HISYAM

By diaryalna

1M 130K 4.3K

Tisha Atifa cukup terpaksa menerima Hisyam Al-Ghifari sebagai masa depannya. Tak pernah sekalipun terpikirkan... More

Bab 1 : Keliatan Tua
Bab 2 : Perempuan Istimewa
Bab 3 : Bertemu Lagi
Bab 4 : Fakta Tentang Syam
Bab 5 : Memilih Cincin
Bab 6 : Mampir Lagi
Bab 7 : Calon yang Baik
Bab 8 : Dilamar Duda
Bab 9 : Tidak Terasa
Bab 10 : Menuju Halal
Bab 11 : My Queen
Bab 12 : Doa Alif
Bab 13 : Tahajud Bersama
Bab 14 : Pagi yang Berbeda
Bab 15 : Syarat
Bab 16 : Tanggal Merah
Bab 17 : Syam Menyebalkan
Bab 18 : Pacaran yang Halal
Bab 19 : Nafkah Batin
Bab 20 : Tisha Khawatir
Bab 21 : Tangisan Alif
Bab 22 : Misterius
Bab 23 : Papa yang Sigap
Bab 24 : Vanya Kenapa?
Bab 25 : Kebahagiaan Syam
Bab 26 : Rajanya Modus
Bab 27 : Bermuka Dua
Bab 28 : Dresscode
Bab 29 : Alma Bercerita
Bab 30 : Pantai
Bab 31 : Undangan Vanya
Bab 32 : Permintaan Tisha
Bab 33 : Jatuh dari Motor
Bab 34 : Seperti Dongeng
Bab 35 : Rencananya Meleset
Bab 37 : Double Date
Bab 38 : Pembahasan Alma
Bab 39 : Tapi Caranya Salah
Bab 40 : Kabar Baik
Bab 41 : Selamanya Hanya Kamu
Bab 42 : Berbaikan dengan Masa Lalu

Bab 36 : Luka Syam

20.3K 2.5K 220
By diaryalna

27 Maret 2022.

Bismillahirrahmanirrahim.

Ambil baiknya buang buruknya. Bantu koreksi kalau ada salah ya💗

Bab 36 : Luka Syam

Karena sesungguhnya tidak ada yang mau dikhianati di dunia ini.

***

Matahari telah muncul dari persembunyiannya, memancarkan sinar kehangatan yang melewati celah jendela. Pagi ini adalah pagi yang terasa begitu lama. Tisha sedikit canggung melebihi saat pertama kali ia tidur di kamar yang sama dengan Syam dulu.

Bahkan pakaian Tisha tidak sama lagi seperti hari-hari biasanya. Kini ia menggunakan piyama milik Syam yang cukup menelan tubuhnya karena kebesaran. Tidak ada lagi kerudung yang menutupi kepalanya.

Rambut curly sebahu dengan poni terbelah tengah itu dibiarkan begitu saja. Sudah tidak ada gunanya lagi ditutup disaat Syam sendiri telah melihat seluruhnya.

"Dimakan, ya. Semoga kamu suka," kata Syam meletakkan semangkok bubur sumsum di atas meja lipat yang terpasang di hadapan istrinya.

Untuk sekarang, Syam memang tidak membiarkan Tisha kemana-mana terlebih dahulu dan menyarankan Tisha supaya banyak-banyak beristirahat. Sementara Tisha tidak enak hati karena sejak pulang salat subuh di masjid tadi Syam melakukan seluruh pekerjaan rumah tanpa protes dan mengeluh sedikitpun.

Kembali ke sarapan pagi yang nampak lezat dihidangkan untuk Tisha. Perempuan itu mengulas senyumnya lantas berterima kasih kepada lelaki berkemeja biru muda tersebut.

"Makasih, Pak."

"Makasih juga buat malam tadi."

Syam mengecup kepala Tisha sekilas, setelahnya ia menyengir. Masih belum sepenuhnya berubah, Tisha memukul lengan Syam membuat lelaki itu tertawa sambil mengaduh. Mengingat sebentar lagi harus berangkat kerja, Syam segera bersiap-siap merapikan kemejanya.

"Eumm. Buburnya enak."

