The Daddy's Affair (Tersedia...

By revelrebel

1M 94.1K 3.2K

(Content dewasa. Pastikan sudah cukup umur kalau ingin membaca) Aria Daniel, vokalis Storm. Digilai cewek-cew... More

Prolog
Chapter 1: Daddy's Little Secret
Chapter 2: The One That Got Away
Chapter 3: Falling in Love with Mr. Superstar
Chapter 4: My Dad is a Pop Star
Chapter 5: Pieces by Pieces
News Flash: Aria's Woman
Chapter 6: She's Gone
Chapter 7: A Daughter's Heart
Chapter 8: Parental Guidance
Ch. 9: Could You Give Me a Simple Dinner?
Chapter 10: I Don't Need a Car
News Flash: Shaloom Talitha Aria
Chapter 12: Almost Kisses
Chapter 13: Perempuanku
Chapter 14: Come Together
Chapter 15: A Daughter's Game
News Flash: Aria Tirta Daniel
Chapter 16: Two Faces
Chapter 17: Sayang, Aku Cemburu
Chapter 18: Mimpi-Mimpi Shaloom
Chapter 19: When We Were Young
Chapter 20: Post Concert Effect

Chapter 11: The Muse

18.6K 3.5K 107
By revelrebel

Shaloom

Mataku terbelalak saat masuk ke area Gelora Bung Karno. Belum ada apa-apa di sana, kecuali lapangan yang gede banget. Aku pernah ke sini, sewaktu menjadi salah satu penari di pembukaan Asian Games 2018, dan masih amaze dengan lapangan yang gede ini.

Bukan lapangan ini yang membuatku deg-degan setengah mati, melainkan penuturan Om Malik. Papa bilang, dia yang bertanggung jawab terhadap stage di konser 20 Tahun ini. Dari penuturan Om Malik, aku bisa ngebayangin sebesar apa stage itu. Belum lagi permainan lighting yang keren, aku bahkan sudah bisa membayangkan konser ini akan sukses besar.

Aku bergidik, sementara lututku bergetar. Aku sampai harus merangkul lengan Papa erat-erat.

Papa melirikku dengan kening berkerut. Sejak tadi, Papa serius menyimak omongan Om Malik. Sesekali memberikan masukan agar sesuai dengan konsep yang diinginkan.

"Kenapa?"

Aku menggeleng. Papa enggak perlu tahu kalau aku deg-degan setengah mati karena memikirkan akan ikut tampil bareng Papa di panggung segede itu.

Papa bersedekap di depanku, sekarang fokusnya sepenuhnya tertuju kepadaku. "Kamu enggak kepikiran buat mundur, kan?" tebaknya, sambil menahan tawa.

Siapa saja yang ada di posisiku sekarang pasti langsung ciut. Konser ini sudah direncanakan sejak dua tahun lalu, karena menurut Papa dan Om Elkie, dua puluh tahun adalah momentum yang berarti. Apalagi tinggal mereka berdua yang bertahan sejak awal Storm terbentuk. Makanya, Papa dan Om Elkie mempersiapkan konser ini sematang mungkin, di sela kesibukan tur dan pekerjaan lainnya.

Banyak yang menunggu-nunggu konser ini. Tiketnya sudah sold out sejak penjualan dimulai tiga bulan lalu, cuma dalam waktu dua jam. Banyak yang protes karena enggak kebagian, sehingga diputuskan untuk menambah show menjadi dua hari. Itu pun masih banyak yang mengeluh enggak kebagian dan minta dibikin jadi tiga hari.

Antusiasme itu juga membuat lututku gemetar. Selain Storm, nama-nama musisi lain yang terlibat sudah diumumkan sehingga antusiasme semakin menjadi-jadi. Aku enggak berani membayangkan gimana tanggapan mereka saat di tengah konser, tiba-tiba saja aku muncul. Aku bukan siapa-siapa, selama ini cuma suka cover lagu di YouTube. Aku enggak punya modal tampil di panggung besar, cuma panggung kecil di mal waktu TK atau acara sekolah.

Gimana aku enggak panik?

Papa sama sekali enggak membantu. Melihatku panik begini, Papa malah ketawa.

"Panik dia," ledek Papa sambil menunjukku.

Om Elkie juga ikut tertawa, membuatku semakin cemberut. "Santai aja, Sha. Anggap aja ini lagi nyanyi di acara sekolah."

