengapa penyamaranmu bisa terbongkar?"

Hoseok tersentak seakan-akan tubuhnya baru saja tersengat listrik. "Apa maksudmu? Penyamaranku tidak terbongkar." Dia bangkit berdiri dan melangkah ke hadapan Namjoon. Lalu berdiri tepat di depan pistol yang masih membidik ke arahnya. "Kita sudah cukup lama bersahabat, dan aku ingin tahu mengapa kau menodongkan pistol ini ke arahku?"

"Aku juga ingin tahu mengapa kau masuk ke kantorku?"

"Bukankah aku sudah mengatakannya?" Hoseok menatap Namjoon datar dari balik lensa kacamatanya. "Aku sedang me time. Taehyung selalu melacak aktivitas onlineku. Kau tahu si keparat itu sering melakukannya untuk mengawasiku, jadi kupikir jika aku datang ke sini─ke kantormu, itu akan terlihat seolah-olah kaulah yang sedang online." Dia menghela napas dan membenahi letak kacamata di pangkal hidungnya. "Nah sekarang jelaskan padaku, apa maksudmu tentang Seokjin?"

"Kau tahu persis apa yang kumaksud! Kau mengirimiku pesan teks dan memintaku untuk melindunginya!"

Sebuah kerutan samar muncul di dahi Hoseok, "Aku tidak mengirimimu pesan apa pun," jawab Hoseok pelan. "Sudah kukatakan, aku sedang me time. Aku bahkan belum menyentuh ponselku sejak berhari-hari lalu. Aku bahkan tidak membawanya dalam misi. Aku meninggalkan benda itu di kantorku. Jadi maaf, aku tidak mengirimimu pesan apa pun."

"Kau bilang penyamaranmu terbongkar."

Hoseok menggelengkan kepalanya, "Tidak."

"Kau memintaku untuk melindungi Seokjin!"

Sekali lagi, hanya gelengan negatif yang Namjoon dapatkan dari Hoseok. "Aku tidak pernah menghubungimu tentang Seokjin."

Ketegangan mengalir menguasai tubuh Namjoon. Jika bukan Hoseok yang mengubunginya, jadi siapa? "Apa kau tidak melihat berita di media? Kau belum mendengar apa yang terjadi?" Tanya Namjoon.

"Aku sedang offline dari semua hal. Ini adalah pertama kalinya aku berada di depan komputer. Ada beberapa keputusan besar yang harus kubuat. Aku offline karena suatu alasan. Sekarang katakana padaku, apa yang terjadi pada adikku!"

Namjoon menurunkan senjatanya. "Seseorang mencoba menembak Seokjin. Dan pelaku yang sama menyusup masuk ke rumahnya dan membuat kekacauan di sana."

Keping mata Hoseok melebar. "Seseorang menembak adikku? Apakah dia terluka? Astaga, apakah Seokjin tertembak?!"

"Aku ada di sana. Dia aman." Namjoon mengangguk kecil. "Aku menjaganya."

Hoseok meraih Namjoon dan menariknya ke dalam pelukan, "Terima kasih, Namjoon. Ya Tuhan, kau tahu betapa pentingnya dia bagiku. Jika sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku benar-benar akan gila."

Namjoon kaku. Terlalu tegang. "Tidak akan terjadi apa-apa padanya." Tidak dalam pengawasannya.

Hoseok mundur dan mengerutkan kening. "Lalu, di mana adikku?"

Namjoon berjalan menuju pintu. "Menunggu bersama para penjaga."

Hoseok bergegas mengikuti Namjoon dan saat sahabatnya itu membuka pintu, dia agak terkejut karena melihat begitu banyak penjaga yang berdiri di sana.

"Woah," gumam Hoseok. "Mereka ada di sini sepanjang waktu? Bagaimana kau tahu kalau aku ada di kantormu? Ck, padahal aku sudah berhati-hati dan memastikan tidak ada yang melihatku memasuki gedung ini."

Maka, itu sudah cukup menjelaskan mengapa alarm di ponselnya berbunyi. Karena tidak ada satu pun orang yang bisa masuk ke dalam kantornya ataupun mengakses komputernya kecuali dirinya dan Hoseok. "Aku tahu ada seseorang masuk ke kantorku karena aku memasang perangkat keamanan di sana." Sehingga tidak ada yang bisa mencuri rahasia apa pun yang dia punya di dalam sana.

