Brak!
"Hah.. Hah... Hah.. Hah." Dada wanita bersurai merah muda itu tampak membusung naik-turun. Sorot pandangan dari kedua iris kuning emasnya pun tampak begitu gelap dan mengerikan.
"Sialan!" Umpatnya menggebu-gebu.
Prang!!
Wanita yang saat ini tengah mengamuk seraya menghancurkan barang-barang disekitarnya itu adalah Countess Sesanne Mirelle Rhodes, atau singkatnya Sesanne.
Wanita itu kelihatan begitu marah.
"Ibu, tolong berhenti, anda akan melukai diri anda sendiri--"
"Kau tahu apa?"
"Apa?" Violetta bergidik ketika sang Ibu menoleh dan menatap dengan tajam kearah dirinya.
"Dasar tidak berguna, kau bahkan tidak dapat memenangkan hati pria bodoh itu. Lantas apa kau juga tidak dapat bersikap dengan manis? Kau seharusnya memenangkan hati pria itu. Kau bilang mereka menyayangimu melebihi anak itu, namun apa? Dasar tidak berguna!" Sesanne meraih sebuah vas kaca dan melemparkannya kearah Violetta.
Hal tersebut membuat lengan Violetta tergores pecahan kaca.
Tidak ada rintihan kesakitan, Violetta justru malah mematri tatapan yang begitu dingin. Seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi tersebut.
"Karenamu aku sampai dipermalukan seperti itu oleh adik yang sangat aku benci! Sialan, berani-beraninya anak dari istri jalang mendiang Duke itu merendahkanku yang merupakan anak istri pertama! Aku tidak akan memaafkannya. HAH!" Sesanne berteriak seraya kembali menghancurkan barang-barang disekitarnya.
"Aku akan menghancurkan pria itu, pasti.. ! AKAN AKU PASTIKAN DIA HANCUR DITANGANKU!" Teriak Sesanne, penuh penekanan.
Violetta mengerjapkan kedua kelopak matanya sekelebat. "Ibu.. Anda tidak perlu khawatir--"
"TIDAK PERLU KHAWATIR KATAMU?!" Sesanne mengangkat sebuah frame foto, dan hendak kembali melemparkannya kearah Violetta.
Namun kalimat yang terlebih dahulu Violetta lontarkan berhasil membuat Sesanne menghentikan kegiatannya.
"Ibu tidak lupa bukan? Saya memiliki rencana yang bagus untuk menghancurkan keluarga itu. Saya.. Akan menjebak perempuan itu dan kemudian Ibu akan mendapatkan kesempatan untuk menghancurkan sang Duke." Violetta melangkah mendekati wanita bersurai merah muda dihadapannya seraya mengambil alih frame yang dirematnya.
"Sekarang, yang Ibu harus lakukan hanyalah membujuk Ayah." Violetta berujar dengan nada bicara dan tatapan yang begitu serius. "Temui Ayah kandung saya, karena kita akan membutuhkan bantuannya."
"Apa?" Sesanne tampak begitu terkejut. "A-ayahmu, apa maksud--"
"Saya mengetahuinya, bu." Violetta mempungkas. "Saya sudah tahu, siapa Ayah saya yang sebenarnya."
"Bagaimana.. !" Kedua mata Sesanne tampak membulat dengan sempurna.
"Saya menyewa jasa dari sebuah Guild untuk mencari tahunya, itu cukup membutuhkan waktu yang terbilang lama. Namun, yah pada akhirnya saya berhasil mendapatkan apa yang saya inginkan." Violetta kembali melangkahkan kedua kakinya untuk mengikis jarak yang tersisa diantara dirinya dengan sang Ibu.
Setelah memajukan tubuhnya, Violetta berbisik tepat dibalik cuping telinga sang Ibu dengan dingin. "Jika saya mengetahui bahwa Ayah saya ternyata adalah seseorang yang memiliki kekuasaan sebesar itu, mungkin saya akan mencari tahu tentangnya jauh lebih cepat." Violetta kemudian menarik tubuhnya untuk menjauh dari sang Ibu.
"Ibu.. Saya tahu bahwa anda masih berhubungan baik dengan Ayah saya." Menjeda sejenak, entah mengapa secara tiba-tiba saja Sesanne merasakan sesuatu yang sangat buruk seperti akan datang.
"Saya memiliki ambisi yang besar seperti Ibu."
"Apa.."
"Selayaknya Ibu yang menginginkan kedudukan sebagai Duchess dari keluarga Vyacheslav, saya pun juga menginginkan kedudukan sebagai.. Putri Mahkota."
Detik itu juga Sesanne memekik lantang. "Apa katamu?!"
