The Daddy's Affair (Tersedia...

By revelrebel

1M 94.1K 3.2K

(Content dewasa. Pastikan sudah cukup umur kalau ingin membaca) Aria Daniel, vokalis Storm. Digilai cewek-cew... More

Prolog
Chapter 1: Daddy's Little Secret
Chapter 2: The One That Got Away
Chapter 3: Falling in Love with Mr. Superstar
Chapter 4: My Dad is a Pop Star
Chapter 5: Pieces by Pieces
News Flash: Aria's Woman
Chapter 6: She's Gone
Chapter 7: A Daughter's Heart
Chapter 8: Parental Guidance
Ch. 9: Could You Give Me a Simple Dinner?
Chapter 10: I Don't Need a Car
News Flash: Shaloom Talitha Aria
Chapter 11: The Muse
Chapter 12: Almost Kisses
Chapter 13: Perempuanku
Chapter 15: A Daughter's Game
News Flash: Aria Tirta Daniel
Chapter 16: Two Faces
Chapter 17: Sayang, Aku Cemburu
Chapter 18: Mimpi-Mimpi Shaloom
Chapter 19: When We Were Young
Chapter 20: Post Concert Effect

Chapter 14: Come Together

18.6K 3.4K 177
By revelrebel

Aria

"Baby..." bisikan Jelitha membuat perutku mual. Aku benci jika ada yang baby talk di depanku, bersikap manja yang malah membuatku muak.

Aku menghentikan tangan Jelitha yang bergerak membuka celanaku, tapi dia tidak peduli. Jelitha berlutut di depanku, mendongak menatapku dengan raut wajah manja yang aku yakin membuat lelaki mana pun akan besar kepala, lalu menyerah dengan mudah di depan wajah cantik itu.

"Aku lagi enggak mood," balasku.

Jelitha kembali memberengut. "Kita sudah lama enggak ketemu, kamu enggak kangen?"

Enggak lama versi Jelitha adalah dua hari. Maksimal tiga hari. Aku enggak mungkin akan merindukan seseorang dalam waktu secepat itu.

Kecuali Shania. Dulu aku bisa langsung merindukannya padahal baru berpisah tidak sampai satu hari. Rasanya ingin membawa Shania di setiap acara yang kujalani, memastikannya ada di setiap tur atau konser, melihatnya di baris terdepan meneriakkan namaku. Aku ingin Shania selalu bersamaku, karena dia membuatku berfungsi jauh lebih baik ketimbang saat berjauhan dengannya.

Kali pertama aku mengenal rindu, ketika berada di Semarang untuk konser dan Shania tidak bisa ikut. Saat itu, kami baru dekat. Tidak sampai seminggu setelah aku menjemputnya untuk makan malam. Rasa rindu yang kumiliki begitu membuncah, membuatku mengambil penerbangan terakhir malam itu untuk kembali ke Jakarta, diikuti ledekan Elkie yang tidak kupedulikan, dan protes Mas Sony yang kuabaikan.

Aku cuma ingin bertemu Shania.

Dari bandara, aku ke rumahnya. Aku langsung memeluknya begitu dia membukakan pintu. Malam itu, aku memintanya menjadi pacarku.

Shania bukan perempuan pertama dalam hidupku, tapi dia yang membuatku berani mengakui telah jatuh cinta. Shania dengan kesederhanaannya, membuatku ingin menjadi yang terbaik untuknya.

Bersama Shania membuatku berhenti menjadi laki-laki egois. Aku selalu menempatkan Shania dalam setiap hal yang kulakukan, karena aku ingin Shania bangga kepadaku. Dia calon dokter, ada banyak laki-laki lain di luar sana yang menyukainya, dan aku cuma lulusan SMA yang kebetulan berbakat di musik. Aku tidak bisa mengimbangi otak pintar Shania. Hidupku terlalu berbeda dengan Shania. Sedikit saja kesalahan yang kuperbuat, akan membuat Shania lepas dari tanganku.

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Shania. Kalau bisa, aku ingin dia selalu ada di sampingku.

