BRIANNA [Proses Revisi]

By saripahsaa

1.2M 138K 7.1K

Matanya mengerjap pelan menyesuaikan cahaya yang menembus masuk dalam indera penglihatannya. Setelah terbuka... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41

Chapter 30

18.4K 2.3K 188
By saripahsaa

***

Kini keduanya telah sampai di tempat dimana anak-anak jalanan tinggal. Tempatnya memang agak kumuh namun itu tak menutupi riang gembira anak-anak yang sedang bermain. Gelak tawa mereka seolah menyadarkan Brianna untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun.

"Kau benar-benar yakin ingin pergi ke sana?" Denzel bertanya sekali lagi. Agak ragu sebenarnya mengajak Brianna ke tempat seperti ini.

Brianna yang sedari tadi memperhatikan anak-anak jalanan di sebrang sana kini menoleh dan tersenyum tipis "Aku yakin, kau tidak perlu khawatir seperti itu".

"Siapa juga yang menghawatirkan mu" delik Denzel membuang mukanya. Hal itu malah membuat Brianna terkekeh geli.

Brianna paham, Denzel khawatir jika dirinya merasa tak nyaman di tempat seperti ini, padahal ia tak masalah sama sekali justru Brianna malah senang karena bisa melihat gelak tawa mereka tanpa beban itu.

"Ayo. Tidak mungkin kan kita hanya berdiri disini terus menerus" Brianna mengelos pergi ke arah gerombolan anak-anak itu.

Denzel menghela nafasnya. Setelahnya ia menyusul Brianna yang kini sudah jauh beberapa meter darinya.

"Halo semuanya" sapa Brianna lembut saat dirinya tiba di antara gerombolan anak-anak itu.

Anak-anak itu serentak menoleh kearah sumber suara. Seperti biasa orang-orang yang melihat Brianna akan selalu terpaku di tempat.

"Aku tidak tau mana yang lebih indah hari ini. Cuacanya... Atau kakak cantik yang ada di hadapanku ini?" celetuknya.

Pletak!

"Aduh... Sakit tau. Kenapa kau malah menjitakku hah?!" Bocah laki-laki itu menatap kesal ke arah temannya.

"Dasar kau ini. Mentang-mentang ada gadis cantik seenaknya menggodanya. Kau itu masih bocah bodoh" sahutnya berdecak sebal.

"Lalu apa salahnya huh!?".

"Oh atau kau iri karena tidak di panggil cantik olehku?" Bocah itu menaikan kedua alisnya dengan tengil.

Gadis kecil itu mengernyit jijik "Lihatlah wajahmu. Kau terlihat jelek" ejeknya.

Bocah laki-laki itu mengerut "Dasar menyebalkan". Gadis kecil itu menjulurkan lidahnya tanda mengejek.

Brianna tertawa kecil. "Sepertinya seru sekali, kakak boleh ikut bermain?"

Mereka semua mengangguk dengan antusias "Tentu saja boleh kakak cantik".

"Ayo!" Menarik Brianna untuk ikut serta bermain dengan mereka.

Di ujung sana Denzel diam memperhatikan bagaimana perilaku Brianna pada anak-anak disini. Ternyata memang perkiraannya salah, Brianna tampak nyaman dan tak ada raut jijik diwajahnya. Ia pikir Brianna akan merasa jijik jika ia membawanya ke tempat kumuh seperti ini, jika kebanyakan gadis seperti Brianna merasa enggan jika dibawasa kesini. Tetapi gadis itu malah tidak keberatan sama sekali. Albern benar gadis itu berbeda dengan gadis lain, bukan hanya wajahnya yang cantik tapi hatinya pun cantik. Perlahan bibirnya mengukir senyum tipis tanpa ia sadari.

"Dia kekasihmu kak?"

Denzel tersadar. Kemudian menoleh, mendapati seorang bocah laki-laki yang tengah duduk di kursi roda "Aland kenapa kau disini. Harusnya kau beristirahat" Denzel berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan bocah itu.

"Aku bosan kak. Aku ingin melihat teman-temanku bermain".