"Ibu.." Violetta tersenyum penuh siasat. "Saya.. Ingin menjadi Kaisar wanita yang memimpin Kekaisaran ini."
********
"Yang mulia."
"..."
"Yang mulia Duke.."
"..."
"Yang mulia."
"..."
'Oke, sudah cukup!'
Fench menggertakan gigi-giginya kesal, lantaran Hadeon sejak tadi sama sekali tidak merespon ucapannya.
"Yang mulia, Duke." Pada akhirnya Fench melangkah mendekati meja kebesaran milik Hadeon seraya berdehem kasar. "Apa anda akan melamun terus seperti ini?" Suara Fench terdengar begitu dingin.
'Oh ayolah, memangnya dia itu adalah seorang remaja yang sedang jatuh cinta? Mengapa pula sejak tadi yang Hadeon lakukan hanyalah tersenyum malu-malu begitu?'
"Fench, akhirnya kau datang." Hadeon menatap lurus kearah Fench, akhirnya.. ?!
Fench mengeratkan rahangnya. Astaga, bolehkah sekali saja Fench memukul wajah tampan pria itu?
"Ya, yang mulia. Saya sudah disini sejak tadi." Sindir Fench.
"Oh? Benarkah?" Hadeon mengerjap tanpa rasa bersalah sedikitpun.
'Apa pria itu benar-benar tidak menyadari bahwa Fench sudah berdiri selama satu jam lebih didepannya?'
"Hah..." Pada akhirnya Fench hanya dapat mendesah dengan kasar.
Hadeon mengernyit. "Apa kau baik-baik saja Fench? Kau terlihat kesal." Ucapan Hadeon langsung membuat Fench tersenyum kecut.
"Saya baik-baik saja yang mulia, anda tidak perlu khawatir."
"Baiklah." Balas Hadeon kemudian, tidak acuh.
Huh, dasar tidak peka.
"Yang mulia." Fench kembali bersuara.
Hadeon mengangkat wajahnya, dan menatap lurus kearah Fench.
"Pesta pendewasaan nona muda sudah dekat." Ucap Fench, mengingatkan.
Secara tiba-tiba saja Hadeon terperanjat. "Ah, benar. Bagaimana bisa aku melupakannya." Hadeon menutup mulutnya seraya menatap kearah kertas-kertas yang terdapat diatas mejanya dengan serius. "Sudah sampai mana persiapannya, Fench?"
"Saya sudah menyewa jasa penjahit terhebat di Kekaisaran atas nama keluarga Vyacheslav, saya pun juga sudah mengimpor perhiasan termahal dari kerajaan sebelah. Perhiasan yang sangat terkenal itu, yang anda minta kepada saya untuk dicarikan."
"Air mata Dewa Ouranos?"
"Benar, yang mulia."
Hadeon mengangguk-anggukan kepalanya ayal. "Kalau begitu, apa yang sedang putriku lakukan saat ini?"
"Nona muda saat ini tengah latihan dansa di aula utama mansion, yang mulia."
"Siapa yang bertugas untuk mengajari putriku?"
"Countess Bancroft, yang mulia."
Hadeon terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya beringsut bangkit dari atas kursi kebesarannya.
"Anda mau pergi kemana--"
"Melihat putriku." Dan begitulah Hadeon menghilang dari dalam pandangan Fench. Pria yang biasanya menomor satukan pekerjaan, kini justru malah melewatkan dokumen-dokumen pentingnya begitu saja.
*******
Didalam sebuah ruangan dengan luas yang nyaris menyaingi aula istana Kekaisaran, Madelaine tampak tengah memperhatikan wanita berparuh baya dihadapannya dengan seksama. Wanita cantik dengan rambut brunette itu tengah menggerakan kedua kaki dan tangannya dengan anggun. Mengikuti alunan musik yang merdu seraya berputar teratur diatas lantai.
"Apa aku bisa menari seperti itu?" Ragu Madelaine.
Shula yang berdiri tepat disisi Madeaine langsung mengangguk. "Tentu saja, anda pasti bisa! Bahkan sepertinya anda dapat menari jauh lebih indah dibandingkan dengan Countess." Ujar Shula, penuh semangat.
Madelaine mendesah berat. "Aku sedikit meragukannya, Shula."
"Apa nona sebelumnya tidak pernah menari?"
"Aku pernah mempelajarinya secara otodidak, lewat sebuah buku. Namun tentu saja itu berbeda dengan belajar secara langsung seperti ini bukan?"
Shula terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya menyetujui. "Ah, itu benar.."