"Aku enggak bisa bolos kuliah. Jadi, kamu harus terima kalau aku enggak bisa ikut kamu ke mana pun," tolaknya, ketika aku kembali merajuk agar dia menemaniku tampil di acara ulang tahun SCTV.

Itu juga alasanku merahasiakan Shania. Dia terlalu istimewa. Aku tidak mau dia menjadi bulan-bulanan media yang tidak pernah lelah merecoki kehidupanku. Shania bisa menempatkan diri, termasuk menghadapi popularitas, tapi aku tidak ingin dia mendapat beban baru akibat popularitas yang kumiliki.

She was my precious little secret. Aku tidak ingin dunia tahu tentang Shania, cukup aku saja.

Sekarang, kalaupun aku harus jujur kepada diri sendiri, bukan Jelitha yang kurindukan. Melainkan Shania.

Apa dia sudah mendengar lagu yang kukirimkan?

Shania memang melonggarkan waktu untukku bertemu Shaloom. Semula kupikir itu akan membuatku sering bertemu dengannya. Namun, Shania masih jauh. Dia setuju dengan sopir yang kukirim untuk mengantar jemput Shaloom, dan aku menyesali keputusan itu karena tidak ada alasan untuk bertemu Shania.

"I miss you, Baby."

Aku tersentak saat mendengar suara manja Jelitha. Aku menunduk dan melihatnya menggenggam kejantananku sembari menjilatinya. Dia melirikku dengan tatapan penuh nafsu, tapi aku tidak merasakan apa-apa.

Ketika Jelitha memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya, aku menatap kepalanya yang bergerak maju mundur dengan hati kebas. Tidak ada rasa apa-apa.

Aku malah teringat ketika Shania memanjakanku di dalam mulutnya.

Shania dengan sikapnya yang malu-malu, tapi rasa ingin tahunya begitu besar. Shania yang awalnya masih ragu, tapi akhirnya menyerah dengan rasa ingin tahu itu. Aku sempat bengong ketika Shania berlutut di depanku dan tangannya bergerak membuka ritsleting celanaku. Shania memegang kejantananku dengan malu-malu, menunduk dalam-dalam ketika kejantananku mencuat dengan sempurna di hadapannya.

Tidak butuh waktu lama bagi Shania untuk menguasaiku. Aku menyerah dengan mudah di tangannya.

Aku menggeram, ketika bayangan kepala Shania yang bergerak maju mundur dengan kejantananku yang berada di dalam mulutnya, memenuhi benakku. Ukurannya yang tergolong besar tidak sepenuhnya muat di dalam mulut kecilnya, sehingga Shania menggunakan kedua tangannya dan menggenggamku erat. Perpaduan permainan tangan dan mulutnya yang memanjakanku membuatku seperti binatang liar yang kesetanan.

Sekarang, ketika merasakan kejantananku mulai berkedut, aku tahu bukan Jelitha penyebabnya. Aku bereaksi karena bayangan Shania.

Bukan Jelitha yang kuinginkan memanjakanku di dalam mulutnya seperti ini. Bukan siapa pun. Hanya Shania.

Aku bisa saja membiarkan Jelitha memuaskanku, tapi aku tidak ingin memanfaatkannya. Aku tidak bisa terus-terusan berhubungan dengan Jelitha. Dia jelas menginginkan hubungan lebih, dan aku tidak bisa memberikannya.

Sebelum kehilangan kendali diri, aku menariknya menjauh. Jelitha menatapku dengan wajah cemberut. Dia kembali menyentuhku, tapi aku telanjur bergerak mundur dan memasang kembali celana.

"Aku enggak bisa ketemu kamu lagi. Hubungan kita enggak akan berhasil, jadi enggak perlu dipaksain."

Damn it, aku terdengar seperti manusia enggak punya hati.

Jelitha menatapku dengan wajah kaget. "Maksudmu?"

"Kamu ingin hubungan lebih, tapi aku enggak bisa. Kamu menyenangkan, tapi aku enggak bisa mencintaimu," jelasku.

"No ... baby, please. Maafin aku, aku salah."