Tisha memuji bubur buatan Syam dengan khidmat, mengecap rasa manis yang pas di lidahnya. Syam memang pintar memasak, tapi jika diingat-ingat sebelumnya Syam pernah membantu Tisha memasak. Dan secara tidak sadar lelaki itu lebih menguasai dapur ketimbang dirinya.

Syam terkekeh geli. Bukannya tidak mau merespon balik, tapi ia sedang mengejar waktu agar tidak terlambat ke kantor. Setelah memakai jas dan menenteng tas kerjanya, Syam menghampiri Tisha. Kemudian berpamitan sambil menghadiahi banyak kecupan sampai Tisha merengek memohon agar Syam berhenti.

"Kalau ada apa-apa kabarin saya. Oke?"

Tisha mengangguk patuh sambil mengulum senyum manis mendengar ucapan Syam. Ketika Syam mengelus rambutnya sembari berjalan keluar, Syam masih sempat memberi wejangan lagi.

"Nanti gak perlu pergi jemput Alif, biar Mama aja yang antar ke sini." Syam menyengir di balik pintu yang terbuka.

Tisha mengangguk dan Syam kembali berkata, "Besok kita ulangi lagi ya? Soalnya tadi malem banyak sunnah yang kelewat."

Digoda seperti itu, Tisha sudah tidak tahan. Alhasil ia melayangkan bantal yang ada di sebelahnya ke ambang pintu. Seolah pergerakan Tisha telah terbaca, Syam bergegas menutup pintu sambil tertawa agar bantal tersebut tidak mengenainya.

***

"Ya Allah, sekarang itu jamannya nikah muda, ya? Gampang banget kayaknya ketemu jodoh."

Syam berusaha untuk fokus dengan pekerjaan sambil menyantap makan siang di ruangannya. Bukannya membantu, lelaki yang duduk di hadapan Syam yang sedang memakan bekal dari ibunya tak berniat membantu sama sekali.

Arjuna memang ingin beristirahat sejenak, tapi mulutnya tak berhenti berceloteh untuk mengomentari hal yang dilihatnya di sosial media.

"Gue yang hampir kepala tiga malah belum dapet. Tapi gak masalah, sih, belum pengen juga." Arjuna mengangkat bahunya enteng dan gerutuan itu tidak direspon oleh Syam sama sekali.

"Padahal cinta gak selamanya indah, Dek. Kejadiannya nyata di depan mata," ucap Arjuna mendongakkan kepalanya sebentar.

Mendengar itu, Syam mengalihkan tatapan seriusnya dari layar laptop ke arah Arjuna yang sudah cengar-cengir memandanginya. Berusaha untuk tidak terpancing, Syam melihat lagi layar laptopnya sambil menyuapkan makanan ke mulut.

Arjuna kembali menunduk menatap ponselnya untuk menjelajah sosial medianya. Mencari hiburan dan ilmu sekaligus sampai tak sadar sejak tadi Arjuna menganggu konsentrasi Syam.

Kadang-kadang tertawa keras, mengomel sendirian, emosi tiba-tiba, dan banyak reaksi lainnya. Syam mengatur napas terlebih dahulu. Cepat-cepat menghabiskan makan lalu melihat ke arah jam tangan.

"Arjuna," tegur Syam dingin. Arjuna yang saat itu sedang tertawa belum menyadari panggilannya.

"Arjuna." Syam memanggil lagi. "Waktu makan siang udah habis."

Lelaki tampan itu berhenti terkekeh lalu mendongak tanpa suara tatkala Syam menatapnya horor. Bersuara pelan tanpa ekspresi saja sudah berhasil membuat Arjuna bergidik ngeri.

Mengetahui Syam tengah membereskan makan siangnya, Arjuna mengikuti. Ia tidak mau ditinggal dan dicap sebagai sekretaris kurang kompeten. Setelah selesai, Syam berdiri dan diikuti oleh Arjuna.

"Bahan presentasi nanti udah disiapin, kan?" tanya Syam memastikan. Arjuna mengiyakan karena memang ia telah menyelesaikannya sebelum makan siang.