Akibat dari perkataan tersebut perasaan bersalah kini kembali menyeruak dalam dirinya. Tatapannya berubah menyendu "Maafkan kakak seharusnya dulu kakak ber—"

"Stt... Sudah kubilang kak, jangan dibahas lagi. Aku sudah memaafkan mu jauh sebelum kakak meminta maaf. Aku memang hanya ingin melihat teman-temanku bermain, itu saja". Aland memperlihatkan senyum manisnya. Pertanda bahwa dirinya baik-baik saja.

Denzel mengusap rambut Aland dengan lembut. Bersyukur dirinya dipertemukan dengan sosok seperti Aland meskipun bertemu dengan keadaan yang tak diinginkan. Setidaknya Denzel bisa bernafas lega melihat Aland yang selalu baik-baik saja.

"Jadi apakah gadis itu memang kekasihmu kak?" Aland menatap jahil pada kakak angkatnya itu.

Denzel mengacak rambut Aland gemas "Dia hanya temanku. Kau ini masih kecil, jangan berbicara soal kekasih seperti itu. Memangnya kau tau arti kekasih itu apa?"

Aland mencebik kesal "Hei aku tau ya! Mentang-mentang aku masih kecil, jadi tidak tau hal seperti itu".

Denzel terkekeh "Jadi menurutmu apa arti kekasih itu hm?" tanyanya.

"Pasangan wanita dan pria yang sedang berciuman" jawab Aland polos.

Denzel melotot teori macam apa itu. "Dari mana kau tau itu hah!?"

"Felix yang memberitahuku" lagi-lagi Aland menjawab dengan polos.

Denzel memijit pelipisnya. Astaga, bocah tengil itu benar-benar ya. "Lain kali jangan bermain dengannya lagi. Otakmu bisa ikut kotor nanti".

Aland tertawa "Aku hanya bercanda kak".

"Pasangan kekasih adalah dua orang yang saling mencintai satu sama lain. Mereka belajar menerima perbedaan masing-masing dan sama-sama berusaha menciptakan sesuatu yang spesial setiap harinya. Tentunya mereka memiliki hubungan yang indah, dengan adanya usaha dan kepedulian untuk bertahan dan berkembang sehingga membuat keduanya selalu merasa bahagia. Tak lupa mereka juga membutuhkan kerja keras dan komitmen yang kuat dalam memulai suatu hubungan".

"Itu saja sih yang aku tau" Aland menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Denzel tersenyum tipis "Seharusnya aku tak mempercayaimu tadi. Kau kan selalu pintar sejak dulu" ucapnya Menjawil hidung Aland dengan gemas.

Aland nyengir kuda "Mana mungkin aku percaya dengan perkataan si bodoh Felix".

"Ada apa ini. Kenapa namaku disebut-sebut" ujar seseorang tiba-tiba. Di ikuti dua orang gadis beda generasi dari belakang.

"Tidak ada wlee".

Felix mendengus lalu beralih pada Denzel "Kak Enzel mana jatah makananku" dengan tidak tau dirinya Felix menjulurkan tangannya pertanda ingin diberikan makanan.

Denzel menggeleng maklum lalu memberikan beberapa snack makanan kesukaannya "Ambilah. Dan jangan meminta lagi pada teman-teman mu. Aku menambahkan porsi lebih untukmu". Felix menerimanya dengan mata berbinar. Membuat Aland dan temannya memutar bola matanya. Felix ini memang spesies tidak tau di untung.

"Setidaknya kau ucapkan terimakasih Felix bodoh" tutur gadis kecil yang bernama Alicia dengan kesal.

Felix cengengesan "Maaf aku lupa. Terimakasih kak Enzel, lain kali bawanya lebih banyak dari ini ya?" pintanya tidak tau diri.

Alicia dan Aland menepuk jidatnya. Agak malu sebenarnya punya teman seperti Felix ini.

Brianna dan Denzel terkekeh "Iya".

"Kau ingin pulang?" tanya Denzel.

Brianna mengangguk "Iya. Orang rumah terus saja menghubungiku sedari tadi".