Aku mendelik. "Terakhir kali aku tampil di acara sekolah itu kelas enam SD, Om," balasku, membuat tawa Om Elkie makin menjadi-jadi.

Sekarang semua orang memperhatikanku. Aku cuma bisa menunduk, enggak berani melihat tanggapan mereka. Gimana kalau mereka sebenarnya enggak setuju, tapi diam aja karena ini keputusan Papa? Sebagai pendiri, Papa memang punya pengaruh besar dalam setiap keputusan Storm, jadi kalaupun ada yang enggak setuju, mereka enggak bisa protes karena Papa yang memintaku untuk ikut tampil di konser ini.

Papa merangkul pundakku, dan aku refleks meringkuk di pelukannya.

"Kalau kamu latihan yang benar, Papa yakin kamu bisa." Papa berusaha menenangkanku.

"Yang nonton pasti bakal banyak banget, gimana kalau aku malah bikin malu? Bukannya nyanyi, malah bengong di stage? Atau jatuh? Papa, kan, tahu aku suka jatuh." Aku menggeleng kencang, berusaha melupakan semua kekhawatiran itu.

"Nanti Papa jemput, jadi kita naik ke stage bareng. Kalau kamu panik, kan ada Papa. Jadi kamu tenang aja, Papa enggak bakal ninggalin kamu." Papa melepaskan pelukannya, dan menangkup kedua sisi wajahku lalu menarikku untuk mendongak menatapnya. "Kamu percaya Papa, enggak?"

Tanpa suara, aku mengangguk.

"Kalau percaya, kamu enggak perlu sepanik ini. Kamu masih ingin jadi penyanyi, kan?"

Sekali lagi, aku mengangguk.

"Anggap aja ini latihan karena Papa yakin setelah ini, kamu bakalan tampil di panggung yang jauh lebih gede dari ini, di depan penonton yang jauh lebih banyak dari ini," ujar Papa meyakinkan.

Aku mencibir. "Latihannya juga enggak di acara krusial ini kali, Pa."

Papa tergelak. "Ini rahasia kita, ya. Tiap kali mau tampil di mana pun, Papa masih sering panik. Itu wajar, kok. Selalu ada hal teknis yang berada di luar kendali, jadi kalau terjadi sesuatu ya tinggal dibawa santai aja. This is the playground, Sha. Tempat kita bermain dengan musik dan nada."

Aku menatap Papa tanpa berkedip. Yes, he's a cool Dad. Namun siang ini, Papa tampak berkali lipat jauh lebih cool. Lebih keren dibanding ketika lagi di panggung.

Senyumku terkembang, rasa panik itu masih ada tapi sudah berkurang. Ada waktu dua bulan buat latihan, dan aku enggak akan menyia-nyiakan waktu itu.

"Nih, pakai. Panas, kan?" Papa membuka topi yang dipakainya, lalu memasangkannya di kepalaku. "Kita ke sana lagi, Om Malik belum kelar."

Papa merangkulku, dan membawaku mendekati Om Malik yang masih semangat membeberkan rencananya membuat panggung spektakuler.

"Kalau naluri kebapakan lo keluar gini, lo sweet juga ya. Sering-sering aja kayak gini, biar gue enggak pusing mikirin cara buat nutupin tingkah ajaib lo," semprot Mbak Dre, yang ternyata sejak tadi memperhatikan kami.

"Gue yakin lo bakalan berhenti ngomel-ngomel enggak jelas begini kalau ntar punya anak," ledek Papa, yang disambut Mbak Dre dengan cibiran.

Sementara itu, aku setuju dengan ucapan Mbak Dre. Papa dikenal playboy, tapi enggak ada yang tahu kalau Papa sebenarnya semanis ini.

Shania

Sebuah Ducati merah yang terparkir di jalan masuk mobil menyita perhatianku. Aku belum pernah melihatnya, tapi bisa menebak Ducati itu punya Aria. Dia sering muncul di berita bersama koleksi motornya. Aku tertawa kecil, teringat salah satu pembicaraan di masa lalu.

"Kamu lihat aja, Shan. Aku bakal beli semua motor sport ini nanti," ujarnya sesumbar, sambil memandangi foto motor sport di majalah otomotif langganannya.