Detik selanjutnya, Syam berniat keluar dari ruangannya menuju ruang rapat dengan langkah lebar. Arjuna yang menyadari ada sesuatu yang ganjal segera mencegat langkah Syam.

Syam berhenti, menoleh sinis ke arah Arjuna yang mulai mendekatinya. Tanpa berkata sepatah kata, Arjuna mengulurkan tangannya seperti akan memeluk Syam.

Tentu saja sebagai pria yang masih normal, Syam langsung waspada. Dengan gerakan cepat ia menepis tangan sahabatnya yang hendak melingkarkan tangannya itu ke lehernya.

Syam melotot tajam. Ia khawatir Arjuna sudah tidak normal. "Kamu kenapa, Jun?" sentak Syam.

Arjuna berdecak kesal. Ia mengangkat dagunya ke arah leher Syam. "Gue cuma mau nutupin tanda cinta lo. Emangnya lo mau semua dewan direksi tahu kalau tadi malem lo habis bercinta?"

Syam terhenyak, rasa malu menjalar seluruh badan. Buru-buru ia membenarkan kerah kemejanya lalu keluar setelah merasa rapi. Telinganya sudah memanas, Syam tidak mau Arjuna melihatnya lagi.

Ini karena Tisha tidak memilki benda bernama concelar. Tisha berkata bahwa dia hanya memiliki sunscreen, pelembab, dan bedak. Jadinya Syam tidak bisa menutupi bekas itu.

Untung saja hanya Arjuna yang melihatnya.

***

Sepulang kerja, Syam ingin segera pulang ke apartemen menemui wanitanya. Sangat tidak sabar melepas rasa rindu melihat wajah Tisha yang selalu cantik di matanya dan senyum ceria di bibir anak kesayangannya.

Namun harapannya seketika pupus, langkahnya memelan dan berhenti di dekat mobilnya yang kini terdapat juga seorang wanita di sampingnya. Syam lantas mempersiapkan hatinya, tidak mau amarahnya sampai memuncak gara-gara mendengar celotehan Vanya.

Tebakan Syam benar. Wanita yang memakai kemeja motif bunga yang panjang lengannya sampai siku dan dimasukkan ke dalam rok denim sepaha itu ternyata adalah Vanya. Entahlah, Syam sendiri tak tahu apa tujuan kedatangan Vanya di kantornya.

"Hai, Syam!" sapa Vanya bermaksud memberitahu dirinya terlihat oleh mata, bukan makhluk halus yang tak kasat mata. Itu dilakukannya karena Syam terus menunduk dan terkadang mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Ada waktu buat bicara sebentar?"

"Soal?"

"Apa yang perlu dibahas. Terutama soal Alif."

Syam memasang wajah tanpa minat. "Maaf, saya gak ada waktu," katanya hendak menyentuh pintu mobil.

Namun dengan gesit Vanya menghalangi dengan tubuhnya yang ramping. Detik itu juga, Syam terpaksa menarik kembali tangannya lantas membuang wajah ke arah lain.

"Kenapa, Syam?" tanya Vanya menuntut balas. "Apa karena lo udah nikah, terus gue sebagai ibu kandungnya Alif gak lo anggep lagi?"

Syam memutar bola matanya jengah. Mendengus sebal kemudian berkata, "Maksudnya saya gak boleh bahagia dengan pilihan saya sendiri, gitu?"

Hati Vanya langsung mencelos. Vanya tidak menyangka bahwa Syam mampu membaca isi hatinya. Sampai kapanpun, ia tak akan membiarkan Syam bahagia. Tak ada alasan khusus sebenarnya, hanya saja Vanya seperti tak rela mengetahui Syam telah mempunyai pasangan dan bersenang-senang. 

"Bukan gitu maksud gue, Syam. Alif itu masih punya ibu kandung." Vanya dengan tegas berusaha meyakinkan. "Lo gak kasian apa kalau dia punya dua ibu? Gimana kalau misalnya di sekolah dia diejek atau dibully?"

"Nyatanya Alif gak keberatan." Syam menaikkan kedua alisnya sambil menyunggingkan satu sudut bibirnya. "Justru dia seneng punya sosok ibu yang selalu ada buat dia dan sayang sama dia."