Madelaine tidak lagi menjawab, perempuan itu hanya memandang lurus dan memperhatikan setiap gerakan Countess Bancroft dengan serius.
"Tetapi nona.." Shula kembali bersuara. "Anda tidak perlu khawatir! Saya percaya bahwa anda pasti dapat melakukannya dengan baik."
"Terima kasih, Shula." Madelaine tersenyum tipis.
"Ah, nona.. Ngomong-ngomong, jika anda ingin mempelajarinya dengan lebih spesifik. Sepertinya anda membutuhkan seorang pasangan."
"Pasangan?" Madelaine mengernyit.
"Iya, memangnya nona tidak berpikir untuk tidak mencari pasangan saat berdansa di pesta debutante nanti?"
Madelaine terdiam, memikirkan ucapan Shula.
Ah benar, pasangan ya?
Manakala Madelaine tengah melamun memikirkan terkait pasangan untuk berdansa di acara debutante nanti, entah mengapa secara tiba-tiba saja muncul wajah seseorang didalam kepalanya. Pria tampan dengan surai sekuning emas, itu adalah Kairos.
Apa...
Menjadikan seorang Putra Mahkota sebagai pasangan dansa di debutante? Huh Madelaine, apa kau sudah tidak waras? Kau adalah seseorang yang sangat menghindari pusat perhatian.
Gila saja, jika Madelaine dan Kairos menari bersama. Bukankah sudah pasti semua mata akan tertuju kearah mereka?
'Ugh, aku tidak menyukainya. Itu pasti akan terasa tidak nyaman.'
"Lady."
"..."
"Lady."
"..."
"Lady Vyacheslav."
Madelaine yang masih melamun sama sekali tidak merespon panggilan dari sang Countess, pun pada akhirnya Shula memutuskan untuk berbisik tepat didekat telinga Madelaine. Membuat perempuan bersurai dan beriris sebiru samudra itu kemudian segera tersadar.
"Nona."
"Ah, iya?" Kejut Madelaine.
"Lady." Countess Bancroft melangkah mendekati Madelaine. "Ayo, sekarang Lady harus mencoba mempratikkannya."
Madelaine tampak gugup.
"Karena anda tidak memiliki pasangan, maka anda dapat memilih dari salah-satu kesatria anda."
Saat itu, Kiley yang tengah bertugas untuk mengawal Madelaine langsung berdehem memberikan kode.
Countess melirik kearah Kiley. "Sir Kiley, apa anda ingin menjadi pasangan berdansa nona?"
Kiley tersenyum lebar. "Tentu saja." Jawabnya bersemangat.
Begitu Kiley hendak meraih tangan Madelaine dan membawanya ke lantai dansa, kemunculan sosok Hadeon yang terbilang sangat tiba-tiba berhasil membuat semua orang didalam ruangan tersebut langsung menjeda kegiatan mereka.
"Yang mulia, Duke." Sapa sang Countess, seraya membungkuk dalam.
Hadeon mengangguk. "Countess." Lalu menolehkan wajahnya kearah Madelaine, dan mengubah sorot pandangannya begitu mendapati Kiley yang tengah menggenggam erat jemari putrinya.
Aneh. Mengapa rasanya hati Hadeon memanas? Mengapa ia ingin sekali untuk marah dan memukul Kiley ya?
Madelaine terkejut begitu mendapati sosok Hadeon tengah berdiri disisinya.
'Apa yang membuat pria itu kesini?'
Countess yang menyadari tatapan cemburu dari Hadeon langsung tersenyum tipis. "Yang mulia Duke, Lady Vyacheslav hendak menyempurnakan tariannya. Maka dari itu Lady membutuhkan bantuan dari Sir Kiley."
Dengan ekspresi yang dingin, Hadeon menyahut. "Memangnya Kiley dapat menari?"
"Ten--"
"Sa-saya tidak bisa sama sekali, yang mulia Duke." Kiley langsung menukas, menyadari tatapan mengerikan yang sang Duke berikan.
"Apa? Sayang sekali.." Countess menyahuti.
"Kalau begitu bagaimana dengan nona.." Shula pun turut bersuara.
Lantas pada akhirnya, Hadeon berdehem ringkas. Pria tampan bersurai perak dan beriris sekuning emas itu memang masih mengulas ekspresi sedatar tembok, namun tatapannya jauh lebih melunak dari pada sebelumnya.
Ia berdiri tepat dihadapan Madelaine seraya mengulurkan tangannya. "Kalau begitu, bagaimana jika Maddie mencoba untuk menari bersama dengan Ayah?"
Madelaine terkesiap. 'Apa boleh?'
"Tidak apa-apa, Ayah akan menuntun Maddie dengan baik." Imbuhnya, berusaha meyakinkan.