Aria memang tergila-gila dengan motor. Selain nge-band, dia sering nongkrong di bengkel milik pamannya di Bandung. Di sana dia berkenalan dengan motor dan mulai belajar mengutak atik motor. Di sana juga dia berkenalan dengan Satrio dan Janu, dan menyadari mereka punya selera musik yang sama. Pertemanan itu berubah menjadi hubungan profesional yang serius ketika memutuskan untuk mulai bermusik.

Waktu itu, aku enggak setuju dengan Aria. Menurutku motor jauh lebih mengerikan ketimbang mobil. Apalagi motor sport yang ukurannya membuatku bergidik ngeri. Ditambah, aku mengenal sifat Aria yang menyukai tantangan. Dia pencari adrenaline rush, dan motor sport yang bisa melaju kencang tentunya cocok dengan Aria yang haus tantangan.

Aria membeli motor pertamanya sebelum kami menikah. Dia membawaku mencoba motor itu tengah malam, di saat jalanan kosong dan sepi. Hal itu membuat adrenalin Aria semakin terpacu, sementara aku cuma bisa memeluknya erat karena takut.

Sejak saat itu, Aria tidak pernah mengajakku naik motor lagi.

Melihat Ducati yang terparkir ini, tubuhku seolah bisa merasakan terpaan angin menghantam tubuhku. Namun bukan aku yang ada di boncengan Aria, melainkan Shaloom. Ketakutan yang kurasakan semakin menjadi-jadi.

Aku melintasi pekarangan kecil di depan rumah dan menuju pintu dengan tekad bulat untuk membuat peraturan baru bersama Aria. Dia tidak bisa membawa Shaloom naik motor tanpa seizinku. Seharusnya dia memikirkan bahaya yang mengancam.

Bukan hanya itu saja yang membuatku gusar. Setelah Shaloom kabur ke rumahnya, Aria semakin sering muncul di hadapanku. Membuat upayaku menghindarinya selama lima belas tahun ini jadi tak ada artinya.

Kehadiran Aria membuatku merasa canggung. Dia pernah menjadi seseorang yang berarti di hidupku, dan lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Namun sepertinya cuma aku saja yang merasa canggung, karena Aria terlihat santai. Seolah dia selalu ada di sekitarku dan Shaloom selama ini.

Seperti malam ini, aku mendapatinya di sofa ruang tamu bersama Shaloom. Mereka bermain gitar, melantunkan lagu yang familiar di telingaku.

Selama sejenak, kekesalan yang menguasaiku mendadak hilang. Langkahku terpaku di tempat, dan mataku tertumbuk kepada dua sosok yang tampak tenggelam di dunia mereka. Ada desir aneh di dadaku, desir yang memberikan rasa nyaman.

Aku tersentak, berusaha menguasai diriku.

Aria mendongak, jemarinya berhenti memetik gitar saat beradu pandang denganku.

"Kamu sudah pulang?" tanyanya santai, seolah itu pertanyaan yang sudah sering ditanyakannya.

Aku menghela napas panjang sebelum bergabung bersama mereka di sofa.

"Sudah makan, Shan?" Sekali lagi, Aria berkata santai, seolah dia bertanya hal yang sama setiap hari. "Tadi aku dan Shaloom makan duluan. Lapar abis panas-panasan di GBK."

Aria menghubungiku tadi pagi untuk mengajak Shaloom ke GBK mengecek lokasi konser, agar Shaloom bisa merasakan atmosfer konser itu sejak awal, sekaligus mempersiapkan diri.

Sejujurnya, aku masih ragu dengan keputusanku. Mengizinkan Shaloom bernyanyi bersama Aria bukan hal yang mudah, apalagi di acara sebesar itu. Aku ingin menolak, tapi itu hanya membuatku menjadi ibu yang jahat karena menghambat mimpi putriku satu-satunya.

Aku selalu mengajarkan Shaloom untuk tidak pernah ragu meraih mimpinya, tapi nyatanya malah aku sendiri yang menghalanginya.

"Tinggal dipanasin aja kalau kamu mau makan," lanjut Aria.

Aku mengangguk singkat. Tanpa suara, aku membuka sepatu dan meringis ketika menyadari kakiku cukup pegal setelah sepanjang hari memakai sepatu hak tinggi.

"Mau dipijat enggak? Capek banget kayaknya."

Aku mendelik saat mendengar ucapan Aria, sementara dia malah terkekeh. Shaloom juga ikut tertawa.