"Lo pikir gue gak sayang sama Alif?!" Vanya naik pitam. Ia tak suka dengan ekspresi santai Syam saat mengutarakan kalimat barusan. Ia merasa seperti direndahkan.

"Kenapa kamu gak mikir sendiri?" balas Syam membuat Vanya mati kutu.

"Lo ya ...!" geram Vanya sampai kesulitan berkata-kata sambil menunjuk wajah Syam yang berhasil menyulut emosinya.

Syam menaikkan sebelah alisnya menantang. Vanya berdecak kesal. Ia memalingkan wajah, menurunkan tangannya, kemudian membuang napas gusar.

Sejurus kemudian Vanya berkacak pinggang, memejamkan mata, mengatur amarahnya sebelum mulai bersuara lagi.

Mengetatkan rahang lalu berkata, "Gue udah hamil dan ngelahirin Alif dan nyawa gue sebagai taruhannya. Lo kira itu gampang buat dilakuin?"

"Itu semua berat, Syam! Kalau gue gak sayang sama dia, udah dari awal gue bunuh dia tahu gak?!" Dada Vanya bergemuruh hebat dengan amarah yang meletup-letup.

"Saya tahu itu semua gak mudah buat kamu. Saya sadar perjuangan kamu gak akan bisa saya balas sampai kapanpun."

Seperti luka yang ditaburi garam, perih rasanya ketika teringat dengan memori masa lalu. Syam lelah dan terlihat pasrah saat mengatakannya. Ia ingin marah, tapi tak akan ada gunanya.

"Tapi, apa sedikitpun kamu gak pernah pikirin perasaan saya waktu itu, hm?" tanya Syam merendahkan suaranya dengan mata yang kian memanas.

"Iya, kamu benar. Bisa aja Alif diejek teman-temannya karena punya dua ibu. Tapi, bukankah dia akan semakin malu kalau tahu bahwa ibu kandungnya berselingkuh?" kata Syam memukul telak hati Vanya secara tak langsung.

Wanita itu terdiam, menyelami kedua netra milik Syam yang menyiratkan luka mendalam. Sesaat kemudian Syam mengalihkan pandangannya lalu tertawa hambar. Beruntungnya suasana parkir saat ini lumayan sepi.

"Oh, I'm sorry." Syam melupakan satu hal yang sangat penting dan ia telah menyadarinya sekarang.

"Alif not your son, but your nephew, right?"

Vanya tak bisa berkutik dan mengelak lagi. Yang Syam katakan berhasil membuatnya diam seribu bahasa dengan pipi bagian dalam yang digigit kuat.

"Kenapa jadi ungkit-ungkit itu, sih?!"

Vanya mencoba untuk terus membela diri membuat Syam begitu muak. Syam berusaha mengendalikan kekesalannya dengan memejamkan mata dan menarik napas dalam agar lebih tenang.

"Kita udah selesai, Van. Kalaupun kamu mau ketemu Alif ya, silahkan." Syam berkata dengan santainya. "Saya gak akan ngelarang kamu, tapi tidak dengan bawa Alif pergi sendiri."

Karena tak tahan lagi, Syam hanya menatap datar Vanya, menggeser tubuh wanita itu agar menyingkir dari pintu mobilnya. Namun Vanya tidak membiarkannya begitu saja.

"Gue minta maaf," kata Vanya dengan suara penuh penyesalan, kembali menghadang Syam yang hendak masuk ke mobil.

"Minta maaf untuk kesalahan yang mana?" tanya Syam menohok lagi hati Vanya.

Saking banyaknya yang Vanya lakukan, Syam sampai bingung kata maaf yang dimaksud untuk kesalahan yang mana. Vanya menghela napas berat tanpa memedulikan pertanyaan Syam.

"Lo tahu baby blues, kan? Gue ngalamin itu setelah ngelahirin Alif, Syam."

Apa saat ini Syam boleh tertawa mendengar pembenaran dari mulut Vanya? Ini betul-betul lucu, Syam sendiri tak bisa menahan tawanya. Kini giliran Vanya yang bingung dengan alasan Syam tertawa.

"Ibu mana yang mengalami baby blues terus dia kabur dari rumah sakit, hilang berminggu-minggu, dan tiba-tiba ada di Italia dengan pria yang bukan suaminya?"

