HISYAM

By diaryalna

992K 129K 4.3K

Tisha Atifa cukup terpaksa menerima Hisyam Al-Ghifari sebagai masa depannya. Tak pernah sekalipun terpikirkan... More

Bab 1 : Keliatan Tua
Bab 2 : Perempuan Istimewa
Bab 3 : Bertemu Lagi
Bab 4 : Fakta Tentang Syam
Bab 5 : Memilih Cincin
Bab 6 : Mampir Lagi
Bab 7 : Calon yang Baik
Bab 8 : Dilamar Duda
Bab 9 : Tidak Terasa
Bab 10 : Menuju Halal
Bab 11 : My Queen
Bab 12 : Doa Alif
Bab 13 : Tahajud Bersama
Bab 14 : Pagi yang Berbeda
Bab 15 : Syarat
Bab 16 : Tanggal Merah
Bab 17 : Syam Menyebalkan
Bab 18 : Pacaran yang Halal
Bab 19 : Nafkah Batin
Bab 20 : Tisha Khawatir
Bab 21 : Tangisan Alif
Bab 22 : Misterius
Bab 23 : Papa yang Sigap
Bab 24 : Vanya Kenapa?
Bab 25 : Kebahagiaan Syam
Bab 26 : Rajanya Modus
Bab 27 : Bermuka Dua
Bab 28 : Dresscode
Bab 29 : Alma Bercerita
Bab 30 : Pantai
Bab 31 : Undangan Vanya
Bab 32 : Permintaan Tisha
Bab 34 : Seperti Dongeng
Bab 35 : Rencananya Meleset
Bab 36 : Luka Syam
Bab 37 : Double Date
Bab 38 : Pembahasan Alma
Bab 39 : Tapi Caranya Salah
Bab 40 : Kabar Baik
Bab 41 : Selamanya Hanya Kamu
Bab 42 : Berbaikan dengan Masa Lalu

Bab 33 : Jatuh dari Motor

15.8K 2.1K 12
By diaryalna

24 Maret 2022.

Bismillahirrahmanirrahim.

Ambil baiknya buang buruknya ya. Bantu koreksi kalau ada salah💗

Bab 33 : Jatuh dari Motor

***

"Kenapa ya, tiap kali Kakak ngeliat wajahnya Alif kayak lebih adem, gitu? Kayak auranya, tuh, positif banget."

Pagi ini Tisha dan Tara tengah berkumpul di rumah orang tuanya, tentu setelah mendapatkan izin dari suami masing-masing. Hasan sedang bekerja jadi ia tidak ada di rumah, sementara Kiran baru saja keluar membeli sayur di warung dekat rumah mereka.

Mendengar Tara berbicara membahas Alif membuat Tisha yang asik mengupas apel segera mendongak. Perempuan berkerudung yang duduk di ruang makan bersama kakaknya itu mengusung senyum, setuju dengan perkataan Tara barusan.

"Anak penghafal Al-Qur'an emang punya vibes yang beda, Kak," balas Tisha kembali fokus mengupas apel yang ada di tangannya.

"Makanya itu, dari awal aku pengen deket terus sama Alif."

"Iya, deketin anaknya dapet juga bapaknya," cibir Tara membuat Tisha mendengus sebal karena sindiran itu sengaja ditujukan padanya.

Lebih baik perbincangan kali ini tidak diteruskan, daripada nanti Tisha terkena getahnya. Ia harus bersikap baik dan sopan dengan wanita yang sedang mengandung itu.

"Ya Allah ... Hamba pengen juga punya anak penghafal Al-Qur'an," doa Tara penuh harap sambil mengelus perut buncitnya 

"Aamiin Ya Allah."

Barulah Tisha merespon dengan semangat, Tara yang mendengar doanya diaminkan tersenyum senang. Sambil melahap potongan buah apel yang sudah disiapkan oleh adiknya, Tara kembali menyambung obrolan.

"Ternyata gak semua ibu tiri itu jahat, ya?"

"Alhamdullilah, di dunia masih banyak orang baik."

Tara mengangguk setuju, kembali bersuara dengan mulut penuh makanan. "Kakak gak habis pikir sama ibu kandung yang menelantarkan anaknya sendiri, padahal anak adalah investasi akhirat."

"Apa doa ibu yang seperti itu mustajab ya? Apa surga masih ada di telapak kakinya?" lanjut Tara yang langsung ditegur oleh Tisha.

"Kakak kalau ngomong jangan ngelantur, deh." Tisha menyenggol lengan Tara tapi tidak kuat. "Terlepas dari itu semua, mereka tetap aja udah berjuang mengandung dan melahirkan anaknya."