Tidak satu pun.

Namjoon bergegas ke depan, "Kembalilah ke ruangan dan posisi kalian." Perintahnya kepada mereka semua. Dia melontarkan senyumnya pada mereka dan tertawa kecil. "Situasi telah terkendali. Salah satu bos kalian hanya lupa mengikuti protokol hingga membuat kita semua ketakutan setengah mati."

"Hei, sudah kubilang aku sedang me time." Gumam Hoseok. "Aku hanya mencoba─ "

"Hoseok!" suara kaget Seokjin menggema dan kemudian dia bergegas berlari. Seluruh wajah pemuda itu bersinar cerah saat dia menghampiri kakaknya.

Dia tidak berlari ke arahku. Namjoon menginginkan hal itu. Dia mengingikan Seokjin berlari ke arahnya seraya tersenyum cerah seperti yang pemuda itu lakukan pada Hoseok.

Namjoon melangkah ke samping. Menyingkir.

Seokjin berlari ke pelukan kakaknya dan memeluknya erat-erat. Lantas Hoseok membenamkan wajahnya di ceruk leher pemuda itu.

"Semua baik-baik saja?" Tanya Yoongi. Suaranya tampak sangat berhati-hati begitu pula dengan langkahnya.

Namjoon mengangguk. "Maaf. Aku tidak menyadari Hoseok yang akan masuk."

Lalu...

Hoseok tidak menghubunginya. Namjoon berusaha keras untuk menjaga ekspresi wajahnya untuk tidak menunjukkan betapa gugup dan cemasnya dia. Jika bukan Hoseok yang mengubunginya tentang Seokjin, maka itu berarti si pelaku yang sedang mereka cari yang telah melakukannya?

Pelaku sengaja menghubungi Namjoon tepat di tengah konferensi pers yang sangat penting. Bajingan itu sengaja memilih momen itu untuk membuatnya yakin bahwa Seokjin sedang diancam.

Tapi kenapa?

Hanya satu jawaban yang terlintas dalam benak Namjoon, dan itu bukanlah jawaban yang dia inginkan.

Si pelaku sedang melakukan semacam tes. Si pelaku menyerang Namjoon di tengah konferensi itu sehingga memaksa dirinya untuk memilih salah satu di antaranya.

Dan dia lebih memilih Seokjin.

"Jika kau tidak membutuhkanku, aku ingin berbicara dengan para penjaga," kata Yoongi. "Kecuali, ada hal lain yang perlu kuketahui?"

Namjoon memberikan kilatan lesung pipinya, "Kami baik-baik saja."

Yoongi mengangguk cepat dan melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

"Aku sangat senang kau baik-baik saja," kata Seokjin saat dia melepaskan pelukannya. "Aku sangat takut sesuatu yang buruk terjadi padamu, dan ketika Namjoon memberitahuku─" Dia berhenti. Menutup mulutnya rapat.

Namjoon telah mengatakan semuanya kepada Seokjin karena saat itu dia berpikir tidak ada pilihan. Hanya saja, Hoseok belum tahu bagian itu.

Tetapi sebenarnya...

Ada lebih banyak hal yang tidak Hoseok ketahui.

Seokjin melirik Namjoon.

"Sebaiknya kita masuk ke kantorku," kata Namjoon. "Kita perlu berbicara secara privasi." Tidak di ruangan terbuka seperti ini. Namjoon melangkah menuju Seokjin dan Hoseok. Saat dia berada di dekatnya, tangan Namjoon secara otomatis merangkul pundak Seokjin.

Sesaat Hoseok mengerjap dan kemudian matanya menyipit bingung.

Ketika mereka telah berada di dalam, dan Namjoon usai menutup pintu, Hoseok kembali mengirimi Namjoon tatapan tajam penuh peringatan. "Aku hanya pergi beberapa hari."

Namjoon memiringkan kepalanya, "Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam beberapa hari, Hoseok." Faktanya, seluruh dunianya sendiri bisa berubah hanya dalam beberapa hari. Dia menarik napas dalam-dalam saat dia mempertimbangkan dari mana harus memulai. Bagaimana dia harus memulai. Dan tentunya dengan cara yang bijaksana.