"Kau tunggu disini. Aku ingin membagikan makanan ini sebentar".

"Biarkan aku memban—"

"Tunggulah disini aku tau kau lelah bermain dengan anak-anak" potong Denzel. Brianna menurut.

"Cia, Felix bantu aku memberikan makanan ini pada teman-teman mu ya?"

Keduanya mengangguk.

"Baiklah. Tolong bantu aku bawa makanan ini".

"Siap kak!"

Kemudian mereka beranjak meninggalkan Brianna dan Aland.

"Aku Aland kak" tak biasanya Aland memperkenalkan dirinya pada orang lain. Biasanya mereka lah yang lebih dulu.

Brianna menerimanya dengan senang hati "Brianna. Kamu bisa panggil kakak dengan Anna".

"Kakak cantik sekali".

Brianna tersenyum manis "Terimakasih. Kamu juga tampan" Aland tersipu malu mendengarnya.

"Berapa umurmu?" tanya Brianna.

"10 tahun kak".

Brianna mengangguk-anggukkan kepalanya "Berarti seumuran dengan Cia dan Felix ya?"

"Iya kak".

"Kakak ingin bertanya boleh?" izinnya.

"Boleh kak. Tanya apa?"

"Kamu kenal dengan kak Denzel sudah lama?"

Aland mengangguk "Hampir dua tahun".

"Oh ya? Boleh ceritakan sedikit?".

Untuk sesaat Aland terdiam. "Saat itu, aku tengah berjualan di pinggir jalan. Daganganku masih banyak, belum ada yang membelinya satupun. Aku hampir saja pasrah karena tidak ada yang membeli daganganku, tapi aku selalu saja menguatkan hatiku untuk jangan mengeluh dalam keadaan apapun. Masih banyak orang yang lebih tidak beruntung dariku" Aland menjeda ucapannya.

"Aku melihat di sebrang jalan ada kakek-kakek sepertinya dia terlihat kelaparan. Lalu aku melihat kearah daganganku, memberinya makanan sepertinya tidaklah buruk pikirku. Aku berniat menyebrang, namun tiba-tiba mobil dari arah berlawanan melaju dengan cepat. Aku tak sempat melihat kemana-mana, yang aku tau orang-orang berlari mengerumuniku dan berteriak dengan panik. Kejadian itu terjadi begitu saja, bahkan aku tak sempat memberikan makanan ini pada kakek itu. Teriakan panik dari orang-orang hanya terdengar samar dalam pendengaranku. Rasanya sulit untuk sekedar membuka mata, seluruh tubuhku rasanya remuk tak tersisa". Aland menarik nafasnya dalam-dalam, rasanya sulit jika harus menceritakan kejadian kelamnya dulu. Brianna mengusap punggung Aland lembut, matanya berkaca-kaca mendengar kisah pilu Aland.

"Saat aku membuka mata, bau khas obat-obatan tercium dalam indera penciumanku. Dan melihat ada seseorang yang tertidur di sampingku. Saat aku bergeser sedikit dia terusik. Perlahan ia membuka matanya, dan menatap kaget kearah ku. Tampilannya terlihat kacau, aku hanya diam saja bingung harus bagaimana. Sedangkan aku tak mengenalnya sama sekali, sepertinya dia paham dan mulai memperkenalkan diri. Namanya Denzel Harries, anak dari pasangan dokter terkenal di kota ini sekaligus pemilik rumah sakit kala itu".

"Kak Enzel bilang jika dialah penyebab kecelakaan itu terjadi. Aku hanya diam dan melihat kearah kakiku yang tak dapat digerakkan sama sekali. Kak Enzel paham dengan arah pandanganku, dia berucap dengan nada bergetar jika aku dinyatakan lumpuh sementara. Dan kakak tau reaksiku seperti apa?" Aland bertanya balik pada Brianna yang kini tengah menangis. Aland tersenyum lalu mengusap air mata Brianna menggunakan tangan mungilnya.