Madelaine terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya mengangguk dan meraih uluran tangan dari Hadeon.
Kedua pasangan Ayah dan Anak itu berhasil membuat semua orang yang berada didalam aula tersenyum gembira. Kehamornisan antara Hadeon dan juga Madelaine bahkan membuat sang Countess cukup terkejut.
"Apa itu benar-benar yang mulia Duke Vyacheslav?" Countess skeptis ketika mendapati Hadeon tersenyum tulus dan menatap penuh kasih sayang kearah putrinya. Sosok yang terkenal dingin dan mengerikan itu?
Terakhir kali Countess melihat sosok Hadeon yang seperti itu sudah sangat lama, atau lebih tepatnya ketika mendiang Duchess masih hidup.
Hadeon saat ini terlihat seperti seorang Ayah yang sangat lembut.
"Ternyata gosipnya benar, bahwa Duke Vyacheslav memang sangat menyayangi putrinya." Monolog Countess sendirian.
Sementara itu, Hadeon yang masih menari bersama dengan Madelaine saat ini tengah tersenyum tipis.
"Jangan khawatir, lakukan saja sebisamu."
"Ah, maaf jika saya buruk dalam hal ini.. Saya masih belum terbiasa." Aku Madelaine.
"Kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk pandai dalam hal ini, jikalaupun kau memang memang memiliki kekurangan didalam kegiatan ini. Memangnya siapa yang berani mengomentarinya? Kau adalah putriku, Madelaine Vyacheslav. Maka jika ada yang berani mengatakan kau buruk dalam kegiatan ini, akan Ayah pastikan bahwa orang itu tidak dapat lagi hidup dengan tenang di dunia." Entah mengapa nada bicara Hadeon saat akhir terdengar seperti sebuah ancaman.
Astaga, tidak perlu sampai sebegitunya juga!
Cepat-cepat Madelaine membalas. "A-aku baik-baik saja... Ayah."
Tiba-tiba saja hati Hadeon seperti tersengat sebuah perasaan hangat dan manis. 'Ah, masih belum terbiasa. Ayah.'
"Jadi jangan lakukan itu."
"Tentu saja Ayah akan melakukannya, lagipula itu adalah bentuk penindasan terhadap keluarga Vyacheslav."
'Memangnya siapa yang berani menindas keluarga Vyacheslav?'
Jika mereka berani melakukannya, maka mereka harus siap mati.
"Apa yang kau pikirkan?" Hadeon berputar bersama dengan Madelaine mengikuti tempo lagu.
Madelaine menengadahkan wajahnya guna meluruskan pandangannya kearah kedua iris kuning emas milik sang Ayah. Ah, mengapa ya rasanya masih saja aneh?
Sebenarnya, Madelaine tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi dekat seperti ini dengan sang Ayah. Sosok yang sebelumnya sangat ia hindari.
Pria itu benar-benar sudah berubah, pun itulah mengapa sebabnya Madelaine mulai memutuskan untuk membuka hatinya.
"Madelaine..."
Madelaine kembali tersadar.
"Ayah, benar-benar minta maaf. Jika selama ini Ayah selalu melukai hatimu. Sungguh, Ayah tidak pernah memiliki niat untuk melakukan itu. Ayah benar-benar menyesal, maafkan Ayah karena selalu menyakiti dirimu.. Bahkan tanpa Ayah sadari, bahwa Ayah telah melakukan semua itu.."
Madelaine terdiam.
Hadeon Regartez Vyacheslav, ternyata pria yang terkenal bengis itu memiliki sisi yang lembut seperti ini?
"Ayah takut." Hadeon kembali bersuara, lirih.
"Ayah sungguh takut, begitu menyadari bahwa kau membenci Ayah. Ayah takut ketika kau memutuskan untuk pergi, sebab Ayah baru menyadarinya.. Bahwa selama ini Ayah teramat-sangat menyayangi dirimu."
Hati Madelaine terenyuh tatkala mendapati sorot penuh akan kesedihan dari kedua mata Hadeon.
"Apapun yang terjadi di masa depan nanti, Ayah akan selalu melindungimu. Ayah akan melakukan apapun untukmu. Jadi, jangan sedih. Jangan sakit. Jangan menangis. Dan teruslah tertawa, tersenyum, bahagia. Ayah hanya ingin kau hidup dipenuhi akan hal-hal yang menyenangkan. Bahkan jikalaupun kau merasa bahagia dengan pergi dari dalam kediaman ini seperti pengakuanmu pada waktu itu... Maka Ayah, akan mengizinkannya."