Di sisi lain, Seokjin berdiri ragu-ragu di dekat meja kerja Namjoon dan Hoseok sudah lebih dulu berdiri di dekatnya dengan cara yang protektif.

"Kau ditembak?" Raut wajah Hoseok menunjukkan kekhawatirannya.

Seokjin melirik ke arah Namjoon. "Namjoon menyelamatkanku. Dia membawaku menjauh dari tempat kejadian, dan membawaku ke rumahnya."

Namjoon melihat bahu Hoseok menegang. Tapi, pemuda itu menoleh ke arahnya dan berkata. "Terima kasih. Aku berutang padamu."

Ya... tentang itu... "Kau tidak berutang apa pun."

"Aku tidak percaya seseorang mengincarnya." Hoseok mengacak-acak rambutnya dengan tangan gemetar. "Maksudku, itu gila. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk mencoba dan menyakiti adikku─"

"Aku tahu..." Potong Seokjin dengan suara datar.

"Tahu apa?" Dia melepas kacamatanya dan mengelap lensanya dengan kemeja yang dia kenakan. Sebuah gerakan khas yang selalu Hoseok lakukan untuk mengulur waktu saat dia merasa sedang berada di situasi yang tidak nyaman.

Namjoon telah melihat Hoseok melakukan gerakan itu berulang kali.

Maaf, sobat. Tapi situasi ini akan menjadi jauh lebih tidak nyaman bagi kita semua.

"Aku tahu tentang pekerjaan sampinganmu."

Hoseok terus membersihkan lensa kacamatanya.

"Tentang pekerjaan yang kau lakukan untuk pemerintah."

Hoseok kembali mengenakan kacamatanya. "Seokjin, aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan."

Seokjin menatapnya dengan marah. "Kau benar-benar pembohong yang handal."

Mulut Hoseok terbuka. Terkejut karena adiknya mengatakan hal itu kepadanya.

Namjoon berdeham. Dan dia sadar sering berdeham akhir-akhir ini. "Aku memberitahunya."

Hoseok menganga padanya, dan menatap Namjoon seolah-olah pemuda itu sudah tidak waras. "Maaf?"

"Aku memberitahunya," ulang Namjoon lagi. "Nyawanya sedang terancam. Seokjin pantas mendapatkan kebenaran."

"Seokjin..." Hoseok memulai, suaranya terbata-bata dan hati-hati, jelas sekali gugup. "Dengar, semua ini tidak seperti yang kau pikirkan─"

"Kau seorang intel," jawab Seokjin tegas. Lalu, dia menunjuk ke arah Namjoon. "Dia juga. Kalian telah menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun dariku, tetapi sudah waktunya semua rahasia ini berakhir."

"Oke," gumam Hoseok. "Mungkin situasinya adalah apa yang kau pikirkan." Dia menghela napas. "Aku tidak perlu menarikmu ke dunia semacam itu. Itu terlalu berbahaya dan tidak aman untukmu. Dan aku tidak bisa menangani─"

"Aku bukan anak kecil lagi," Seokjin memotong kata-kata kakaknya.

Tatapan Hoseok menyapu dirinya. "Tentu saja. Jelas kau bukan anak kecil lagi yang biasa selalu membuntutiku kemana pun aku pergi." Hoseok mengangguk. "Oke, aku seorang intel. Tapi kau tidak bisa memberi tahu orang lain, mengerti? Kau tidak boleh membongkar penyamaranku dan aku─"

"Aku tidak berminat untuk melakukan siaran live di instagram atau space di twitter tentang hal itu," gerutu Seokjin. "Dan selain itu, aku cukup yakin penyamaranmu sudah terbongkar. Setidaknya... eh, tunggu, bukankah itu yang kau katakan pada Namjoon? Itulah awal mula dari semua kekacauan ini. Penyamaranmu terbongkar sehingga kau meminta Namjoon untuk melindungiku."