"Aku hanya tersenyum. Berusaha menguatkan diriku untuk selalu terlihat baik-baik saja bahkan dalam keadaan terpuruk sekalipun. Mungkin memang Tuhan sedang mengujiku saat itu, meskipun jauh dalam lubuk hatiku rasa sakit bercampur sesak menguak dalam dada itu terasa menyakitkan. Namun kembali lagi, Tuhan tidak akan pernah menguji seorang hamba di atas kemampuannya. Aku percaya kebahagiaan akan datang menyertaiku suatu saat nanti. Dan ya, aku bahagia sekarang kak" Aland memberikan senyum manis diakhir ceritanya.

Aland terkekeh melihat Brianna yang terus saja mengeluarkan air matanya "Jangan menangis kak. Aku saja tidak menangis lihat..!"

"Boleh kakak memelukmu?" Aland mengangguk.

Dengan sigap Brianna memeluk erat tubuh mungil Aland, mengusap punggungnya dengan lembut dan memberikan kata-kata penyemangat untuknya.

Tanpa mereka sadari, Denzel mendengar semua cerita Aland. Tangannya mengepal kuat dengan mata yang berkaca-kaca. Bagaimana pun rasa bersalah dan penyesalan itu selalu ada ketika dirinya melihat Aland. Denzel menyesal karena sempat mabuk waktu itu hingga menyebabkan seorang anak kecil kehilangan hal berharga darinya. Denzel menghela nafasnya dalam-dalam, lalu menghapus air matanya kasar.

"Sudah selesai ngobrolnya?"

Keduanya tersadar, lalu melepaskan pelukannya. Brianna dengan cepat-cepat menghapus air matanya.

"Denzel..." Denzel tak berniat bertanya mengapa Brianna menangis karena itu malah akan menjadi bumerang baginya.

"Kita pulang sekarang" Brianna mengangguk lalu menoleh menatap Aland "Kakak pulang dulu ya? Kapan-kapan kakak main kesini lagi, sehat-sehat disini ya" Brianna mengusap kepala Aland lembut.

Aland tersenyum "Iya kak".

"Kak Enzel pulang dulu ya Aland. Jaga kesehatanmu, dan kurang-kurangi lah bermain dengan Felix. Kau bisa tertular sifat menyebalkannya itu" Denzel mengacak rambut Aland gemas.

"Kakak pergi dulu. Sampai jumpa Aland!" Mereka beranjak pergi. Aland tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Sampai jumpa kak!"

***

Motor sportnya kini tiba di mansion megah milik keluarga Brianna.  Brianna turun dengan hati-hati tentunya dibantu oleh Denzel.

"Terimakasih sudah mengantarku. Dan terimakasih juga karena kamu membawaku pergi ketempat anak-anak itu" ucapnya dengan tersenyum.

Denzel mengangguk. Saat ia akan menyalakan kembali mesin motornya, Brianna kembali bersuara.

"Tunggu Denzel..."

Denzel menoleh lalu membuka kaca helmnya seolah bertanya kenapa?

"Em... Apapun yang terjadi kamu tidak perlu menyesal ataupun merasa bersalah. Semuanya terjadi karena kehendak Tuhan dan takdir. Kita tidak tau apa yang terjadi apakah sesuai dengan keinginan kita ataupun tidak sama sekali. Menyesal mungkin boleh saja, namun jangan terlalu larut dalam penyesalan itu. Itu hanya akan membuat hatimu merasa tidak tenang, cobalah untuk berdamai dengan keadaan. Jangan sampai pikiran negatifmu menguasai hatimu" entahlah tiba-tiba perkataan itu muncul dengan sendirinya.

"Ah, mungkin itu saja. Hati-hati di jalan Denzel. Sampai jumpa! " setelah mengucapkan selamat tinggal Brianna dengan cepat memasuki gerbang mansionnya dengan lari terbirit-birit.

Di balik helmnya Denzel diam-diam mengukir senyum manis. Dirinya paham maksud dari perkataan Brianna tadi. Lalu kembali melihat sosok yang kini menghilang dibalik gerbang.

Dengan perasaan yang sulit diartikan, Denzel menghidupkan mesin motornya dan melaju meninggalkan pekarangan mansion itu.