"Kakak ngomong gini karena kejadiannya ada di depan mata Kakak, ya."

Tisha menurunkan bahunya, menatap bingung Tara. "Maksudnya?"

Tara memutar bola mata seraya menoleh jengah ke arah adiknya yang duduk di sebelah kanan. "Masa gak paham, sih? Kakak lagi bahas kejadian yang kamu hadapi sekarang."

Perempuan berjilbab dengan gamis maroon itu lanjut memperjelas agar adiknya cepat mengerti. "Kakak, tuh, heran banget sama kelakuan mantan istrinya Syam yang selalu pakai baju kurang bahan. Kakak akui dia cantik, tapi bisa, kan, gak dipamerin? Apalagi dia sama sekali gak ngurus anaknya malah diserahin ke Syam gitu aja."

Tisha bergerak cepat menutup mulut Tara agar tidak lagi melanjutkan kalimat nyinyir yang tak berfaedah sama sekali.

"Astagfirullahaladzim, Kak. Istighfar. Kurang-kurangin deh komentarin hidup orang, gak baik. Lagi hamil juga."

Tara yang merasa pengap segera melepaskan tangan sang adik yang membekap mulutnya dengan ekspresi kesal. Meski begitu, Tara tetap melantunkan istighfar berkali-kali.

"Kenapa, sih? Yang Kakak omongin emang salah? Enggak, kan."

"Gak boleh menghakimi orang sembarangan, Kak. Siapa tahu dia punya amalan yang menghapuskan dosa-dosanya. Kan, kita juga gak tahu."

Tara membuang napasnya, merasa malas mendengar adiknya membela wanita itu. Ia melahap buah apel dengan ekspresi ogah-ogahan untuk mengalihkan rasa kesal.

Tara bersyukur karena Syam selalu berpihak kepada Tisha. Kalau tidak, pasti adiknya itu tak akan bisa tertawa lepas atau memberinya kata-kata bijak seperti sekarang. Diam-diam Tara lega saat lelaki yang menjadi pendamping Tisha sangat mendukung istrinya.

"Jangan menghina dosa seseorang, takutnya malah balik ke kita. Nauzubillah min dzalik."

"Iya, deh, iya." Tara memilih untuk mengalah ketimbang berdebat dengan Tisha. Ia mengakui dirinya salah, tetapi hanya sebentar.

Selanjutnya Tara berceloteh kembali, "Tapi kamu gak pernah dilabrak sama mantan istrinya, Syam, kan? Soalnya muka dia itu labrak-able banget."

Tisha justru tertawa ketika kakaknya berkata demikian. Ia lantas membalas dengan kejujuran sesuai yang terjadi padanya. "Alhamdullilah, gak sampe dilabrak."

Keadaan menjadi hening sebab tidak ada obrolan lagi saat Kiran datang membawa beberapa sayuran yang akan dimasak hari ini. Tisha dan Tara dengan cepat ikut membantu memotong dan mengupas, sedangkan Kiran menyiapkan air untuk merebus sayur itu nantinya.

"Tis," panggil Tara berhasil mendongakkan kepala Tisha dan langsung menatapnya.

Agaknya Tara ingin memulai percakapan lagi karena tidak bisa membiarkan suasana terlalu lama sunyi.

"Kamu sama Syam selisih umurnya jauh, kan, ya? Sekitar tujuh tahunan kalau gak salah," ujar Tara hendak membuang rasa penasarannya. Mengingat dia sendiri menikah dengan laki-laki yang sebaya.

"Kata temen-temen Kakak dulu, kalau dapet pasangan yang lebih tua, pas berantem atau buat kesalahan pasti gak mau disalahin. Emang bener?" lanjutnya menatap Tisha lekat.

Tisha menaikkan sebelah alisnya, memiringkan wajah melihat Tara. "Tapi setauku malah pada nyari yang lebih tua karena dewasa?"

Tara mengangkat pundaknya acuh tak acuh. "Kakak juga gak tahu, tapi katanya selain ngerasa paling bener, biasanya manipulatif juga, selera humor sama pemikirannya, tuh, kadang beda."

"Bukannya dewasa atau enggak, gak ngaruh ke umur ya?"

"Emang."

"Kalau gitu berarti tergantung orangnya, Kak." Tisha akhirnya paham arah pembicaraan kakaknya.

Jika sudah bertemu seperti sekarang, pasti waktu mereka dihabiskan untuk berdiskusi. Membahas apa pun asalkan mereka bisa saling bertukar pikiran. Mengingat mereka tidak lagi tinggal di satu atap yang sama.