Hoseok menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menghubunginya. Dan penyamaranku tidak terbongkar. Itulah yang baru saja kukatakan kepada Namjoon beberapa menit yang lalu. Aku tidak pernah mengiriminya pesan. Aku tidak pernah memperingatkan dia bahwa kau dalam bahaya. Aku tidak pernah memintanya untuk melindungimu." Hoseok maju ke arah Namjoon dan mengulas senyuman lelah. "Tapi, ya, aku berterima kasih kepadamu. Aku sangat senang bahwa kau ada di sana untuk melindungi adikku. Kau selalu bisa diandalkan."

Entah kenapa, Namjoon merasakan firasat buruk.

Hoseok menepuk-nepuk bahu Namjoon. "Kau membawa Seokjin ke rumahmu?"

"Ya. Dia bahkan memberiku perlindungan dua puluh empat jam." Kata Seokjin.

Hoseok tersenyum padanya. "Kau adalah sahabat terbaik yang kumiliki, kau tidak tahu betapa bersyukurnya aku karena memilikimu. Terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untuk Seokjin. Aku yakin dia sangat menghargai semua yang kau lakukan."

Kedua pipi Seokjin tiba-tiba saja terasa panas. Tetapi dia hanya diam.

"Tapi kau tidak perlu khawatir lagi. Aku sudah berada di sini dan aku akan menjaganya." Hoseok mengangguk. "Seokjin, sampai kita bisa menyelesaikan semua kekacauan ini, kau akan tinggal bersamaku. Aku memiliki keamanan yang sama seperti yang dimiliki Namjoon di rumahnya. Aku akan menghubungi atasanku dan kita akan menyelesaikan semua ini." Katanya tampak percaya diri.

Seokjin mengerutkan kening padanya. "Tapi Taehyung juga tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi."

Hoseok mengerjap. "Kau sudah bertemu Taehyung?"

"Ya, dan dia juga tidak tahu siapa yang menyerangku."

Namjoon memutar bahunya. "Dia sedang memeriksanya."

"Memeriksanya?" Sebuah kerutan muncul di antara alis Hoseok. "Persetan, jika dia mengira penyamaranku telah terbongkar, aku sangat terkejut karena aku tidak menemukannya berada di sini bersamamu."

Yeah, sejujurnya Namjoon pun sedikit bingung dengan hal itu. "Aku yakin dia sedang mengawasi." Taehyung selalu begitu.

Tapi, Namjon tidak berpikir Taehyung adalah satu-satunya yang sedang mengawasi mereka. Selama ini, si pelaku telah mempermainkannya. Ini bukan tentang Hoseok.

Ini tentang dirinya.

Dan juga Seokjin.

"Jika aku tahu hal ini sedang terjadi, aku akan kembali lebih cepat," kata Hoseok kepada Seokjin. "Kau tahu itu bukan? Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dalam bahaya."

Seokjin mengamatinya, "Kau belum mendengar apa pun? Misalnya melihat berita di media?"

"Ada sesuatu yang harus kulakukan. Saat aku sedang menjalankan misi, aku akan offline dari semua hal."

"Waktunya terlalu kebetulan." Namjoon mulai gusar. Ini tidak bisa diabaikan. "Si pelaku tahu kapan kau akan sulit dihubungi. Dia telah mengatur semua ini."

Hoseok ikut menjadi kaku. "Aku tidak memberi tahu siapa pun apa yang sedang kurencanakan dan kulakukan."

"Tapi dia menggunakan ponselmu. Bagaimana dia mendapatkannya?"

Alis Hoseok kembali berkerut, "Sudah kukatakan, aku meninggalkannya di kantorku. Tapi, ketika aku sampai di sini malam ini, aku mencarinya dan tidak ada di laci mejaku. Seseorang mengambilnya. Pada saat itu aku pikir mungkin kaulah yang sedang meminjamnya, tetapi tidak ya?"

"Tentu saja tidak." Kata Namjoon. "Dia tahu kau akan pergi sehingga dia bisa mengandalkan waktu itu untuk merencanakan seluruh situasi ini. Dia ingin aku bersama Seokjin. Dia ingin agar aku berada di dekatnya." Mungkin penembakan di luar restoran itu... sial, dia mengira bahwa mereka sangat beruntung karena peluru itu meleset dari Seokjin. Tapi... "Bagaimana jika dia memang sengaja membuatnya meleset?" Gumam Namjoon saat dia memikirkan semua skenario ini sampai titik akhirnya.