Disisi lain Brianna dapat bernafas lega karena kedua orangtuanya belum tiba. Hanya ada Bella dan beberapa pekerja rumah, tentunya saat ia masuk Bella memberikan beberapa ceramahnya karena terlalu lama pergi. Brianna hanya mampu mengangguk pasrah saat Bella memperketat penjagaan untuknya. Jika ia membantah maka Bella dengan senang hati akan melaporkan kejadian hari ini.

Setelah selesai berganti baju dengan piyama. Brianna merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Matanya menerawang menatap atap rumah dengan kosong.

I knew from the first time, I'd stay for a long time 'cause...

Brianna menoleh mendapati handphone nya berdering. Brianna mengerutkan keningnya karena melihat nomor asing yang menelponnya.

I like me better when
I like me better when I'm with—

Karena penasaran dengan segera Brianna mengangkatnya.

"Halo...?" Sapanya lebih dulu.

Hening tak ada jawaban sama sekali dari si penelpon.

Brianna melihat kembali handphone nya memastikan telponnya masih tersambung atau tidak. Ternyata masih tersambung "Halo?" sapanya sekali lagi.

Masih tidak ada jawaban apapun. Membuat Brianna berdecak sebal "Jika kau masih tidak bersuara. Aku matikan saja" ujarnya kesal.

"Tunggu..." akhirnya sang penelepon pun bersuara.

Brianna mengernyit. Sepertinya ia kenal dengan suara ini. "Kau siapa? Dari mana kau mendapatkan nomorku?"

"Tidak penting aku mendapatkan nomormu dari mana. Yang jelas kau seharusnya tau aku ini siapa".

Brianna menaikan alisnya "Albern?" ucapnya memastikan.

Di ujung sana Albern tersenyum tipis "Ya, itu aku".

"Ada apa?".

"Tidak apa-apa. Aku hanya merindukan suaramu" ujarnya pelan.

Brianna mengernyit "Kau berbicara apa?"

"Tidak ada."

Brianna mengendikkan bahunya.

Hening...

"Bagaimana harimu hari ini?" tanya Albern akhirnya kembali memulai topik.

Brianna tersenyum "Baik. Ah tidak sangat baik. Kurasa hari ini menjadi hari yang begitu berarti bagiku".

"Oh ya apa itu?"

"Tadi siang Denzel mengaj—"

"Tunggu! Apa Denzel?!"

Brianna meringis "Iya, memangnya kenapa?"

"Kau pergi berdua dengannya?!"

Dengan polosnya Brianna menjawab "Iya".

"Ada apa Al? Kenapa kau terlihat marah?" tanya Brianna tak mengerti. 

Albern mengusap wajahnya kasar. "Lupakan. Sekarang kau beristirahatlah aku tutup telponnya" ucap Albern dingin.

"Tapi tungg—"

Tut.

Brianna menatap aneh pada layar handphone. Ada apa dengan Albern kenapa dia tiba-tiba menutup telponnya, padahal dirinya belum selesai bicara. Ah sudahlah, Brianna tak peduli. Biar besok saja dia tanyakan padanya.

Brianna melemparkan handphonenya ke sembarang arah, lalu menarik selimutnya bersiap untuk tidur.

***

Haii semuaa apaa kabar?

Jujur ini chapter terpanjang yang pernah aku ketik. Semoga aja kalian suka yaa.

Jan lupa vote sm komennya yaa.

Babaiii.

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

374K 43.3K 55
Rafka, seorang mahasiswa berumur dua puluh tujuh tahun yang lagi lagi gagal dengan nilai terendah di kampus nya, saat pulang dengan keadaan murung me...
3.5M 232K 76
Selama 28 tahun hidup, Rene sama sekali tidak memiliki pikiran untuk menikah apalagi sampai memiliki anak. Dia terlalu larut dengan kehidupannya yang...
880K 53.2K 56
Setelah menerima banyak luka dikehidupan sebelum nya, Fairy yang meninggal karena kecelakaan, kembali mengulang waktu menjadi Fairy gadis kecil berus...
156K 14.3K 21
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...