"Apa..." Detik itu juga Madelaine mengerjap dengan skeptis.
"Ayah akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia, apapun." Hadeon terlihat begitu sedih.
Lantas pada akhirnya Madelaine memutuskan untuk menjeda kegiatan menarinya dan menatap lurus kearah Hadeon dengan sorot yang sulit untuk dijelaskan.
"Ayah.." Madelaine bersuara dengan lembut.
"Aku... Tidak akan pergi meninggalkan Ayah dan juga Dixon."
Hadeon benar-benar terkejut. "Tapi.. Mengapa?"
"Biarpun Ayah dan Dixon telah banyak melukaiku, nyatanya itu bukan sepenuhnya kesalahan kalian. Mungkin, kita semua salah?" Madelaine menjedanya untuk beberapa saat. "Aku menyayangi Ayah, aku menyayangi Dixon. Bagaimanapun.. Entah seberapa keras aku berusaha untuk membenci Ayah dan Dixon.. Pada kenyataannya aku tetap menyayangi kalian."
Madelaine yang tersenyum dengan hangat, hal tersebut langsung mencairkan seluruh es didalam hati Hadeon. Semuanya, hingga tidak lagi tersisa apa-apa.
"Ayah tidak perlu khawatir, aku adalah orang yang paling tahu... Seberapas besar rasa sayang Ayah kepadaku."
Detik itu juga Hadeon menitikkan air matanya.
"Hahaha." Madelaine terkekeh. "Ayah ternyata cengeng ya?"
"Ayah tidak cengeng."
"Lalu?" Madelaine menggoda. "Ayah seperti anak kecil yang terus merengek tahu."
"Hah, Ayah ini tidak menangis."
"Mengelak saja terus."
"Sudah, kemarilah." Hadeon kembali mengulurkan tangannya kearah Madelaine. "Kali ini.. Ayah akan menjagamu dengan sungguh-sungguh." Ucapan Hadeon membuat Madelaine sedikit kebingungan.
"Menjaga dari apa?"
"Putra Mahkota."
'Apa? Kairos?' Mengapa tiba-tiba?
Mendapati air wajah Hadeon yang tertekuk tidak suka, tentu saja Madelaine langsung bertanya ingin tahu. "Ada apa Ayah? Apa yang Ayah sembunyikan dariku?"
"Hah.." Hadeon mendesah kasar. "Bocah cecunguk satu itu.. Mengirimkan surat yang menyatakan bahwa dirinya ingin menjadi pasangan debutantemu."
"A-apa??" Madelaine terbelalak.
"Kau tidak perlu khawatir Maddie, Ayah yang akan menolaknya."
Bagaimana bisa?? Menolak permintaan dari seorang Putra Mahkota??
"Namun yang membuat Ayah khawatir bukan itu."
Madelaine kembali menatap kearah sang Ayah dengan seksama, entah mengapa secara tiba-tiba saja perasaannya tidak enak.
"Ada apa lagi Ayah?"
"Putra Mahkota... Mengirimkan lamaran untukmu."
"MENGIRIMKAN APA??" Kejut Madelaine, sementara Hadeon dengan air wajah dingin dan bengisnya langsung bergumam. "Apa Ayah harus menurunkannya dari tahta? Berani-beraninya dia..."
'Kairos... Melamarnya??!'
*********
Istana Igesia, Istana khusus Putra Mahkota Kekaisaran.
"Yang mulia, apa anda baru saja melakukan sesuatu yang aneh lagi?" Felipe menatap penuh selidik kearah Kairos yang saat ini tengah melepaskan kemeja putihnya, dan memperlihatkan otot-otot kencang diperutnya dengan jelas.
Pria tampan itu sejak tadi tampak terus tersenyum.
Seolah-olah ada sesuatu yang membuatnya sangat puas dan bahagia, tetapi apa? Mengapa Felipe merasa tidak enak ya?
Apa sesuatu yang buruk akan datang?
"Felipe..."
"Ya, yang mulia?"
"Untuk yang pertama kalinya, aku bersyukur karena telah ditakdirkan untuk menjadi seorang Putra Mahkota." Kairos tersenyum lebar.
Bulir-bulir keringat membuat tubuh Kairos mengkilap. Kulit yang eksotis dan seksi. Astaga, wanita manapun yang melihatnya pasti akan langsung jatuh cinta.
"Apa yang anda lakukan yang mulia.. ?" Selidik Felipe.
Kairos tidak menjawab dan malah tersenyum dengan manis.
Hal tersebut membuat para kesatria yang baru saja selesai berlatih pedang dengan Kairos mengerjap skeptis.
'Ada apa dengan pria itu??!'
*******