"Namjoon, ceritakan semuanya dari awal karena aku benar-benar tidak paham." Gumam Hoseok seraya memijat pelan pelipisnya.

"Seokjin hampir tertembak di luar restoran yang berada di dekat Museum Kunsthal. Tembakan itu meleset. Tapi setelah kupikir-pikir, sepertinya si pelaku memang sengaja melakukannya."

Seokjin mendekat ke arahnya, "Dan bagaimana dengan rumahku? Kapan dia meninggalkan pesan itu di sana?"

"Wah!" Hoseok mengangkat tangan. "Pesan apa? Apa yang dia katakan?" Raut wajahnya semakin khawatir.

Namjoon mencoba mempertimbangkannya sebelum dia berbicara. "Kupikir dia meninggalkan pesan itu hanya untuk menakut-nakutimu dan untuk memastikan kau tetap bersamaku."

"Kenapa?" Kebingungan Seokjin terlihat jelas. "Kenapa dia ingin aku bersamamu?"

Karena saat aku bersamamu, fokusku akan terganggu. Aku akan membuat kesalahan. Persis seperti ketika dia segera bergegas keluar dari konferensi pers tanpa berpikir panjang.

Dunia akan tahu apa yang membuatnya lemah dan kacau ketika hal itu berkaitan dengan seseorang yang paling penting baginya.

"Tapi kenapa dia mencoba mengalihkan perhatianku?" Gumam Namjoon lagi, lebih berbicara pada dirinya sendiri. "Apa yang dia inginkan?"

"Kita akan mencari tahu," Hoseok meyakinkannya. "Dan kau tidak akan merasa terganggu lagi." Dia meraih tangan Seokjin dan menariknya mendekat kepadanya. "Aku akan menjaga adikku sampai semua kekacauan ini selesai. Kau tidak perlu khawatir. Sekarang, dia akan bersamaku." Dia berbalik ke pintu dan menarik Seokjin bersamanya. "Seokjin, ayo pergi dari sini. Aku tidak suka memikirkan bahwa seseorang sedang mengawasi kita. Aku akan menjagamu agar kau bisa tidur dengan nyenyak."

Namjoon menatap punggung Hoseok. Pemuda itu mengira dia bisa membawa Seokjin pergi darinya begitu saja? "Tidak, Hoseok."

Hoseok menoleh ke belakang. "Maaf?"

"Kau tidak akan membawa Seokjin pergi kemana pun."

"Huh? Tentu saja." Hoseok tertawa. "Dia adikku, Namjoon. Terima kasih banyak telah menjaganya, sekarang dia akan bersamaku."

Seokjin menatap Namjoon. Hanya saja, Namjoon tidak bisa membaca ekspresi yang tersirat dalam bola matanya. Namjoon sangat berharap dia bisa melakukannya.

"Ayo, Seokjin." Ajak Hoseok padanya. "Ayo kita pergi."

Namjoon melangkah maju saat─

"Aku tidak mau," kata Seokjin menolak. Suaranya tegas dan jelas seakan membelah keheningan di ruangan itu.

Sekarang, tatapan Hoseok terayun ke arahnya. "Apa?"

"Kalian berdua bertingkah seolah semua ini tidak memerlukan keputusanku." Seokjin menarik lengannya dari genggaman Hoseok.

"Dik, aku akan menjagamu sehingga kau tetap aman."

"Namjoon telah melakukan pekerjaan yang luar biasa sejauh ini."

"Tapi dia tidak perlu melakukannya lagi. Kau tidak harus menjadi beban baginya."

Raut wajah Seokjin berubah gelap.

"Dia tidak pernah menjadi beban." Namjoon menegaskan.

Tatapan Hoseok menyipit tajam kepadanya. Dan Namjoon bisa menangkap kilatan kecurigaan dalam tatapan sahabatnya itu.

"Dia," Seokjin menunjuk dirinya sendiri. "Juga bisa membuat keputusannya sendiri. Dan aku akan menghabiskan malam ini bersama Namjoon. Itu pilihanku."

Aku akan menghabiskan malam ini bersama Namjoon.

"Aku akan tinggal bersamanya," tambah Seokjin.