Kini, malah aku yang menatap Jelitha dengan wajah kaget. Dia meminta maaf, untuk sesuatu yang tidak perlu. Aku bahkan yakin dia tidak berpikir jauh, berharap dengan meminta maaf dia bisa membuatku berubah pikiran.

Jelitha tidak tahu arti sebuah permintaan maaf. Bertahun-tahun aku mengiba mengharapkan permohonan maaf Shania dan belum kudapatkan sampai sekarang, sementara Jelitha dengan entengnya meminta maaf untuk kesalahan yang tidak ada, membuat permintaan maaf jadi tidak ada artinya.

"Aku akan lakuin apa aja biar kamu senang. Enggak jadi pacar juga enggak apa, tapi jangan udahan ya. Aku sayang kamu."

Dia juga dengan mudah mengutarakan kata sayang, tanpa menyadari arti penting di balik kata itu.

"Kamu masih muda. Setop buang-buang waktu dengan orang sepertiku, jangan sampai kamu menyesal."

Jelitha mengentakkan kaki. Melihatnya merajuk membuatku teringat Shaloom. Anakku itu pernah meledek, kenapa aku bisa terlibat hubungan dengan Jelitha. Sekarang aku merasa jijik dengan diriku sendiri karena bisa-bisanya berhubungan dengan Jelitha yang hampir seumuran dengan anakku sendiri.

"Aria, please. Jangan tinggalin aku."

Keputusanku sudah bulat. Selain itu, aku juga ingin berhenti menjalin hubungan tanpa arti seperti ini.

Semalam, aku mengizinkan diriku melihat ke dalam hati dan menyadari kebenaran yang masih tersimpan di sana.

Bahwa aku tidak pernah berhenti mencintai Shania.

Shaloom

"Kamu mikirin apa, sih? Serius banget."

Aku mendongak dari laptop dan melihat Papa bersedekap di depanku. Dia menatapku sambil tertawa geli.

"PR Matematika. Papa sih enggak bisa bantuin."

Om Elkie dan Om Kaba ikut tertawa meledek Papa.

"Sha, papamu itu matematikanya selalu merah," ledek Om Elkie. "Kenapa Shania mau pacaran sama lo. Dia kan pintar tuh, anak kedokteran. Lo UMPTN aja enggak lulus. Kuliah setahun di kampus swasta enggak jelas, itu juga DO. Ajian lo kemceng juga sampai Shania mau."

Seketika aku melupakan niat melanjutkan bikin PR dan menatap Papa penuh pertanyaan. Papa biasanya akan bersikap gusar kalau Om Elkie sudah meledek soal Mama. Tapi kali ini beda. Papa santai-santai aja tuh pas diledek.

"Karena Papa ganteng," timpalku.

Papa menduduki sofa di sampingku. Tangannya terulur mengacak rambutku. Aku memberengut, Papa tahu kalau rambutku susah banget diatur, tapi tetap aja dia suka mengacak-acak rambutku.

"Kamu enggak kenal mamamu kalau mikir Mama suka Papa cuma karena ganteng," balasnya.

Ya, sih, Mama enggak seperti itu. Kalau cuma karena ganteng, Mama enggak bakalan susah buat naksir laki-laki lain. Om Agung aja yang ganteng, meski kalah ganteng dari Papa, enggak bisa menaklukkan hati Mama.

"Lo putus sama Jelitha?"

Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan Om Kaba. Refleks aku bersorak kegirangan, membuat kedua teman Papa menatapku heran.

"Finally Papa bener juga. Lagian ngapain sih pacaran sama dia?"

Papa menjitak kepalaku pelan. "Berapa kali dibilangin, Papa enggak pacaran sama dia."

Aku mengulang perkataan Papa tanpa suara dengan ekspresi meledek yang dibuat-buat, membuat Papa kembali mengacak rambutku.

"Papamu pengin balikan sama mamamu kali, Sha."

Sekali lagi, celetukan Om Kaba membuatku terbelalak. Aku menatap Papa dengan mata membola, sementara jantungku berdetak cepat.