"Justru Pak Syam lebih ngertiin aku, lebih peka dari aku, bahkan selera humornya receh banget. Kalau soal pemikiran ya emang beda, soalnya dia lebih dewasa, kalau aku kadang masih labil."

Tara mengangguk mengerti saat Tisha menjelaskan secara gamblang. Namun beda halnya dengan Kiran yang datang menghampiri mereka dan tiba-tiba menegur.

"Masa sampai sekarang masih dipanggil 'Pak' bukan 'Mas'? Atau apa gitu?"

"Eh, iya juga, ya?" Tara pun juga baru menyadarinya. Seolah ingin mengerjai adiknya, Tara ikut memanas-manasi.

"Hayoo, Dek. Jangan-jangan kamu belum ngerasain nikmatnya surga dunia, ya?"

Kiran yang menyimaknya langsung menyumpal mulut Tara dengan potongan buah apel agar berhenti berbicara.

***

Ketika otaknya terpikirkan mengenai perkataan Tara, membuat Tisha mendadak menjadi orang yang sedikit tidak waras. Senyum-senyum sendirian dibalik kaca helm yang tertutup. Entah mengapa akhir-akhir ini Tisha menjadi aneh, lebih sering merasa malu saat Syam menggodanya.

Ah, mungkin ini hanya perasaan Tisha. Saking hanyut di dalam lamunannya mengakibatkan Tisha tidak fokus dengan jalanan yang sedang dilewatinya. Bahkan di tikungan, Tisha langsung berbelok begitu saja. Ia tidak hati-hati, padahal dari arah berlawanan ada mobil sedan yang tengah melaju.

Tisha baru sadar dari pikirannya saat mobil itu membunyikan klakson begitu keras. Sehingga Tisha yang tidak punya pilihan lain refleks membelokkan stang sepeda motornya sampai oleng dan jatuh menimpanya.

Warga sekitar yang menyaksikan kejadian menegangkan tersebut lantas menolong Tisha. Memapahnya ke pinggir setelah sepeda motor berhasil diparkirkan dengan semestinya. Karena mobil tersebut lecet dan Tisha sadar bahwa itu ulahnya, dengan senang hati Tisha menawarkan ganti rugi.

Singkat cerita, Tisha beristirahat sejenak di warung makan terdekat. Memesan teh hangat untuk menjernihkan pikirannya yang masih syok. Dengan keadaan seperti ini, Tisha tidak bisa menjemput Alif karena motornya sedang ada di bengkel.

Tisha kemudian menelpon Syam untuk mengabari bahwa ia tidak bisa menjemput Alif sekaligus meminta solusinya. Sebenarnya Tisha merasa gelisah, takut Alif menunggu sendirian terlalu lama.

Di lain tempat, Syam baru saja keluar dari ruang rapat bersama sekretarisnya dan hendak melanjutkan kembali pekerjaannya. Namun dering ponsel di saku jas membuat Syam berhenti melangkah lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari Tisha.

Arjuna yang diberitahu oleh Syam bahwa akan mengangkat telepon dari sang istri langsung terbatuk-batuk tak jelas.

"Kayaknya Ayang lagi kangen, nih." Arjuna mulai menggoda sahabatnya sambil berpura-pura terbatuk lagi.

Syam tidak merespon Arjuna dengan kata-kata, ia hanya tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya.

"Assalamualaikum, My Queen. Ada apa?" kata Syam memulai pembicaraan setelah teleponnya tersambung.

Mendengar itu Arjuna semakin menjadi-jadi. Menyahuti perkataan Syam dengan nada yang dibuat manja seperti perempuan.

"Ayang cepet pulang, ya. Aku kangen belaian kamu."

Syam melotot tajam, menoleh dengan wajah menahan amarah ke arah Arjuna. Karena tidak mau terkena semprot bosnya, Arjuna mencari aman. Ia mengambil langkah seribu sambil cekikikan melihat ekspresi Syam.

Berusaha untuk tidak meladeni rekan kerja sekaligus sahabat yang sangat menyebalkan itu, Syam memilih fokus menyimak balasan Tisha di seberang sana.

"Wa'alaikumussalam, Pak Syam. Pak Syam saya mau tanya."

"Silakan."

"Biasanya Pak Syam kalau lagi gak bisa jemput Alif gimana?"

Syam sontak mengerutkan keningnya bingung. Pertanyaan Tisha tidak seperti hari-hari biasanya. Syam merasa bahwa Tisha tengah berada di sebuah tempat yang ramai, terdengar jelas suara ribut di sekitar.