Hoseok tertawa kecil. Masih berusaha bersikap tenang. "Seokjin, dia memiliki kehidupannya sendiri. Aku yakin para kekasihnya tidak akan membiarkanmu memasuki tempat mereka."

Kali ini, ekspresi wajah Seokjin mengeras.

"Aku tidak punya para kekasih yang kau maksud, Hoseok." Namjoon tahu ini akan membuat Hoseok kesal. "Dan kau mendengarnya. Dia menginginkanku."

Dan ya, Namjoon bisa melihat kilatan realisasi dalam tatapan Hoseok.

Namjoon tahu bahwa Hoseok tidak akan pernah melupakannya. Hoseok sangat mirip dengannya dalam hal itu. Setiap kata yang pernah dia baca, setiap percakapan yang pernah dia dengar...

Semuanya akan terus menerus berputar dalam benaknya. Terekam jelas dalam ingatannya.

Jadi, Namjoon tahu bahwa Hoseok akan mengingat percakapan lama mereka tentang Seokjin dan satu-satunya ketentuan yang dibuat pemuda itu.

"Dasar bajingan," Hoseok menghela napas kasar.

Keping mata Seokjin membola. "Kenapa kau memanggilnya seperti itu? Namjoon telah menyelamatkanku!"

"Tidak," tangan Hoseok mengepal di sisi tubuhnya. "Dia hanya mengambil apa yang paling dia inginkan." Sedetik setelahnya, dia menerjang ke arah Namjoon dengan tinjunya.

Namun, Seokjin segera menahannya. "Apa yang kau lakukan, Hoseok?!" Suaranya meninggi.

Raut wajah Hoseok menjadi gelap saat dia menatap tajam ke arah Namjoon dari balik bahu Seokjin. "Sudah kukatakan! Itu satu-satunya syarat yang kuminta, dan kau tahu itu!" Bentak Hoseok.

"Hoseok kau harus tenang," kata Seokjin seraya menahan dada kakaknya.

"Aku sangat tenang!" Hoseok berteriak.

"Tidak terlihat seperti itu bagiku." Kata Namjoon. Menunggu. Dia tahu Hoseok mungkin akan melayangkan satu atau dua pukulan ke arahnya. Namjoon merasa dia pantas mendapatkan hal itu.

"Jangan bilang," Hoseok mendesis. "Bahwa si berengsek ini membawamu ke rumahnya, mengatakan dia akan melindungimu─"

Sebuah ketukan menghantam pintu kantor Namjoon. "Apakah semuanya baik-baik saja di dalam sana?" Tanya Yoongi.

"Hanya untuk menggodamu!" Teriak Hoseok.

Pintu ruangan itu terbuka dan Yoongi ternganga di depan pintu.

Seokjin menyipitkan mata pada kakaknya. "Jangan konyol."

Hoseok menghela napas kasar dengan bahunya yang merosot. "Terima kasih." Dia melambaikan tangannya ke arah Namjoon. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf, tapi malam ini benar-benar gila dan aku tidak tahu apa yang─"

"Tapi aku yang menggodanya," kata Seokjin melanjutkan.

Hoseok kembali menerjang ke arah Namjoon dengan tinju yang terayun.

Namjoon menunggu pukulan itu.

Tetapi...

Seokjin membuat kakaknya tersandung dengan kakinya hingga Hoseok jatuh menghantam lantai.

Kemudian, dia menoleh pada Namjoon dan menatapnya dengan kesal. "Serius? Kau hanya berdiri di sana dan membiarkan dia memukulmu?!"

Namjoon Tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Seokjin.

"Kenapa kau diam saja?" Tanya Seokjin tak habis pikir.

"Menurutku cukup layak jika hidungku patah atau rahangku memar." Namjoon menggedikkan bahu. "Karena aku telah mendapatkanmu. Aku layak mendapatkan rasa sakit itu."

Seokjin membuka mulutnya. Tetapi dia memutuskan untuk diam.

"Ahem." Suara Yoongi. "Kalian baik-baik saja, ya? Kelihatannya begitu. Baiklah, aku akan pergi." Dia keluar dari sana dan kembali menutup pintu.

Hoseok berhasil berdiri dan dia menunjuk ke arah Namjoon. "Kita memiliki kesepakatan."