Harapan melihat Papa kembali kepada Mama sudah semakin tipis. Mereka kan bercerainya sudah lama. Kalau Papa pengin balikan, kenapa enggak dari dulu? Kenapa harus nunggu lima belas tahun?

Dulu aku pernah berharap. Waktu kecil dan melihat teman-temanku punya keluarga utuh. Tapi aku cukup paham akan keadaan keluargaku yang spesial, jadi enggak lagi berharap.

Setelah mendengar ucapan Om Kaba, harapan yang dulu hilang kembali muncul. Namun aku menepisnya jauh-jauh. Aku enggak mau kecewa.

"Om Kaba bercanda, ya?" tanyaku. Suaraku bergetar, dan mataku terasa berat.

Diam-diam, aku melirik Papa. Aku takut menemukan ekspresi Papa yang bertentangan dengan harapanku. Namun Papa menatapku lembut, dia sama sekali enggak terganggu dengan ucapan Om Kaba.

Entah kenapa, aku merasa ucapan Om Kaba ada benarnya. Aku tersenyum, lama-lama makin lebar, seiring dengan harapan yang semakin besar.

Shania

"Shan, tolong gantiin Padma, ya. Dia enggak masuk hari ini, anaknya sakit. Kita udah janji sama manajemen Jelitha Rae, dia mau Microneedling sekalian syuting buat vlog."

Aku sudah bersiap untuk pulang karena jam praktik sudah selesai ketika Stella dari bagian marketing mencegat langkahku.

"Sekalian buat promoin klinik kita, dan ini full barter ya."

Aku memijat leher. Ini bukan kali pertama aku harus menghadapi selebriti yang bekerjasama dengan BeautyCare Skin Clinic untuk perawatan wajah. Biasanya aku enggak ambil pusing, mereka sama seperti pasien lainnya. Aku enggak membeda-bedakan perlakuan sekalipun mereka punya kekuatan untuk membuatku dan klinik ini lebih maju, atau bisa saja hancur karena enggak suka dengan pelayananku.

Namun, kali ini beda. Aku enggak begitu kenal dengan Jelitha Rae. Kecuali beberapa berita yang kubaca kalau dia pacar Aria. Aku pernah melihat foto mereka liburan, sekalipun Aria tidak pernah memberitahu dengan gamblang soal status mereka.

"Enggak ada yang lain?" tolakku. Bukannya pilih-pilih, tapi aku merasa kurang nyaman memberikan treatment kepada Jelitha.

Stella menggeleng kecil. "Sayangnya yang lain udah ada jadwal sendiri. Tim dia udah nyiapin ruangan buat syuting, Jelitha lagi di jalan. Harusnya setengah jam lagi sampai."

Memberikan treatment untuk selebriti bukan hanya berguna bagi klinik, tapi untukku pribadi. Sudah tidak terhitung berapa kali aku mendapat permintaan khusus dari orang-orang yang termakan omongan selebriti atau influencer yang kebetulan kutangani.

Masalahnya ada pada Jelitha. Aku merasa enggak nyaman karena dia adalah Jelitha.

Seharusnya aku bersikap profesional. Lalu kenapa kalau Jelitha pacarnya Aria? Mungkin suatu hari nanti aku harus memberikan perawatan wajah untuk pacarnya yang lain, atau istrinya mungkin?

Jadi, mengabaikan semua rasa tidak nyaman itu, aku menuju ruangan perawatan untuk mempersiapkan keperluan microneedling.

Perawatan Collagen Induction Therapy yang dimiliki klinik ini termasuk salah satu yang terbaik. Aku sudah terbiasa dengan treatment ini.

"Lho, bukannya kamu mau pulang?"

Aku tidak sengaja berpapasan dengan Agung ketika menuju ruang perawatan. Dia sudah rapi dan bersiap untuk pulang.

"Batal. Ada syuting buat vlog Jelitha Rae dan aku gantiin Padma."

"Jam praktimu kan sudah selesai."

Aku mengangguk kecil. "Enggak ada yang lain dan Stella udah kepalang janji."