"Bilang ke Mama, terus nanti Mama pesan taksi buat pergi ke sekolahnya Alif. Baru Mama jemput Alif sekalian pulang." Syam menjelaskan dengan gamblang. "Kenapa, hm?"

Penuturan Syam membuat Tisha mengangguk paham. Perempuan itu menggeleng saat Syam menanyakan keadaannya.

"Gapapa. Makasih, ya, Pak."

Tisha hampir saja menutup sambungan telepon kalau Syam tidak segera menyela, "Perempuan kalau bilang gapapa, pasti ada apa-apanya."

Di seberang dana, Tisha mendengus sebal. Niatnya ingin menyembunyikan masalah ini dari Syam agar tidak menimbulkan rasa khawatir, perlahan akan gagal. Sebab pada akhirnya, pasti terkuak juga.

Tisha terpaksa mengusung senyumnya, walaupun ia tahu jika Syam tak mungkin melihatnya.

"Gapapa, Pak. Serius, deh." Tisha masih berusaha menyakinkan meski tidak semudah kelihatannya. Syam itu susah dibohongi.

"Kalau gitu saya pulang sekarang."

Dugaannya benar. Ucapan tegas Syam membuat Tisha kalang kabut. "Eh, Pak, jangan!"

"Pak Syam fokus kerja aja, takutnya dimarahin sama bos-nya Pak Syam," ucap Tisha cepat dan jelas.

"Habisnya kamu gak jawab pertanyaan saya."

"Yang mana?"

"Kenapa?"

Tisha mengembuskan napas kesal. Berdebat di tempat umum bukanlah ide yang bagus. Alhasil ia memilih jujur daripada memperpanjang perdebatan.

"Saya baru aja jatuh dari motor. Motor saya lecet, sama kaca spionnya pecah. Tapi, alhamdulilah saya gak papa." Tisha berkata setengah emosi, berharap Syam tidak ngeyel ingin pulang lagi.

"Sekali lagi saya bilang kalau saya GAPAPA. Udah, jangan khawatirin saya."

"Siapa yang khawatirin kamu?" balas Syam dengan nada menjengkelkan. Namun tanpa sepengetahuan Tisha, Syam merapalkan rasa syukur berkali-kali kepada Allah karena istrinya masih diberi keselamatan.

Satu kalimat itu benar-benar membuat Tisha berada di puncak ke kekesalannya.

"Saya cuman gak mau buat om-om jantungan."

"Apa kamu bilang, hm?"

Tisha berdecak. "Pak Syam duluan yang mulai."

"Mulai apa?"

"Buat saya kesel."

Syam menyunggingkan senyumnya. "Jadi, kamu mau saya khawatirin kamu?"

"Gak juga, sih." Tisha menyeruput teh hangatnya kelewat santai melalui sedotan. "Sama yang tadi saya bilang. Takut kualat bikin om-om khawatir."

"Awas, ya, kamu nanti malem."

Agaknya Syam mulai kesal, Tisha menyengir lebar akhirnya bisa membalaskan dendam. "Nanti malem, kan, mau ketemu Mbak Vanya," ujarnya percaya diri.

"Pulangnya, kan, bisa."

"Saya tidur duluan, wlek!" Tisha menjulurkan lidahnya.

Buru-buru Tisha menutup telepon dengan salam tanpa menunggu balasan karena firasatnya mengatakan kalau Syam bersungguh-sungguh tak akan membiarkannya malam ini jika sampai membuatnya jengkel.

Tanpa menunggu lama, Tisha segera memesan taksi atau apa pun yang bisa mengantarkannya segera kepada Alif. Ia tidak mau anak itu menunggu terlalu lama.

***

Bersambung....

Awas Tisha, debat lama-lama jadi cinta. Jangan-jangan malah udah jatuh cinta asekk😂

Follow Instagram: @wp.diaryalna

Jangan lupa tinggalin jejak ya. Terima kasih✨

Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 337K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
58.8K 2K 42
Rating (R-13+) #53 Highest rank in GenFict 17/05/18-20/05/18 Blurb: Saat takdir mempermainkan kehidupan, tangan Tuhan seolah menggoreskan tinta buru...
1.1M 68.7K 65
Spin off : Guz & Ning Jatuh cinta. Pernikahan atas dasar perjodohan, apakah itu sebuah kesalahan? Jika iya, lantas kenapa harus diadakan! Dan jika ti...
506K 43.4K 52
Follow dulu sebelum baca! Aretha Khanza Zayna. Ikhlas menerima perjodohan yang disusun oleh orang tuanya dengan seorang pria yang sedikit pun tidak i...