"Gue butuh me time, Syam, makanya gue jalan-jalan!"

"Me time or cheating, hm?"

Syam menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum kecut. Bisa didengar jelas di telinga Vanya bahwa suara Syam bergetar seperti menahan tangis.

Kalaupun iya Vanya mengalaminya waktu itu, Syam akan senang hati menemani dan membantu Vanya pulih. Syam sudah terbiasa mengurus pekerjaan kantor sekaligus urusan rumah, Syam yakin ia pun akan bisa mengurus bayi mereka.

Syam tidak gagal menjadi suami, tapi Vanya lah yang gagal menjadi istri.

"Gak bisa jawab, kan?" tanya Syam dengan frekuensi tawa yang mereda tergantikan kekehan penuh luka. Seperti ada jarum transparan  yang terus-menerus menghujam dadanya.

Vanya mematung ketika mendengar Syam mengungkit masa lalu yang tak pernah diungkit selama bertahun-tahun sebelumnya. Vanya benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi, kini Syam berubah semenjak Tisha ada bersamanya.

Syam yang sudah muak tak mau lagi berbicara memaksa masuk ke mobilnya. Menghidupkan mesin dan melajukan kendaraannya keluar area kantor. Dilihatnya lewat kaca spion, Vanya mendongak mengibas-ngibaskan mata dengan posisi yang masih berdiri di tempat tadi.

Syam menaikkan satu sudut bibirnya remeh, kembali fokus melihat jalanan. Selama itu matanya kian memerah, pertahanannya semakin runtuh. Tanpa dirasa, air mata meleleh begitu saja membuatnya harus menepi sebentar untuk meluapkan sesak di dalam dada.

Syam memukul keras stir mobil berkali-kali dan menangis tanpa suara sambil menunduk mengingat segalanya yang seharusnya tak lagi diingat.

Semua memori berputar bak kaset rusak di kepala Syam. Bermula dari ia yang dijebak, kemudian berniat baik dengan bertanggung jawab menikahi orang yang tidak dicintainya. Setelah menikah, Vanya pun masih bersikap seenaknya, tapi Syam terus bersabar dan memaklumi karena ia merasa telah jatuh cinta. Cintanya kian bertambah saat mengetahui Vanya mengandung anaknya dan berharap Vanya perlahan berubah.

Namun sayang, dalam sekejap saja impian Syam untuk membesarkan putranya bersama sang kekasih hancur berkeping-keping. Dengan terpaksa ia melepaskan Vanya karena berpikir bahwa wanita itu akan lebih bahagia jika tanpanya.

Karena sesungguhnya tidak ada yang mau dikhianati di dunia ini. Begitu pula dengan Syam. Sekeras apa pun ia berusaha mempertahankan kekasihnya, akan ada masanya ia lelah dengan semua yang tak lagi menjadi takdirnya.

***

Bersambung...

Ada yang motong bawang di sini, ya? Kok tiba-tiba berair nih mata, hehehe 🙂

LANJUT GAK? WKWK.

Jangan lupa tinggalin jejak ✨

Follow Instagram: @wp.diaryalna

Continue Reading

You'll Also Like

101K 10.4K 54
{spin off senja terakhir} Bagi Bilqis, hal yang paling sakit yang pernah ia alami adalah kehilangan sahabat yang sangat ia kasihi. Syifa bukan hanya...
199K 13.7K 55
𝘉𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘫𝘰𝘥𝘰𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘵𝘢𝘴𝘣𝘪𝘩? 𝘋𝘪 𝘣𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢? 𝘒𝘢𝘪𝘳𝘰 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘶𝘯𝘪𝘷�...
31.3K 2.6K 41
Ini adalah kisah cinta tentang dua insan yang memiliki latar belakang yang sangat bertolak belakang. Bukan hanya sekedar kisah cinta. Ini juga tenta...
1.7M 190K 57
"Boleh minta alamat rumahmu?" "Untuk apa?" ketus Syifa. "Ketemu Ayah kamu," "Ada urusan dengan Ayahku?" tanya Syifa. "Iya." jawab Lelaki itu. "Urusan...