Agung menggaruk pipinya, kebiasaan setiap kali dia sedang berpikir. "Kayaknya Maria bisa, dia lagi kosong karena pasiennya batalin janji. Tadi setahuku Stella mau minta dia gantiin Padma, kenapa tiba-tiba jadi kamu?"

Pertanyaan Agung menyentakku. Tentu saja ada niat lain di balik penunjukan ini.

Jelitha, pacarnya Aria. Publik sudah mulai mengendus namaku, juga klinik ini. Stella pasti menginginkan publikasi lebih dan menurutnya akan lebih menguntungkan kalau aku yang menangani Jelitha.

Mantan istri versus pacar? Media pasti bakal bersorak kegirangan karena mendapat bahan untuk berita.

Agung sepertinya menyadari keberatanku. "Aku bisa minta Maria buat gantiin kalau kamu enggak bisa."

Meski gondok, aku memaksakan diri untuk tersenyum. "Enggak apa, Mas. Lagian, Microneedling kan keahlianku, Maria enggak begitu sering. I can handle that."

Agung masih berusaha untuk membantu keluar dari situasi tidak mengenakkan ini, tapi aku tidak bisa membuang waktu lebih lama lagi. Aku meninggalkannya dan menuju ruang perawatan. Sudah banyak orang di sana, mempersiapkan kamera sehingga ruangan itu terasa makin sempit.

Aku sedang mempersiapkan kebutuhan untuk bius lokal bersama Tina, perawat yang membantuku, ketika Jelitha datang. Dia menatapku dengan tatapan angkuh, menilaiku dari ujung kepala sampai kaki dengan perasaan tidak suka. Namun, secepat kilat dia mengubah ekspresi ketika berada di depan kamera.

Jelitha sibuk memulai opening untuk vlog, menceritakan alasanya melakukan perawatan itu, sementara di belakangnya aku pura-pura menyiapkan peralatan. Tidak ada yang perlu dipersiapkan, tapi mereka butuh stok gambar sehingga aku mengikuti sandiwara itu.

"Ini aman, kan? Lo terpercaya enggak?" Jelitha menatapku dengan wajah angkuh. Tatapannya tertuju ke peralatan yang akan kupakai untuk treatment ini.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum, meski dalam hati ingin menertawakan selera perempuan Aria.

"Saya sudah sering melakukan ini dan tidak ada efek samping yang berarti," sahutku.

Jelitha menaikkan sebelah alisnya. "Awas aja kalau lo mau balas dendam sama gue, terus bikin muka gue rusak."

Aku kehilangan kata-kata karena tidak mengerti arah pembicaraannya.

"Lo cemburu karena gue pacaran sama Aria, jadi lo balas dendam, deh."

Penjelasannya membuatku tidak kuasa menahan tawa. Namun, ketika melihat Jelitha mendelik, aku mengendalikan diri. Aku menatap ke sekeliling, dan mendapati kru Jelitha pura-pura tidak peduli. Seharusnya mereka menyiarkan tingkah Jelitha yang seperti ini, bukan sikapnya yang dibuat-buat seolah dia baik hati.

"Kamu tenang aja, saya enggak peduli apa pun tentang Aria. He's yours. Bisa kita mulai?"

Jelitha masih menatapku penuh permusuhan. Detik ini aku menyesal sudah menolak tawaran Agung.

Continue Reading

You'll Also Like

15.3K 1.6K 32
Ada dua tipe manusia yang bekerja di LBH Optimus. Pertama, orang yang berdedikasi tinggi pada kemanusiaan. Kedua, jenis manusia frustrasi yang tak ku...
A Sinner? By RaAmalia

General Fiction

842K 988 1
21++ ( SUDAH DITERBITKAN) SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS #high rank 2 in General Fiction per 29/10/17 Seorang Pendosa....? Dengan gemetar Lara mengena...
1.5M 80.3K 29
Bagaimana rasanya, saat diri kita terpaksa harus berdekatan dengan orang yang dibenci? Debby Angela, seorang fashion designer muda dengan aura yang...
1.4M 136K 33
Ralph Williams leads dual life. Nobody knows his secret life as a professional male escort. Except one woman who he called Daisy. Lisa Ariana decided...