"Omong kosong." Seokjin kembali memposisikan tubuhnya di depan Hoseok.

Apakah Seokjin mencoba melindunginya? Namjoon memperhatikan bahwa Seokjin sering melakukannya. Pemuda itu selalu menempatkan dirinya sebagai tameng.

"Hoseok, dengar. Kau tidak bisa membuat keputusan dengan siapa aku ingin pergi berkencan. Jika aku ingin bersama Namjoon, maka aku akan bersama Namjoon."

Namjoon menegakkan tubuh. Seulas senyuman mengembang di bibirnya.

"Dan jika aku ingin berkencan dengan orang lain," tukas Seokjin. "Maka aku akan bersama mereka."

Saat itu juga, senyuman di wajah Namjoon menghilang.

Seokjin menusuk dada kakaknya dengan telunjuknya. "Kau tidak bisa mengatur hidupku, Hoseok, mengerti? Aku mencintaimu, tetapi kau tidak bisa mendikte dengan siapa aku berkencan, atau dengan siapa aku tidur, sama seperti aku yang tidak boleh ikut campur tentang kehidupan pribadimu." Jelas Seokjin dan menjauhkan tangannya. "Kau mengerti?"

Hoseok mengusap dadanya, tepat dimana Seokjin menusuknya. "Mengerti."

"Bagus. Sekarang, aku ingin kembali tidur." Seokjin berjalan menuju pintu dengan amarah yang masih melekat dan langkah yang cepat. Dia membuka pintu dan melirik ke balik bahunya. "Kau ikut?" Tanyanya pada Namjoon.

"Tentu saja."

"Bagus." Gumam Seokjin dan pergi dari sana lebih dulu.

Namjoon bergegas menghampirinya.

Dan Hoseok kembali menahan langkahnya, "Ini belum berakhir." Tukasnya pada sahabatnya itu.

Namjoon memamerkan lesung pipinya pada pemuda itu. "Tentu saja belum. Semuanya baru saja dimulai."

Rahang Hoseok mengeras.

Namjoon merendahkan suaranya dan memperingatkan. "Cobalah untuk menghalangiku dan Seokjin lagi, dan itu akan menjadi kesalahan terburukmu." Dia telah memutuskan untuk tidak lagi menahan diri. "Dia datang kepadaku dan dia menginginkanku. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya..."

"Berengsek, dia adikku!"

"Aku akan menjaganya."

"Tidak. Kau tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal semacam itu. Seperti yang kau lakukan pada yang lain, setelah kau selesai dengan mereka, kau akan membuangnya." Suara Hoseok rendah dan tajam. "Aku telah melihatmu melakukannya berkali-kali. Kau menyukai tantangan, tetapi ketika tantangan itu selesai, kau akan bosan. Dia adikku, Namjoon. Kau tidak bisa menyakitinya!" Kemarahan itu kembali muncul di wajah Hoseok. "Tapi kau tidak memikirkan konsekuensinya, kan? Kau berhasil mendapatkan apa yang kau inginkan, dan sekarang sudah terlambat."

Namjoon menatap ke dalam sepasang mata sahabat terbaiknya. "Kau benar. Sekarang sudah terlambat." Karena akhirnya, Namjoon mendapatkan apa yang paling dia inginkan.

Tapi, Hoseok salah. Namjoon tidak akan pernah bosan dengan Seokjin. Dan dia tidak akan menyakiti pemuda itu.

Dan juga, dia tidak pernah punya rencana untuk membuangnya.

Karena Namjoon tidak bodoh.


To Be Continued

7:54 PM

8/5/2022


Buy me a coffee? :D

You can support me via https://trakteer.id/christal-alice (bio on link)

[twitter: christal_alice]

Thank you!

Continue Reading

You'll Also Like

97.8K 7K 54
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...
2M 14.9K 55
random sexx nct aghhhhh
103K 9.1K 82
Ini hanya kisah Boboiboy dan (Name) yang dinikahkan pada umur 17 tahun dengan dalih perjodohan. Lantas bagaimana kisah mereka kedepannya? Warning...
107K 13.2K 110
"Kita punya tujuan yang sama Hel, bedanya lo ngelindungi gue untuk masa depan sedangkan gue melindungi lo dari masa depan" Setelah kematian kakak lak...