"Kamu sudah bikin PR?" tanyaku pada Shaloom.

Shaloom mengangguk. Seharusnya pertanyaan itu tidak dibutuhkan, karena Shaloom punya tanggung jawab yang besar. Aku memang mengizinkannya untuk latihan bareng Aria, tanpa mengabaikan kewajiban utamanya sebagai pelajar.

Aku masih memijat betis yang pegal, sementara Shaloom sudah kembali fokus pada gitarnya. Meski dia mendengarkan Shaloom, sesekali Aria melirikku. Dia tidak menyembunyikan senyum di wajahnya, dengan tatapan yang seolah ingin mengingatkanku kalau dulu dia sering memijatku. Dan Shania yang dulu, sering bermanja kepadanya, dengan pura-pura capek semata agar Aria memijat kakiku.

Pijatan itu hanya awal, karena tidak butuh waktu lama sampai Aria membawaku ke tempat tidur dan pijatan itu terlupakan.

Pipiku memerah, dan aku membuang muka sebelum Aria menebak apa yang ada di benakku.

"Harusnya Mama dapat royalti juga dari lagu ini," celetuk Aria.

Permainan Shaloom berhenti. "Kenapa?"

Aria melirikku sambil menahan tawa. "Pada langit aku bersimpuh, memintanya mencintaiku. Pada bulan aku berharap, dia dan cintanya akan selalu ada."

Sekali lagi, aku membuang muka untuk menyembunyikan semu merah di wajahku saat Aria melantunkan lagu tersebut.

"Lirik itu Mama yang bikin," ujarnya, disambut dengan pekik kaget Shaloom.

"Mama bisa puitis juga."

Jatuh cinta bisa membuat seseorang jadi puitis, mungkin juga menumbuhkan jiwa penulisku. Karena saat bersama Aria, aku seolah berubah menjadi sosok lain.

Atau mungkin itu Shania yang sebenarnya, dan Shania yang kukenal sekarang hanya sosok asing yang menguasai diriku karena terpaan realita dan kenyataan yang memaksa membuatku jadi seperti ini.

"Kayaknya semua lagu di album ketiga dan keempat ada andil mamamu," ujar Aria.

Terlambat untuk membuang muka, karena kini Aria menahanku di dalam tatapannya.

"Lagu yang Papa bikin, seringnya tentang Mama. She's my muse."

Shaloom menumpukan dagu di atas gitar, menatapku dan Aria dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Makanya di album kelima, lagu Papa sedikit banget. Banyakan lagu Om Elkie," tebaknya.

Aria mengangguk pelan.

"Karena Papa kehilangan muse," tebak Shaloom.

Sekali lagi, Aria mengangguk. Tatapannya masih menahanku, dan aku tidak punya kekuatan untuk memutus tatapan itu.

"Apa sekarang muse Papa sudah balik?"

Aria tersenyum, dan dia yang pertama memutus tatapan itu. Aria menarik Shaloom ke pelukanya.

"You are my muse," bisiknya kepada Shaloom, tapi tatapannya tertuju kepadaku.


PS: Chapter 11 extended version tersedia di KaryaKarsa (sekaligus bisa baca duluan chapter 12 extended version). Extended version lebih panjang dibanding versi Wattpad. Enggak mempengaruhi storyline, cuma mungkin nanti ada beberapa detail yang bikin bingung karena muncul di extended version ini.

Pastinya, extended version ini lebih jos, hotter, sexier, and more satisfying.

Continue Reading

You'll Also Like

15.4K 1.6K 32
Ada dua tipe manusia yang bekerja di LBH Optimus. Pertama, orang yang berdedikasi tinggi pada kemanusiaan. Kedua, jenis manusia frustrasi yang tak ku...
79.7K 4.1K 32
❗️🔞❗️ rated 18+ for explicit sexual contents. You've been warned. - Setelah kelulusannya, Jaime memutuskan untuk pergi dari Paris dan tidak kuliah...
10K 434 21
Blurb: Giselle Putri Natapradja, gadis cantik ambisius - seorang konsultan senior yang mengidamkan posisi Partner yang sedang kosong di kantornya Th...
351K 14.7K 49
21++ (Adult romance) Alur cerita maju mundur (masa sekarang dan masa lampau). Berkisah tentang dua saudara kembar identik, Ethan dan Evan. Yang suda...